Tenang, santun dan bersahabat. Itulah kesan mendalam padanya. Minggu pagi, 9 Juni 1996, merupakan saat yang tak terlupakan. Di British Internasional School (BIS), Pondok Aren, Bintaro, saya menemui salah satu legenda sepak bola bangsa Inggris, Sir Alan Ball. Saya turut sedih tatkala mendengar beliau meninggal dunia pada Rabu, 25 April 2007.
Memori 11 tahun lalu pun langsung terkuak. Saya sulit melupakan Alan pada sikap humanisnya. Dia amat mencintai keluarga, family-man. Malah kehadirannya di Jakarta saat itu lebih dimotivasi oleh kecintaannya pada anak-anak. Padahal di negerinya sedang berlangsung Euro '96. Dia bisa saja menerima tawaran di TV sebagai komentator atau pengamat. Dia menampik semuanya. "Anak-anak adalah faktor penting di sepak bola. Saya amat antusias datang ke sini karena akan melatih anak-anak," ucapnya pada saya saat itu. Seperti kata pepatah; harimau mati menyisakan belang, manusia mati meninggalkan nama. Begitupun Alan Ball. Jasanya akan terus dikenang abadi oleh Blackpool, Everton, Arsenal, Southampton, Portsmouth, Bristol Rovers dan tentu rakyat Britania.
Saat berada di lapangan hijau, kebanggaan pada klub dan negara melebihi pada uang, di mana sepak bola masih menjadi permainan rakyat ketimbang permainan pebisnis. Seumur hidupnya, Alan Ball tak pernah berada dalam comfort zone. Hidup dan kariernya berasal dari spirit membara, patriotisme. Untuk tahu siapa Alan Ball, orang harus membuka album Piala Dunia, partai final 41 tahun silam, atau tanyakan pada Geoffrey Hurst dan Martin Peters, dua orang yang menjadi legenda nasional berkat jasa Ball.
Saat berada di lapangan hijau, kebanggaan pada klub dan negara melebihi pada uang, di mana sepak bola masih menjadi permainan rakyat ketimbang permainan pebisnis. Seumur hidupnya, Alan Ball tak pernah berada dalam comfort zone. Hidup dan kariernya berasal dari spirit membara, patriotisme. Untuk tahu siapa Alan Ball, orang harus membuka album Piala Dunia, partai final 41 tahun silam, atau tanyakan pada Geoffrey Hurst dan Martin Peters, dua orang yang menjadi legenda nasional berkat jasa Ball.
London, Sabtu, 30 Juli 1966. Sejumlah 96.924 orang di Wembley mulai putus asa saat pertandingan melewati menit ke-75. Jerman Barat tetap tangguh, di kala 'tim tua' Inggris mulai dilanda kelelahan. Satu-satunya asa mereka datang dari pemain terkecil, termuda, bernomor punggung 7 dan beroperasi di sayap kanan. Dialah Alan Ball.
Ball berlari tak kenal lelah, berusaha menerobos area yang dikawal Karl-Heinz Schnellinger. Di satu momen, ia memenangi corner-winning dari bek AC Milan itu. Sepak pojok diambil Ball, dan ia mengirim bola pada Hurst yang kurang terjaga. Tembakan Hurst diblok, bola mental dan jatuh di kaki Peters yang meneruskannya ke gawang Hans Tilkowski. 2-1.
Namun di injury-time, Wolfgang Weber menambah nafas Jerman. 2-2, lalu perpanjangan waktu. Inggris urung jadi juara. Menit 111, Ball kembali lolos dari hadangan Hoettges lalu segera mengirim umpan yang disambar Hunt, membentur mistar atas gawang dan tak dapat dijangkau Tilkowski. Gol?
Yang pasti tragedi paling kontroversial pada sejarah Piala Dunia pun tercipta, Wembley-Tor alias Gol Wembley. Wasit Gottfried Dienst (Swiss) ragu mengesahkan gol lantaran pantulan bola begitu sulit dijangkau mata. Ia berdiskusi dengan asistennya, Tofik Bakhramov (Uni Soviet), dan hasilnya: gol! 3-2, dan Inggris kembali berada di atas awan.
Memasuki saat akhir, menit ke-120, sebuah crossing Bobby Moore diselesaikan Hunt, 4-2. Suasana dramatis terasa kala mendengar teriakan reportase Kenneth Wolstenholme via BBC. "And here comes Hurst he's got... some people are on the pitch, they think it's all over. It is now! It's four! England World Champion!"
Pada saat menjadi salah satu pahlawan bangsa di Wembley itu, Ball masih 21 tahun dan tercatat sebagai gelandang muda Blackpool yang telah membela 116 laga dengan 40 golnya. Kepincut dengan kontribusi besarnya di Piala Dunia 1966, Everton segera mentransfernya dengan nilai 112 ribu poundsterling.
Di kemudian hari, di The Toffees-lah dia mencatatkan diri sebagai salah satu legenda hidup klub Merseyside tersebut. Ball bermain hingga 208 kali dan 66 gol. Hingga kini tidak ada yang dapat menyamai keharuman trio lapangan tengah terhebat klub itu yang dihuni Alan Ball, Colin Harvey, dan Howard Kendall. Trio ini dijuluki pers dan publik Goodison dengan The Holy Trinity (trio paling suci).
Pada Desember 1971, di usia emasnya sebagai pemain, 26 tahun, tanpa diduga klub top ibukota Arsenal menawari Everton nilai 220 ribu pounds untuk melepas Ball ke Highbury. Publik Goodison Park bersedih dan kecewa sebab Everton menerimanya. Nilai ini merupakan rekor dunia transfer saat itu. Manajer Arsenal Bertie Mee antusias menggaet Ball yang dikenal gelandang cekatan nan gigih. Ball bertahan hingga musim 1975/76 dengan catatan 177 laga dengan 45 gol untuk The Gunners.
Yang tidak bisa dilupakan pendukung Arsenal tentang Ball, mungkin, salah satunya ketika dia menderita patah kaki pada April 1974. Akibatnya dia tak bisa membela Arsenal sepanjang musim 1974/75. Mau tahu hasil akhir The Gunners di musim ini? Peringkat 16! Sejak kakinya patah, penampilan Ball terus menurun.
Dia sempat melanglang ke Yunani dan AS, sebelum membela Southampton di dua masa, balik ke Blackpool, dan mengakhiri karier jadi pemain di Bristol Rovers pada 1983. Sementara karier kepelatihannya dimulai di AS, tepatnya Liga NASL pada 1978. Blackpool, Portsmouth, Stoke City bahkan Exeter City sempat merasakan kiprah manajerialnya. Setelah mengembara ke Southampton (1994-1995) dan Manchester City (1995-1996), Alan Ball menutup karier kepelatihannya di Portsmouth pada 1998/99.
Pahlawan Wembley
Sebagaimana kata sejarah, banyak yang menduga pemain terbaik saat itu adalah Hunt si pencetak hattrick. Nyatanya tidak, dan Alan bak memerlukan nyawa kedua untuk mengubah itu. "Dialah pemain terbaik di final. Suasana tim 1966 berubah banyak setelah itu," jelas Sir Geoffrey Hunt dengan mimik serius. Alan selalu bersikap ceria, dan sebagai pemain termuda, ia kerap meluap-luap saking antusiasnya masuk tim nasional. Semangat besarnya dan pancaran senyum di wajahnya sulit dilupakan Sir Bobby Charlton.
Dia sempat melanglang ke Yunani dan AS, sebelum membela Southampton di dua masa, balik ke Blackpool, dan mengakhiri karier jadi pemain di Bristol Rovers pada 1983. Sementara karier kepelatihannya dimulai di AS, tepatnya Liga NASL pada 1978. Blackpool, Portsmouth, Stoke City bahkan Exeter City sempat merasakan kiprah manajerialnya. Setelah mengembara ke Southampton (1994-1995) dan Manchester City (1995-1996), Alan Ball menutup karier kepelatihannya di Portsmouth pada 1998/99.
Pahlawan Wembley
Sebagaimana kata sejarah, banyak yang menduga pemain terbaik saat itu adalah Hunt si pencetak hattrick. Nyatanya tidak, dan Alan bak memerlukan nyawa kedua untuk mengubah itu. "Dialah pemain terbaik di final. Suasana tim 1966 berubah banyak setelah itu," jelas Sir Geoffrey Hunt dengan mimik serius. Alan selalu bersikap ceria, dan sebagai pemain termuda, ia kerap meluap-luap saking antusiasnya masuk tim nasional. Semangat besarnya dan pancaran senyum di wajahnya sulit dilupakan Sir Bobby Charlton.
Meski badannya paling kecil, tapi Karl-Heinz Schnellinger terus mewaspadainya. |
"Alan mungkin pemain terbaik hari itu dan andai pun tidak, dialah yang mempengaruhi permainan sehingga hasilnya berubah total," timpalnya dengan nada sedih. Tabloid Daily Mail mengenangnya sebagai The Little Man with Gigantic Spirit. Pria kecil dengan semangat raksasa.
Di mata Sir Bobby Robson, yang pada 1965 memprotes pemanggilan Ball, sampai saat ini tak satu pun pemain nasional yang bisa menyamai dedikasi dan dinamika The Little Ginger Dynamo, pria kecil berambut merah jahe. "Lampard, Gerrard, Beckham seharusnya belajar banyak dari Bally," imbuh Sir Bobby pada kolomnya di Daily Mail.
James Alan Ball terlahir sebagai golongan working-class, kelas menengah, pada 12 Mei 1945 di Farnworth, Bolton, dari turunan Lancashire terpandang. Ayahnya, yang bernama sama persis, adalah pesepak-bola andal yang senang hidup nomaden. Alan muda diberikan latihan intensif. Setiap malam, di pekarangan rumahnya, ia digenjot sang ayah demi sebuah ambisi: bermain untuk Bolton Wanderers.
Sayang, The Wanderers menolaknya. Alasannya, tubuh Ball kekecilan. Malahan mereka menyarankan agar ia banting stir menjadi... joki kuda! "Saat 16 tahun aku bilang, 'Dad, aku ingin masuk tim nasional sebelum 20 tahun.' Akhirnya aku tampil di World Cup pada usia 20 tahun kurang lima hari," kenangnya pada penulis ketika di suatu hari bertemu di British International School, Pondok Aren, Juni 1996. Tapi Ball senior justru tak memujinya. "Lupakan skuad, Nak. Aku baru senang jika kau masuk tim utama!"
Bolton menyesal sebab Ball membela Inggris 72 kali, 8 gol, juara dunia termuda, kapten nasional dan gelar domestik. Di puncak kejayaan, ia menikahi Lesley pada 1967. Karier Ball di tim nasional amblas setelah dicap penggemar klenik oleh Don Revie, pengganti Sir Alf Ramsey. Namun sebagai manajer sinarnya berkebalikan ketimbang jadi pemain. Semacam kutukan, sebab kemenangan Inggris dipenuhi konspirasi? Bisa jadi, sebab begitu juga Gordon Banks, Bobby Moore, Nobby Stiles, Bobby Charlton, Martin Peters dan Geoff Hurst. Paling lumayan, ya Jack Charlton di Irlandia.
1966 Glory: Alan Ball di sisi Bobby Charlton dan Bobby Moore. |
Akibat Kaget
Alan mampu mengalahkan siapa saja, namun dia tak pernah bisa mengalahkan kenangannya setelah kehilangan istrinya. Setelah Lesley tiga tahun tak berdaya, kekuatan ekonomi rumah tangganya diuji. Harta terbaiknya, medali 1966, dilelangnya demi kesembuhan istri tercintanya.
Suatu kali Alan bercerita. "Tiba-tiba dia berkata: 'kau terlihat putus asa dan itu membuatku khawatir. Yakinkan diriku agar kau berlatih dan tidur seperti sedia kala, serta tak menghemat makanan. Kuingin kau menjadi orang paling berbahagia di dunia seperti yang kau telah perbuat untukku. Aku ingin kau menikah lagi'. Dia pasti berjuang keras mengatakan itu, sebab dia tahu perkawinan kami untuk selama-lamanya," papar Ball.
Sungguh menyesakkan mendengar pria sebaik Alan Ball meninggal dunia secara mendadak. Sungguh tragis tubuhnya tergeletak tanpa daya di halaman rumahnya di Hampshire, setelah terjatuh akibat panik melihat kobaran api dari pembakaran sampah, tak lama sesudah usai nonton duel Liga Champion Manchester United vs AC Milan di televisi.
Selamat jalan sang patriot kecil. |
Secara klinis, Ball dinyatakan wafat akibat serangan jantung. "Padahal dia tak punya riwayat itu," kata sang anak, Jimmy Ball, yang ditelpon ayahnya beberapa menit usai menonton laga Liga Champion itu hanya untuk mengungkapkan kepuasannya atas semangat khas Inggris.
"Dia bilang (duel) itu kelas dunia, dan perlawanan United benar-benar kelas dunia. Aku gembira dia melihat laga itu, permainan dengan spirit dan keberanian," kata Jimmy yang masih ingat betul ayahnya terus mengomentari umpan Paul Scholes ke Wayne Rooney yang menjadi gol.
Di hari-hari terakhirnya, Alan menghabiskan waktunya di Warsash, Hampshire. Ia berencana pindah rumah ke Berkshire untuk memulai hidup baru sebagai joki, sebuah peran yang gagal dilakoninya kala muda. Dengan serius Alan bekerjasama dengan Mick Channon, teman lamanya di sepak bola yang banting stir jadi pelatih kuda balap.
Ucapan Frank McLintock saat prosesi penguburan sungguh mengharukan. Dengan mata basah dan bibir terbata-bata, kapten legendaris Arsenal itu bilang, "Kematian bukanlah hal yang penting, bahkan andaikan kita bisa mengaturnya. Hidup adalah perbuatan, dan kupikir Bally berhasil melakukannya. "Alan menjalani hidupnya dengan penuh, dan kuingin haturkan terima kasih untuk semua kenangan, terima kasih atas seluruh kontribusinya untuk hidup kita."
Sebelum dimasukan ke liang lahat, Jimmy Ball menepuk-nepuk peti mati ayahnya, lalu berpuisi sebagai kesan terakhir. Sebuah puisi terkenal milik pujangga besar Rudyard Kipling berjudul If. "Ini untukmu Yah, untuk semangatmu yang tak pernah pudar," ucapnya lirih dan sesenggukan.
Tiga anak Alan Ball: Mandy, Jimmy, dan Keely. |
Ketika membaca bait terakhir, And you'll be a man, my son, Jimmy menambahi: "Dia seorang lelaki, mungkin terbaik yang aku pernah jumpai. Kukatakan pada Mandy dan Keely, kita amat beruntung punya ibu dan ayah yang hebat seperti yang kami miliki."
Sebelum menutup acara pemakaman, Jimmy meminta pada hadirin untuk menyanyikan lagunya Frank Sinatra, My Way. Perlahan-lahan peti masuk ke dalam tanah, tepuk tangan dan siulan bergemuruh, juga sorak sorai, dan semua bernyanyi "Alan Ball, Alan Ball..." Cara inilah yang diadaptasi di semua pertandingan di seluruh negeri, tak terkecuali Premier League pada pekan itu. Tak ada mengheningkan cipta, tapi tepuk tangan selama 1 menit.
Selamat tinggal sahabat, selamat berpisah the patriot, dan selamat jalan the world champion! Sepak bola dan Inggris kehilanganmu, namun dunia sepak bola akan selalu mengenangmu, tak pernah lupa dengan contoh kepahlawanan yang kau berikan untuk sepak bola dan kehidupan...
(foto: dailymail/reuters/telegraph)
(foto: dailymail/reuters/telegraph)