SUDAH lama saya menghindari menulis soal PSSI. Bukan apa-apa, pasalnya hal itu bisa membuat saya berpikir sangat keras, letih, sakit hati tapi yang lebih celaka lagi adalah segala tutur kata bakal diakhiri tanpa harapan! Bayangkan, jika harapan saja sulit diraih dari usaha yang dibuat, apalagi yang mau dijadikan tantangan ke depan.
Kenapa dikatakan tanpa harapan? Sejak divonis publik sebagai organisasi paling konyol bin kontroversial di Tanah Air, barangkali PSSI telah menerima jutaan kritik dan saran. Kalau mereka mau membuka mata lebar-lebar dan rajin membersihkan telinga, terlalu banyak harapan masyarakat kepada PSSI, demi kemajuan sepak bola nasional tercinta.
Siapakah yang dimaksud setiap kali menyebut kata PSSI? Apakah dia identik dengan ketua umumnya? Direktur-direkturnya? Komisi Disiplinnya? Tim nasionalnya, atau segala yang berkenaan dengan hal ihwal dunia persepak bolaan di Indonesia? Bisa jadi semuanya benar. Dengan mudahnya harapan berganti menjadi kemarahan atau frustrasi yang akan berujung pada kerusuhan.
"PSSI = Perampok Sepak Bola Seluruh Indonesia," demikian spanduk besar yang dibentangkan suporter Jak-mania di Stadion Lebak Bulus, setelah tim Indonesia kalah 1-2 dari Lebanon, Rabu (28/3). Bayangkan, dengan negara yang lapangan bolanya sering jadi ladang bom Israel saja kalah. Ada lagi, Komdis disebut Komisi Sadis, dan itu belum cukup bila kita mendengar langsung apa yang mereka selalu hujat.
Setiap saat PSSI menuai badai. Coba kumpulkan guntingan opini, surat terbuka, kritik dan saran yang ada di koran-koran saja setiap pekan. Isinya mulai dari yang paling halus sampai paling kasar. Semoga Jaya Suprana punya ide untuk memuat itu ke MURI sebagai rekor terbarunya: kliping tentang topik tertentu yang terbanyak di dunia!
Simpanlah file-file tentang PSSI dari ratusan ribu milis atau blog, dijamin hard disk lap-top kita akan penuh dengan koleksi caci makian. Juga rekamlah acara-acara di talk-show, diskusi, seminar, simposium, radio atau televisi yang pernah terjadi. Lagi-lagi maka anda akan takjub melihat durasinya yang, barangkali, 7 x 24 jam alias seminggu non-stop!
Dan uniknya, semuanya itu bertema sama: soal PSSI! Entah itu cara memajukannya, pembentukan timnas, skandal jadwal, wasit, tiket, kebrutalan penonton, hingga pengaturan skor misalnya. Sebenarnya fenomena ini menarik karena menunjukkan betapa dinamikanya sepak bola nasional.
Sayangnya, hasil yang diraih tak mengarah menuju kemajuan alias muter-muter di tempat persis seperti kecoak terbalik. Nyaris setiap hari ada berita kekisruhan pemain, kepemimpinan wasit, ulah penonton, tingkah para pengurus, dan seterusnya. Ternyata memikirkan bagaimana cara membenahi PSSI itu sulitnya alang kepalang, seperti menegakkan benang. Nyaris mustahil.
Sisi Negatif
Membicarakan PSSI itu perlu punya tenaga super, harus rajin mengecek tekanan darah karena resikonya bikin jantung berdebar-debar tak karuan. Kalau pun sudah dipenuhi, usai berusaha keras banyaklah doa agar sabar. Sebab jika tak pintar mengelola stres, jangan-jangan tujuan mulia belum tercapai, kita sudah digotong orang-orang ke makam umum.
Kini menonton timnas main saja, sontak membuat tensi kita tinggi mendadak! Betapa tertinggalnya persepak bolaan kita bisa dilihat dari pelbagai kekalahan ajaib dari negara-negara 'aneh' seperti Vietnam atau Singapura yang dulunya tak ada tradisi menang jika melawan Indonesia.
Bahkan dengan Lebanon atau Iraq, yang latihannya saja di bawah desingan peluru, timnas PSSI masih saja kalah memalukan. Jangan cari alasan kuno seperti soal bakat atau postur tubuh. Bukan itu. Kalau mau bandingkan, lihatlah di Iraq dan Lebanon, jangan-jangan gedung federasi sepak bolanya sudah rata dengan tanah akibat terjangan bom. Fenomena ini membuktikan bahwa - sepak bola adalah permainan belaka dan bukannya drama - telah kembali. Sebentar lagi tren ini akan menyapu bersih Eropa seperti yang telah dikumandangkan Presiden UEFA Michel Platini.
Sahabat saya yang pernah lama tinggal di Italia dan tahu banyak bagaimana kinerja FIGC (PSSI-nya Italia), akhirnya mengakui bahwa organisasi sepak bola negeri ini tiada duanya. Di Italia, katanya, kongkalikong dan intrik juga mirip di sini malahan jauh lebih bejibun. Bedanya di sana hukum dan fungsinya masih berjalan sebagaimana mestinya.
PSSI seperti Indonesia kecil. Sarat problema, penuh polemik dan selalu dilematis. Gaya PSSI bak judul film Asrul Sani, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, Prinsipnya klasik seperti pepatah Arab, Biar Anjing Terus Menggonggong Kafilah Tetap Berlalu, dan last but at least, mata batin PSSI seperti sudah terkunci mati.
Apa yang pernah diucapkan Jose Mourinho barangkali benar adanya. Orang Portugal yang melatih Chelsea ini bilang, "Sisi negatif sepak bola adalah sisi negatif masyarakatnya. Orang per orang membawa masuk pengaruh negatifnya ke dalam masyarakat melalui sepak bola."
Bagi saya, sepak bola menunjukkan bangsa sekaligus menjadi ukuran sebuah peradaban. Negeri ini punya banyak orang pintar termasuk yang ada di PSSI. Yang kurang banyak itu orang cerdik, yang berani dan yang jujur. Secara teknis PSSI juga memerlukan banyak praktisi psikolog atau sosiolog andal. Perhatikanlah permainan tim nasional kita.
Bakat pemainnya hebat dengan pengalaman yang cukup, pelatihnya mumpuni, latihannya keras dan intens, strateginya ciamik, makanannya mungkin bergizi, tapi begitu main, alamak, semua di luar skenario. Tak punya kecerdasan mental bermain. Visinya minim meski kemampuannya oke.
Munaslub PSSI
Dalam sepak bola modern, waktu dan ruang harus selalu matching. Benarkah PSSI makin sulit lagi mengembangkan performanya seiring dengan kacaunya tatanan kehidupan di Indonesia secara multi-dimensi? Seperti kata Michel Platini, "For me football is more about making the right pass at the right time", barangkali memang sedang terjadi di Indonesia.
Selama ini banyak kalangan yang kelihatannya diam melihat sepak terjang PSSI. Tidak intens bukan berarti tidak perduli. Kata orang, batas antara benci dan cinta itu tipis. Maklumlah kalau orang gampang marah pada PSSI. Itu berarti masih ada perhatian. PSSI akan selalu jadi pusat perhatian dan harapan, sebab 224 juta rakyat Indonesia mayoritasnya adalah penggemar bola.
Sepak bola Indonesia memang sudah salah dan cacat sejak berojol. Ia dilahirkan dari rahim perjuangan dan atmosfir politik yang kental dengan benih bernama nasionalisme. Jadi bukan untuk mencari prestasi bahkan untuk menyehatkan rakyat. Di mata saya, PSSI seperti perusahaan besar, ingin besar tapi takut besar. Saking besarnya justru tidak tahu akan kebesarannya itu sendiri.
Tapi tidakkah kita merasa bangga sebagai negara Asia pertama yang tampil di Piala Dunia 1938? Sekjen AFC Dato Peter Velappan bahkan menjuluki Indonesia 'Brasil-nya Asia' atau 'Raksasa yang sedang tidur'. Salah satu ambisi terkini Ketua Umum PSSI Nurdin Halid adalah meloloskan Indonesia ke Piala Dunia 2018, yang mudah-mudahan berlangsung di Australia. Walau terlalu jauh, namun setidaknya masih lebih berani ketimbang Visi Indonesia 2030 yang dikreasi pemerintah dan pengusaha.
Namun yang lebih penting, PSSI harus konsisten dan konsekwen. Pekerjakanlah orang-orang yang fokus dengan dedikasi tinggi. Sebab kalau tidak, jangan lagi 2018 atau 2030 (saat PSSI berusia seabad), sampai kiamat pun Indonesia tidak akan pernah masuk ke putaran final Piala Dunia!
Pedoman Dasar, perubahan AD/ART yang dibuat pada 2004, harus menjadi harapan dan impian anyar sekaligus tonggak baru persepak-bolaan nasional setelah 77 tahun (1930-2007) berjalan. Maka Munaslub, yang bulan ini digelar di Makassar, sangat menentukan visi dan misi PSSI ke depan.
Di negeri, sepak bola kita semua bergantung pada satu merek: PSSI! Merek, kata David D'Alessandro dalam Brand Warfare, adalah nasib Anda. Yang perlu diingat lagi, skandal adalah ancaman besar yang paling sulit ditangani pembangun merek. Jadi sudahilah! Mudah-mudahan ke depan masyarakat akan lebih positive-thinking memandang keputusan dan gerakan yang dibuat PSSI. Jangan sampai ada demo mahasiswa bahkan revolusi rakyat sebagai gantinya toh? Selamat ulang tahun ke-77, PSSI!
(foto: istimewa)
Kenapa dikatakan tanpa harapan? Sejak divonis publik sebagai organisasi paling konyol bin kontroversial di Tanah Air, barangkali PSSI telah menerima jutaan kritik dan saran. Kalau mereka mau membuka mata lebar-lebar dan rajin membersihkan telinga, terlalu banyak harapan masyarakat kepada PSSI, demi kemajuan sepak bola nasional tercinta.
Siapakah yang dimaksud setiap kali menyebut kata PSSI? Apakah dia identik dengan ketua umumnya? Direktur-direkturnya? Komisi Disiplinnya? Tim nasionalnya, atau segala yang berkenaan dengan hal ihwal dunia persepak bolaan di Indonesia? Bisa jadi semuanya benar. Dengan mudahnya harapan berganti menjadi kemarahan atau frustrasi yang akan berujung pada kerusuhan.
"PSSI = Perampok Sepak Bola Seluruh Indonesia," demikian spanduk besar yang dibentangkan suporter Jak-mania di Stadion Lebak Bulus, setelah tim Indonesia kalah 1-2 dari Lebanon, Rabu (28/3). Bayangkan, dengan negara yang lapangan bolanya sering jadi ladang bom Israel saja kalah. Ada lagi, Komdis disebut Komisi Sadis, dan itu belum cukup bila kita mendengar langsung apa yang mereka selalu hujat.
Setiap saat PSSI menuai badai. Coba kumpulkan guntingan opini, surat terbuka, kritik dan saran yang ada di koran-koran saja setiap pekan. Isinya mulai dari yang paling halus sampai paling kasar. Semoga Jaya Suprana punya ide untuk memuat itu ke MURI sebagai rekor terbarunya: kliping tentang topik tertentu yang terbanyak di dunia!
Simpanlah file-file tentang PSSI dari ratusan ribu milis atau blog, dijamin hard disk lap-top kita akan penuh dengan koleksi caci makian. Juga rekamlah acara-acara di talk-show, diskusi, seminar, simposium, radio atau televisi yang pernah terjadi. Lagi-lagi maka anda akan takjub melihat durasinya yang, barangkali, 7 x 24 jam alias seminggu non-stop!
Dan uniknya, semuanya itu bertema sama: soal PSSI! Entah itu cara memajukannya, pembentukan timnas, skandal jadwal, wasit, tiket, kebrutalan penonton, hingga pengaturan skor misalnya. Sebenarnya fenomena ini menarik karena menunjukkan betapa dinamikanya sepak bola nasional.
Sayangnya, hasil yang diraih tak mengarah menuju kemajuan alias muter-muter di tempat persis seperti kecoak terbalik. Nyaris setiap hari ada berita kekisruhan pemain, kepemimpinan wasit, ulah penonton, tingkah para pengurus, dan seterusnya. Ternyata memikirkan bagaimana cara membenahi PSSI itu sulitnya alang kepalang, seperti menegakkan benang. Nyaris mustahil.
Sisi Negatif
Membicarakan PSSI itu perlu punya tenaga super, harus rajin mengecek tekanan darah karena resikonya bikin jantung berdebar-debar tak karuan. Kalau pun sudah dipenuhi, usai berusaha keras banyaklah doa agar sabar. Sebab jika tak pintar mengelola stres, jangan-jangan tujuan mulia belum tercapai, kita sudah digotong orang-orang ke makam umum.
Kini menonton timnas main saja, sontak membuat tensi kita tinggi mendadak! Betapa tertinggalnya persepak bolaan kita bisa dilihat dari pelbagai kekalahan ajaib dari negara-negara 'aneh' seperti Vietnam atau Singapura yang dulunya tak ada tradisi menang jika melawan Indonesia.
Bahkan dengan Lebanon atau Iraq, yang latihannya saja di bawah desingan peluru, timnas PSSI masih saja kalah memalukan. Jangan cari alasan kuno seperti soal bakat atau postur tubuh. Bukan itu. Kalau mau bandingkan, lihatlah di Iraq dan Lebanon, jangan-jangan gedung federasi sepak bolanya sudah rata dengan tanah akibat terjangan bom. Fenomena ini membuktikan bahwa - sepak bola adalah permainan belaka dan bukannya drama - telah kembali. Sebentar lagi tren ini akan menyapu bersih Eropa seperti yang telah dikumandangkan Presiden UEFA Michel Platini.
Sahabat saya yang pernah lama tinggal di Italia dan tahu banyak bagaimana kinerja FIGC (PSSI-nya Italia), akhirnya mengakui bahwa organisasi sepak bola negeri ini tiada duanya. Di Italia, katanya, kongkalikong dan intrik juga mirip di sini malahan jauh lebih bejibun. Bedanya di sana hukum dan fungsinya masih berjalan sebagaimana mestinya.
PSSI seperti Indonesia kecil. Sarat problema, penuh polemik dan selalu dilematis. Gaya PSSI bak judul film Asrul Sani, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, Prinsipnya klasik seperti pepatah Arab, Biar Anjing Terus Menggonggong Kafilah Tetap Berlalu, dan last but at least, mata batin PSSI seperti sudah terkunci mati.
Apa yang pernah diucapkan Jose Mourinho barangkali benar adanya. Orang Portugal yang melatih Chelsea ini bilang, "Sisi negatif sepak bola adalah sisi negatif masyarakatnya. Orang per orang membawa masuk pengaruh negatifnya ke dalam masyarakat melalui sepak bola."
Bagi saya, sepak bola menunjukkan bangsa sekaligus menjadi ukuran sebuah peradaban. Negeri ini punya banyak orang pintar termasuk yang ada di PSSI. Yang kurang banyak itu orang cerdik, yang berani dan yang jujur. Secara teknis PSSI juga memerlukan banyak praktisi psikolog atau sosiolog andal. Perhatikanlah permainan tim nasional kita.
Bakat pemainnya hebat dengan pengalaman yang cukup, pelatihnya mumpuni, latihannya keras dan intens, strateginya ciamik, makanannya mungkin bergizi, tapi begitu main, alamak, semua di luar skenario. Tak punya kecerdasan mental bermain. Visinya minim meski kemampuannya oke.
Munaslub PSSI
Dalam sepak bola modern, waktu dan ruang harus selalu matching. Benarkah PSSI makin sulit lagi mengembangkan performanya seiring dengan kacaunya tatanan kehidupan di Indonesia secara multi-dimensi? Seperti kata Michel Platini, "For me football is more about making the right pass at the right time", barangkali memang sedang terjadi di Indonesia.
Selama ini banyak kalangan yang kelihatannya diam melihat sepak terjang PSSI. Tidak intens bukan berarti tidak perduli. Kata orang, batas antara benci dan cinta itu tipis. Maklumlah kalau orang gampang marah pada PSSI. Itu berarti masih ada perhatian. PSSI akan selalu jadi pusat perhatian dan harapan, sebab 224 juta rakyat Indonesia mayoritasnya adalah penggemar bola.
Sepak bola Indonesia memang sudah salah dan cacat sejak berojol. Ia dilahirkan dari rahim perjuangan dan atmosfir politik yang kental dengan benih bernama nasionalisme. Jadi bukan untuk mencari prestasi bahkan untuk menyehatkan rakyat. Di mata saya, PSSI seperti perusahaan besar, ingin besar tapi takut besar. Saking besarnya justru tidak tahu akan kebesarannya itu sendiri.
Tapi tidakkah kita merasa bangga sebagai negara Asia pertama yang tampil di Piala Dunia 1938? Sekjen AFC Dato Peter Velappan bahkan menjuluki Indonesia 'Brasil-nya Asia' atau 'Raksasa yang sedang tidur'. Salah satu ambisi terkini Ketua Umum PSSI Nurdin Halid adalah meloloskan Indonesia ke Piala Dunia 2018, yang mudah-mudahan berlangsung di Australia. Walau terlalu jauh, namun setidaknya masih lebih berani ketimbang Visi Indonesia 2030 yang dikreasi pemerintah dan pengusaha.
Namun yang lebih penting, PSSI harus konsisten dan konsekwen. Pekerjakanlah orang-orang yang fokus dengan dedikasi tinggi. Sebab kalau tidak, jangan lagi 2018 atau 2030 (saat PSSI berusia seabad), sampai kiamat pun Indonesia tidak akan pernah masuk ke putaran final Piala Dunia!
Pedoman Dasar, perubahan AD/ART yang dibuat pada 2004, harus menjadi harapan dan impian anyar sekaligus tonggak baru persepak-bolaan nasional setelah 77 tahun (1930-2007) berjalan. Maka Munaslub, yang bulan ini digelar di Makassar, sangat menentukan visi dan misi PSSI ke depan.
Di negeri, sepak bola kita semua bergantung pada satu merek: PSSI! Merek, kata David D'Alessandro dalam Brand Warfare, adalah nasib Anda. Yang perlu diingat lagi, skandal adalah ancaman besar yang paling sulit ditangani pembangun merek. Jadi sudahilah! Mudah-mudahan ke depan masyarakat akan lebih positive-thinking memandang keputusan dan gerakan yang dibuat PSSI. Jangan sampai ada demo mahasiswa bahkan revolusi rakyat sebagai gantinya toh? Selamat ulang tahun ke-77, PSSI!
(foto: istimewa)