SELALU banyak hal-hal menarik yang terjadi setiap Piala Dunia berlangsung. Bila saatnya tiba, tanpa diperintah siapapun masyarakat di seluruh jagat terlihat lebih peduli dan lebih gila bola dari biasanya. Efek dahsyat Piala Dunia bahkan menerpa kepada yang tak berkepentingan langsung.
Kala Piala Dunia tiba, banyak yang merasakan seolah-olah hidupnya lebih bebas, optimis, bergairah. Manfaat lebih besar didapat mereka yang jadi lebih menghargai waktu. Bak kena sihir, seluruh tepian dunia akan disapu bersih oleh pandemi World Cup. Tak usah heran, sebab Piala Dunia adalah harapan, impian, inspirasi sekaligus berkah bagi manusia dan bangsa-bangsa di dunia. Pesta hati bagi siapa saja yang memiliki hati. Pencerahan nalar paling sempurna manusia sebagai Homo Ludens.
Piala Dunia, sejenak, akan mengubah gaya hidup. Di sana-sini prioritas juga akan terbalik-balik. Beberapa negara yang menunda pemilihan umum, banyak parlemen direses-kan, perang agama di Timur Tengah atau perang suku di Afrika bakal mereda. Muncul optimisme dalam skala bisnis. Akan ada banyak mimpi-mimpi. Itulah, kenapa bangsa Amerika, pada akhirnya, mengakui World Cup adalah pesta olah raga terbesar di planet ini, bukan Olimpiade. Malahan, acap kali efek Piala Dunia lebih signifikan dari beberapa program PBB.
Piala Dunia merupakan pembelajaran global dalam memahami kelemahan dan kekuatan ras manusia, karakteristik bangsa-bangsa, proses unifikasi, yang faktanya programnya kerapkali gagal dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau lewat strategi politik negara-negara multi-rasial seperti AS, Inggris, dan Prancis. Setelah perang dingin selesai, AS - menganggap dirinya sebagai polisi dunia - kini makin menyimak World Cup, sekaligus mencampakkan Olimpiade sebab dianggap lebih kepada butik atletik ketimbang esensi yang dicari dan diingininya.
Bayangkan keindahan madani Piala Dunia. Ini belum soal permainan atau efek kolosal lainnya. Seorang guru dari El Salvador, sesosok marinir berpangkat letnan asal Selandia Baru, atau seorang penjual video game di Prancis - setelah diuji berat - akan dibaiat jadi pengadil. Puluhan bocah-bocah dari berbagai ras dituntun dua tim yang siap berlaga. Keheningan, kala lagu kebangsaan yang bikin dada bergemuruh dan pelupuk mata membasah, nyaring berkumandang. Dan selama 90 menit berikutnya, perasaan diaduk-aduk seperti naik roller-coaster.
Kota-kota di AS dilanda kegandrungan. Terdengar pekikan "USA, USA, USA!" yang diteriakkan beberapa orang berkulit putih, peranakan Cina bermata sipit, negro berkulit legam, dan Hispanik berambut ikal. Tua, muda, pria, wanita, bahu membahu menyemangati timnya di bar, kasino, juga perumahan.
Presiden Barack Obama tak mau kalah. Dia menonton duel seru AS vs Inggris, yang jatuh di waktu luang, Sabtu sore. Tapi saat AS bertemu Slovenia, ia bersiap-siap menunda pekerjaan sebab kick-off -nya tepat jam 07.00 pagi di Washington. Di pelosok Asia, malam hari tampak semakin panjang. Hiburan tunggal yang paling diminati miliaran pasang mata dan ratingnya naik mendadak: siaran langsung dari Afrika Selatan. Di sini, siapapun dia yang berbisnis kafe dijamin meraih laba besar.
Saat bersamaan dari Havana, Fidel Castro menyerukan rakyatnya agar mendoakan Argentina. Dua presiden yang gila bola, Lula Da Silva (Brasil) dan Sebastien Pinera (Chile) harus adu kuat untuk mengundang nonton bareng dua koleganya dari Venezuela dan Bolivia, Hugo Chavez dan Evo Morales. Begitu pun kenikmatan menonton siaran langsungnya. Saat Lionel Messi bikin gol, kelak semua presenter seantero berteriak, "Goooooooolllll, gol... gol... gol... gol...gol...gol...gol!" lewat aksen khas Spanyol. Di tanah Latin, acap kali hasrat duniawi seperti itu diperkaya oleh gerakan religius.
Beberapa tokoh agama memanfaatkan Copa del Mundo untuk menyadarkan para jemaatnya. Mereka bicara atas nama agama di satu sisi, meski tak punya cara untuk menghentikan satu motif sepak bola paling membabi buta di sana: kerusuhan, pembunuhan, kecurangan, penipuan dan seterusnya. Di belahan dunia seperti ini, yang kepercayaan pada Tuhan sama kuatnya dengan uang, sepak bola dilumat bulat-bulat sembari dijadikan way of life. Mereka menganut kapitalisme hasil balutan kesenangan, kerja keras, pikiran kekanak-kanakan, obsesi, serta kombinasi komoditi dan impian.
Apa dampaknya secara masif? Peraturan sepak bola (laws of the game), yang terdiri 17 bab dijadikan "kitab suci" karena dianggap menyuarakan hukum keseimbangan, the spirit of fair play. Ada kalanya main kasar atau menahan diri, ada gembira atau saatnya sedih.
Piala Dunia pun berubah menjadi puncak ritual relijiusasi sepak bola. Lihatlah ekspresi mereka sebelum main atau usai mencetak gol. Logo organisasi, corak kostum, atau yang ada di dalam strategi dalam strategi. Sebagian negara penggila bola, para pemainnya di Piala Dunia disimbolisasikan sebagai tentara-tentara suci seperti di zaman Perang Salib. Dorongan metafora seperti itu kerap menentukan, lebih dari sekedar mengada-ada. Itulah yang merasuki Marco Materazzi memprovokasi Zinedine Zidane di laga terakhir Piala Dunia 2006.
Di sisi lain, Piala Dunia selalu menjadi jembatan mengatasi perbedaan dan prasangka nasional, selain elemen sempurna propaganda politik. Inilah tema besar Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang, dua bangsa yang secara temurun berseteru, yang selama 50 tahunan selalu menolak paspor masing-masing. Hanya Piala Dunia yang bisa menyatukan mereka.
Beri waktu pada dunia 50 tahun atau lebih, barangkali kita baru melihat perdamaian sejati setelah Palestina dan Israel menjadi tuan rumah bersama Piala Dunia. Piala Dunia 2010 yang terhampar di Afrika Selatan, masih meneruskan persoalan dunia yang belum kelar, kesetaraan manusia. Setelah 80 tahun, ini untuk pertama kalinya benua Afrika dipercaya menggelar kejuaraan dunia sepak bola.
Let's Celebrate Africa's Humanity. Misi FIFA di 2010 kali ini tidak main-main sebab secara vested interest mempertaruhkan masa depan humanisme. "Perdamaian bukan cuma tak ada peperangan. Perdamaian adalah menciptakan kondisi untuk melahirkan harapan. Inilah warisan terbesar Piala Dunia."
Mungkinkah berhasil? Kenapa tidak! Singkirkan rasa pesimis, sebab sepak bola adalah olah raga paling sederhana yang bisa dimainkan siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Sepak bola - lepas dari keterkaitan kekuatan bisnis dan keagamaan - suatu beautiful game yang diyakini bisa mengubah wajah dunia dan mengobati keputusasaan.
Namun sepak bola juga sarangnya kriminal, sebuah olahraga yang tak pernah bisa membasmi ketidakadilan, bahkan di ajang yang jadi puncak ritual permainan universal dan paling simpel itu sendiri, Piala Dunia. Nah, peperangan menunggu keadilan itu biasanya kita arungi selama Piala Dunia berlangsung, meski harus terus mengingkari kebosanan dan harapan.
Inilah epilog paling menarik Piala Dunia, sebagai medan justifikasi keyakinan dan keraguan kita, pola pikir, analisis, ambiguitas. Tantangan yang berubah menjadi kecintaan. Selebihnya, nikmatilah dan ikuti saja suasana hati dengan memikirkan keseimbangannya, risikonya. Bersatulah dengan miliaran manusia sedunia yang selama sebulan penuh disirami hiburan Piala Dunia.
Selama sebulan, bahkan haluan hidup mereka - yang tim nasionalnya tak pernah menjuarainya seperti kita - yang termasuk di barisan negara pemimpi lantaran belum pernah ikut serta, diubah paksa atau terpaksa mengubah demi tuntutan sebuah sensasi zaman.
"Tanpa memperhatikan demografi manusia atau distribusi etnis, pesta sepak bola (Piala Dunia) memainkan peranan penting bagi manusia dalam proses membangun identitas dan berafiliasi dengan masyarakat dan negara di mana mereka tinggal. Permainan dunia itu adalah kendaraan paling potensial yang menampakkan diri sebagai ekspresi terkuat untuk mencari identitas dan kebanggaan nasional," tulis Paul Darby dalam bukunya, Africa, Football and FIFA: Politics, Colonialism and Resistance yang terbit pada 2002.
Yang aneh, ruas-ruas lalu lintas di Jakarta yang biasa macet pada jam pulang kantor, di hari-hari tertentu justru lengang. Oh rupanya big-match Argentina-Nigeria, Jerman-Serbia, Prancis-Meksiko, atau Denmark-Belanda, bergulir saat traffic jam di ibukota berada di puncaknya, jam 18.30 WIB. Tempat paling fanatik untuk merasakan atmosfir lain Piala Dunia ada di tanah Latin. Produktivitas di Honduras merosot lantaran rakyat mementingkan Piala Dunia. Di Brasil, parlemen lama telah memutuskan pilpres 2010 harus digelar usai Piala Dunia.
(foto: bahram mark sobhani)
Kala Piala Dunia tiba, banyak yang merasakan seolah-olah hidupnya lebih bebas, optimis, bergairah. Manfaat lebih besar didapat mereka yang jadi lebih menghargai waktu. Bak kena sihir, seluruh tepian dunia akan disapu bersih oleh pandemi World Cup. Tak usah heran, sebab Piala Dunia adalah harapan, impian, inspirasi sekaligus berkah bagi manusia dan bangsa-bangsa di dunia. Pesta hati bagi siapa saja yang memiliki hati. Pencerahan nalar paling sempurna manusia sebagai Homo Ludens.
Piala Dunia, sejenak, akan mengubah gaya hidup. Di sana-sini prioritas juga akan terbalik-balik. Beberapa negara yang menunda pemilihan umum, banyak parlemen direses-kan, perang agama di Timur Tengah atau perang suku di Afrika bakal mereda. Muncul optimisme dalam skala bisnis. Akan ada banyak mimpi-mimpi. Itulah, kenapa bangsa Amerika, pada akhirnya, mengakui World Cup adalah pesta olah raga terbesar di planet ini, bukan Olimpiade. Malahan, acap kali efek Piala Dunia lebih signifikan dari beberapa program PBB.
Piala Dunia merupakan pembelajaran global dalam memahami kelemahan dan kekuatan ras manusia, karakteristik bangsa-bangsa, proses unifikasi, yang faktanya programnya kerapkali gagal dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau lewat strategi politik negara-negara multi-rasial seperti AS, Inggris, dan Prancis. Setelah perang dingin selesai, AS - menganggap dirinya sebagai polisi dunia - kini makin menyimak World Cup, sekaligus mencampakkan Olimpiade sebab dianggap lebih kepada butik atletik ketimbang esensi yang dicari dan diingininya.
Bayangkan keindahan madani Piala Dunia. Ini belum soal permainan atau efek kolosal lainnya. Seorang guru dari El Salvador, sesosok marinir berpangkat letnan asal Selandia Baru, atau seorang penjual video game di Prancis - setelah diuji berat - akan dibaiat jadi pengadil. Puluhan bocah-bocah dari berbagai ras dituntun dua tim yang siap berlaga. Keheningan, kala lagu kebangsaan yang bikin dada bergemuruh dan pelupuk mata membasah, nyaring berkumandang. Dan selama 90 menit berikutnya, perasaan diaduk-aduk seperti naik roller-coaster.
Kota-kota di AS dilanda kegandrungan. Terdengar pekikan "USA, USA, USA!" yang diteriakkan beberapa orang berkulit putih, peranakan Cina bermata sipit, negro berkulit legam, dan Hispanik berambut ikal. Tua, muda, pria, wanita, bahu membahu menyemangati timnya di bar, kasino, juga perumahan.
Presiden Barack Obama tak mau kalah. Dia menonton duel seru AS vs Inggris, yang jatuh di waktu luang, Sabtu sore. Tapi saat AS bertemu Slovenia, ia bersiap-siap menunda pekerjaan sebab kick-off -nya tepat jam 07.00 pagi di Washington. Di pelosok Asia, malam hari tampak semakin panjang. Hiburan tunggal yang paling diminati miliaran pasang mata dan ratingnya naik mendadak: siaran langsung dari Afrika Selatan. Di sini, siapapun dia yang berbisnis kafe dijamin meraih laba besar.
Saat bersamaan dari Havana, Fidel Castro menyerukan rakyatnya agar mendoakan Argentina. Dua presiden yang gila bola, Lula Da Silva (Brasil) dan Sebastien Pinera (Chile) harus adu kuat untuk mengundang nonton bareng dua koleganya dari Venezuela dan Bolivia, Hugo Chavez dan Evo Morales. Begitu pun kenikmatan menonton siaran langsungnya. Saat Lionel Messi bikin gol, kelak semua presenter seantero berteriak, "Goooooooolllll, gol... gol... gol... gol...gol...gol...gol!" lewat aksen khas Spanyol. Di tanah Latin, acap kali hasrat duniawi seperti itu diperkaya oleh gerakan religius.
Beberapa tokoh agama memanfaatkan Copa del Mundo untuk menyadarkan para jemaatnya. Mereka bicara atas nama agama di satu sisi, meski tak punya cara untuk menghentikan satu motif sepak bola paling membabi buta di sana: kerusuhan, pembunuhan, kecurangan, penipuan dan seterusnya. Di belahan dunia seperti ini, yang kepercayaan pada Tuhan sama kuatnya dengan uang, sepak bola dilumat bulat-bulat sembari dijadikan way of life. Mereka menganut kapitalisme hasil balutan kesenangan, kerja keras, pikiran kekanak-kanakan, obsesi, serta kombinasi komoditi dan impian.
Apa dampaknya secara masif? Peraturan sepak bola (laws of the game), yang terdiri 17 bab dijadikan "kitab suci" karena dianggap menyuarakan hukum keseimbangan, the spirit of fair play. Ada kalanya main kasar atau menahan diri, ada gembira atau saatnya sedih.
Piala Dunia pun berubah menjadi puncak ritual relijiusasi sepak bola. Lihatlah ekspresi mereka sebelum main atau usai mencetak gol. Logo organisasi, corak kostum, atau yang ada di dalam strategi dalam strategi. Sebagian negara penggila bola, para pemainnya di Piala Dunia disimbolisasikan sebagai tentara-tentara suci seperti di zaman Perang Salib. Dorongan metafora seperti itu kerap menentukan, lebih dari sekedar mengada-ada. Itulah yang merasuki Marco Materazzi memprovokasi Zinedine Zidane di laga terakhir Piala Dunia 2006.
Di sisi lain, Piala Dunia selalu menjadi jembatan mengatasi perbedaan dan prasangka nasional, selain elemen sempurna propaganda politik. Inilah tema besar Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang, dua bangsa yang secara temurun berseteru, yang selama 50 tahunan selalu menolak paspor masing-masing. Hanya Piala Dunia yang bisa menyatukan mereka.
Beri waktu pada dunia 50 tahun atau lebih, barangkali kita baru melihat perdamaian sejati setelah Palestina dan Israel menjadi tuan rumah bersama Piala Dunia. Piala Dunia 2010 yang terhampar di Afrika Selatan, masih meneruskan persoalan dunia yang belum kelar, kesetaraan manusia. Setelah 80 tahun, ini untuk pertama kalinya benua Afrika dipercaya menggelar kejuaraan dunia sepak bola.
Let's Celebrate Africa's Humanity. Misi FIFA di 2010 kali ini tidak main-main sebab secara vested interest mempertaruhkan masa depan humanisme. "Perdamaian bukan cuma tak ada peperangan. Perdamaian adalah menciptakan kondisi untuk melahirkan harapan. Inilah warisan terbesar Piala Dunia."
Mungkinkah berhasil? Kenapa tidak! Singkirkan rasa pesimis, sebab sepak bola adalah olah raga paling sederhana yang bisa dimainkan siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Sepak bola - lepas dari keterkaitan kekuatan bisnis dan keagamaan - suatu beautiful game yang diyakini bisa mengubah wajah dunia dan mengobati keputusasaan.
Namun sepak bola juga sarangnya kriminal, sebuah olahraga yang tak pernah bisa membasmi ketidakadilan, bahkan di ajang yang jadi puncak ritual permainan universal dan paling simpel itu sendiri, Piala Dunia. Nah, peperangan menunggu keadilan itu biasanya kita arungi selama Piala Dunia berlangsung, meski harus terus mengingkari kebosanan dan harapan.
Inilah epilog paling menarik Piala Dunia, sebagai medan justifikasi keyakinan dan keraguan kita, pola pikir, analisis, ambiguitas. Tantangan yang berubah menjadi kecintaan. Selebihnya, nikmatilah dan ikuti saja suasana hati dengan memikirkan keseimbangannya, risikonya. Bersatulah dengan miliaran manusia sedunia yang selama sebulan penuh disirami hiburan Piala Dunia.
Selama sebulan, bahkan haluan hidup mereka - yang tim nasionalnya tak pernah menjuarainya seperti kita - yang termasuk di barisan negara pemimpi lantaran belum pernah ikut serta, diubah paksa atau terpaksa mengubah demi tuntutan sebuah sensasi zaman.
"Tanpa memperhatikan demografi manusia atau distribusi etnis, pesta sepak bola (Piala Dunia) memainkan peranan penting bagi manusia dalam proses membangun identitas dan berafiliasi dengan masyarakat dan negara di mana mereka tinggal. Permainan dunia itu adalah kendaraan paling potensial yang menampakkan diri sebagai ekspresi terkuat untuk mencari identitas dan kebanggaan nasional," tulis Paul Darby dalam bukunya, Africa, Football and FIFA: Politics, Colonialism and Resistance yang terbit pada 2002.
Yang aneh, ruas-ruas lalu lintas di Jakarta yang biasa macet pada jam pulang kantor, di hari-hari tertentu justru lengang. Oh rupanya big-match Argentina-Nigeria, Jerman-Serbia, Prancis-Meksiko, atau Denmark-Belanda, bergulir saat traffic jam di ibukota berada di puncaknya, jam 18.30 WIB. Tempat paling fanatik untuk merasakan atmosfir lain Piala Dunia ada di tanah Latin. Produktivitas di Honduras merosot lantaran rakyat mementingkan Piala Dunia. Di Brasil, parlemen lama telah memutuskan pilpres 2010 harus digelar usai Piala Dunia.
(foto: bahram mark sobhani)