Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

Persoalan Tanggung Jawab PSSI

Saat menjalani tugas jurnalistik ke luar negeri, saya sering dibuat melongo oleh pertanyaan sepele. Mulai dari petugas imigrasi, sopir taksi, resepsionis hotel, para rekan wartawan, kadang sampai pemain bilang begini: "Wah, dari Indonesia? Untuk apa Anda datang jauh-jauh ke sini cuma bukan untuk sepak bola negara Anda?"

Persoalan Tanggung Jawab PSSI
Banyak ragam pertanyaan yang saya harus jawab dengan cara elegan seraya mengakui kebenaran prinsip right or wrong is my country. Saya katakan hampir sebagian besar orang Indonesia penggemar dan melek sepak bola. Walau demikian, ada juga saatnya saya terpojok, yang bikin hati mangkel plus napas di hidung jadi panas. "Apa Indonesia punya kompetisi liga?" kata seorang petugas imigrasi di Polandia pada 1997, entah karena iseng atau lugu.

Ketika saya ceritakan bahwa di Indonesia malah ada liga "sepak bola api", yang sering dipertandingkan santri-santri di pesantren itu, giliran dia yang melotot. Sepak bola Indonesia memang gampang dilecehkan sehingga dijamin tak akan pernah bisa sombong se-ASEAN saja.

Jangankan dunia, kita saja kadang sebal dengan apa yang terjadi di kompetisi liga dan tim nasional misalnya. Dalam perjalanan, seorang wanita Italia bertanya pada saya, "Apakah di negara anda mencetak gol ke gawang sendiri merupakan strategi yang lazim?" Nah!

Saya tergagap sambil cepat-cepat mengingat apa yang telah terjadi. Tapi, saya benar-benar terpojok. Rupanya dia masih tak habis pikir dengan gol bunuh diri ala PSSI saat melawan Thailand di Piala Tiger 1998. Untuk menghindari Vietnam di semifinal, saat itu mereka bikin strategi memalukan sejagat sepanjang masa: memasukkan bola ke gawang sendiri, lalu merayakannya! Tidak hanya pemain Thailand, para penonton di stadion, apalagi dunia, kita saja yang menonton langsung dari TV dalam sekejap juga tercengang.

Mungkin ini pelajaran mahal buat PSSI. Apa pun yang terjadi, yang telah dilakukan cepat atau lambat akan diketahui dunia. Yang pasti, orang-orang seperti saya bisa menanggung getahnya. Apakah pejabat PSSI pernah punya pengalaman serupa? Bicara soal sepak bola Indonesia memang tiada habisnya. Episode per episode berisi keributan, kekacauan, kecurangan, dan kesemrawutan. Kita terus dikungkung paradoks seumur hidup, mungkin dari anak-anak sampai jadi kakek-kakek nanti. Antara yang dilihat dan dirasakan benar-benar tidak nyambung!

Ketika menyaksikan Euro 2004, Liga Inggris, atau kini Liga Champion, otak, hati, dan mata kita seolah-olah bekerja sempurna. Memang demikianlah sepak bola, bung! Lantas setelah ganti saluran TV, dan kebetulan ada anak bangsa tengah main, entah itu dengan sesama atau negara lain, jujur saja, pertama kita berharap penuh, lalu harapan tinggal separuh, tapi selanjutnya dan selebihnya adalah umpatan.

Masalah tim nasional bukan lagi teknis, melainkan juga psikis. Itu mudah terlihat di kancah Piala Asia 2004 dan Pra-Piala Dunia 2006. Kita ternyata sekelas dengan Sri Lanka. Saya bergumam dalam hati, "Sebentar lagi bisa jadi kita dikejar Filipina atau Timor Leste." Alamak! Enam tahun setelah kejadian yang memojokkan saya itu, ternyata PSSI dan sepak bola Indonesia telah "berubah". Sayangnya berubah makin semrawut. Enam tahun lalu itu, Turki, Yunani, dan Latvia masih bau kencur di pelataran Eropa. Kini, lihatlah prestasi mereka.

AFC Khawatir

Di Asia, kinerja VFF ("PSSI" Vietnam) sukses mengangkat harkat bangsa itu. Korea Selatan kini amat respek setelah pernah dikalahkan di Pra-Olimpiade 2004 dan terlihat setara saat tanding di Pra-Piala Dunia 2006. Belum lagi Irak, yang frekuensi bom bunuh dirinya jauh lebih sering, kini telah berstatus semifinalis Olimpiade 2004.

Hiruk-pikuk menonton sepak bola Indonesia bisa mirip dagelan di panggung Srimulat atau tayangan krmininal. Ada banyolan, ledekan, tertawaan, juga ketakutan bahkan bagi yang tidak tahu-menahu soal bola. Suasana positif yang bisa ditangkap paling cuma fanatisme.

Jika di Eropa misalnya main bola adalah sebuah peluang besar, di Indonesia justru sebuah perjuangan besar. Jangan lagi mengincar prestasi atau karier, bermain aman dan nyaman saja susah. Pasalnya si pemain dengan mudah bocor kepalanya disambit batu bata. Yang agak mendingan mungkin dihantam lawan entah di muka, perut, atau kaki.

Sepak bola PON XVI kemarin contohnya. Ada kiper yang patah kaki, wasit yang diburu penonton bak orang-orang Aborigin menguber-uber kanguru untuk disate, juga seorang pelatih yang sempat kehilangan kepercayaan diri menjadi manusia karena sewaktu ditimpuki batu ia merasa seperti seekor bekantan kesasar ke perkampungan warga.

Pendek kata, dari motif dan tingkah lakunya sepak bola nasional seperti menentang dan menantang peradaban manusia, jauh sekali dari sila kedua Panca Sila yang puluhan tahun menjadi falsafah bangsa, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.

Bagaimana menyelesaikan semua ini? Apakah DPR atau presiden yang baru nanti harus turun tangan agar menjadikan sepak bola sebagai olahraga terlarang seperti raja-raja Inggris dulu (Edward III, Richard II, Henry IV dan V)?

Bukankah sesuatu yang tak berguna atau berbahaya bagi orang banyak bisa disebut sebagai kemudaratan? Jauh sebelum AFC, via sekjennya, Dato' Peter Velappan, menyatakan, saya telah yakin bahwa sumber permasalahan adalah PSSI karena secara faktual organisasi inilah yang memang bertanggung jawab atas aktivitas sepak bola di Indonesia.

Akhirnya AFC urun rembuk untuk membenahi PSSI melalui program Vision Asia. Tujuannya adalah menaikkan standar sepak bola Indonesia di era globalisasi. Sebanyak 240 juta penduduk Indonesia adalah tambang emas sepak bola tiada tara di Asia. Seharusnya itu bisa mengangkat alis mata tinggi-tinggi.

PSSI adalah organisasi besar, ingin menjadi besar tapi juga takut besar karena dikelola tanpa impian besar. Satu yang sepele: situs resmi saja mereka tidak punya. Bagaimana PSSI bisa mendapat feedback yang orisinal dari masyarakat? Selama ini PSSI hanya mengharapkan kontrol dan input dari media massa. Itu saja ternyata belum cukup.

(foto: primadaily.com)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini