Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

Serie A 2015/16: Ingin di Negeri Orang

Tak lama setelah memiliki ikon Kekaisaran Romawi, seorang pria yang hidupnya selalu diguyuri confidenza, kepercayaan diri, berjanji akan mengembalikan Serie A menjadi penguasa panggung tontonan global. Melihat akar sejarahnya, bisa jadi hal ini sebuah keinginan yang masuk akal.

Serie A 2015/16: Ingin di Negeri Orang
Dia melihat ada pasar mereka, besar sekali, di luar sana yang anehnya, sulit dimanfaatkan dan direguk. Sebagai pebisnis andal, orang ini sampai-sampai rela meninggalkan sanak saudara beserta kampung halamannya untuk menuntaskan impiannya. Pucuk dicinta ulam tiba. Kini impian itu kian mendekat. Adrenalinnya selalu menggelegak bila bicara kehebatan leluhurnya.

James Palotta bukanlah Don Corleone. Dan panggung Serie A juga bukan super-trilogi The Godfather. Namun misi keduanya sama, berleluhur sama, dan yang lebih penting, kebiasaannya tetap sama: selalu ingin menjadi pemenang. Usai membeli AS Roma, pada CNN dia mengungkapkan visi-misinya. Intinya, Serie A harus ada di mana-mana. Ditonton langsung di Boston, Shanghai, atau Jakarta. Wow.

Apakah ini sesuatu yang absurd? No way, sama sekali tidak. Menabrak hukum? Dari sisi mana disebut inkonstitusional? Ingat-ingat ini: aturan akan dibuat ketika kekuasaan sudah digenggam. Begini ciri khas orang yang darahnya dialiri mental pemenang. Sesuatu yang dilakoni leluhurnya sejak ribuan tahun silam. "Saya tidak tahu pengaruhnya di Italia, tapi saya tahu pengaruhnya bagi masyarakat di Boston atau di Shanghai," kata Don Palotta.

Seperti juga Don Corleone, Palotta adalah Americano sehingga aliran darah yang cepat mendominasi emosinya seperti kebanyakan Italiano. Dia tahu apa yang harus dilakukan ketika bayangan leluhurnya memanggil. Industri Serie A kini dalam posisi lampu kuning. Premier League dan La Liga berkibar bebas di Amerika. Bundesliga mulai menyeruduk terutama setelah Juergen Klinsmann menjadi pelatih nasional AS.

Hasrat Palotta mendapat sambutan hangat dari Aurelio De Laurentiis, capo di cappi tutti-nya Napoli, bos dari segala bos. Di Italia, orang ini paling lantang yang menyuarakan agar Serie A mesti bikin kejutan untuk melawan dominasi Premier League dan La Liga di pentas tontonan olah raga global. Wacana yang semakin bergaung untuk musim depan adalah niat Serie A untuk mementaskan laga resminya di beberapa kota besar di dunia, terutama di benua Amerika dan benua Asia.

Pers dunia serius mereka-reka wacana itu, bahkan sudah dianggap sebagai rencana, seusai tanpa diduga, Presiden FIGC (PSSI-nya Italia) Carlo Tavecchio belum lama ini merilis jadwal Serie A 2015/16 yang mengagetkan banyak orang. Ia berdalih pengumuman itu untuk kepentingan tim nasional Italia agar bisa leluasa menyiapkan skuad menjelang digelarnya Piala Eropa di Prancis pada Juni 2016.

Rilis jadwal Serie A memang belum berisikan siapa yang berlaga, tapi semua matchweek sudah terisi rapi. "Serie A mesti selesai 15 Mei 2016, laga perdananya 15 Agustus 2015," kata Tavecchio, dengan datar. Jadwal resmi Piala Italia dan final Piala Super Italia juga diumumkan. Menurut Maurizio Beretta, presiden Serie A, final SuperCoppa Italiana akan digelar 8 Agustus 2015 di sebuah kota di Cina, dengan catatan kecuali jika Lazio lolos ke kualifikasi Liga Champion.

Serie A 2015/16: Ingin di Negeri Orang
Presiden FIGC Carlo Tavecchio. Serie A berkepentingan sejalan dengan Italia.
Selidik punya selidik, pengumuman awal jadwal kompetisi terkait dengan evaluasi atau program pemulihan serta masa depan Serie A yang terancam semakin 'gelap' setelah kasus Parma dan penjualan Internazionale dan Milan ke tangan orang asing. Secara tradisi, kultur, dan konstitusional, di Italia orang asing sebenarnya dilarang memiliki utilitas dan entitas bisnis yang mengarah ke industri.

Namun faktanya, Erick Thohir kini menguasai mutlak Inter, dan Bee Taechaubol bakal ditawari saham lumayan gede, 48%, untuk berandil di Rossoneri. Ini orang Asia lho. Padahal dulu aktor Hollywood George Clooney dan taipan Rusia Roman Abramovich saja di-veto ketika ingin membeli klub kecil Como dan Cagliari.

Masa depan Serie A memang ada di persimpangan. Kompetisi ini mengalami penurunan bisnis justru di saat kebijakan pemain asing dan promosi bakat lokal sedang digenjot. Dua faktor ini bertujuan untuk menekan efisiensi di klub-klub dan mengantisipasi isu Financial Fair Play dari UEFA, yang semakin mendera.

Satu hal saja, gara-gara merugi terus, kini jatah Italia di Liga Champion tinggal 2+1, alias dua lolos ke putaran final 32 besar dan satu via kualifikasi. Celakanya bahaya ke depan terus menguntit mereka. Serie A harus menggunakan kesempatannya memperluas pangsa di industri tontonan di pasar bebas. Tavecchio menuding beberapa tokoh atau pentolan klub yang tak becus jadi biang keladi keadaan.

Ia memang konservatif dan nasionalis, namun analis masih berhati-hati di mana posisi Tavecchio sebenarnya berdiri. Memindahkan sebagian laga resmi Serie A, sebagai jalan terdepan untuk mendongkrak keuntungan, kalau memang jadi, merupakan pertama kali di kompetisi sepak bola profesional. Tapi apakah FIGC setuju?

Premier League

Sampai kini, opini signifikan dari mereka sebagai penyeimbang belum ada. FIGC masih berkutat merapikan isu strategis dalam teknis permainan yang sering menjadi gangguan atau stigma buruk Serie A. Jika Premier League telah memakai goal-line technology, maka baru di musim depan Serie A akan meresmikannya, dan hebatnya lagi mereka bakal diperluas pada judgement-line technology untuk membantu wasit ketika akan memastikan apakah penalti dan offside atau tidak.

Rupanya banyak harapan positif di sana sini di Serie A, terutama di benak teknokrat atau pebisnis sepak bola. Bisakah Anda imajinasikan siaran langsung pekan ke-3 Serie A antara Juventus vs Napoli yang sedang ditonton digelar di Stadion Emirates, London? Lalu pada pekan ke-21 antara Roma vs Milan di Jakarta? Nah, begitu kira-kira hasrat segelintir godfather calcio untuk menyikapi pola persaingan global yang memang bukan lagi antara B to B, tapi G to G.
Serie A 2015/16: Ingin di Negeri Orang
Taipan Napoli, Aurelio De Laurentiis. Pede dengan masa depan Serie A.
Inilah alasan kenapa mereka telah merencanakan 10 laga Serie A di masa mendatang bakal dihelat di New York, London, Paris, Beijing, Shanghai, Tokyo, Hanoi, dan Jakarta. Jika musim depan urung, musim berikutnya yang dibidik. Begitu seterusnya. Namun masih ada dua hal yang masih menjadi misteri.

"Kami terus memverifikasi kelayakan dan tujuan proyek ini untuk memuluskan lagi wajah sepak bola Italia yang kini bopak-bopak," kata De Laurentiis dengan tegas. Maaf, seperti halnya para mister presidente yang saling bekerja sama dulu dalam permusuhan untuk mendapatkan keuntungan, tampaknya para taipan Serie A juga begitu.

Godfather Napoli ini memang menjadi garda terdepan yang bekerja di dalam, sedangkan Palotta dari luar. Klop. Jika Don Tavecchio dan Don Beretta ikut akur, maka badai besar yang mesti diterjang adalah FIFA. Akankah mimpi besar Serie A dengan aneka kendala internal seperti finansial, pengaturan skor, rasisme, atau minimnya penonton akan jadi kenyataan? Gagal menaklukkan FIFA adalah sesuatu yang paling ditakutkan. Entah pertolongan dari dewa mana jika mereka akhirnya mendapat peluang mengatasinya.

Dalam cakupan lebih luas, ide Serie A cukup brilyan meski tidak orisinal. Premier League dikenang jadi penggagas awal berkompetisi di negeri orang, satu lompatan outside the box yang dikenal dengan 39th game meski tidak pernah dilakukan. Sesungguhnya Premier League pun bukan pencetus awal. Amerika Serikat-lah biangnya. NBA (basket) dan NFL (rugbi) berkali-kali tarung di London. Juga MLB (bisbol) digelar di Tokyo, bahkan NHL dihelat di Swedia, kompetitor utama dalam peta bisnis hoki es dunia.

Namun ikhtiar apapun tak pernah tanpa ada perlawanan. La Liga dan Serie A membaca motif Premier League sebagai ketamakan serta berniat untuk memiskinkan mereka. Selama ini Premier League penguasa 71% pangsa market global tontonan sepak bola (5 milyar), dengan asumsi populasi bumi 7 milyar orang, sesuai analisis USCB (United States Census Bureau) per 12 Maret 2012.

Anda akan terkejut bila jumlah itu dikomparasi dengan total penonton asli di semua stadion Premier League per musim. Statistik musim 2013/14 mencatat total penonton stadion Premier League yang 13.942.459 orang. Bayangkan, tidak sampai 14 juta orang. Amat 'sadis' dibandingkan dengan 5.000 juta orang yang menjadi pasar mereka.

Karena total populasi Inggris dan Wales menurut sensus 2013 sebanyak 56.948.200 orang (53.865.800 + 3.082.400), alhasil rasionya tidak sampai 24,48%. Sehingga bisa disimpulkan begini, kira-kira hanya satu dari setiap 4-5 orang di Inggris dan Wales yang menjadi penonton langsung EPL alias datang ke stadion.

Itulah kenapa La Liga jadi meradang, dan Serie A yang jelas kian miskin. Berkurangnya satu jatah langsung ke Liga Champion adalah konsekuensi berikut. Tentu saja ini terlalu hina buat sebuah negeri yang telah merengkuh empat kali juara dunia. Italiano tahu betul, lebih baik mereka langsung meladeni Premier League. Merebut kembali pasar mereka berarti menggairahkan lagi industri calcio, yang akan menegakkan kepala mereka.

(foto: mondialebrasile/maxmanroe/sportsky/si/italianfootballdaily/whoateallthepies)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini