Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu

Bicara perjalanan sejarah sepak bola global, memang Inggris dan Italia yang patut banyak dikenang. Keduanya adalah ikon penguasa masa silam permainan yang masih eksis hingga kini dalam mempertahankan reputasinya, sesuatu yang tak bisa dilakoni Cina, Yunani, Jepang, atau Mesir. Kisah peperangan selalu menginspirasi kemenangan, sekaligus bikin kekalahan menjadi pelajaran hidup.
Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Kapten nasional terbaik. Sir Bobby Moore dan Giacinto Facchetti.
Berdasarkan kata kerja, perang dan sepak bola jelas berbeda. Namun kata sifatnya tetap sama, ingin saling mengalahkan. Dan terlalu sulit dipungkiri, di dalam pola manajemen dasar pun keduanya punya corak yang sama. Setidaknya sama-sama untuk memenangi persaingan toh?

Sejarah klasik kerap bercerita, bahwa untuk memenangi perang sungguhan itu sangat dibutuhkan taktik, strategi, artileri, tentara, hingga pasukan khusus. Hmm, oke. Lantas, bukankah memenangi perang di sepak bola juga dibutuhkan skuad, pemain, kapten, taktik, strategi sampai pelatih atau manajer?

Dunia telah berubah. Sekarang tidak lagi harus seperti peperangan klasik ketika ingin menguasai suatu negara bahkan beberapa wilayah sekaligus. Kini yang diperlukan cuma nota kesepakatan, sekelompok pemain bola hebat, dan sekian brand kesebelasan yang sebisa mungkin ngetop pula. Jujur saja, ekspansi dalam perang kini telah berganti menjadi ekspansi dalam bisnis.

Bicara ekspansi sepak bola, Kerajaan Inggris tentu jagoannya. Bangsa ini dicatat abadi oleh sejarah dunia sebagai penemu sepak bola atau kreator permainan lantaran menjadi pihak yang pertama kali bikin tata cara atau aturan pertarungan biadab sehingga menjadi beradab. Maka wajarlah jika industri Premier League kini menghebat. Ada lintasan waktu yang tidak bisa diabaikan.

Jadi pertanyaan kenapa skala bisnis Premier League kini bisa jadi yang terbesar dan terkaya dibanding kompetisi lain sangat berbanding lurus dengan pertanyaan kenapa mereka bisa sukses melahirkan sepak bola. Sumber jawabannya adalah soal kompetensi, di dalamnya sudah termasuk pengalaman, kemampuan, dan reputasi serta historikal.

Apapun jadi menarik, diperhatikan, bahkan dipercaya orang saat sosok atau ada pihak dianggap sebagai ahlinya. Posisi tawar Premier League jadi tinggi sebab ini kompetisinya bangsa Inggris, si penemu sepak bola. Begitu kental kesan legacy-nya, sampai-sampai berlaku ungkapan di mana argumentasi kebenaran jadi tidak relevan lagi, bukan apa yang dikreasi, tetapi siapa yang mengkreasi.

Di eranya, label Kerajaan Inggris adalah The Great Empire. Faktor Revolusi Industri (James Watt hingga Richard Trevithick), Revolusi Sains (Sir Isaac Newton, Charles Darwin, Stephen Hawking) atau Revolusi Informasi dengan Alexander Graham Bell (telepon) hingga Sir Timothy John Berners-Lee (internet) sangat mempengaruhi keunggulan kompetensi Great Britain dalam permainan dan law of the game, bahkan sampai saat ini.

Sementara Italia tidak mau kalah. Sebut saja beberapa gelintir di antaranya. Di komunikasi ada Guglielmo Marconi dan Antonio Meucci, pembuat sinyal radio dan telepon. Lebih tua lagi ada Evangelista Torricelli dan Galileo Galilei, dua penemu barometer serta termometer.

Globalisasi bahasa Inggris dan pencitraan angkatan perangnya (darat, laut dan udara), kian memastikan adikarya Inggris di sepak bola sepertinya pasti wow dan patut diikuti, sebagaimana industri musik mereka. Apakah cuma Inggris saja yang berbuat banyak di sepak bola dengan mengandalkan latar belakang sejarahnya? Ternyata tidak.
Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Francesco Totti dan Wayne Bridge. Dua kebudayaan sepak bola terkuat.
Setelah mendengar rencana Serie A bikin terobosan baru dengan menggelar sebagian laganya di mancanegara mulai musim 2015/16, hal implisit pertama yang perlu dikaji apakah alasannya? Untuk menjawabnya, lagi-lagi kita butuh sejarah. Atau setidaknya memahami ungkapan klasik Tutte le strade portano a Roma (banyak jalan menuju Roma).

Bicara sepak bola, Italia punya aturan, bahkan kitab suci atau 'nabi' sendiri. Di satu sisi, tampaknya hanya negara ini yang tak mengakui Inggris sebagai penemu sepak bola, kecuali cuma membuat aturan permainannya, sebab ada klaim merekalah sesungguhnya yang pertama memainkannya. Dirunut dari horison waktu, sejak dulu kedua bangsa ini memang berseteru.

Peletupnya dimulai dari ekspansi tentara Kekaisaran Romawi di bawah rezim Gaius Julius Caesar (100 SM-44 SM) ke Pulau Britania pada tahun 55-54 SM. Peperangan besar melawan penguasa Inggris kuno pimpinan Cassivellaunus pun tak terelakkan. Konon, tentara Romawi sering memakai penggalan kepala hasil kekejaman perang sebagai 'bola' dalam permainan menendang.

Pemberontakan dan Tekanan

Mereka melakukan itu untuk mencari kesenangan atau mengisi waktu luang. Rakyat setempat membalasnya saat giliran mendapat kepala prajurit Romawi. Malah diceritakan kedua kubu pernah menggelar laga resmi dengan sepotong kepala musuhnya. Barangkali hal seperti inilah yang mengawali stigma bahwa sepak bola itu sejatinya adalah permainan biadab menjadi sulit dibantah.

Untungnya kisah kedua perseteruan Italia vs Inggris terkesan lebih edukatif. Terjadi tepat di era Renaissance, di abad pertengahan. Seorang pangeran nyentrik dan seniman serba bisa dari Firenze bernama Giovanni De Bardi menyusun cerita sebuah permainan campuran yang mirip rugbi dan sepak bola pada sebuah buku berjudul Discorso sopra il Giuoco del Calcio Fiorentino del Puro Accademico Alterato, atau disingkat Calcio Storico, pada 1580.

Di dalam Calcio Storico disebutkan aturan sepak bola dan bagaimana cara menjalankan olah raga menendang, il Giuoco. Bukan itu saja, bahkan tata kelola penonton, ukuran lapangan, komposisi dan tugas pemain, harga tiket sampai regulasi kompetisi atau kelas duduk penonton dipaparkan. Dari buku itu pula muncul istilah yang dipakai Italia hingga sekarang, yaitu Calcio, sepak bola.

Klaim Italia lebih duluan dari Inggris dalam menyusun kitab sepak bola memang terbukti karena bila Calcio Storico terbit pada 1580, buku karya Richard Mulcaster, Position Where in Those Primitive Circumstanes be Examined, baru lahir setahun kemudian. Dari buku Mulcaster inilah, hampir tiga abad kemudian, para mahasiswa Universitas Oxford mengubah kronologis panjang ribuan tahun ke titik signifikan dengan mempresentasikan aturan baru permainan sepak bola.

Mereka mengumpulkan para pemilik klub di Inggris sehingga amat berperan signifikan atas berdirinya FA, sekaligus kepastian lahirnya sepak bola modern, 26 Oktober 1863 di London. Hanya berselang minggu FA berdiri, mereka mencetak buku peraturan lalu mengirim ke negara tetangga dan jajahannya di seluruh dunia. Yang lucu, rupanya Italia juga mendapat kiriman paket tersebut.

Calcio Storico jadi tidak bermanfaat buat dunia karena saat itu Italia sudah tak punya angkatan laut tangguh dan jajahan luas seperti Kerajaan Inggris yang membuat pengaruh atau bahasa mereka tidak bisa populer sejagat. Padahal jika ditarik ke masa silam, jelas-jelas Romawi adalah imperium terbesar di dunia di luar Persia, justru waktu Britania masih hidup di zaman batu.
Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Gaya fenomenal Filippo Inzaghi di dpan Liverpool.
"Kamilah pemilik pagelaran sepak bola paling sukses di dunia," kata Richard Scudamore, CEO The Premier League. Arogan? Tergantung sikap Anda. Ungkapan Tobias Jones tentang Italia pada buku The Dark Heart of Italy rada sensasional. "Untuk memahami karakter bangsa ini, pahamilah karakter permainan mereka di sepak bola," tulisnya. Jose Mourinho ikutan menguak realita. "Bersaing? Italia main bola cuma 90 menit seminggu, sedangkan Inggris 12 jam seminggu!"

Sejak lama para analis dan ekonom bilang bahwa Premier League adalah inventaris bisnis terbaik sepak bola yang pernah ada. Padahal semua tahu, tidak satupun kompetisi yang sanggup membendung popularitas Serie A hingga awal milenium sebelum dihancurkan oleh bangsa Italia sendiri melalui Calciopoli.

Secara prestasi fakta juga impresif. Klub-klub Serie A lebih mendominasi titel ketimbang tim-tim Premier League. Belum lagi di pentas nasional. Italia lebih sering jadi juara dunia. Parahnya, buat Inggris titel juara Eropa saja statusnya tetap mustahil. Meski berseberangan, anehnya jiwa sepak bola Inggris dan Italia sebenarnya mirip. Inggris dilandasi oleh pemberontakan, Italia oleh tekanan.

"Di Inggris, secara seksual anak-anak sudah tertindas, terusir dari sekolah, atau dikirim ke asrama yang melahirkan pemberontakan diri. Inggris membenci (kehidupan) anak-anak. Di Italia kebalikannya, anak-anak tetap tinggal bersama orang tuanya, bahkan sampai usia mereka 30 atau 40 tahun," jelas Malcolm McLaren, kreator band Sex Pistols.

The Battle of Highbury
Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Wasit Otto Olsson dan dua kapten, Attilio Ferraris dan Eddie Hapgood. Klasik dan legendaris.
Di pentas abad industri dan informasi, persaingan terselubung Inggris dan Italia selalu ada namun melulu berada di atas lapangan hijau, tidak terkecuali drama sebelum dan seusai laga. Hasilnya Inggris mendominasi diplomasi dan media global yang bikin Italia banyak tersudut kecuali hasrat mempertahankan dominasi di permainan. Di sinilah Italia biasanya merajutnya sangat serius.

Namun di sebuah laga persahabatan yang menjadi puncak permusuhan dua kultur terjadi pada 14 November 1934. Tempatnya di Highbury, stadion milik Arsenal. Oleh sebab itu pers lokal menyebut laga ini The Battle of Highbury. Buat masyarakat saat itu malah lebih bombastis: final Piala Dunia yang sesungguhnya. Meski Italia baru menjuarai Piala Dunia 1934 yang kontroversial itu, tapi dunia tahu waktu itu Inggris adalah kampiun Eropa tidak resmi.

Laga makin dramatis mengingat kala itu Italia sangat membenci Inggris gara-gara friksi politik. Inggris juga ikut membenci Italia setelah Benito Mussolini memegang tampuk kekuasaan dengan mazhab fasisme, yang salah satu visinya mengidamkan kebudayaan Romawi sebagai tujuan politiknya. Apalagi sejak 1928 FA, yang merasa pemilik sejati sepak bola, bercerai dengan FIFA yang ditunggangi barisan negara-negara penentang dominasi Inggris di sejarah masa lalu.

Il Duce amat fasih sejarah klasik masa silam sehingga amat berkepentingan pula dengan laga itu. Ia menjanjikan hadiah bagi setiap pemain berupa mobil Alfa Romeo ditambah uang bila Azzurri menang. Rombongan menuju London dengan hati berbunga-bunga, dipimpin Vittorio Pozzo, jenderal sepak bola legendaris. Momen ini sekilas mengingatkan orang saat Gaius Julius Caesar memerintahkan Gaius Volusenus sebagai pimpinan armada Romawi saat menginvasi Britania.

Pasukan Pozzo hanya diperkuat tiga pemain yang bukan dari Juventus dan Inter: Eraldo Monzeglio (Bologna), Enrique Guaita (Roma), dan kapten tim Attilio Ferraris (Lazio). Sisanya terjadi dominasi. Lima dari Juventus (Giovanni Ferrari, Raimundo Orsi, Luigi Bertolini, Pietro Serantoni, dan Luis Monti), dan tiga dari Inter (Carlo Ceresoli, Luigi Allemandi, dan Giuseppe Meazza).
Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Duel sengit Inggris vs Italia di Highbury. Tujuh pemain Arsenal.
Uniknya dominasi juga terjadi di kubu tuan rumah. Starting XI Three Lions dijejali oleh 7 pemain Arsenal (Frank Moss, George Male, Eddie Hapgood, Wilf Copping, Ray Bowden, Ted Drake dan Cliff Bastin)! Hanya Stanley Matthews (Stoke City), Cliff Britton (Everton), Jack Barker (Derby County) dan Eric Brook (Manchester City) yang bukan. Berbeda dengan Italia dengan skuad yang berpengalaman, Inggris mengandalkan tim muda yang semuanya di bawah 10 kali membela tim nasional.

Akan tetapi hasilnya luar biasa. Wasit Otto Olsson (Swedia) dan 56.044 orang yang memadati Highbury jadi saksi hidup sejarah klasik Anglo-Italian. Baru dua menit Drake telah meretakkan tulang kering Monti, dalam tubrukan yang tidak terhindarkan. Gilanya lagi, Monti masih sanggup main hingga 15 menit, barangkali masih memimpikan Alfa Romeo. Akhirnya dia roboh dan Italia harus tampil dengan 10 orang sebab waktu itu sepak bola belum mengenal pergantian pemain.

Gara-gara itu pula Inggris langsung unggul tiga gol setelah Brook dan Drake melesakkan bola ke jala Beseroli hanya di 12 menit pertama. Bayangan wejangan Mussolini rupanya melecut Azzurri. Di babak kedua, Meazza memborong dua gol di menit 58 dan 62. Skor jadi 3-2, dan perjuangan hebat Azzurri harus berhenti, tidak berubah, hingga Olsen menyudahi laga. Kisah Battle of Gergovia, mana kala Vercingetorix mengakhiri kekuasaan Romawi di Britania pada 46 SM, seolah-olah terulang.

Penjelasan historis dan paparan pertarungan telah selesai. Cerita ini selalu dicerna, laten, dan berurat akar secara turun temurun hingga kini dan ke depan. Ada kemarahan, ada respek. Lintasan berikut telah menunggu, karena DNA para leluhur yang masih bersemayam kuat di tubuh generasi para pewaris, pasti bakal mendorong friksi Anglo-Italia di sepak bola di masa depan secara alamiah.

Tanda-tanda awalnya ada, setidaknya saat merenungi rencana Serie A siap mendobrak kekuasaan Premier League di pasar global tontonan bola mulai tahun depan. Serie A punya momentum untuk mengembalikan era kejayaannya setelah satu dekade terakhir ini, praktis dikuasai Premier League. Satu bab terakhir yang belum terungkap, The Battle of Alesia, tampaknya bakal menjadi reinkarnasi yang entah kapan terjadinya.

(foto: huffingtonpost/mirror/footyfair/PA)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini