Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

La Liga dan Bundesliga: Meradang dan Menendang

Meroketnya hak siar Barclay Premier League (BPL), akibat peperangan Sky Sports vs BT Sport, sangat mengguncangkan dunia bisnis olah raga di AS dan Eropa secara keseluruhan. Kenaikan super masif yang mencapai 70% itu membuat banyak mulut orang menganga saking terkejutnya. Kalau nilai dasarnya saja sudah £ 5,136 milyar bagaimana harga internasionalnya? Bayangkan berapa angka rupiahnya di Indonesia ketika kurs mata uang euro, poundsterling dan dollar makin membubung.

La Liga dan Bundesliga: Meradang dan Menendang
Angka £5,136 milyar yang berarti $7,9 milyar buat orang Amrik tentu mencengangkan sebab melebihi gabungan nilai hak siar tahunan dua olah raga kebanggaan mereka sekaligus, rugbi dan bola basket. NFL (National Football League) bernilai $3 milyar, sedangkan NBA (National Basketball Association) dihargai $2,66 milyar. Meski masih di bawah asumsi total harga tiga musim NFL yaitu $9 milyar, namun tetapi saja Premier League bakal lebih sensasional di pasar internasional.

Rakyat AS menyelidik tentang keberanian Sky Sports dan BT Sport menutup penawaran gila Premier League, bertanya-tanya tentang karakteristik Premier League. Mereka juga bingung berat sebab BPL masih mengalokasikan uang cuma-cuma buat klub juru kunci senilai $152 juta selama tiga tahun, dianggap tidak sebanding dengan juaranya ($240 juta). Pikiran pun menerawang, kalau klub terbawah kebanjiran sebesar itu uang, bukankah artinya standar gaji pemain otomatis naik?

Soal olah raga, AS adalah planet tersendiri. Mayoritas rakyatnya malahan mengklaim rugbi, bisbol dan basket sebagai olah raga nomor satu, meski sulit dikonsumsi bangsa lain. Realitanya, di luar AS, NFL dan NBL sulit dijual ekslusif kecuali diobral. Brand NBA lumayan berkibar meski Eropa juga punya Liga Champion bola basket yang cukup prestisius. Dasar AS, mereka pun menjuluki EPL sebagai 'NBA-nya'' sepak bola. Di luar AS, deal BPL 2016-2019 juga mengobok-obok benua biru.

Menghentaknya skala bisnis Premier League hingga 70% berpotensi meruntuhkan bisnis empat liga yang menjadi pesaing La Liga, Bundesliga, Ligue 1 dan Serie A. Dikhawatirkan semua pesepakbola top sejagat akan menjejali tanah Inggris. Rumor yang berkembang untuk periode Premier League 2016-2019 adalah bakal merumputnya Lionel Messi ke Manchester City, Cristiano Ronaldo ke Manchester United, Luis Suarez ke Liverpool, serta kemungkinan Neymar Junior ke Chelsea. Nasib La Liga pun di ujung tanduk!

Rakyat Spanyol meradang takut karena bisa-bisa industri sepak bola mereka mati suri. Javier Tebas, Presiden La Liga, menyuarakan kekhawatiran negaranya. "Kita menghadapi masalah serius karena Premier League telah mencuri start duluan dalam persaingan TV global dengan menaikkan kontrak. La Liga akan banyak kehilangan nilai di pasar karena kita tidak lagi jadi liga terbaik selama setahun," ucap Tebas. Perbedaan model bisnis La Liga terhadap kontrak TV adalah biang keladinya.

Derita Spanyol

La Liga dan Bundesliga: Meradang dan Menendang
Selama ini klub-klub La Liga melakukan kontrak individual di pasar internasional via jaringan televisi sendiri. Misalnya Real Madrid TV dan Barcelona TV, yang menguasai 90% bisnis hak siar La Liga. Jika kedua klub raksasa ini saja rugi besar gara-gara gebrakan EPL, apalagi 18 klub sisanya? Bukan rugi lagi, tapi juga ancaman gulung tikar. Kelemahan model bisnis yang menjadikan Real Madrid dan Barcelona sebagai raja dan ratu sepak bola Spanyol seolah-olah kena batunya.

Presiden klub Espanyol Joan Collet memohon pada pemerintah segera mengubah undang-undang agar pintu negosiasi ke pasar internasional dikembalikan kepada La Liga tapi tanpa harus dikomandoi dua klub besar tersebut. Tujuannya adalah agar penerimaan hak siar bisa setara sesuai skala bisnis klub masing-masing. Lebih celakanya lagi, wilayah yang dihajar oleh EPL adalah pasar Amerika andalan La Liga, terutama di tengah dan selatan benua Amerika.

Bertaburannya bintang-bintang baru Latin di musim 2015 yang datang dari berbagai negara, katakanlah Alexis Sanchez (Chile), Gabriel Paulista (Brasil), David Ospina, Radamel Falcao, Juan Cuadrado (Kolombia), Angel Di Maria, Marcos Rojo (Argentina), dan Abel Hernandez (Uruguay) semakin jelas memantapkan posisi BPL sekaligus semakin menjepit pasar La Liga di area itu. Tak pelak, kita juga semakin paham dengan strategi yang dilakukan klub-klub top Inggris.

Ligue 1, yang tengah membangun reputasinya melalui kebangkitan ekonomi AS Monaco dan Paris Saint-Germain, ikut terpukul dengan kesepakatan kontrak baru EPL. Di mata Bernard Caiazzo, wakil presiden Saint-Etienne, Premier League sungguhan menjelma menjadi NBA-nya sepak bola. "Bayangkan orang semakin sadar mereka itu lebih besar dari Liga Champion sekalipun. Klub macam Chelsea dan Manchester United punya bujet operasional 700-800 juta euro setahun," kilah Caiazzo.

Jangankan itu, deal baru EPL bahkan dapat mematikan sepak bola Inggris sendiri terutama di barisan akar rumput, divisi bawah. "Kesepakatan itu akan mematikan permainan dan membunuh klub-klub seperti kami ini," kata Peter Marsden, Presiden Accrington Stanley, klub anggota League Two (divisi empat). Penjelasannya amat miris. Accrington, yang punya 23 pemain, rata-rata setiap pemainnya 50 ribu pound. Bandingkan dengan Manchester City yang rata-ratanya 16 juta pound.

Artinya setiap pemain City setara 320 pemain Accrington. Sedangkan pemain termahalnya, Sergio Aguero yang keahlian dan kemampuannya dibanderol 44 juta pound dapat disetarakan dengan 880 orang pemain Accrington! Jika setiap tahunnya klub divisi empat ini punya 25 pemain, maka nilai seorang Aguero itu sederajat dengan stok satu skuad Accrington selama 35 tahun! Nilai Aguero juga masih lebih mahal dibanding skuad Burnley yang 41,14 juta pound. Oh my God.

Dampak negatif juga terasa di kompetisi non-Premier League secara keseluruhan. Untuk menjaga kualitas atau memelihara eksistensinya, berbagai klub Premier League akan mencaplok seluruh pemain terbaik mulai dari League Two, League One, sampai divisi Championship, sehingga tontonan ketiga liga ini akan terasa kering karena tidak ada bintang yang memadai. Rating TV juga melempem, penonton di stadion sepi, dan ujung-ujungnya iklan sulit didapat.

Pendapatan klub yang macet dan tersendat akan menghasilkan gaji pemain yang minim, dan yang terparah klub-klub divisi bawah makin sulit bersaing ke pentas lebih tinggi karena kualitas skuadnya begitu rendah. Lingkaran setan pun terjadi. Untuk terus bertahan, mau tak mau, mereka akhirnya menjual aset terbaiknya ke klub Premier League. Keuangan yang cekak itu mengakibatkan klub-klub lower division kesulitan membayar pelatih atau manajer yang bagus.

Jerman Realistis

La Liga dan Bundesliga: Meradang dan Menendang
Bukan rahasia sebuah klub amat kuat suaranya di blantika UEFA terutama yang punya basis massa kuat dan reputasi hebat, contohnya Real Madrid, Barcelona atau Bayern Muenchen. Namun realitanya legiun Premier League pun tetap unggul di pasar bebas. Pasalnya pasar bebas belakangan lebih suka melihat atmosfir kompetisinya, bukan melulu reputasi klubnya yang berpotensi bikin bosan. Jika mereka melulu bicara kualitas, maka Premier League bilang kualitas plus kuantitas. Tidak saja reputasi atau eksistensi, tapi reputasi plus eksistensi.

Semua paham, betapa tingginya value Premier League. Sesuai kapasitasnya, Anda dijamin tak harus keseringan mengandalkan Real Madrid atau Barcelona, Bayern Muenchen atau Juventus, Paris Saint-Germain atau Monaco, namun mindset orang langsung terpecah setidaknya kepada 7-8 klub, kemungkinan bertambah setiap 2-3 tahun, saat bicara Liga Inggris. Premier League adalah sekumpulan superteam yang berisikan banyak superman.

Apa yang terjadi di Inggris berdampak besar pada Jerman, Italia, Spanyol, Prancis, apalagi negara-negara lain yang business-value kompetisinya di bawah mereka. Bahkan inventory lain semacam Liga Champion atau Liga Europa ikut siaga kuning. Di sisi lain semakin mahal dan populernya klub-klub Premier League justru semakin menaikkan daya tawar mereka di kancah Liga Champion dan Liga Europa. Bisa-bisa tanpa wakil Inggris, sponsor dan pengiklan akan menepi teratur, penonton pun jadi sepi.

Premier League berarti Manchester United, Liverpool, Arsenal, Chelsea, atau Manchester City. Tunggu 2-3 tahun, maka Anda punya Tottenham Hotspur, Everton, Southampton, Newcastle United, Swansea City, atau Stoke City sebagai jagoan baru. Siapa yang bisa melawan BPL jika di Indonesia saja enam klub ini sudah punya basis massa atau komunitas di Indonesia? Tidak salah jika Caiazzo bahkan perlu memohon pada UEFA untuk segera menghentikan kekuasaan British Empire edisi futuristik.

Benarkah gemebyar BPL akan mematikan sepak bola bangsa lain? Tidaklah. Tengok Jerman, yang sejak dulu memang paling memahami hasrat bangsa Inggris. Kubu Bundesliga emoh ambil pusing untuk masuk ke putaran drama kecuali bekerja keras dan bekerja cerdas. Sebagaimana siluet logo DFL yang menggambarkan pemain sedang menendang bola, agaknya begitu juga prinsip Jerman menghadapi masa depan.

Bukankah selama bola terus ditendang, artinya harapan dan peluang selalu ada? "Masa depan Premier League menjadi tantangan masa depan kompetisi kami, tantangan Bundesliga, dan tangan klub-klub yang mau tak mau harus kita hadapi," tukas Christian Seifert, CEO DFL - operator Bundesliga. Berani menantang Herr Seifert? Mengapa tidak.

(foto: tvbeurope/dw)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini