Mata klub-klub kapitalis Eropa yang selalu ijo melihat duit boleh jadi kena batunya. Orang Arab dengan senang hati menyediakannya, pokoknya asal mereka mau. Mau diperintah tentunya. Kalau uang yang senantiasa mereka cari, asal mau, di gurun pasir sana tempatnya. Setelah menggoyang lanskap industri sepak bola Eropa sejak 2011, sepak terjang para sheikh ternyata terus menggeliat seiring sejalan dengan aliran sumur minyak mereka.
Akuisisi pada Servette (Swiss), Admira Wacker (Austria), TSV 1860 Muenchen (Jerman), Manchester City, Portsmouth (Inggris), Malaga (Spanyol), dan Paris Saint-Germain (Prancis) kelar dilakukan. Mengontrol Arsenal, AC Milan, Barcelona, Real Madrid, Hamburg sampai Olympiacos pun beres. Namun para sheikh yang uangnya muncrat milyaran rupiah tiap detik dari sumur minyak terus-menerus kesenangan menggelegakkan adrenalinnya.
Hulu mulai disikat, kini giliran hilir yang siap dikuras. Suatu hari pada 2013 konsorsium yang dijejali pangeran tajir plus para raja minyak dari Qatar serius berkumpul. Ada apa? Untuk meresmikan proposal turnamen yang hadiahnya paling gila-gilaan. Kejuaraan yang membuat prize money di World Cup atau Liga Champion tiada arti, bahkan andai digabungkan sekaligus. Penasaran apa namanya? Catat, Dream Football League (DFL) alias Liga Impian.
Maunya digelar pada 2015, ke depan rutin setiap tahun ganjil, dan diikuti 24 klub paling elite di Eropa dan di dunia. Jadi impian lantaran hadiah sang juara diganjar 175 juta pound, atau lebih dari 3,5 trilyun rupiah! Komite mematok 16 klub paling legendaris di Eropa harus jadi peserta tetap. Sementara sisanya berstatus tentatif, undangan, yang bisa saja datang dari wilayah Amerika Latin/Afrika/Asia.
Proposal itu telah diajukan, sayangnya FIFA, UEFA, termasuk asosiasi masing-masing belum menggubrisnya, saking kebingungan mencari waktu dan mengatur keadaan. Menurut The Times, Arsenal, Chelsea, Manchester City dan Manchester United sebenarnya ngebet ikut. Begitu juga Liverpool dan Tottenham Hostpur. Namun semuanya sangat bergantung dari izin dan dukungan pihak FA.
Pokok persoalannya, para bangsawan Qatar berniat mematenkan 16 klub raksasa Eropa sebagai peserta wajib alias reguler. Ini yang berat karena mereka sulit menjamin mengingat di setiap musim, nasib atau kiprah klub bisa saja berubah-ubah. Tapi jika ingat hadiahnya, olala, 175 juta pound? Jadi jawara Champions League saja cuma dapat 40-an juta pound, ini pun masih dipotong biaya produksi klub mulai akomodasi sampai transportasi misalnya.
Sekedar Bermimpi
Dasar Arab, soal fulus nggak ada matinya. Pemenang Dream League juga dapat duit 12 kali lipat dari kampiun Premier League yang hanya 15 juta pound. Jadi Anda tidak perlu jadi ekonom untuk bilang bahwa Dream League menggugah animo klub manapun. Bagaimana dengan klub-klub, atau pihak asosiasi? Jawaban mereka simpel saja, bukan bisa apa tidak, tetapi apakah mau apa tidak.
Tampil di DFL modalnya cuma badan, ibaratnya tinggal latihan dan main saja karena mulai dari transportasi, akomodasi, residensi, sampai fasilitas serba mewah disediakan gratis. Pokoknya asal asosiasi setuju segalanya akan diatur sampai beres. Sejauh ini panitia telah menyediakan enam stadion ber-AC di enam kota sebagai tempat pertandingan, beberapa diantaranya bakal dipakai untuk Piala Dunia 2022.
Pihak konsorsium, Qatari Sports Investment (QSI), si pemilik PSG, sudah bekerjasama dengan Qatar Foundation, sponsor utama Barcelona, untuk mendatangkan jagoannya itu. Usai menggoyang lanskap industri di Eropa sejak 2011, lalu memastikan negaranya jadi tuan rumah World Cup 2022, QSI berniat membuat jazirah Arab sebagai panggung kemewahan sepak bola dunia. Pendirian DFL jelas lebih kongkrit dari ide ESL, European Super League.
Lambat laun QSI semakin sadar pentingnya bisnis emosi. Liga Champion terlalu bertele-tele untuk mengemas prestise dan prestasi. Liga Impian jauh mengena karena semua peserta adalah kesebelasan bermutu dengan jutaan suporter di seluruh dunia. Mereka juga tahu, baik wartawan, sponsor, pengiklan, maupun pemain hampir pasti mendukungnya. Problem besar ada pada jadwal dan tata cara bagaimana penggemar menikmatinya langsung.
Tak heran jika FIFA dan UEFA sepakat untuk mencegah DFL terealisasi. Negara-negara Arab ibarat teman tidur yang baik buat mereka. Namun DFL itu seperti menaruh sebuah pistol di bawah bantal. Mereka tak ingin pemberontakan NBA pada FIBA, RBS World Series di rugbi, atau Kerry Packer's World Series di kriket terjadi di sepak bola. Ketika tidur, terkadang, memang lebih baik tidak bermimpi sama sekali. Betul begitu?
(foto: actusports/express/sport360)
Konsep akbar Liga Impian. |
Hulu mulai disikat, kini giliran hilir yang siap dikuras. Suatu hari pada 2013 konsorsium yang dijejali pangeran tajir plus para raja minyak dari Qatar serius berkumpul. Ada apa? Untuk meresmikan proposal turnamen yang hadiahnya paling gila-gilaan. Kejuaraan yang membuat prize money di World Cup atau Liga Champion tiada arti, bahkan andai digabungkan sekaligus. Penasaran apa namanya? Catat, Dream Football League (DFL) alias Liga Impian.
Maunya digelar pada 2015, ke depan rutin setiap tahun ganjil, dan diikuti 24 klub paling elite di Eropa dan di dunia. Jadi impian lantaran hadiah sang juara diganjar 175 juta pound, atau lebih dari 3,5 trilyun rupiah! Komite mematok 16 klub paling legendaris di Eropa harus jadi peserta tetap. Sementara sisanya berstatus tentatif, undangan, yang bisa saja datang dari wilayah Amerika Latin/Afrika/Asia.
Menyediakan hadiah empat kali lipat lebih dibanding Liga Champion. |
Pokok persoalannya, para bangsawan Qatar berniat mematenkan 16 klub raksasa Eropa sebagai peserta wajib alias reguler. Ini yang berat karena mereka sulit menjamin mengingat di setiap musim, nasib atau kiprah klub bisa saja berubah-ubah. Tapi jika ingat hadiahnya, olala, 175 juta pound? Jadi jawara Champions League saja cuma dapat 40-an juta pound, ini pun masih dipotong biaya produksi klub mulai akomodasi sampai transportasi misalnya.
Sekedar Bermimpi
Dasar Arab, soal fulus nggak ada matinya. Pemenang Dream League juga dapat duit 12 kali lipat dari kampiun Premier League yang hanya 15 juta pound. Jadi Anda tidak perlu jadi ekonom untuk bilang bahwa Dream League menggugah animo klub manapun. Bagaimana dengan klub-klub, atau pihak asosiasi? Jawaban mereka simpel saja, bukan bisa apa tidak, tetapi apakah mau apa tidak.
Tampil di DFL modalnya cuma badan, ibaratnya tinggal latihan dan main saja karena mulai dari transportasi, akomodasi, residensi, sampai fasilitas serba mewah disediakan gratis. Pokoknya asal asosiasi setuju segalanya akan diatur sampai beres. Sejauh ini panitia telah menyediakan enam stadion ber-AC di enam kota sebagai tempat pertandingan, beberapa diantaranya bakal dipakai untuk Piala Dunia 2022.
Bakal menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. |
Lambat laun QSI semakin sadar pentingnya bisnis emosi. Liga Champion terlalu bertele-tele untuk mengemas prestise dan prestasi. Liga Impian jauh mengena karena semua peserta adalah kesebelasan bermutu dengan jutaan suporter di seluruh dunia. Mereka juga tahu, baik wartawan, sponsor, pengiklan, maupun pemain hampir pasti mendukungnya. Problem besar ada pada jadwal dan tata cara bagaimana penggemar menikmatinya langsung.
Tak heran jika FIFA dan UEFA sepakat untuk mencegah DFL terealisasi. Negara-negara Arab ibarat teman tidur yang baik buat mereka. Namun DFL itu seperti menaruh sebuah pistol di bawah bantal. Mereka tak ingin pemberontakan NBA pada FIBA, RBS World Series di rugbi, atau Kerry Packer's World Series di kriket terjadi di sepak bola. Ketika tidur, terkadang, memang lebih baik tidak bermimpi sama sekali. Betul begitu?
(foto: actusports/express/sport360)