Soal fulus, nyaris tidak ada yang meragukan kemampuan negara-negara Arab. Di wilayah ini nyaris tidak ada gejolak atau krisis keuangan. Apalagi untuk memuaskan hasrat mereka yang dianggap penting. Mau tahu betapa 'wow-nya' sepak bola di Semenanjung Arabia? Tak syak lagi, Anda bisa lihat dari aktivitas dan transaksi di bursa transfernya, sebagai satu indikatornya.
Di wilayah ini, jumlah transaksi transfer klub-klub untuk memenuhi komunitas dan pasar regionalnya dapat melebihi Premier League atau La Liga. Dari laporan Global Transfer Market yang dikompilasi FIFA tahun lalu, tiga kompetisi dari Tanah Arab masuk dalam 20 besar dunia. Ketiga liga itu adalah UAE Arabian Gulf League (UAGL-Uni Emirat Arab), Qatar Stars League (QSL-Qatar), dan Saudi Professional League (SPL-Arab Saudi).
Dapat dipastikan setiap musimnya hasrat untuk mengontrak pemain asing berstatus bintang selalu menggebu. Di musim 2014/15 yang baru berakhir, transaksi bursa transfer mereka melewati Rp 2,6 trilyun - plus Kuwait dan Bahrain! Rata-rata impor pemain asing di UAGL sendiri menghabiskan seperempat angka di atas. UAGL mengontrak 81 pemain, di mana 26 diantaranya pemain Brasil. Untuk diketahui, putaran uang di pasar global sepak bola setiap tahun ditaksir di kisaran 30 milyar dolar AS, alias 400 trilyun rupiah!
Pencapaian transaksi di semenanjung Arabia ini tentu saja mengejutkan. Orang makin melongo melihat tren dan statistik setiap tahun keuangan orang Arab untuk sepak bola. Padahal ini urusan main-main belaka. Generasi baru para pemilik dan gaya manajemen mutakhir diduga meroketkan investasi bisnis permainan yang mereka sebut kurotul qodam itu secara signifikan dan dahsyat buat ukuran orang Barat.
Meski UAGL unggul dalam transaksi transfer, namun pasar sepak bola di SPL, yang bernama komersial Abdul Latif Jamil League, justru jauh lebih gede. Tentu saja ini berawal dari ketimpangan populasi kedua negara. UEA berpenduduk 9 juta, sementara itu Arab Saudi 28 juta orang. Semua itu berujung pada jumlah penonton, kontrak hak siar senilai 1 milyar dolar AS selama 10 tahun, serta berimbas pada pendapatan iklan.
Kontrak hak siar SPL dipegang oleh perusahaan anak negeri yang bernama MBC (Middle East Broadcasting Center) yang uniknya bermarkas di Dubai, UEA, dan dikelola orang-orang Inggris. Sponsor resmi SPL adalah Abdul Latif Jamil Group, perusahaan multi-diversifikasi di bidang otomotif, konstruksi, keuangan, real estate, energi, pelayanan lingkungan, produk konsumen, periklanan sampai media.
SPL merogoh 31 juta dolar sepanjang 2014/15 untuk mengimpor 72 pemain, dan cuma 14 pemain asal Brasil. Angka yang sebenarnya biasa-biasa saja. Lalu ingin tahu yang luar biasa? Justru si tetangga sebelah, Qatar, negara Arab paling modern kedua setelah UEA. Musim lalu transaksi transfer di satu klub anggota QSL yaitu Al-Arabi, yang sanggup menggugah pemikiran orang Barat.
Betapa tidak, Al-Arabi menggelontor dana 50 juta dolar untuk 5 pemain baru hanya demi targetnya menembus putaran final Liga Champion Asia, lalu Piala Dunia Antarklub (Intercontinental). Al-Arabi ada di urutan 8 dalam 10 besar belanja pemain di bursa transfer seluruh dunia musim lalu. Dengan bujet 660 milyar rupiah, besaran belanja klub yang bermarkas di Doha ini melebihi juara Premier League, Manchester City, dan finalis Liga Champion 2014, Atletico Madrid.
Uniknya, jagoan ibukota asuhan Jose Daniel Carreno Izquierdo (Uruguay) itu malah terjerembab tiga posisi dibanding musim lalu ke peringkat delapan dari 14 klub QSL! Padahal mereka telah mengimpor lima pemain internasional; Mohammed Muddather (Sudan), Imoh Ezekiel (Nigeria), Ashkan Dejagah (Iran), Pablo Hernandez (Spanyol), dan Paulinho (Brasil).
Yang menarik dari dari fenomena bursa transfer di Semenanjung Arab, tiada lain, belum tergesernya posisi Brasil sejak 2010 sebagai kontributor utama di wilayah tersebut dengan 693 pemainnya. Ini tidak mengherankan sebab Brasil pula jawara dunia pengekspor pesepak bola dengan rekor 5,526 pemain hingga 2014, atau 13% dari total transfer pemain sejagat. Di posisi kedua adalah Argentina dengan 2.632 pemain.
Unsur Primordialisme
Krisis finansial global pada 2009, yang mengerem laju transfer pemain di Eropa, justru menaikkan impor pemain ke jazirah Arab. Bayaran tinggi, fasilitas aduhai, tata kelola dan transparansi baik, dan semakin tingginya mutu kompetisi menjadi ukuran utama para profesional untuk berkarier. Belakangan ini, SPL, UAGL, dan QSL diakui AFC (Konfederasi Sepak Bola Asia) ke dalam 10 besar kompetisi paling bermutu di Asia.
Bermutu kerapkali identik dengan keuntungan. Memang begitu adanya. Liga-liga gurun pasir ini mampu meningkatkan revenue streams secara signifikan seperti pemasukan tiket, hak siar, sponsorship sampai pernak-pernik penjualan lainnya (merchandising). Faktor permainan diawali oleh pemain, dan kehebatan pemain dibentuk oleh pelatih bermutu. Sejatinya animo yang tinggi itu tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat klub dari proses transaksi transfer.
Usut punya usut, rupanya 19 agen pemain resmi berstempel FIFA yang berkeliaran di wilayah ini memegang peranan penting. Mereka mempengaruhi klub-klub melakukan banyak transfer konyol dengan mengimpor 'pemain yang tak perlu' atau yang bermotivasi cuma cari duit setelah terlempar dari persaingan di Eropa. Semakin banyak pemain datang, tentu semakin besar pula pendapatan para agen itu.
Kadang kala campur tangan investor Arab atau para sheikh oligarkis yang memiliki klub-klub top Eropa ikut bermain di air keruh dengan bermacam cara. Mereka sempat kelabakan ketika di 2010 UEFA meloloskan peraturan ketat Financial Fair Play (FFF) yang bertujuan menata kembali disiplin dan rasionalitas pengelolaan keuangan klub.
Dengan peraturan ini, hampir bisa dipastikan UEFA memaksa klub-klub akan mendapat keuntungan murni dari football income, bukannya dari selisih di permainan transfer. FFF juga berguna untuk menangkal transfer gila-gilaan klub-klub Arab yang bisa memporak-porandakan kompetisi di Eropa. Oleh karenanya, atas usaha para agen tadi, pemain-pemain terbuang yang motivasinya hanya uang pun mudah didatangkan.
Pemain yang tidak tepat, pembelian yang terburu-buru sampai kedatangan para bintang uzur dinilai berkorelasi kuat dengan pencapaian target klub. Karena uang bukan soal dan aturan bisa disesuaikan, maka dengan mudahnya klub-klub mematok harga pemain secara keterlaluan yang nyaris tidak masuk akal.
Di sini juga berlaku hukum paling semena-mena di sepak bola, budaya memecat pelatih. Sekali mengesalkan pemilik, silakan angkat koper, meskipun dia telah memberi prestasi. Nuansa kesetaraan jauh panggang dari api sangat terasa. Biang keladi dari semua arogansi ini adalah faktor uang berlimpah, pengambil-keputusan tradisional dan tindakan instingtif yang datang dari budaya hasil tempaan alam yang keras.
Seharusnya kompetisi sepak bola di Arab merasa rugi sebab kontinuitas terganggu. Namun nyatanya tidak. Buat mereka gebyar sepak bola yang diinginkan memang harus berbeda dengan di Eropa. Meski amat menyenanginya, Arab tidak terlalu obsesif dengan sepak bola. Biar bagaimanapun sepak bola itu hanyalah permainan, merupakan urusan duniawi belaka.
Sadar dengan kontur alam dan iklim yang dimiliki, mereka mengemas sepak bola di luar kebiasaan. Di wilayah ini kompetisi lokal harus dimainkan selepas waktu shalat Magrib atau Isya. Selain mengedepankan waktu beribadah dan menyelesaikan pekerjaan, juga untuk mencari suhu kondusif agar sepak bola bisa dimainkan dan ditonton. Bisa dibayangkan bila pemain, wasit, dan penonton terus-terusan bermain di suhu 40 derajat Celcius.
Ketika memasuki Ramadhan, pertandingan sedikitnya digelar sekitar jam 21.00 waktu setempat setelah usainya Shalat Tarawih. Satu-satunya motivasi mereka untuk gila-gilaan membuang uang tiada lain karena sentimen dan sifat dasar hobi berseteru antar suku atau kabilah sesama bangsa Arab. Di era modern kini mereka menjadikan sepak bola sebagai alat persaingan primordialisme yang prestisius.
Fenomena ini kian menunjukkan bahwa mereka menganggap sepak bola sebagai urusan dunia belaka, yang bisa bermanfaat tapi juga bermudarat. Negeri-negeri Arab tidak mau kulturnya diatur-atur oleh kurotul qodam, tetapi kurotul qodam-lah yang mesti ikut kultur mereka. Lain padang memang lain belalang. Apa mau dikata, sepak bola, bagaimana pun pentingnya, hanyalah sebuah permainan. Dan permainan cuma bagian kecil dalam kehidupan.
(foto: ueainteract/behance.net/alriyadh)
Gaya menonton orang-orang kaya Arab di stadion. |
Dapat dipastikan setiap musimnya hasrat untuk mengontrak pemain asing berstatus bintang selalu menggebu. Di musim 2014/15 yang baru berakhir, transaksi bursa transfer mereka melewati Rp 2,6 trilyun - plus Kuwait dan Bahrain! Rata-rata impor pemain asing di UAGL sendiri menghabiskan seperempat angka di atas. UAGL mengontrak 81 pemain, di mana 26 diantaranya pemain Brasil. Untuk diketahui, putaran uang di pasar global sepak bola setiap tahun ditaksir di kisaran 30 milyar dolar AS, alias 400 trilyun rupiah!
Pencapaian transaksi di semenanjung Arabia ini tentu saja mengejutkan. Orang makin melongo melihat tren dan statistik setiap tahun keuangan orang Arab untuk sepak bola. Padahal ini urusan main-main belaka. Generasi baru para pemilik dan gaya manajemen mutakhir diduga meroketkan investasi bisnis permainan yang mereka sebut kurotul qodam itu secara signifikan dan dahsyat buat ukuran orang Barat.
Meski UAGL unggul dalam transaksi transfer, namun pasar sepak bola di SPL, yang bernama komersial Abdul Latif Jamil League, justru jauh lebih gede. Tentu saja ini berawal dari ketimpangan populasi kedua negara. UEA berpenduduk 9 juta, sementara itu Arab Saudi 28 juta orang. Semua itu berujung pada jumlah penonton, kontrak hak siar senilai 1 milyar dolar AS selama 10 tahun, serta berimbas pada pendapatan iklan.
Kontrak hak siar SPL dipegang oleh perusahaan anak negeri yang bernama MBC (Middle East Broadcasting Center) yang uniknya bermarkas di Dubai, UEA, dan dikelola orang-orang Inggris. Sponsor resmi SPL adalah Abdul Latif Jamil Group, perusahaan multi-diversifikasi di bidang otomotif, konstruksi, keuangan, real estate, energi, pelayanan lingkungan, produk konsumen, periklanan sampai media.
Liga Arab Saudi, kompetisi liga paling makmur di gurun pasir. |
Betapa tidak, Al-Arabi menggelontor dana 50 juta dolar untuk 5 pemain baru hanya demi targetnya menembus putaran final Liga Champion Asia, lalu Piala Dunia Antarklub (Intercontinental). Al-Arabi ada di urutan 8 dalam 10 besar belanja pemain di bursa transfer seluruh dunia musim lalu. Dengan bujet 660 milyar rupiah, besaran belanja klub yang bermarkas di Doha ini melebihi juara Premier League, Manchester City, dan finalis Liga Champion 2014, Atletico Madrid.
Uniknya, jagoan ibukota asuhan Jose Daniel Carreno Izquierdo (Uruguay) itu malah terjerembab tiga posisi dibanding musim lalu ke peringkat delapan dari 14 klub QSL! Padahal mereka telah mengimpor lima pemain internasional; Mohammed Muddather (Sudan), Imoh Ezekiel (Nigeria), Ashkan Dejagah (Iran), Pablo Hernandez (Spanyol), dan Paulinho (Brasil).
Yang menarik dari dari fenomena bursa transfer di Semenanjung Arab, tiada lain, belum tergesernya posisi Brasil sejak 2010 sebagai kontributor utama di wilayah tersebut dengan 693 pemainnya. Ini tidak mengherankan sebab Brasil pula jawara dunia pengekspor pesepak bola dengan rekor 5,526 pemain hingga 2014, atau 13% dari total transfer pemain sejagat. Di posisi kedua adalah Argentina dengan 2.632 pemain.
Unsur Primordialisme
Krisis finansial global pada 2009, yang mengerem laju transfer pemain di Eropa, justru menaikkan impor pemain ke jazirah Arab. Bayaran tinggi, fasilitas aduhai, tata kelola dan transparansi baik, dan semakin tingginya mutu kompetisi menjadi ukuran utama para profesional untuk berkarier. Belakangan ini, SPL, UAGL, dan QSL diakui AFC (Konfederasi Sepak Bola Asia) ke dalam 10 besar kompetisi paling bermutu di Asia.
Bermutu kerapkali identik dengan keuntungan. Memang begitu adanya. Liga-liga gurun pasir ini mampu meningkatkan revenue streams secara signifikan seperti pemasukan tiket, hak siar, sponsorship sampai pernak-pernik penjualan lainnya (merchandising). Faktor permainan diawali oleh pemain, dan kehebatan pemain dibentuk oleh pelatih bermutu. Sejatinya animo yang tinggi itu tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat klub dari proses transaksi transfer.
Usut punya usut, rupanya 19 agen pemain resmi berstempel FIFA yang berkeliaran di wilayah ini memegang peranan penting. Mereka mempengaruhi klub-klub melakukan banyak transfer konyol dengan mengimpor 'pemain yang tak perlu' atau yang bermotivasi cuma cari duit setelah terlempar dari persaingan di Eropa. Semakin banyak pemain datang, tentu semakin besar pula pendapatan para agen itu.
Kadang kala campur tangan investor Arab atau para sheikh oligarkis yang memiliki klub-klub top Eropa ikut bermain di air keruh dengan bermacam cara. Mereka sempat kelabakan ketika di 2010 UEFA meloloskan peraturan ketat Financial Fair Play (FFF) yang bertujuan menata kembali disiplin dan rasionalitas pengelolaan keuangan klub.
Pentahbisan sang juara liga di Arab Saudi lebih mewah dari Eropa. |
Pemain yang tidak tepat, pembelian yang terburu-buru sampai kedatangan para bintang uzur dinilai berkorelasi kuat dengan pencapaian target klub. Karena uang bukan soal dan aturan bisa disesuaikan, maka dengan mudahnya klub-klub mematok harga pemain secara keterlaluan yang nyaris tidak masuk akal.
Di sini juga berlaku hukum paling semena-mena di sepak bola, budaya memecat pelatih. Sekali mengesalkan pemilik, silakan angkat koper, meskipun dia telah memberi prestasi. Nuansa kesetaraan jauh panggang dari api sangat terasa. Biang keladi dari semua arogansi ini adalah faktor uang berlimpah, pengambil-keputusan tradisional dan tindakan instingtif yang datang dari budaya hasil tempaan alam yang keras.
Seharusnya kompetisi sepak bola di Arab merasa rugi sebab kontinuitas terganggu. Namun nyatanya tidak. Buat mereka gebyar sepak bola yang diinginkan memang harus berbeda dengan di Eropa. Meski amat menyenanginya, Arab tidak terlalu obsesif dengan sepak bola. Biar bagaimanapun sepak bola itu hanyalah permainan, merupakan urusan duniawi belaka.
Sadar dengan kontur alam dan iklim yang dimiliki, mereka mengemas sepak bola di luar kebiasaan. Di wilayah ini kompetisi lokal harus dimainkan selepas waktu shalat Magrib atau Isya. Selain mengedepankan waktu beribadah dan menyelesaikan pekerjaan, juga untuk mencari suhu kondusif agar sepak bola bisa dimainkan dan ditonton. Bisa dibayangkan bila pemain, wasit, dan penonton terus-terusan bermain di suhu 40 derajat Celcius.
Ketika memasuki Ramadhan, pertandingan sedikitnya digelar sekitar jam 21.00 waktu setempat setelah usainya Shalat Tarawih. Satu-satunya motivasi mereka untuk gila-gilaan membuang uang tiada lain karena sentimen dan sifat dasar hobi berseteru antar suku atau kabilah sesama bangsa Arab. Di era modern kini mereka menjadikan sepak bola sebagai alat persaingan primordialisme yang prestisius.
Fenomena ini kian menunjukkan bahwa mereka menganggap sepak bola sebagai urusan dunia belaka, yang bisa bermanfaat tapi juga bermudarat. Negeri-negeri Arab tidak mau kulturnya diatur-atur oleh kurotul qodam, tetapi kurotul qodam-lah yang mesti ikut kultur mereka. Lain padang memang lain belalang. Apa mau dikata, sepak bola, bagaimana pun pentingnya, hanyalah sebuah permainan. Dan permainan cuma bagian kecil dalam kehidupan.
(foto: ueainteract/behance.net/alriyadh)