Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

Sepak Bola di Tanah Arab (1): Beda Emosi, Motivasi, dan Persepsi

Anda tak bisa selamanya jadi pesohor dengan gelimang reputasi dan uang. Ada saatnya untuk turun dari panggung utama di kala usia terus merambat naik. Salah satu cara untuk mempertahankan glamor, ini pun sementara waktu, Anda mesti pindah ruang ke lahan yang paling pas untuk menampung kemampuan yang kian menyurut.
Sepak Bola di Tanah Arab: Beda Emosi, Motivasi, dan Persepsi
Gabriel Batistuta. Raih ketenaran baru, raih fulus baru.
Seorang pesepak bola top dari Australia mengaku kompetisi di jazirah Arab menjadi tempat paling kondusif untuk memperpanjang bakat dan kariernya. Baginya di wilayah paling tandus di bumi itu bukan menjadi kuburan pesepak bola yang mulai afkir. "Di sana tempatnya para striker Brasil berkumpul, sehingga saya bisa terus mengasah kemampuan," kata Lucas Neill, eks kapten nasional Socceroos yang lama melanglangkan jiwa raganya di Premier League.

Neill memilih Arab ketimbang Jepang untuk mengakhiri kariernya. Maka setelah tersingkir secara menyakitkan dari Italia di Piala Dunia 2006, terjadi eksodus pemain Australia ke Uni Emirat Arab atau Qatar. Menurut pengamat, cara itu dianggap elegan karena menguntungkan tim nasional Australia dalam peta persaingan di Asia. Dengan begitu, para pemain Socceroos terbiasa meladeni para pemain Arab.

Beda motivasi dilakukan pemain Eropa yang menjadikan liga di semenanjung Arab untuk meraih kesempatan mendapat penghasilan sama seperti ketika masih berjaya di liga Eropa, bahkan terkadang lebih besar. Si kembar Ronald dan Frank De Boer dikenang karena sama-sama mengakhiri kariernya di dua klub Qatar, Al-Rayyan dan Al-Shamal pada 2006 dan 2008.
Sepak Bola di Tanah Arab: Beda Emosi, Motivasi, dan Persepsi
Stefan Effenberg, Gabriel Batistuta, dan Pep Guardiola.
Pep Guardiola (Al-Ahli/Qatar), Raul Gonzalez (Al-Sadd), Fabio Cannavaro (Al-Ahli/UEA), Stefan Effenberg serta Gabriel Batistuta (Al-Arabi/Qatar) tercatat sebagai pesepak bola tenar yang menyudahi kariernya di gurun pasir. Malahan Batigol bisa dianggap sebagai pionirnya sebab menjadi pemain top pertama yang hadir di Qatar ketika mereformasi sepak bolanya pada 2003. Bati tampil 21 kali di Al-Arabi dan jadi top skor dengan 25 gol pada 2004/05.

Kekayaan Qatar

Tindakan paling konyol dibuat oleh striker Ghana, Asamoah Gyan, demi ambisi bertahan di Al-Ain, klub asal Dubai. Ia berpaling dari Sunderland, yang mentransfernya dari Rennes di 2010, agar bisa selamanya main di UEA karena gajinya lima kali lebih besar. Akhirnya Sunderland melepas Gyan secara permanen pada 2011. Inikah citra kompetisi Timur Tengah, motifnya lebih condong untuk mencari bayaran yang besar?

Apapun persepsi-nya sah-sah saja dikemukakan. Yang pasti, tidak semuanya benar. Bayaran mahal hanya sebagai dampak, bukan tujuan. Niat jauh lebih penting, dan soal ini Qatar atau Uni Emirat Arab - dengan karunia Illahi diberikan kekayaan luar biasa - tampaknya patut diacungi jempol. Lagi pula, alangkah hinanya jika seorang pemain besar hanya ingin mengambil duitnya tanpa berkarya maksimal.

Populasi Qatar hanya dua juta penduduk, tapi rata-rata daya beli setiap rakyatnya 143 ribu dolar atau sekitar Rp 1,8 milyar per tiga bulan. Di waktu yang sama UEA dengan 9 juta penduduknya, rata-rata kemampuan rakyatnya Rp 850 juta. Qatar adalah negara terkaya di dunia, sedangkan tujuh tingkat di bawahnya. Bandingkan dengan Indonesia yang di urutan 102 di mana rata-rata daya beli rakyatnya Rp 140 juta.
Sepak Bola di Tanah Arab: Beda Emosi, Motivasi, dan Persepsi
Stadion di Qatar. Terlalu mewah untuk klub-klub Eropa.
Namun niat QFA (Qatar Football Association) untuk membangun sepak bola amat serius. Tidak saja eks pemain top, mereka juga mengundang pelatih bagus yang masih aktif untuk berkarya atau meniti karier di sana. Xavi Hernandez, gembong utama tika-taka Barcelona, adalah bintang veteran teranyar yang siap bermain di Qatar. Dia menerima bayaran 21,6 juta pound selama tiga tahun, yang selain membela Al-Sadd juga akan melatih di akademi Aspire serta jadi duta besar Piala Dunia 2022.

Kiprah Xavi sebelumnya didahului Guardiola dengan menjadi pemain sekaligus pelatih. Nama-nama terkenal seperti Eric Gerets, Dan Petrescu, Sebastiao Lazaroni, Sabri Lamouchi, Ivan Hasek sampai Diego Maradona juga pernah mencatatkan diri menjadi pelatih di Tanah Arab. Maradona digaji 3,5 juta euro setahun plus jet pribadi sebagai upah melatih klub asal Dubai, Al-Wasl, selama setahun pada 2011.

"Para pemain asing hanya melihat tumpukan dolar pada bola. Dengan mudahnya mereka mencetak gol tanpa perlu berkeringat, sementara para pemain lokal terlongo-longo mengagumi," tulis situs WSC pada 2010 dengan sinis, mengomentari fenomena sepak bola di negara-negara Arab yang superkaya. "Normalnya tidak ada bintang Eropa yang mau pergi ke sana," timpal James Dorsey, seorang analis Timur Tengah.

Tidak Direkomendasi

Barangkali Dorsey benar untuk sementara waktu, usai menyaksikan Ricardo Costa (eks Porto), Tuncay Sanli dan Jeremie Aliadiere, dua mantan pemain Middlesbrough, hijrah ke Arab. Tapi Anda tak pernah tahu dengan masa depan. Kepindahan dua pemain 'aktif' dari Swansea City, Chico Flores dan Pablo Hernandez ke klub Lekhwiya dan Al-Arabi boleh jadi menjadi sinyal ke arah yang berkebalikan dengan pikiran Dorsey.
Sepak Bola di Tanah Arab: Beda Emosi, Motivasi, dan Persepsi
Fabio Cannavaro masih terlalu tangguh buat ukuran Liga Arab.
Ketidak-harmonisan jadwal liga dengan standar Eropa, mutu permainan yang berbeda, iklim yang dahsyat, serta animo penonton yang tidak seheboh biasanya dianggap sebagai titik terlemah kompetisi di jazirah Arab untuk bisa menyamai kompetisi Eropa. "Buat pemain non-Eropa (Latin, Afrika dan Asia) mungkin tidak bermasalah. Tapi buat pemain Eropa diperlukan kematangan diri untuk tampil di sana," sebut Dorsey lagi.

Buat pemain non-Eropa yang tadi disebutkan Dorsey, keberanian tampil di Tanah Arab seharusnya menguntungkan. Selain Afrika, Australia mendapat manfaat besar untuk menempa pemain veteran di kala regenerasi di tim nasionalnya belum berjalan sempurna. Selain Lucas Neill, ada Mark Bresciano, Harry Kewell, Brett Holman, Sasa Ognenovski, Alex Brosque, dan Matthew Spiranovic yang jadi langganan legiun Socceroos.

Lain padang lain belalang. Hujan emas di negeri orang ternyata belum tentu nikmat. Kultur dan lingkungan yang berbeda serta cuaca ekstrem mengubah asa jadi bala. Di mata Holger Osieck, pelatih nasional Australia 2010-2013, kompetisi Timur Tengah tidak direkomendasi. "Skuad saya hancur di Piala Konfederasi 2013 gara-gara mengandalkan pemain di klub-klub Arab. Saya menyesal," ujarnya terus terang.
Sepak Bola di Tanah Arab: Beda Emosi, Motivasi, dan Persepsi
Pemandangan malam menggiurkan di tengah gurun pasir.
Bagi Osieck, pelatih ber-KTP Jerman, sepak bola Timur Tengah terlalu obsesif dengan teknik, namun kacau dalam soal fisik sehingga tidak cocok dengan ketahanan bermain. Ungkapan ini diamini suksesornya, Ange Postecoglou. "Intensitas permainan di sana lebih lambat sehingga para pemain sangat sulit mengikuti tempo yang kami ingini," kata pelatih yang memandu Aussie meraih juara Asia 2015.

Emosi dan identitas adalah roh sepak bola, pemain dan suporter sama-sama wajib memilikinya. Namun liga-liga di Arab sebagai langkah pemain menutup karier dengan nyaman, ternyata masih sulit dirasakan setiap orang. "Jika Anda bekas seorang bintang terkenal, maka Anda akan meraihnya. Namun jika tidak, jangan sesekali tampil di sana," pesan Dorsey, pengajar komunitas sepak bola di Universitas Wuerzburg, Jerman. Nah, ingat-ingat itu! Buat orang Arab, jangankan sepak bola, kehidupan di dunia pun dianggap permainan dan senda gurau belaka. Itu persoalannya, Mister!

(foto: infoqat/calcioweb/gulfnews/mundodeportivo/jahanc.wordpress)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini