Kontroversial merupakan elemen terpenting yang membuat permainan terindah di bumi ini menjadi menarik, hidup, alamiah. Sebagai panggung institusi, sejak dulu sepak bola selalu berisikan tim yang di dalamnya mengandung unsur anarkisme, anti-kemapanan, antitesis, eksentrik, siapapun dia atau perannya. Kali ini Luis Suarez hampir pasti termasuk pesohor tematis yang dimaksud.
Sejarah mengajarkan tanpa bad boys, kesuksesan biasanya lama datang. Setelah enam musim tanpa gelar liga, baru pada 1991 Sir Alex Ferguson menemukan solusi paten yang berbentuk sosok Eric Cantona untuk mendobrak rintangan lantaran kelamaan apes. Peran itu lalu disambung Roy Keane untuk lakon mendominasi. Kalau Lionel Messi punya sedikit sifat Cantona, Keane atau Luis Suarez, hampir pasti Argentina menjadi juara dunia pada 2006 atau 2010, minimal pernah merenggut Copa America.
Dalam cakupan luas, orang-orang seperti George Best, Johan Cruijff, Diego Maradona, Hristo Stoichkov, sampai Ronaldo Nazario barangkali jadi contoh ekstrem asal muasal bagaimana seorang biang kerok jadi sukses. Anda pasti lebih banyak punya datanya. Sayang terlampau banyak menyebutkan kategori-kategori di bawah level para legenda, lepas apapun motif atau similarisasi mereka.
Perjalanan hidup Luis Suarez di musim ini begitu menggairahkan, bak from zero to hero. Dari yang tadinya nyaris berstatus penjahat kini jadi jagoan. Tanpa Suarez kekuatan Liverpool cuma setengah. Namun dengan Suarez kekuatan Liverpool menjadi satu setengah. Pria bengal tapi cinta keluarga ini tak syak lagi bisa menjadi 'Maradona-nya' The Reds. Ya, siapa tahu.
Penampilan Liverpool sepanjang musim ini makin terbentuk lewat karakter Suarez, baik sandiwaranya di lapangan, kepribadian eksentriknya. Pemberontakan ayah dua anak itu, benar atau salah, kerapkali dipersepsikan sebagai ancaman buat lembaga yang menaunginya. Dia adalah ikon yang mudah difitnah dunia sehingga sering dijuluki Che Guevarra-nya sepak bola.
Suatu saat Suarez tampak terlihat sebagai pejuang ketidak-adilan pada sebuah struktur. Namun dalam dimensi serta ruang waktu yang berbeda, secara morfologis dia gampang terpeselet menjadi pejuang anarkis, public enemy. Sifat ini merupakan doktrin kekiri-kirian, radikalisme, oposisi, otorianisme yang melawan hirarki organisasi yang tidak adil yang menjadi ciri khas pria-pria Amerika Latin.
Pengalaman hidup dan realita akhirnya mendarahi ideologi permainan Suarez di mana saja. Persepsi adalah kenyataan. Di mana pun, ke mana pun Suarez berada peluit dan ejekan selalu mengikutinya. Wasit harus mengawasinya ekstra keras, mendekatinya sebisa mungkin dan bersumpah sejak di kamar ganti dirinya tak akan ragu-ragu. Sayangnya Suarez terlatih sejak kecil. Maka yang terjadi justru kekonyolan: bukan yang seharusnya, atau tidak yang seharusnya.
Darah Indian
Karakter Latin beda jauh dengan budaya Eropa, dan terlalu asing di Inggris. Itulah kenapa Suarez bukan kelasnya Fernando Torres. Pada konteks ini, jika pada Mei nanti lahir kejutan, orang baru sadar bahwa Suarez itu sekelas dengan Diego Maradona, Ronaldo Nazario, atau Jose Luis Chilavert, orang-orang yang memiliki gambetta atau furbizia selayaknya lelaki Latino.
Reputasi Suarez sanggup mengubah atau merusak Rule of the Games, kode-kode sepak bola. Keputusannya meninju bola dengan sengaja saat meluncur ke gawang Uruguay pada 2010, sangat menyakitkan satu Afrika. Sesuatu yang mirip dengan Tangan Tuhan Maradona pada 1986. Suarez sangat paham hal itu sebuah kesalahan; yang penting baginya bukan sebuah dosa.
Sisi keadilannya adalah harus melihat intensitas etos kerja Suarez yang sangat kuat, mental juara yang kelewat tinggi. Ambisi pribadi dia pada akhirnya akan mendapat pembenaran, jika tak pantas disebut dengan pengakuan dan dukungan. Tanpa tangan Suarez, Uruguay tak akan lolos ke semifinal Piala Dunia 2010. Orang bertanya: apa yang bikin sosok ini jadi berbuat begitu?
Tanpa menyinggung latar belakang budaya mustahil untuk menjawabnya. Uruguay, yang luasnya hanya seperempat Jakarta Raya dan penduduknya tak sampai 3,5 juta jiwa, juga kenyang diobok-obok kolonialisasi Eropa. Setelah bebas pun; perang saudara, konflik sipil, kudeta militer, resesi ekonomi gantian menghampiri negara yang dijepit raksasa Brasil dan Argentina ini.
Maka tak ayal, kolektivitas sentimen perlawanan nan progresif dan ketidakpercayaan selalu menancap kukuh di setiap DNA pria Uruguay secara turun temurun. Kebudayaan mereka diperkuat oleh suku Charrua, bangsa asli Indian, yang mengolah identitas perlawanan selama empat abad. Garra Charrua, atau kegigihan Charrua, jelas berada di dalam aliran darah Suarez.
Mengkritisi atau meremehkan Suarez justru makin menguatkannya. Dengan marah, Uruguay menjuarai Piala Dunia 1950 dan Copa America 2011 (mengalahkan Brasil dan Argentina). Kombinasi ideologi ketahanan dan semangat sengit dan liar menjelaskan kepribadian Suarez di lapangan. Suatu saat budaya sepak bola toh memahaminya, sebab sepak bola hanya mengakui pihak-pihak yang menang.
Sejago-jagonya orang lihai memprediksinya, sepak bola selalu tak terbantahkan sebagai permainan misterius yang sulit diduga. Di awal musim atau setelah sembilan pekan bahkan hingga akhir Februari, tak satupun para pengamat jempolan sejagat yang berani mencantumkan Liverpool sebagai calon juara. Beruntunglah bagi yang tidak nekat, setelah melihat realitanya.
Kiprah Liverpool mengheningkan kicauan pihak-pihak yang menganggap sepak bola sebagai barang eksak yang mudah dihitung. Kini tiba-tiba saja banyak bermunculan hipokritisme dan pragmatisme di luar Inggris. Penganut klenik barangkali tersenyum. Mereka 'merasakannya' duluan saat melihat Liverpool main di Senayan, Juli silam.
Tipikal Latin
Jika sorotan atas Luis Suarez menggema di mana-mana, maka bayangkan gaungnya pada pertengahan Mei nanti, kala Liverpool memainkan laga penting nan pamungkas, menjamu Newcastle United di Anfield. Ini bisa jadi epos terhebat dalam sejarah klub sekaligus pentas penuh drama.
Seperti apa harapan dan sorotan pada duet SAS atau trio SSS. Masih hangat dalam ingatan betapa telenovela Suarez di bursa transfer I mengaduk-aduk emosi publik Liverpudlian. Suarez, seperti diungkap media massa, dianggap sebagai 'potongan terakhir' dari rangkaian puzzle Arsenal untuk sukses musim ini. Perhitungan sang kapten tim, manajer tim, dan meilik klub semuanya sungguh tepat.
Kalau Steven Gerrard mahkota Liverpool, maka Suarez adalah ratna manikam di mahkota itu. Duet Suarez-Sturridge, tak ayal, kini menjadi tandem terbaik di Inggris. Jika ada yang harus disesali Arsenal, dia itulah orangnya.
Sepak bola memang sulit menjadi sempurna, namun usaha menjadi ideal selalu tak pernah berhenti. Suarez mengakui, satu-satunya pengaruh yang menghambat dia hengkang dari Anfield adalah bisikan dan bujuk rayu Gerrard. Sebagai orang yang paling dihormati, Suarez sadar semua ucapan dan usaha sang kapten patut disimak dan dimaknai dalam-dalam.
Apalagi khusus untuk urusan Suarez, Gerrard mengakui sampai harus mendekatkan diri kembali pada Tuhan. Bayangkan, si kapten mau bertobat dan tiba-tiba jadi alim! Dia kembali ke gereja supaya Suarez diberi jalan lurus dan menolak pindah ke Arsenal. Secara umum, di benak publik The Kop, menanggung frustrasi untuk ketiga kalinya setelah hijrahnya Xabi Alonso dan Fernando Torres, tentu bukan perkara gampang. Namun Suarez tetap Suarez.
Di Ajax, di mana dia tampil reguler di Liga Champion, dia menjadi raja, toh tetap pergi. Dia adalah pria yang sejak kecil punya keinginan kuat. Dia bengal, liar, jago membobol gawang lawan, namun cinta keluarga. Suarez adalah tipikal pria Latin, mirip Carlos Tevez atau dulu Gabriel Batistuta. Impian Suarez sesungguhnya adalah Real Madrid, bukan Arsenal. Hal ini jadi anti-tesis Arsene Wenger. Impiannya adalah memiliki Suarez, bukan Real Madrid.
Liga Champion jadi motivasi utamanya. Sayangnya dompet Madrid lagi tidak setebal punya Arsenal. Mereka tak mungkin membeli Suarez 50 juta pound mana masih ngos-ngosan mencicil duit ke Tottenham Hotspur untuk Gareth Bale masih jauh dari kelar. Liverpool akan jadi tertawaan orang bila menerima tawaran Real Madrid yang jumlahnya cuma separo dari Arsenal.
Sukses atau gagal, ke Liga Champion atau tidak, juara liga setelah 24 tahun atau tidak, Suarez adalah Suarez, pria yang selalu disetir oleh ambisi dan kata hatinya berbasis leluhur, belief, keluarga, dan impian masa kecil. Suarez selalu berpotensi merusak pesta atau menjadi hero to zero. Diperlukan kepasrahan dan kebesaran jiwa ketika memiliki dirinya.
(foto: liverpool.wikia/skysports/metro/terra/downvids/thetimes)
Pindah ke Liverpool, sikap kontroversial Luis Suarez kian menjadi. |
Dalam cakupan luas, orang-orang seperti George Best, Johan Cruijff, Diego Maradona, Hristo Stoichkov, sampai Ronaldo Nazario barangkali jadi contoh ekstrem asal muasal bagaimana seorang biang kerok jadi sukses. Anda pasti lebih banyak punya datanya. Sayang terlampau banyak menyebutkan kategori-kategori di bawah level para legenda, lepas apapun motif atau similarisasi mereka.
Perjalanan hidup Luis Suarez di musim ini begitu menggairahkan, bak from zero to hero. Dari yang tadinya nyaris berstatus penjahat kini jadi jagoan. Tanpa Suarez kekuatan Liverpool cuma setengah. Namun dengan Suarez kekuatan Liverpool menjadi satu setengah. Pria bengal tapi cinta keluarga ini tak syak lagi bisa menjadi 'Maradona-nya' The Reds. Ya, siapa tahu.
Penampilan Liverpool sepanjang musim ini makin terbentuk lewat karakter Suarez, baik sandiwaranya di lapangan, kepribadian eksentriknya. Pemberontakan ayah dua anak itu, benar atau salah, kerapkali dipersepsikan sebagai ancaman buat lembaga yang menaunginya. Dia adalah ikon yang mudah difitnah dunia sehingga sering dijuluki Che Guevarra-nya sepak bola.
Memang punya kepribadian unik dan eksentrik. |
Darah Indian
Karakter Latin beda jauh dengan budaya Eropa, dan terlalu asing di Inggris. Itulah kenapa Suarez bukan kelasnya Fernando Torres. Pada konteks ini, jika pada Mei nanti lahir kejutan, orang baru sadar bahwa Suarez itu sekelas dengan Diego Maradona, Ronaldo Nazario, atau Jose Luis Chilavert, orang-orang yang memiliki gambetta atau furbizia selayaknya lelaki Latino.
Reputasi Suarez sanggup mengubah atau merusak Rule of the Games, kode-kode sepak bola. Keputusannya meninju bola dengan sengaja saat meluncur ke gawang Uruguay pada 2010, sangat menyakitkan satu Afrika. Sesuatu yang mirip dengan Tangan Tuhan Maradona pada 1986. Suarez sangat paham hal itu sebuah kesalahan; yang penting baginya bukan sebuah dosa.
Menjuarai Copa America 2011 dengan kemarahan yang positif. |
Tanpa menyinggung latar belakang budaya mustahil untuk menjawabnya. Uruguay, yang luasnya hanya seperempat Jakarta Raya dan penduduknya tak sampai 3,5 juta jiwa, juga kenyang diobok-obok kolonialisasi Eropa. Setelah bebas pun; perang saudara, konflik sipil, kudeta militer, resesi ekonomi gantian menghampiri negara yang dijepit raksasa Brasil dan Argentina ini.
Mengkritisi atau meremehkan Suarez justru makin menguatkannya. Dengan marah, Uruguay menjuarai Piala Dunia 1950 dan Copa America 2011 (mengalahkan Brasil dan Argentina). Kombinasi ideologi ketahanan dan semangat sengit dan liar menjelaskan kepribadian Suarez di lapangan. Suatu saat budaya sepak bola toh memahaminya, sebab sepak bola hanya mengakui pihak-pihak yang menang.
Aksinya menggigit lengan bek kanan Chelsea Branislav Ivanovic. |
Kiprah Liverpool mengheningkan kicauan pihak-pihak yang menganggap sepak bola sebagai barang eksak yang mudah dihitung. Kini tiba-tiba saja banyak bermunculan hipokritisme dan pragmatisme di luar Inggris. Penganut klenik barangkali tersenyum. Mereka 'merasakannya' duluan saat melihat Liverpool main di Senayan, Juli silam.
Tipikal Latin
Seperti apa harapan dan sorotan pada duet SAS atau trio SSS. Masih hangat dalam ingatan betapa telenovela Suarez di bursa transfer I mengaduk-aduk emosi publik Liverpudlian. Suarez, seperti diungkap media massa, dianggap sebagai 'potongan terakhir' dari rangkaian puzzle Arsenal untuk sukses musim ini. Perhitungan sang kapten tim, manajer tim, dan meilik klub semuanya sungguh tepat.
Melecehkan secara rasis bek kiri Manchester United, Patrice Evra. |
Sepak bola memang sulit menjadi sempurna, namun usaha menjadi ideal selalu tak pernah berhenti. Suarez mengakui, satu-satunya pengaruh yang menghambat dia hengkang dari Anfield adalah bisikan dan bujuk rayu Gerrard. Sebagai orang yang paling dihormati, Suarez sadar semua ucapan dan usaha sang kapten patut disimak dan dimaknai dalam-dalam.
Masih belum kapok untuk menyakiti Patrice Evra. |
Liga Champion jadi motivasi utamanya. Sayangnya dompet Madrid lagi tidak setebal punya Arsenal. Mereka tak mungkin membeli Suarez 50 juta pound mana masih ngos-ngosan mencicil duit ke Tottenham Hotspur untuk Gareth Bale masih jauh dari kelar. Liverpool akan jadi tertawaan orang bila menerima tawaran Real Madrid yang jumlahnya cuma separo dari Arsenal.
Sukses atau gagal, ke Liga Champion atau tidak, juara liga setelah 24 tahun atau tidak, Suarez adalah Suarez, pria yang selalu disetir oleh ambisi dan kata hatinya berbasis leluhur, belief, keluarga, dan impian masa kecil. Suarez selalu berpotensi merusak pesta atau menjadi hero to zero. Diperlukan kepasrahan dan kebesaran jiwa ketika memiliki dirinya.
(foto: liverpool.wikia/skysports/metro/terra/downvids/thetimes)