Telenovela, wanita cantik, bisbol, dan minyak. Bak setali empat uang, itulah ingatan orang pada negeri yang punya lagu kebangsaan Gloria Al Bravo Pueblo (Kemuliaan bagi Rakyat yang Berani). Pada pekan ini, rakyat dan semua insan sepak bola di Venezuela tengah berbela sungkawa untuk menghormati kepergian El Libertador, sang pembebas.
Pada Selasa, 5 Maret 2013, pemimpin Venezuela Hugo Chavez telah meninggal dunia akibat kanker pelvis (rongga ginjal) yang dideritanya dua tahun belakangan. Tak banyak yang tahu, selain berkorelasi dengan Moammar Al Qaddafy dan bermusuhan dengan Amerika Serikat di pentas politik, beliau juga terkait dengan sepak bola. Kenapa Chavez disebut tokoh kebangkitan sepak bola Venezuela?
Empat tahun silam sebelum membujur abadi di liang lahat, Chavez melakukan sesuatu hal yang sangat signifikan untuk mengoreksi dirinya sekaligus mengubah perilaku sepak bola di negerinya. Pemimpin paling kharismatik di Amerika Latin di awal dekade kedua milenium ini menghembuskan nafas terakhir. Bukan satu kebetulan, empat tahun setelah wafatnya sahabat dan teman seperjuangannya, Qaddafy si Che Guevarra dari Afrika, Chavez ‘menyusul’ pada tanggal dan bulan yang sama!
Kisah pertautan Chavez-Qaddafy diawali pada Kamis 5 Maret 2009. Kala itu dia mengunjungi Libya untuk menemui Qaddafy, rekanan seperjuangan anti-imprerialisme. Sang pemimpin tertinggi Venezuela dielu-elukan rakyat Libya. Di sela-sela rangkaian kunjungan politiknya, Chavez berdiplomasi khusus yang tak pernah dilupakan orang, meresmikan stadion – bangunan penting setelah masjid di Libya.
Tak heran jika hingga 2011, di Benina, kota kecil dekat Benghazi, pernah berdiri kokoh ‘Stadion Hugo Chavez’ yang setelah Qaddafy wafat diganti namanya oleh rezim baru Libya menjadi Stadion Martir Februari. Siapapun tahu tentang persahabatan dua tokoh anti-Amerika yang kini berstatus almarhum. Bukan sekali ini, Chavez – pria Leo kelahiran 28 Juli 1954 itu – diberi penghargaan oleh sang kompatriot. Pada 2004 Chavez juga ditabalkan Qaddafy lewat acara formal, sebagai pejuang sejati penghadang efek imperialisme.
Tapi kejadian di Benina yang lebih mengejutkan banyak pihak, tidak saja rakyat kedua negara namun juga Amerika Serikat, dan barangkali FIFA. Pasalnya sejak kapan sang Caudillos (orang kuat militer) itu menyukai bola? Data intelijen CIA di kolom hobi mengatakan bahwa Hugo Rafael Chavez Frias adalah penggemar fanatik bisbol. Sahabat dekat Magglio Ordonez, atlet top Venezuela yang jadi bintang di Major League Baseball (MLB) di AS.
Kenapa tiba-tiba tidak ada juntrungnya dia melirik sepak bola, dan celakanya pakai berkolaborasi dengan Qaddafy segala? Ada apa ini? AS berpikir keras. Tautan olah raga dan politik kadang menghasilkan kerancuan, keracunan, sekaligus kelucuan. Chavez memang membenci Amerika yang selalu maniak dengan emas hitam alias minyak. Muak nomor duanya kepada negeri Paman Sam tentu disebabkan karena secara politik, dia adalah seorang sosialis.
Sejak Chavez melakoni peran Del Presidente Venezolano pada 1999, sontak negeri sarang Miss Universe ini dibanjiri epik sensasi lantaran Chavez punya daya tarik tinggi. Aura pesonanya hebat, intonasi bicaranya amat memikat dan mengguncangkan. Dia dianggap penerus El Libertador Simon Bolivar (1783-1830). Di masa jayanya, ikon anti-imperialisme terbesar yang orang Venezuela ini adalah Presiden Kolombia Raya, Venezuela, Bolivia, Peru, dan musuh abadi Spanyol sang penjarah tanah orang.
Chavez adalah orator kelas kakap. Pidatonya bikin hati pendengarnya berdegup, bergairah, terbakar, saking merasuknya. Apalagi disertai kepalan tangan atau pekikan, terutama saat mencerca Amerika. Pendek kata, dia disebut reinkarnasi-nya Simon Bolivar. Sedikitnya tidak beda jauh dengan jagoan Argentina Ernesto ‘Che’ Guevarra, atau setidaknya mengingatkan pada legenda Kuba, Fidel Castro. Saking takjubnya, media massa di AS Amerika sering menjulukinya “The Iconoclastic”.
Berpendirian teguh menjadi pembenci nomor satu AS, risiko Chavez cuma dua: dimusuhi tapi sekaligus disegani. Selain Qaddafy dan Castro, banyak juga yang jadi konco loyalnya. Sebut saja Eva Morales (Bolivia), Omar Al-Bashir (Sudan), Kim Jong-il (Korea Utara), Mahmoud Ahmadinejad (Iran), hingga Diego Maradona. Nyali AS terkadang menciut melawan tridente maut lini depan ‘kesebelasan’ anti-imperialis: Ahmadinejad- Chavez-Qaddafy. Pasalnya ketiganya adalah penguasa 25% produksi minyak dunia.
Gara-gara minyak pula, Chavez dengan gampang mengangkat harkat negeri berpopulasi 27 juta jiwa ini di mata internasional. Baik politis, bisnis, sampai keuangan. Kini pendapatan per kapita Venezuela adalah 13.200 dolar AS. Bandingkan dengan Indonesia yang masih 5.000 dolar AS. Dua belas tahun berkuasa, Chavez tampak sukar diutak-atik kecuali dengan satu hal.
Politik Sepak Bola
Entah mengapa setiap mendengar politik atau kebijakan AS, tensi ayah dari tiga anak itu acap kali meninggi. Akan tetapi, saat teringat atau melihat bisbol – olahraga yang menjadi trademark AS – temperamen Chavez bisa surut. Kecintaan Chavez pada permainan kapitalis, bisbol, bukan lagi rahasia. Tokoh anti AS, sebal berat dengan kelakuan koboi Yankee, tapi memuja olah raganya. Uniknya, AS tidak bisa memanfaatkan ‘peluang’ ini. Justru Qaddafy yang sukses menarik pria yang kawin dua kali itu ke sepak bola.
Bagaimana mungkin mau memajukan sepak bola jika dia kegilaan bisbol? Pada awalnya AS tentu saja mesem-mesem. Namun setelah Qaddafy mengenalkan sepak bola, pria penderita Bipolar Disorder itu bertekad kuat untuk mendalami passion baru: sepak bola. Itulah intisari perjalanan dirinya ke Libya, empat tahun silam. Perjalanannya itu di kemudian hari bakal memengaruhi semangat rakyatnya untuk lebih bergairah dengan sepak bola, sekaligus untuk melupakan kesusahan yang melanda negeri.
Venezuela satu-satunya negara di Amerika Latin yang belum pernah lolos ke World Cup. Sejak lama Chavez menyadari. Dia juga tahu status tim Cenicienta alias Cinderella menjadi tim terlemah di Amerika Latin. Anyway, meski dilematis ia tetap berusaha keras mencobanya. Ketua Partai Uni Sosialis ini pernah memberi misi mustahil pada FVF (PSSI-nya Venezuela): menggolkan negara yang merdeka pada 5 Juli 1811 itu menjadi tuan rumah Copa America 2007.
Hebatnya, misi itu berhasil. Saking senangnya, keluguannya muncul. Dikira sepak bola seperti yang ada di pikirannya. Dua bulan sebelum kejuaraan, dalam satu pertemuan Chavez langsung jumawa di depan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, ”Lula, saya punya kejutan untukmu. Berhati-hatilah, kawan!” Dia ingin tim Samba bertemu Venezuela. Ketika turnamen digelar pada 26 Juni-15 Juli 2007, Venezuela tampil oke. Tim berjuluk La Vinotinto mengejutkan orang dengan menjadi juara Grup A.
Tapi sayangnya tinggal selangkah lagi bersua Brasil di semifinal, di hadapan Chavez sendiri, Venezuela dipermak Uruguay 1-4! Upaya Chavez menyenangkan rakyat pun gagal. Di seberang sana, barangkali Lula Da Silva terpingkal-pingkal mendengar kekalahan itu. Secara politis, para pengamat yakin Copa America 2007 cuma dijadikan kredit poin rezim Chavez di dalam negeri. Banyak pula rakyat yang bingung melihat cara Chavez merayakan kegembiraan usai terjadi gol. Sangat jelas sekali ia bukan “orang bola”.
Namun itu bukan halangan. Upaya Chavez yang harus disimak dan dihargai. Tak mudah mengubah kultur dan tradisi olah raga Amerika yang telah berjalan seabad. Venezuela mirip dengan Nikaragua, Dominika, atau Kuba. Meski bermusuhan dengan AS, namun soal olahraga, keempat negara sosialis ini paling lihai main bola voli, bola basket dan bisbol; tiga olah raga ciptaan Yankees.
Di Venezuela, bisbol berkembang pesat mulai awal abad 20. Bahkan di 1941, Venezuela pernah jadi juara dunia bisbol. Sejak itu negara ini banyak menyuplai pemain di MLB, Liga Bisbol AS. Perjuangan Chavez menghapus bisbol dari benaknya saja terkesan mustahil.
Beda dengan bisbol atau sofbol, tradisi sepak bola di negeri telenovela baru dimulai pada era 1950-an. Cukup terlambat. Uniknya, kesan sebagai negara pencinta opera sabun dicitrakan juga di sepak bola. Tak heran jika tim nasional Venezuela awalnya disebut dengan Cenicienta atau Cinderella.
Sebenarnya tim nasional Venezuela pertama kali debut pada 1938, namun tak pernah ikut Piala Amerika hingga 1967. Sampai awal 1990-an, mereka cuma bisa menang dua kali di ajang kompetitif. Cerita telenovela Cinderella sungguhan terjadi, sebab Venezuela pernah dicincang habis Yugoslavia 0-10 pada sebuah turnamen di Brasil 1972. Juga dikuliti Argentina 0-11 di Copa America 1975.
Jasa terbesar Chavez bagi kemajuan sepak bola Venezuela sesungguhnya bukan dari sepak bolanya, tapi dari sisi patriotismenya. Ia sukses mengajak rakyat agar lebih mencintai sepak bola. Buktinya tiga tahun setelah dia berkuasa, citra Venezuela mulai berubah positif. Julukan baru untuk tim nasional pun dihembuskan, La Vinotinto atau Si Merah Hati.
Gengsi La Vinotinto terdongkrak usai Chavez berkuasa. Sampai era Presiden Rafael Caldera, Venezuela paling banter cuma bisa menang dari Ekuador pada 1998. Di Pra Piala Dunia 2002 sejarah baru tercipta: Venezuela tidak jadi juru kunci, melainkan Cili. Vinotinto bisa lima kali menang, termasuk dari Uruguay 2-0. Bahkan pernah tiga kali menang beruntun atas Cili, Peru dan Uruguay sebelum distop Brasil.
Melihat banyak perubahan yang terjadi, Chavez kian semangat. Ia makin banyak terlibat di politik sepak bola. Pada 2006, kuartet Chavez -Castro-Morales-Maradona mengecam FIFA tatkala melarang Bolivia menggelar main bola di ketinggian tertentu. Pada Pra Piala Dunia 2006, timnas Venezuela ganti merek lagi, yaitu Auge Vinotinto (Si Cemerlang Merah Hati).
Momentum Kebangkitan
Walau kembali gagal lolos ke Jerman, Venezuela terhindar lagi dari juru kunci. Lima kali menang diraih atas Kolombia 1-0, Bolivia 2-1, Uruguay 3-0, Ekuador 3-1 dan Peru 4-1. Melihat ini semua, Chavez semakin getol berusaha. Hasilnya, semakin banyak sponsor, pengusaha top, atau investor yang menaruh proposalnya di sepak bola.
Bak cerita Cinderella nyata, hasil bagus di Copa America 2007 menjadi titik balik Venezuela. Klub-klub merestorasi stadion, dan tiap saat penonton terus bertambah. Indikator lain, fans club kian fanatik dengan membentuk grup ultras, semacam bonek. Baliho mereka mewarnai jalan-jalan dan stadion setiap pekan. Keriuhan tak melulu di Caracas, tapi juga di Maracaibo atau Merida. Generasi baru pria mulai meninggalkan main bisbol, sofbol dan basket!
Sejak Piala Amerika 2007 di negerinya, Presiden Chavez makin yakin banyak yang bisa didapat dari sepak bola. Nasionalisme, kehormatan, harga diri bangsa sampai uang. “Kita butuh waktu. Harapan saya, melalui sepak bola, negeri ini bisa meningkatkan tantangan ke depan sehingga kita tak melulu membanggakan diri dengan minyak kita,” pekik pensiunan Letkol Angkatan Darat saat itu.
Cukup setahun setelah pidato, pada 6 Juni 2008, momentum pun tercipta. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Venezuela mengalahkan Brasil 2-0 dalam laga persahabatan, dan yang bikin Chavez kian bersorak kegirangan lantaran pertandingan digelar di Boston, AS. Sejak itu Lula da Silva tak akan pernah meremehkan lagi Hugo Chavez dan Venezuela. Lewat tangan Chavez, prestasi Auge Vinotinto terus meroket hingga kini.
Pada 2010, Venezuela kembali gagal menembus Piala Dunia meski di hasil kualifikasinya cukup membanggakan. Namun buat Chavez usahanya sudah optimal. Dia telah menebar aura kebangkitan sepak bola di negaranya. Ia mengingatkan berkali-kali, “bersabarlah”, uniknya, faktor ini memang salah satu kunci sukses sepak bola. Usai memenangi pemilu 2006, jabatan dia seharusnya tuntas di 2012. Namun pada Juni 2011, dunia terkejut oleh pernyataan Chavez terkena kanker.
Spekulasi berkembang tidak sedap. Wapres Nicolas Maduro berspekulasi sang pemimpin telah diracun oleh Amerika, yang langsung dibantah Departemen Pertahanan AS. Sejak lama Chavez sudah merasa menjadi target assassination seperti halnya Saddam Hussein (Desember 2006), Usamah Bin Ladin (Mei 2011), dan terakhir sahabat setianya, Qaddafy (Oktober 2011). Gara-gara sakit, Chavez urung mendukung Venezuela yang tampil hebat di Copa America 2011.
Untuk pertama kalinya Venezuela meluncur ke semifinal kejuaraan yang digelar di Argentina itu. Di penyisihan grup, sesuai janji abadi Chavez, kembali Brasil tak bisa mengalahkan Venezuela usai bermain dengan hasil kacamata. Sayang, tinggal selangkah ke final, skuad Auge Vinotinto dikalahkan Paraguay 3-5 lewat adu penalti.
Prakstis sejak mengawal langsung revolusi sepak bola Venezuela di 2007, Chavez sukses menaikkan negaranya di rangking FIFA dari tahun ke tahun. Dalam rilis resmi, Maret 2013, sekarang Venezuela berada di peringkat ke-45! Bandingkan dengan Indonesia yang sejak Piala Asia 2007, kini peringkatnya terpuruk ke barisan 160-an. Apa beda Venezuela dan Indonesia di sepak bola? Niat lurus, komitmen. Jika Anda seorang pemimpin, lakukan seperti yang dibuat Chavez!
Dalam klasemen kualifikasi Piala Dunia 2014 di Brasil, untuk sementara Venezuela berada di peringkat keempat di atas Paraguay, Peru, Bolivia, Cili, dan Uruguay! Jika kondisi ini dipertahankan dalam sembilan laga ke depan, maka untuk pertama kalinya kita akan mencium keharuman sejarah: lolos untuk pertama kalinya ke Piala Dunia! Andai ini terjadi, Lula da Silva tak akan melupakan candaan Chavez kepadanya. “Berhati-hatilah, kawan!”
Bak mengarungi kisah pilu di telenovela, impian Chavez untuk menyaksikan para prajurit Auge Vinotinto-nya berlaga di Piala Dunia tidak menjadi kenyataan. Tuhan lebih dulu memanggilnya. Di seluruh pelosok jerit histeris menangisi kepergiannya, tidak terkecuali Presiden Ahmadinejad.
Misi Chavez di sepak bola kini memang telah kelar, namun efeknya tak akan pudar di mata rakyat. Bahkan seharusnya FIFA memberi apresiasi khusus sebab Chavez telah berjuang keras untuk mempopulerkan dan menggairahkan sepak bola, minimal di negaranya.
Kini jutaan anak-anak dan pemuda Venezuela makin banyak yang bercita-cita menjadi pemain nasional Auge Vinotinto. Karakter, pemikiran radikal, dan upaya gigih Chavez telah mengubah haluan dan cara berpikir negara bernama resmi República Bolivariana de Venezuela ini untuk membangun budaya baru sepak bolanya.
Sekarang setiap anak-anak lelaki di Venezuela tidak lagi selalu bermimpi jadi pemain bisbol. Chavez telah membebaskan kembali sepak bola Venezuela dari jeratan nestapa sekaligus membangun kepercayaan diri buat modal ke depan. Selamat jalan El Libertador dan Iconoclastic, dunia sepak bola akan selalu mengenang Anda!
(foto: ft.com/kabobfest/usefoolstooges/readingpictures/mittromneycentral/beliefnet)
Meninggal dunia di tanggal dan bulan yang sama dengan Moammar Al Qaddafy. |
Empat tahun silam sebelum membujur abadi di liang lahat, Chavez melakukan sesuatu hal yang sangat signifikan untuk mengoreksi dirinya sekaligus mengubah perilaku sepak bola di negerinya. Pemimpin paling kharismatik di Amerika Latin di awal dekade kedua milenium ini menghembuskan nafas terakhir. Bukan satu kebetulan, empat tahun setelah wafatnya sahabat dan teman seperjuangannya, Qaddafy si Che Guevarra dari Afrika, Chavez ‘menyusul’ pada tanggal dan bulan yang sama!
Kisah pertautan Chavez-Qaddafy diawali pada Kamis 5 Maret 2009. Kala itu dia mengunjungi Libya untuk menemui Qaddafy, rekanan seperjuangan anti-imprerialisme. Sang pemimpin tertinggi Venezuela dielu-elukan rakyat Libya. Di sela-sela rangkaian kunjungan politiknya, Chavez berdiplomasi khusus yang tak pernah dilupakan orang, meresmikan stadion – bangunan penting setelah masjid di Libya.
Tak heran jika hingga 2011, di Benina, kota kecil dekat Benghazi, pernah berdiri kokoh ‘Stadion Hugo Chavez’ yang setelah Qaddafy wafat diganti namanya oleh rezim baru Libya menjadi Stadion Martir Februari. Siapapun tahu tentang persahabatan dua tokoh anti-Amerika yang kini berstatus almarhum. Bukan sekali ini, Chavez – pria Leo kelahiran 28 Juli 1954 itu – diberi penghargaan oleh sang kompatriot. Pada 2004 Chavez juga ditabalkan Qaddafy lewat acara formal, sebagai pejuang sejati penghadang efek imperialisme.
Stadion Hugo Chavez di Benina, kota kecil dekat Benghazi. |
Kenapa tiba-tiba tidak ada juntrungnya dia melirik sepak bola, dan celakanya pakai berkolaborasi dengan Qaddafy segala? Ada apa ini? AS berpikir keras. Tautan olah raga dan politik kadang menghasilkan kerancuan, keracunan, sekaligus kelucuan. Chavez memang membenci Amerika yang selalu maniak dengan emas hitam alias minyak. Muak nomor duanya kepada negeri Paman Sam tentu disebabkan karena secara politik, dia adalah seorang sosialis.
Sejak Chavez melakoni peran Del Presidente Venezolano pada 1999, sontak negeri sarang Miss Universe ini dibanjiri epik sensasi lantaran Chavez punya daya tarik tinggi. Aura pesonanya hebat, intonasi bicaranya amat memikat dan mengguncangkan. Dia dianggap penerus El Libertador Simon Bolivar (1783-1830). Di masa jayanya, ikon anti-imperialisme terbesar yang orang Venezuela ini adalah Presiden Kolombia Raya, Venezuela, Bolivia, Peru, dan musuh abadi Spanyol sang penjarah tanah orang.
Chavez adalah orator kelas kakap. Pidatonya bikin hati pendengarnya berdegup, bergairah, terbakar, saking merasuknya. Apalagi disertai kepalan tangan atau pekikan, terutama saat mencerca Amerika. Pendek kata, dia disebut reinkarnasi-nya Simon Bolivar. Sedikitnya tidak beda jauh dengan jagoan Argentina Ernesto ‘Che’ Guevarra, atau setidaknya mengingatkan pada legenda Kuba, Fidel Castro. Saking takjubnya, media massa di AS Amerika sering menjulukinya “The Iconoclastic”.
Bersama Al-Qaddafy, rekanan seperjuangan anti-imprerialisme. |
Gara-gara minyak pula, Chavez dengan gampang mengangkat harkat negeri berpopulasi 27 juta jiwa ini di mata internasional. Baik politis, bisnis, sampai keuangan. Kini pendapatan per kapita Venezuela adalah 13.200 dolar AS. Bandingkan dengan Indonesia yang masih 5.000 dolar AS. Dua belas tahun berkuasa, Chavez tampak sukar diutak-atik kecuali dengan satu hal.
Politik Sepak Bola
Entah mengapa setiap mendengar politik atau kebijakan AS, tensi ayah dari tiga anak itu acap kali meninggi. Akan tetapi, saat teringat atau melihat bisbol – olahraga yang menjadi trademark AS – temperamen Chavez bisa surut. Kecintaan Chavez pada permainan kapitalis, bisbol, bukan lagi rahasia. Tokoh anti AS, sebal berat dengan kelakuan koboi Yankee, tapi memuja olah raganya. Uniknya, AS tidak bisa memanfaatkan ‘peluang’ ini. Justru Qaddafy yang sukses menarik pria yang kawin dua kali itu ke sepak bola.
Bagaimana mungkin mau memajukan sepak bola jika dia kegilaan bisbol? Pada awalnya AS tentu saja mesem-mesem. Namun setelah Qaddafy mengenalkan sepak bola, pria penderita Bipolar Disorder itu bertekad kuat untuk mendalami passion baru: sepak bola. Itulah intisari perjalanan dirinya ke Libya, empat tahun silam. Perjalanannya itu di kemudian hari bakal memengaruhi semangat rakyatnya untuk lebih bergairah dengan sepak bola, sekaligus untuk melupakan kesusahan yang melanda negeri.
Ahmadinejad-Chavez. Plus Al-Qaddafy, ketiganya penguasa 25% minyak dunia. |
Hebatnya, misi itu berhasil. Saking senangnya, keluguannya muncul. Dikira sepak bola seperti yang ada di pikirannya. Dua bulan sebelum kejuaraan, dalam satu pertemuan Chavez langsung jumawa di depan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, ”Lula, saya punya kejutan untukmu. Berhati-hatilah, kawan!” Dia ingin tim Samba bertemu Venezuela. Ketika turnamen digelar pada 26 Juni-15 Juli 2007, Venezuela tampil oke. Tim berjuluk La Vinotinto mengejutkan orang dengan menjadi juara Grup A.
Tapi sayangnya tinggal selangkah lagi bersua Brasil di semifinal, di hadapan Chavez sendiri, Venezuela dipermak Uruguay 1-4! Upaya Chavez menyenangkan rakyat pun gagal. Di seberang sana, barangkali Lula Da Silva terpingkal-pingkal mendengar kekalahan itu. Secara politis, para pengamat yakin Copa America 2007 cuma dijadikan kredit poin rezim Chavez di dalam negeri. Banyak pula rakyat yang bingung melihat cara Chavez merayakan kegembiraan usai terjadi gol. Sangat jelas sekali ia bukan “orang bola”.
Namun itu bukan halangan. Upaya Chavez yang harus disimak dan dihargai. Tak mudah mengubah kultur dan tradisi olah raga Amerika yang telah berjalan seabad. Venezuela mirip dengan Nikaragua, Dominika, atau Kuba. Meski bermusuhan dengan AS, namun soal olahraga, keempat negara sosialis ini paling lihai main bola voli, bola basket dan bisbol; tiga olah raga ciptaan Yankees.
Di Venezuela, bisbol berkembang pesat mulai awal abad 20. Bahkan di 1941, Venezuela pernah jadi juara dunia bisbol. Sejak itu negara ini banyak menyuplai pemain di MLB, Liga Bisbol AS. Perjuangan Chavez menghapus bisbol dari benaknya saja terkesan mustahil.
Beda dengan bisbol atau sofbol, tradisi sepak bola di negeri telenovela baru dimulai pada era 1950-an. Cukup terlambat. Uniknya, kesan sebagai negara pencinta opera sabun dicitrakan juga di sepak bola. Tak heran jika tim nasional Venezuela awalnya disebut dengan Cenicienta atau Cinderella.
Sebenarnya tim nasional Venezuela pertama kali debut pada 1938, namun tak pernah ikut Piala Amerika hingga 1967. Sampai awal 1990-an, mereka cuma bisa menang dua kali di ajang kompetitif. Cerita telenovela Cinderella sungguhan terjadi, sebab Venezuela pernah dicincang habis Yugoslavia 0-10 pada sebuah turnamen di Brasil 1972. Juga dikuliti Argentina 0-11 di Copa America 1975.
Jasa terbesar Chavez bagi kemajuan sepak bola Venezuela sesungguhnya bukan dari sepak bolanya, tapi dari sisi patriotismenya. Ia sukses mengajak rakyat agar lebih mencintai sepak bola. Buktinya tiga tahun setelah dia berkuasa, citra Venezuela mulai berubah positif. Julukan baru untuk tim nasional pun dihembuskan, La Vinotinto atau Si Merah Hati.
Gengsi La Vinotinto terdongkrak usai Chavez berkuasa. Sampai era Presiden Rafael Caldera, Venezuela paling banter cuma bisa menang dari Ekuador pada 1998. Di Pra Piala Dunia 2002 sejarah baru tercipta: Venezuela tidak jadi juru kunci, melainkan Cili. Vinotinto bisa lima kali menang, termasuk dari Uruguay 2-0. Bahkan pernah tiga kali menang beruntun atas Cili, Peru dan Uruguay sebelum distop Brasil.
Maradona dan Chavez, duet maut pembenci George W. Bush. |
Momentum Kebangkitan
Walau kembali gagal lolos ke Jerman, Venezuela terhindar lagi dari juru kunci. Lima kali menang diraih atas Kolombia 1-0, Bolivia 2-1, Uruguay 3-0, Ekuador 3-1 dan Peru 4-1. Melihat ini semua, Chavez semakin getol berusaha. Hasilnya, semakin banyak sponsor, pengusaha top, atau investor yang menaruh proposalnya di sepak bola.
Bak cerita Cinderella nyata, hasil bagus di Copa America 2007 menjadi titik balik Venezuela. Klub-klub merestorasi stadion, dan tiap saat penonton terus bertambah. Indikator lain, fans club kian fanatik dengan membentuk grup ultras, semacam bonek. Baliho mereka mewarnai jalan-jalan dan stadion setiap pekan. Keriuhan tak melulu di Caracas, tapi juga di Maracaibo atau Merida. Generasi baru pria mulai meninggalkan main bisbol, sofbol dan basket!
Sejak Piala Amerika 2007 di negerinya, Presiden Chavez makin yakin banyak yang bisa didapat dari sepak bola. Nasionalisme, kehormatan, harga diri bangsa sampai uang. “Kita butuh waktu. Harapan saya, melalui sepak bola, negeri ini bisa meningkatkan tantangan ke depan sehingga kita tak melulu membanggakan diri dengan minyak kita,” pekik pensiunan Letkol Angkatan Darat saat itu.
Cukup setahun setelah pidato, pada 6 Juni 2008, momentum pun tercipta. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Venezuela mengalahkan Brasil 2-0 dalam laga persahabatan, dan yang bikin Chavez kian bersorak kegirangan lantaran pertandingan digelar di Boston, AS. Sejak itu Lula da Silva tak akan pernah meremehkan lagi Hugo Chavez dan Venezuela. Lewat tangan Chavez, prestasi Auge Vinotinto terus meroket hingga kini.
Di seluruh pelosok negeri jerit histeris menangisi kepergiannya. |
Spekulasi berkembang tidak sedap. Wapres Nicolas Maduro berspekulasi sang pemimpin telah diracun oleh Amerika, yang langsung dibantah Departemen Pertahanan AS. Sejak lama Chavez sudah merasa menjadi target assassination seperti halnya Saddam Hussein (Desember 2006), Usamah Bin Ladin (Mei 2011), dan terakhir sahabat setianya, Qaddafy (Oktober 2011). Gara-gara sakit, Chavez urung mendukung Venezuela yang tampil hebat di Copa America 2011.
Untuk pertama kalinya Venezuela meluncur ke semifinal kejuaraan yang digelar di Argentina itu. Di penyisihan grup, sesuai janji abadi Chavez, kembali Brasil tak bisa mengalahkan Venezuela usai bermain dengan hasil kacamata. Sayang, tinggal selangkah ke final, skuad Auge Vinotinto dikalahkan Paraguay 3-5 lewat adu penalti.
Prakstis sejak mengawal langsung revolusi sepak bola Venezuela di 2007, Chavez sukses menaikkan negaranya di rangking FIFA dari tahun ke tahun. Dalam rilis resmi, Maret 2013, sekarang Venezuela berada di peringkat ke-45! Bandingkan dengan Indonesia yang sejak Piala Asia 2007, kini peringkatnya terpuruk ke barisan 160-an. Apa beda Venezuela dan Indonesia di sepak bola? Niat lurus, komitmen. Jika Anda seorang pemimpin, lakukan seperti yang dibuat Chavez!
Dalam klasemen kualifikasi Piala Dunia 2014 di Brasil, untuk sementara Venezuela berada di peringkat keempat di atas Paraguay, Peru, Bolivia, Cili, dan Uruguay! Jika kondisi ini dipertahankan dalam sembilan laga ke depan, maka untuk pertama kalinya kita akan mencium keharuman sejarah: lolos untuk pertama kalinya ke Piala Dunia! Andai ini terjadi, Lula da Silva tak akan melupakan candaan Chavez kepadanya. “Berhati-hatilah, kawan!”
Mahmoud Ahmadinejad berduka di depan istri Hugo Chavez. |
Misi Chavez di sepak bola kini memang telah kelar, namun efeknya tak akan pudar di mata rakyat. Bahkan seharusnya FIFA memberi apresiasi khusus sebab Chavez telah berjuang keras untuk mempopulerkan dan menggairahkan sepak bola, minimal di negaranya.
Kini jutaan anak-anak dan pemuda Venezuela makin banyak yang bercita-cita menjadi pemain nasional Auge Vinotinto. Karakter, pemikiran radikal, dan upaya gigih Chavez telah mengubah haluan dan cara berpikir negara bernama resmi República Bolivariana de Venezuela ini untuk membangun budaya baru sepak bolanya.
Sekarang setiap anak-anak lelaki di Venezuela tidak lagi selalu bermimpi jadi pemain bisbol. Chavez telah membebaskan kembali sepak bola Venezuela dari jeratan nestapa sekaligus membangun kepercayaan diri buat modal ke depan. Selamat jalan El Libertador dan Iconoclastic, dunia sepak bola akan selalu mengenang Anda!
(foto: ft.com/kabobfest/usefoolstooges/readingpictures/mittromneycentral/beliefnet)