Semarang, Sabtu 7 Agustus 1937. Sebuah laga paling bersejarah buat sepak bola nasional terjadi sore itu. Satu klub top dari Cina bernama Nan Hwa menjadi lawan pertama kali "tim PSSI" (jululan tim nasional sebelum Indonesia merdeka). Begitulah yang dipaparkan Harian Sin Tit Po, edisi Senin 9 Agustus 1937.
Satu hal yang perlu diingat lagi: justru dengan klub asing-lah, Nan Hwa, timnas kita melakukan debutnya, yang berkesudahan 2-2 tersebut. Asal tahu saja, Nan Hwa datang dengan kekuatan penuh antara lain bintangnya Lee Wai Tong, legenda sepak bola Cina, Hong Kong, dan Asia. Jika di era pra kemerdekaan saja sudah sering ngadu dengan orang luar, apalagi pasca kemerdekaan. Era selanjutnya makin mengagumkan.
Kedatangan klub-klub top Eropa mulai marak ketika Presiden Soekarno menginstruksikan PSSI agar menyiapkan tim nasional yang handal untuk dua proyek besar: Asian Games II di Manila pada 1954 dan Olimpiade Melbourne 1956. Selain ujicoba ke Asia dan Eropa berbulan-bulan, mengundang klub-klub asing baik dari Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Latin jadi tujuan strategis PSSI: mengukur kekuatan permainan, karakter, dan mentalitas pemain nasional.
Di era 1950-an itu bahkan PSSI bisa mendatangkan klub top Eropa dari Prancis, Stade Reims, yang diperkuat bintang dunia saat itu, Raymond Kopa. Menurut catatan di buku Kenang-Kenangan 50 Tahun PSSI, klub-klub dari Singapura, Malaysia, Thailand, India, Jepang, Filipina, Cina, Mozambik sampai Austria, Swiss, Cekoslowakia (Slovan Bratislava), dan Yugoslavia (Savel) sampai Brasil (Cruzeiro) juga pernah beranjangsana ke Nusantara.
Yang tak kalah hebohnya, ketika Lokomotiv Moskva juga singgah di Tanah Air. Klub top Uni Soviet ini juga datang dengan tim inti termasuk bintangnya Valentin Bubukin, seorang penyerang yang punya tendangan sangat keras yang bikin seorang penjaga gawang rasanya ogah bermain di posisinya. Menurut informasi yang penulis dapatkan, dari 7 pertandingan di Tanah Air mulai dari Medan sampai Surabaya, Bubukin 'sukses' membuat pingsan lima orang kiper lawan karena cedera di kepala atau dada akibat terkena bola gebokan Bubukin!
Dari rentetan ujicoba dengan klub-klub asing itu, PSSI menuai sukses lahir batin. Paling mengagumkan adalah lolos ke babak 16 besar Olimpiade Melbourne, antara lain sempat menahan Uni Soviet 0-0. Satu prestasi puncak persepak bolaan nasional hingga kini. Di era 60-an, ketika PSSI punya dua timnas (Banteng dan Garuda), giliran Torpedo Moskva (Uni Soviet), FC Malmoe (Swedia), Petrolul Ploiesti (Rumania) dan timnas Yugoslavia yang berkunjung ke Tanah Air.
Hebatnya, timnas Garuda bisa mengalahkan Torpedo, Yugoslavia, dan Petrolul dengan skor 3-1, 5-1, dan 5-3. Sukses juga didapat tim senior Banteng dengan lawan yang sama lewat skor 0-0, 3-2, dan 4-3. Satu-satunya kekalahan Garuda diderita melawan FC Malmoe 2-5. Sedangkan tim Banteng sukses membungkam klub Swedia itu dengan 2-0. Klub asal AS, Tornado, juga pernah bertarung melawan Persija dan kalah 0-2.
Di era 1970-an, dengan semakin kondusifnya stabilitas politik dan iklim ekonomi bangsa, Indonesia semakin dibanjiri kedatangan klub-klub asing. Klub macam Dynamo Moskva (Uni Soviet), FC Brno (Cekoslowakia), Csepel SC (Hongaria), Neuchatel Xamax (Swiss), Santos (Brasil), Esbjerg (Denmark), Kristiandsand (Norwegia), Ajax Amsterdam, Stoke City, Manchester United, sampai timnas Uruguay dan Italia U-21 rela terbang jauh-jauh karena penasaran dengan iklim sepak bola Indonesia yang mereka kenal ganas dan ingin merasakan seperti apa berada di sarangnya legenda sepak bola Asia.
Laga melawan Dynamo di Senayan pada 14 Juni 1970 paling menyita perhatian publik. Penyebabnya cuma satu: mereka menyertakan kiper legendaris dunia Lev Yashin! Meski kalah 0-1 namun kiper Indonesia Judo Hadianto dielu-elukan publik. Puluhan penyelamatan gemilangnya menghindarkan Indonesia dari kebobolan yang lebih besar. Pelajaran untuk meningkatkan mentalitas bermain selalu jadi motto bagi para pemain nasional. Mereka boleh kalah pada teknik bermain, tapi soal mental jangan sampai.
Begitu juga pada 20 Juni 1972, tatkala Santos hadir di hadapan 85.000-an publik Senayan. Dua tahun silam Lev Yashin, kini giliran orang ingin melihat Pele. Dengan match fee 40 ribu dolar AS, sekitar Rp 15 juta saat itu Pele cs mendarat di Bandara Kemayoran, dua hari sebelumnya. Untuk menghadapi duel bergengsi ini, PSSI memanggil para bintangnya seperti Ronny Paslah, Anwar Udjang, Mohammad Basri, Muljadi, Abdul Kadir, Iswadi Idris, Risdianto serta Jacob Sihasale.
Jalannya laga cukup membanggakan penonton karena para pemain nasional tampil bersungguh-sungguh tidak mau kalah. Meski dua menit berlangsung, gawang Ronny dibobol oleh Jade, juga di menit 14 oleh Edu, bahkan ketika Pele mencetak gol lewat tendangan penalti di menit 30 dan membuat PSSI tertinggal 0-3, semangat anak-anak asuhan Endang Witarsa tidak pernah surut. Inilah yang membedakan dengan pemain nasional generasi sekarang. Dengan ikhtiar menyala-nyala, hasilnya pun jadi sepadan.
Menit 31, Iswadi yang menggiring bola sendirian berhasil menendang bola namun memantul mistar gawang. Bola jatuh di kaki Risdianto yang serta merta menggenjotnya lagi ke gawang. 1-3. Di menit 70, kembali Risdianto melesakkan gol setelah bekerja sama dengan Sihasale dan Yuswardi. Namun saat skor 3-2 ini keadaan memanas.
Tiba-tiba saja Leo tergeletak, Iswadi menariknya untuk segera berdiri lagi. Merasa dihina, seorang pemain Santos menendang punggung Iswadi. Nyaris muncul perkelahian massal. Demi kenyamanan permainan, Iswadi akhirnya ditarik keluar. Dengan marah-marah, pujaan penggila bola di era 70-an itu menendang gelas minuman hancur berkeping-keping yang belingnya nyaris melukai orang-orang yang ada di sekitarnya.
Beckenbauer Di Senayan
Pada Juni 1975, Manchester United dan Ajax Amsterdam menjadi tamu PSSI Tamtama dalam turnamen segitiga di Senayan. United, yang barusan promosi ke Divisi Utama setelah semusim sebelumnya didegradasi oleh Manchester City, tampil mengecewakan sebab ditahan 0-0 oleh Risdianto dkk. pada 1 Juni 1975 di hadapan 70.000 orang.
Menurut Kompas, laga Ajax vs United pada 3 Juni di Senayan melahirkan rekor baru kunjungan klub asing ke Indonesia. Laga yang berakhir 3-2 untuk Ajax itu ditonton 100.000 penonton dan menghasilkan pemasukan Rp 300 juta ke kas PSSI. Sebuah sejarah baru dalam pendapatan terbesar dari satu laga sepak bola di Indonesia.
Setelah mengarungi putaran hingga final Pra-Olimpiade yang hasilnya sangat memilukan, di Desember 1976, Iswadi dkk. yang bernaung di bawah panji PSSI Pre-World Cup 1978, kalah 1-2 dari FC Brno, sebuah tim elite Cekoslowakia yang sebelumnya merontokkan Persebaya 4-0 namun dikalahkan Persib 2-1 di Siliwangi. Dalam laga yang juga panas, Iswadi juga sempat menempeleng seorang pemain Brno yang mengasarinya.
Pada 3 Oktober 1979 Senayan juga pernah didatangi Cosmos New York. Bintang dunia macam Johan Neeskens, Wim Rijsbergen, Carlos Alberto, Giorgio Chinaglia serta Franz Beckenbauer ikutan hadir. Meski kalah 1-4, tim PSSI yang dijejali skuad runner-up SEA Games 1979, mendapat pelajaran berharga. "Cuma sekali seumur hidup, berhadapan langsung dengan Beckenbauer!" cetus (almarhum) Ronny Pattisasarani, yang kebetulan memang mengidolakannya setengah mati. Melimpahnya penonton membuat PSSI menangguk untung penghasilan kotor Rp 55 juta.
Sedang dana yang dikeluarkan untuk mendatangkan Cosmos sekitar 40 ribu dolar atau masih sekitar Rp 25 juta. Konon itulah bayaran tertinggi klub asing yang pernah main di Jakarta. Saat menjamu anggota NASL itu, materi inti skuad PSSI adalah Purwono (Niac Mitra); Simson Rumahpasal (Warna Agung), Wayan Diana, Berty Tutuarima (BBSA Tama), Rae Bawa; Rudy Keltjes, Rully Nere, Ronny Patti (Warna Agung); Dede Sulaiman (Indonesia Muda), Risdianto (Warna Agung), Iswadi Idris (Jayakarta).
Kisah dari Semarang hingga Senayan terus merambah ke era 1980-an. Kenangan yang paling saya sulit lupakan adalah ketika melihat Johan Cruijff bermain di Senayan, 21 Mei 1984. Meski sudah dimakan umur, Cruijff yang waktu itu berumur 38 tahun dan membela Feyenoord, datang ke Indonesia untuk berujicoba dengan Queens Park Rangers dan Mandala, klub asal Jayapura yang barusan menjuarai Kejuaraan Antarklub Amatir Perserikatan.
Pemain-pemain Mandala yang masih muda dan berotot seperti Leo Kapissa, Panus Korwa, Albert Pahelerang sampai Martin Kaiba pun sulit merebut bola dari kaki sang maestro sepak bola dunia. Feyenoord lantas meremukkan Mandala 5-0, dan kemudian QPR 3-1. Yang paling berkesan buat penggemar bola di Indonesia saat itu termasuk saya, di Senayan-lah Johan Cruijff mengakhir kariernya sebagai pesepak bola.
(foto: Mengarungi Milenium Baru 70 Tahun PSSI)
Laga PSSI vs Nan Hwa di Semarang, 7 Agustus 1937. |
Kedatangan klub-klub top Eropa mulai marak ketika Presiden Soekarno menginstruksikan PSSI agar menyiapkan tim nasional yang handal untuk dua proyek besar: Asian Games II di Manila pada 1954 dan Olimpiade Melbourne 1956. Selain ujicoba ke Asia dan Eropa berbulan-bulan, mengundang klub-klub asing baik dari Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Latin jadi tujuan strategis PSSI: mengukur kekuatan permainan, karakter, dan mentalitas pemain nasional.
Di era 1950-an itu bahkan PSSI bisa mendatangkan klub top Eropa dari Prancis, Stade Reims, yang diperkuat bintang dunia saat itu, Raymond Kopa. Menurut catatan di buku Kenang-Kenangan 50 Tahun PSSI, klub-klub dari Singapura, Malaysia, Thailand, India, Jepang, Filipina, Cina, Mozambik sampai Austria, Swiss, Cekoslowakia (Slovan Bratislava), dan Yugoslavia (Savel) sampai Brasil (Cruzeiro) juga pernah beranjangsana ke Nusantara.
Yang tak kalah hebohnya, ketika Lokomotiv Moskva juga singgah di Tanah Air. Klub top Uni Soviet ini juga datang dengan tim inti termasuk bintangnya Valentin Bubukin, seorang penyerang yang punya tendangan sangat keras yang bikin seorang penjaga gawang rasanya ogah bermain di posisinya. Menurut informasi yang penulis dapatkan, dari 7 pertandingan di Tanah Air mulai dari Medan sampai Surabaya, Bubukin 'sukses' membuat pingsan lima orang kiper lawan karena cedera di kepala atau dada akibat terkena bola gebokan Bubukin!
Dari rentetan ujicoba dengan klub-klub asing itu, PSSI menuai sukses lahir batin. Paling mengagumkan adalah lolos ke babak 16 besar Olimpiade Melbourne, antara lain sempat menahan Uni Soviet 0-0. Satu prestasi puncak persepak bolaan nasional hingga kini. Di era 60-an, ketika PSSI punya dua timnas (Banteng dan Garuda), giliran Torpedo Moskva (Uni Soviet), FC Malmoe (Swedia), Petrolul Ploiesti (Rumania) dan timnas Yugoslavia yang berkunjung ke Tanah Air.
Hebatnya, timnas Garuda bisa mengalahkan Torpedo, Yugoslavia, dan Petrolul dengan skor 3-1, 5-1, dan 5-3. Sukses juga didapat tim senior Banteng dengan lawan yang sama lewat skor 0-0, 3-2, dan 4-3. Satu-satunya kekalahan Garuda diderita melawan FC Malmoe 2-5. Sedangkan tim Banteng sukses membungkam klub Swedia itu dengan 2-0. Klub asal AS, Tornado, juga pernah bertarung melawan Persija dan kalah 0-2.
Di era 1970-an, dengan semakin kondusifnya stabilitas politik dan iklim ekonomi bangsa, Indonesia semakin dibanjiri kedatangan klub-klub asing. Klub macam Dynamo Moskva (Uni Soviet), FC Brno (Cekoslowakia), Csepel SC (Hongaria), Neuchatel Xamax (Swiss), Santos (Brasil), Esbjerg (Denmark), Kristiandsand (Norwegia), Ajax Amsterdam, Stoke City, Manchester United, sampai timnas Uruguay dan Italia U-21 rela terbang jauh-jauh karena penasaran dengan iklim sepak bola Indonesia yang mereka kenal ganas dan ingin merasakan seperti apa berada di sarangnya legenda sepak bola Asia.
Laga melawan Dynamo di Senayan pada 14 Juni 1970 paling menyita perhatian publik. Penyebabnya cuma satu: mereka menyertakan kiper legendaris dunia Lev Yashin! Meski kalah 0-1 namun kiper Indonesia Judo Hadianto dielu-elukan publik. Puluhan penyelamatan gemilangnya menghindarkan Indonesia dari kebobolan yang lebih besar. Pelajaran untuk meningkatkan mentalitas bermain selalu jadi motto bagi para pemain nasional. Mereka boleh kalah pada teknik bermain, tapi soal mental jangan sampai.
Begitu juga pada 20 Juni 1972, tatkala Santos hadir di hadapan 85.000-an publik Senayan. Dua tahun silam Lev Yashin, kini giliran orang ingin melihat Pele. Dengan match fee 40 ribu dolar AS, sekitar Rp 15 juta saat itu Pele cs mendarat di Bandara Kemayoran, dua hari sebelumnya. Untuk menghadapi duel bergengsi ini, PSSI memanggil para bintangnya seperti Ronny Paslah, Anwar Udjang, Mohammad Basri, Muljadi, Abdul Kadir, Iswadi Idris, Risdianto serta Jacob Sihasale.
Jalannya laga cukup membanggakan penonton karena para pemain nasional tampil bersungguh-sungguh tidak mau kalah. Meski dua menit berlangsung, gawang Ronny dibobol oleh Jade, juga di menit 14 oleh Edu, bahkan ketika Pele mencetak gol lewat tendangan penalti di menit 30 dan membuat PSSI tertinggal 0-3, semangat anak-anak asuhan Endang Witarsa tidak pernah surut. Inilah yang membedakan dengan pemain nasional generasi sekarang. Dengan ikhtiar menyala-nyala, hasilnya pun jadi sepadan.
Menit 31, Iswadi yang menggiring bola sendirian berhasil menendang bola namun memantul mistar gawang. Bola jatuh di kaki Risdianto yang serta merta menggenjotnya lagi ke gawang. 1-3. Di menit 70, kembali Risdianto melesakkan gol setelah bekerja sama dengan Sihasale dan Yuswardi. Namun saat skor 3-2 ini keadaan memanas.
Tiba-tiba saja Leo tergeletak, Iswadi menariknya untuk segera berdiri lagi. Merasa dihina, seorang pemain Santos menendang punggung Iswadi. Nyaris muncul perkelahian massal. Demi kenyamanan permainan, Iswadi akhirnya ditarik keluar. Dengan marah-marah, pujaan penggila bola di era 70-an itu menendang gelas minuman hancur berkeping-keping yang belingnya nyaris melukai orang-orang yang ada di sekitarnya.
Beckenbauer Di Senayan
Pada Juni 1975, Manchester United dan Ajax Amsterdam menjadi tamu PSSI Tamtama dalam turnamen segitiga di Senayan. United, yang barusan promosi ke Divisi Utama setelah semusim sebelumnya didegradasi oleh Manchester City, tampil mengecewakan sebab ditahan 0-0 oleh Risdianto dkk. pada 1 Juni 1975 di hadapan 70.000 orang.
Menurut Kompas, laga Ajax vs United pada 3 Juni di Senayan melahirkan rekor baru kunjungan klub asing ke Indonesia. Laga yang berakhir 3-2 untuk Ajax itu ditonton 100.000 penonton dan menghasilkan pemasukan Rp 300 juta ke kas PSSI. Sebuah sejarah baru dalam pendapatan terbesar dari satu laga sepak bola di Indonesia.
Setelah mengarungi putaran hingga final Pra-Olimpiade yang hasilnya sangat memilukan, di Desember 1976, Iswadi dkk. yang bernaung di bawah panji PSSI Pre-World Cup 1978, kalah 1-2 dari FC Brno, sebuah tim elite Cekoslowakia yang sebelumnya merontokkan Persebaya 4-0 namun dikalahkan Persib 2-1 di Siliwangi. Dalam laga yang juga panas, Iswadi juga sempat menempeleng seorang pemain Brno yang mengasarinya.
Pada 3 Oktober 1979 Senayan juga pernah didatangi Cosmos New York. Bintang dunia macam Johan Neeskens, Wim Rijsbergen, Carlos Alberto, Giorgio Chinaglia serta Franz Beckenbauer ikutan hadir. Meski kalah 1-4, tim PSSI yang dijejali skuad runner-up SEA Games 1979, mendapat pelajaran berharga. "Cuma sekali seumur hidup, berhadapan langsung dengan Beckenbauer!" cetus (almarhum) Ronny Pattisasarani, yang kebetulan memang mengidolakannya setengah mati. Melimpahnya penonton membuat PSSI menangguk untung penghasilan kotor Rp 55 juta.
Sedang dana yang dikeluarkan untuk mendatangkan Cosmos sekitar 40 ribu dolar atau masih sekitar Rp 25 juta. Konon itulah bayaran tertinggi klub asing yang pernah main di Jakarta. Saat menjamu anggota NASL itu, materi inti skuad PSSI adalah Purwono (Niac Mitra); Simson Rumahpasal (Warna Agung), Wayan Diana, Berty Tutuarima (BBSA Tama), Rae Bawa; Rudy Keltjes, Rully Nere, Ronny Patti (Warna Agung); Dede Sulaiman (Indonesia Muda), Risdianto (Warna Agung), Iswadi Idris (Jayakarta).
Kisah dari Semarang hingga Senayan terus merambah ke era 1980-an. Kenangan yang paling saya sulit lupakan adalah ketika melihat Johan Cruijff bermain di Senayan, 21 Mei 1984. Meski sudah dimakan umur, Cruijff yang waktu itu berumur 38 tahun dan membela Feyenoord, datang ke Indonesia untuk berujicoba dengan Queens Park Rangers dan Mandala, klub asal Jayapura yang barusan menjuarai Kejuaraan Antarklub Amatir Perserikatan.
Pemain-pemain Mandala yang masih muda dan berotot seperti Leo Kapissa, Panus Korwa, Albert Pahelerang sampai Martin Kaiba pun sulit merebut bola dari kaki sang maestro sepak bola dunia. Feyenoord lantas meremukkan Mandala 5-0, dan kemudian QPR 3-1. Yang paling berkesan buat penggemar bola di Indonesia saat itu termasuk saya, di Senayan-lah Johan Cruijff mengakhir kariernya sebagai pesepak bola.
(foto: Mengarungi Milenium Baru 70 Tahun PSSI)