Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila si pemuja bertemu dengan sang pujaan. Nama resminya Sporting Clube de Braga alias Sporting Braga, namun peringkat kedua Liga Portugal 2009/10 yang menyingkirkan Celtic dan Sevilla di kualifikasi itu sungguh senang bila disebut juga sebagai (pemuja) Arsenal alias Os Arsenalistas. Hebatnya, secara kebetulan Arsenal dari Braga ini bersatu padu dengan Arsenal 'asli' di Grup H putaran grup Liga Champion 2010/11.
"Ini sebuah pertandingan yang unik bagi karier seluruh pemain dan bersejarah. Namun kami menyadari siapa yang akan kami hadapi dan kualitasnya. Kami tahu jarak antara Arsenal di London dan Arsenal di Braga amat besar, tapi sekarang saatnya untuk memperpendek jarak itu," tutur pelatih Braga Domingos Paciencia di ruang jumpa pers Stadion Emirates, sehari sebelum mereka dipermak Arsenal beneran 0-6 pada matchday 1 di Emirates, 15 September 2010.
Pemilik stadion terunik sedunia, karena salah satu tribunnya berdinding tebing sungguhan itu untuk pertama kalinya lolos ke Liga Champion musim ini sejak berdiri pada 1921. Braga menjadi klub Portugal kelima yang ikut ajang paling prestisius antarklub setelah Benfica, Sporting Lisbon, FC Porto, dan Boavista. Nama Braga terdengar pertama kali di pentas Eropa usai ikut Piala UEFA (format lama Liga Europa) 2004/05. Prestasi serupa terulang pada 2006/07 dan 2008/09.
Munculnya mereka di Liga Champion barangkali lanjutan dari pelbagai kejutan yang ditorehkan selama berpartisipasi di Piala UEFA 2008/09. Braga tampil di ajang Eropa musim ini berkat prestasi top mereka di Eropa, menjuarai Piala Intertoto 2008. Namun yang lebih penting, sebelum mentas di Liga Champion, klub yang sering disapa Bracarenses itu sebelumnya menimba pengalaman tatkala segrup dengan Portsmouth, Wolfsburg, Heerenveen dan AC Milan di Piala UEFA 2008/09 dengan hasil lumayan.
Namun di ajang prestisius seperti putaran final Liga Champion, Braga mereguk pelajaran mahal. "Itu malam yang buruk. Kami akui Arsenal memang kandidat serius menjuarai Liga Champion. Tapi masih ada lima partai ke depan dan kami tetap bisa lolos dari grup ini. Kami kalah pertarungan tapi tidak dalam peperangan," sebut Alan, gelandang dari Brasil. "Kami start dengan tegang dan grogi sehingga banyak bikin kesalahan. Sebenarnya laga sudah selesai di babak pertama," timpal Pacencia.
Menurut analis sepak bola Portugal, Tom Kundert, tipikal Braga memang selalu begitu. Spesialis kejutan. "Contohnya saat lolos ke Liga Champion. Tak satupun ada yang menduga, bahkan di Portugal sendiri. Dalam konteks kekuatan, Braga itu seperti Aston Villa di Inggris. Selalu masuk papan atas, tapi hanya kejutan yang bisa membuat mereka sampai menjuarai Liga Portugal. Bertahun-tahun Braga dikelilingi tiga klub legendaris, Sporting Lisbon, Porto, dan Benfica."
Sukses ke Liga Champion melahirkan kemakmuran yang tak pernah diraih sebelumnya. Setidaknya Braga menangguk income senilai 16,69 juta pound (setara dengan Rp 200-an milyar), di mana 7,1 juta pound datang dari sisi prestasi (3,8 juta karena lolos ke putaran grup, dan 3,3 juta dari bonus pertandingan (6 partai x 0,55 juta) serta 9,59 juta dari hak siar TV di Portugal. "Target kami tampil di Liga Champion tentu bukan jadi juara, tapi untuk menimba pengalaman dan kebanggaan," kata Paciencia.
Omong-omong, kenapa Braga sampai bisa mengidolai Arsenal? Semuanya ini bermula pada 1920 kala pelatih asal Hongaria, Jozsef Szaba, membawa timnya ke Inggris dan sempat bermain di Highbury, markas besar The Gunners. Saking salut dan kagum, terutama pada warna kostum Arsenal, klub itu sontak memproklamirkan diri jadi Arsenal do Braga atau Arsenal do Minho sebagai nama aliasnya. Warisan ini terus dipertahankan usai melihat warna dan corak kostum utama Braga yang mirip Arsenal.
Bahkan hingga kini tim junior mereka tetap bernama Arsenal do Braga. Musuh bebuyutan Braga bukanlah Sporting, Porto atau Benfica, tetapi Vitoria de Guimaraes. Derby mereka sungguh menakutkan. Konon kabarnya, siapapun tak boleh masuk ke stadion sebelum berumur 13 tahun. Namun perlahan tapi pasti, terutama dalam lima musim terakhir, Braga mampu menyaingi mereka sampai-sampai muncul fenomena The Big Four di pentas Liga Portugal.
(foto: venuscreations/telegraph)
Skuad Sporting Braga. Perhatikan corak kostumnya. |
Pemilik stadion terunik sedunia, karena salah satu tribunnya berdinding tebing sungguhan itu untuk pertama kalinya lolos ke Liga Champion musim ini sejak berdiri pada 1921. Braga menjadi klub Portugal kelima yang ikut ajang paling prestisius antarklub setelah Benfica, Sporting Lisbon, FC Porto, dan Boavista. Nama Braga terdengar pertama kali di pentas Eropa usai ikut Piala UEFA (format lama Liga Europa) 2004/05. Prestasi serupa terulang pada 2006/07 dan 2008/09.
Munculnya mereka di Liga Champion barangkali lanjutan dari pelbagai kejutan yang ditorehkan selama berpartisipasi di Piala UEFA 2008/09. Braga tampil di ajang Eropa musim ini berkat prestasi top mereka di Eropa, menjuarai Piala Intertoto 2008. Namun yang lebih penting, sebelum mentas di Liga Champion, klub yang sering disapa Bracarenses itu sebelumnya menimba pengalaman tatkala segrup dengan Portsmouth, Wolfsburg, Heerenveen dan AC Milan di Piala UEFA 2008/09 dengan hasil lumayan.
Namun di ajang prestisius seperti putaran final Liga Champion, Braga mereguk pelajaran mahal. "Itu malam yang buruk. Kami akui Arsenal memang kandidat serius menjuarai Liga Champion. Tapi masih ada lima partai ke depan dan kami tetap bisa lolos dari grup ini. Kami kalah pertarungan tapi tidak dalam peperangan," sebut Alan, gelandang dari Brasil. "Kami start dengan tegang dan grogi sehingga banyak bikin kesalahan. Sebenarnya laga sudah selesai di babak pertama," timpal Pacencia.
Menurut analis sepak bola Portugal, Tom Kundert, tipikal Braga memang selalu begitu. Spesialis kejutan. "Contohnya saat lolos ke Liga Champion. Tak satupun ada yang menduga, bahkan di Portugal sendiri. Dalam konteks kekuatan, Braga itu seperti Aston Villa di Inggris. Selalu masuk papan atas, tapi hanya kejutan yang bisa membuat mereka sampai menjuarai Liga Portugal. Bertahun-tahun Braga dikelilingi tiga klub legendaris, Sporting Lisbon, Porto, dan Benfica."
Jack Wilshere di antara pemain Arsenalistas do Portugal. |
Omong-omong, kenapa Braga sampai bisa mengidolai Arsenal? Semuanya ini bermula pada 1920 kala pelatih asal Hongaria, Jozsef Szaba, membawa timnya ke Inggris dan sempat bermain di Highbury, markas besar The Gunners. Saking salut dan kagum, terutama pada warna kostum Arsenal, klub itu sontak memproklamirkan diri jadi Arsenal do Braga atau Arsenal do Minho sebagai nama aliasnya. Warisan ini terus dipertahankan usai melihat warna dan corak kostum utama Braga yang mirip Arsenal.
Bahkan hingga kini tim junior mereka tetap bernama Arsenal do Braga. Musuh bebuyutan Braga bukanlah Sporting, Porto atau Benfica, tetapi Vitoria de Guimaraes. Derby mereka sungguh menakutkan. Konon kabarnya, siapapun tak boleh masuk ke stadion sebelum berumur 13 tahun. Namun perlahan tapi pasti, terutama dalam lima musim terakhir, Braga mampu menyaingi mereka sampai-sampai muncul fenomena The Big Four di pentas Liga Portugal.
(foto: venuscreations/telegraph)