London, Mei 1945, gumpalan kabut nan basah menyelimuti kawasan White Hart Lane. Inggris sedang memasuki musim dingin hebat serta dalam keadaan susah sehabis diporak-porandakan perang besar. Namun kali ini sebagian Londoner merasakan situasi yang lain dari sebelumnya. Salah satu alasan adalah perhatian mereka pada sebuah tim Uni Soviet yang mondok lama, berbulan-bulan, di Tanah Britania Raya.
Dinamo Moskva baru saja bikin geger massa usai menekuk klub top Arsenal, dengan skor 4-3 pada 21 Mei 1945 di White Hart Lane. Ada apa The Gunners bermain di kandang Spurs, musuh besarnya? Kenapa tidak di Highbury? Rupanya Highbury masih jadi barak dan gudang amunisi. Separo Highbury juga masih hancur akibat bombardir jet-jet Luftwaffe (angkatan udara Jerman) kala mengebom habis London. Orang kian penasaran setelah Cardiff dibantai 10-1, dan menahan Chelsea 3-3 pada 13 November 1945 di depan 100.000 fans-nya yang menyemut di Stamford Bridge.
Di Glasgow, Dinamo mengalahkan Celtic 1-0 dan seri 2-2 dengan Rangers. Publik boleh tetap awam dengan kedatangan Dinamo, namun tak begitu dengan ahli strategi dan militer serta pers. Mereka lebih menyelidiki motif di balik tur kampiun Uni Soviet itu, ketimbang kehebatannya menaklukkan klub-klub London. Namun tak mendapatkan apa-apa.
Beberapa politisi dan media massa curiga karena pemimpin Partai Buruh Inggris yang pro-komunis, Albert Victor Alexander, amat mesra dengan rombongan Dinamo. Teori dan isu konspirasi bertebaran. Namun Dinamo, yang jelas-jelas hanya berniat main bola di Inggris, terus menjalankan misinya. Hasilnya? Skenario berjalan mulus. Sepak bola Soviet tertoreh secara manis dalam sejarah Inggris, juga dunia.
Pasca-Perang Dunia II, rezim Joszef Stalin mengawali strategi politiknya dengan misi olah raga, dalam hal ini sepak bola. Dinamo dijadikan kelinci percobaan pertama. Dari Kremlin, Stalin yakin bahwa tur Dinamo ke Inggris dan Skotlandia akan berjalan sukses. Dia paham apa yang dikatakan sekutunya, Albert Victor Alexander, bahwa bangsa itu tetap 'mendidih' saat keadaan hancur pun jika ditantang main bola. Stalin memahami, termasuk 'tahu' hasil akhirnya.
Pendek kata Stalin meraih dua propaganda. Pertama, inilah cara untuk meyakinkan rakyat Soviet dan anggota Politbiro betapa sepak bola mereka jauh lebih kuat dari dedengkot kapitalis Eropa, bahkan di saat perang dan sesudah perang. Kedua, dengan mengirim Dinamo sebagai duta besar sepak bola, maka isu tentang kemenangan di Perang Dunia II akan bergema. Hasil Rusia di PD II dianggap seri sebab dunia telah menyaksikan Sekutu-lah pemenangnya.
Dinamo adalah klub tentara, jadi spirit harus terus membara. Mereka mengobrak-abrik ibu kandung sepak bola. Jelang laga, Dinamo protes keras setelah manajer Arsenal George Allison ketahuan menurunkan pemain pinjaman terkenal.
Dia adalah bintang Blackpool, Sir Stanley Matthews. Namun sebaliknya Arsenal justru tidak tahu siapa sesungguhnya Vsevolod Bobrov, striker muda Dinamo yang jadi bintang duel di London. Sungguh ironis. Walau sama-sama memusuhi Jerman, namun Inggris dan Sekutu juga bermusuhan dalam bentuk ideologi. Rusia sosialis-komunis, Inggris kapitalis.
Tak heran jika harian The Times mendukung hasrat Allison yang mau menjadikan laga melawan Dinamo juga sebagai sebuah peperangan. "Orang-orang Rusia itu seperti kembali mengajak kita berperang, kecuali Dinamo bisa bermain bagus," tulis The Times pada tajuk utamanya.
Pemerintah Inggris dan The Times amat malu setelah Arsenal akhirnya kalah. Sebenarnya Bobrov bukan pemain Dinamo! Penyerang belia yang tengah menjadi top scorer Divisi Utama Liga Uni Soviet sebenarnya pemain CSKA Moskva, tim yang berisikan barisan polisi rahasia. Klub ini juga bikinan Stalin dengan menunjuk tangan kanannya dan kepala polisi rahasia (OGPU) yang amat kesohor, Lavrenty Pavlovich Beria, sebagai pemimpinnya.
Hebohnya, bangsa Inggris juga tak tahu Bobrov juga seorang bintang hoki es. Selang sebelas tahun barulah mereka sadar saat nama ini berjaya pada Olimpiade Musim Dingin 1956 di Italia. Bobrov, yang wafat pada 1 Juli 1979 di Moskva, akhirnya dianugerahi pangkat abadi sebagai atlet terbaik Rusia sepanjang masa.
Dynamo Kyiv
Berbagai propaganda Stalin itu mengendap pada satu jiwa bahwa karakter bangsa masih tetap dihormati di Eropa. Sepak bola jadi senjata utama Soviet untuk memulihkan kepercayaan diri bangsa akibat pelecehan memalukan dari Jerman di Perang Dunia II. Jika tak dijepit Sekutu dari wilayah barat, mungkin Rusia dicaplok NAZI. Stalin punya tugas besar merekonstruksi negara. Infrastruktur yang ada hancur total. Jaringan telekomunikasi, listrik, sanitasi, dan air ikut musnah. Bahkan museum, bioskop, dan teater telah berubah menjadi puing-puing.
Padahal itulah tempat-tempat hiburan utama rakyat, yakni menonton pertunjukkan seni. Entah itu tari atau senam. Satu-satunya bangunan yang luput dari penghancuran Nazi adalah stadion. Stalin menyadari minat rakyatnya pada sepak bola yang berdasarkan data Beria bisa menyedot 12 juta orang untuk datang ke stadion dalam satu periode. Sepak bola dijadikan isu oleh Stalin untuk membangun kembali bangsanya. Wajar dalam kurun waktu tiga tahun saja, popularitas Stalin di dalam negeri kembali terangkat. Dalam rapat Politbiro, ia membanggakan misinya di olah raga sebagai alat perjuangan di pentas internasional untuk masa depan Rusia.
Setelah kemenangan di Inggris dan Skotlandia itu, semua politisi dan wartawan di Rusia mesti mendalami politik olahraga. Sejarah juga mencatat, pada 1946 Rusia bergabung ke FIFA. Di tangan Stalin, liga dimodernisasi, sudah mengarah ke profesional dengan pemakaian pemain asing, terutama dari negara-negara satelit Rusia. Sejak saat itu militerisasi olah raga Uni Soviet tidak terelakkan, bahkan sepeninggal kepemimpinan era Stalin.
Joszef Vissarionovich Stalin adalah diktator terkemuka di dunia. Dia sebenarnya bukan asli ras Rusia, melainkan Georgia, wilayah yang dianeksasi Rusia seusai Perang Dunia II. Lahir pada 6 Desember 1878 dengan nama asli Iosif Vissarionovich Dzugashvili. Nama Stalin, yang berarti baja (steel), dipakainya karena kekaguman atas industrialisasi usai Revolusi Bolshevik. Sejak kecil Stalin dikenal memang menggemari sepak bola.
Salah satu anaknya, Vassilii, bahkan pernah mengelola klub CSKA bersama Lavrenty Beria, sahabat Stalin yang sama-sama berasal dari Georgia. Tapi mimpinya mewujudkan Soviet Raya tak semudah yang dibayangkan. Banyak kendala ditemuinya, kekuatan sepak bola yang tidak ada di tangan mereka, namun Ukraina, salah satu negara yang baru saja dicaplok. Dan klub top mereka, Dynamo Kyiv, dikenal amat tangguh dalam kompetisi dalam negeri.
Insting politik Stalin pada Ukraina lebih berperan ketimbang mencari sisi positifnya. Dia gerah melihat kehebatan Dynamo Kyiv, yang dicurigainya sebagai simbol perlawanan rakyat Ukraina. Untuk itu dia sering membentuk klub-klub tandingan. Salah satunya ya Dinamo Moskva itu. Stalin amat gemar menggiring pemain Kyiv ke Gulag, kamp kerja paksa di Siberia. Hampir semua rakyat yang berasal dari Ukrainan diperlakukan amat diskriminatif.
Olimpiade 1956
Nasib Dynamo Kyiv kian komplit saat Operasi Barbarossa yang dilancarkan Jerman mulai pada 6 November 1941. Beberapa bulan kemudian, Stalin justru tepuk tangan sebab tentara Adolf Hitler mengeksekusi mati para pemain top Dynamo Kyiv setelah memenangkan 'duel persahabatan' atas tentara Jerman yang dikenal dengan Game of the Death. Namun di luar kejahatan politiknya, Stalin berjasa membangkitkan nasionalisme Soviet lewat olah raga.
Kejayaan awal olah raga Negeri Tirai Besi terjadi di Olimpiade Helsinki 1952. Pada pesta olah raga di Finlandia itu, Uni Soviet menempati urutan kedua di bawah AS, namun kesebelasan Soviet sukses meraih medali emas sepak bola dengan amat perkasa. Sejak saat itu Uni Soviet menobatkan diri sebagai salah satu kekuatan sepak bola dunia. Di 1950-an nyaris tak ada yang menandingi kekuatan sepak bola Blok Timur.
Swedia, finalis Piala Dunia 1958, dipermak 7-0 pada laga di Moskva, 8 September 1954. Juara dunia Jerman Barat kalah 2-3 pada laga 21 Agustus 1955. Usai Stalin tewas diracun pada 1953, spirit olah raga Soviet tetap terjaga. Di Olimpiade 1956 di Melbourne, mereka menjungkalkan hegemoni ikon kapitalis, AS, setelah jadi juara umum. Bukan itu saja, Rusia mempertahankan emas sepak bola yang dalam perjalanannya melibatkan nama Indonesia.
Sebelum mengalahkan Yugoslavia 1-0 di final, dan Bulgaria 2-1 di semifinal, Soviet kewalahan meladeni Indonesia di perempatfinal sebelum menang 4-0. Rusia harus tanding ulang karena sebelumnya ditahan 0-0 oleh Maulwi Saelan cs. Laga superpatriotik 29 November 1956 itu melahirkan banyak cedera di kedua belah pihak, termasuk kiper muda nan hebat yang kelak melegenda, Lev Yashin.
Di sisi lain, Rusia juga menularkan spirit sepak bolanya ke Indonesia. Skuad Soviet saat berlaga pada Olimpiade 1956 di Melbourne terdiri dari klub-klub tentara ini. Dinamo diwakili Lev Yashin, Boris Kuznetsov, dan Vladimir Ryzhkin. Dari Spartak Moskva, kapten tim Igor Nietto, Nikolay Tischenko, Anatoly Isayev, Boris Tatushin dan Sergey Salnikov. Dari CSKA, Anatoly Bashashkin, Josef Betza dan Boris Razinsky serta dari Torpedo, Valentin Ivanov dan Eduard Streltzov.
(foto: mirror/flashbak/russianfootballnews/listor)
Dinamo Moskva baru saja bikin geger massa usai menekuk klub top Arsenal, dengan skor 4-3 pada 21 Mei 1945 di White Hart Lane. Ada apa The Gunners bermain di kandang Spurs, musuh besarnya? Kenapa tidak di Highbury? Rupanya Highbury masih jadi barak dan gudang amunisi. Separo Highbury juga masih hancur akibat bombardir jet-jet Luftwaffe (angkatan udara Jerman) kala mengebom habis London. Orang kian penasaran setelah Cardiff dibantai 10-1, dan menahan Chelsea 3-3 pada 13 November 1945 di depan 100.000 fans-nya yang menyemut di Stamford Bridge.
Di Glasgow, Dinamo mengalahkan Celtic 1-0 dan seri 2-2 dengan Rangers. Publik boleh tetap awam dengan kedatangan Dinamo, namun tak begitu dengan ahli strategi dan militer serta pers. Mereka lebih menyelidiki motif di balik tur kampiun Uni Soviet itu, ketimbang kehebatannya menaklukkan klub-klub London. Namun tak mendapatkan apa-apa.
Beberapa politisi dan media massa curiga karena pemimpin Partai Buruh Inggris yang pro-komunis, Albert Victor Alexander, amat mesra dengan rombongan Dinamo. Teori dan isu konspirasi bertebaran. Namun Dinamo, yang jelas-jelas hanya berniat main bola di Inggris, terus menjalankan misinya. Hasilnya? Skenario berjalan mulus. Sepak bola Soviet tertoreh secara manis dalam sejarah Inggris, juga dunia.
Pasca-Perang Dunia II, rezim Joszef Stalin mengawali strategi politiknya dengan misi olah raga, dalam hal ini sepak bola. Dinamo dijadikan kelinci percobaan pertama. Dari Kremlin, Stalin yakin bahwa tur Dinamo ke Inggris dan Skotlandia akan berjalan sukses. Dia paham apa yang dikatakan sekutunya, Albert Victor Alexander, bahwa bangsa itu tetap 'mendidih' saat keadaan hancur pun jika ditantang main bola. Stalin memahami, termasuk 'tahu' hasil akhirnya.
Pendek kata Stalin meraih dua propaganda. Pertama, inilah cara untuk meyakinkan rakyat Soviet dan anggota Politbiro betapa sepak bola mereka jauh lebih kuat dari dedengkot kapitalis Eropa, bahkan di saat perang dan sesudah perang. Kedua, dengan mengirim Dinamo sebagai duta besar sepak bola, maka isu tentang kemenangan di Perang Dunia II akan bergema. Hasil Rusia di PD II dianggap seri sebab dunia telah menyaksikan Sekutu-lah pemenangnya.
Tim tamu disambut Partai Buruh Albert Victor Alexander. |
Dia adalah bintang Blackpool, Sir Stanley Matthews. Namun sebaliknya Arsenal justru tidak tahu siapa sesungguhnya Vsevolod Bobrov, striker muda Dinamo yang jadi bintang duel di London. Sungguh ironis. Walau sama-sama memusuhi Jerman, namun Inggris dan Sekutu juga bermusuhan dalam bentuk ideologi. Rusia sosialis-komunis, Inggris kapitalis.
Tak heran jika harian The Times mendukung hasrat Allison yang mau menjadikan laga melawan Dinamo juga sebagai sebuah peperangan. "Orang-orang Rusia itu seperti kembali mengajak kita berperang, kecuali Dinamo bisa bermain bagus," tulis The Times pada tajuk utamanya.
Pemerintah Inggris dan The Times amat malu setelah Arsenal akhirnya kalah. Sebenarnya Bobrov bukan pemain Dinamo! Penyerang belia yang tengah menjadi top scorer Divisi Utama Liga Uni Soviet sebenarnya pemain CSKA Moskva, tim yang berisikan barisan polisi rahasia. Klub ini juga bikinan Stalin dengan menunjuk tangan kanannya dan kepala polisi rahasia (OGPU) yang amat kesohor, Lavrenty Pavlovich Beria, sebagai pemimpinnya.
Hebohnya, bangsa Inggris juga tak tahu Bobrov juga seorang bintang hoki es. Selang sebelas tahun barulah mereka sadar saat nama ini berjaya pada Olimpiade Musim Dingin 1956 di Italia. Bobrov, yang wafat pada 1 Juli 1979 di Moskva, akhirnya dianugerahi pangkat abadi sebagai atlet terbaik Rusia sepanjang masa.
Dynamo Kyiv
Berbagai propaganda Stalin itu mengendap pada satu jiwa bahwa karakter bangsa masih tetap dihormati di Eropa. Sepak bola jadi senjata utama Soviet untuk memulihkan kepercayaan diri bangsa akibat pelecehan memalukan dari Jerman di Perang Dunia II. Jika tak dijepit Sekutu dari wilayah barat, mungkin Rusia dicaplok NAZI. Stalin punya tugas besar merekonstruksi negara. Infrastruktur yang ada hancur total. Jaringan telekomunikasi, listrik, sanitasi, dan air ikut musnah. Bahkan museum, bioskop, dan teater telah berubah menjadi puing-puing.
Padahal itulah tempat-tempat hiburan utama rakyat, yakni menonton pertunjukkan seni. Entah itu tari atau senam. Satu-satunya bangunan yang luput dari penghancuran Nazi adalah stadion. Stalin menyadari minat rakyatnya pada sepak bola yang berdasarkan data Beria bisa menyedot 12 juta orang untuk datang ke stadion dalam satu periode. Sepak bola dijadikan isu oleh Stalin untuk membangun kembali bangsanya. Wajar dalam kurun waktu tiga tahun saja, popularitas Stalin di dalam negeri kembali terangkat. Dalam rapat Politbiro, ia membanggakan misinya di olah raga sebagai alat perjuangan di pentas internasional untuk masa depan Rusia.
Setelah kemenangan di Inggris dan Skotlandia itu, semua politisi dan wartawan di Rusia mesti mendalami politik olahraga. Sejarah juga mencatat, pada 1946 Rusia bergabung ke FIFA. Di tangan Stalin, liga dimodernisasi, sudah mengarah ke profesional dengan pemakaian pemain asing, terutama dari negara-negara satelit Rusia. Sejak saat itu militerisasi olah raga Uni Soviet tidak terelakkan, bahkan sepeninggal kepemimpinan era Stalin.
Joszef Vissarionovich Stalin adalah diktator terkemuka di dunia. Dia sebenarnya bukan asli ras Rusia, melainkan Georgia, wilayah yang dianeksasi Rusia seusai Perang Dunia II. Lahir pada 6 Desember 1878 dengan nama asli Iosif Vissarionovich Dzugashvili. Nama Stalin, yang berarti baja (steel), dipakainya karena kekaguman atas industrialisasi usai Revolusi Bolshevik. Sejak kecil Stalin dikenal memang menggemari sepak bola.
Salah satu anaknya, Vassilii, bahkan pernah mengelola klub CSKA bersama Lavrenty Beria, sahabat Stalin yang sama-sama berasal dari Georgia. Tapi mimpinya mewujudkan Soviet Raya tak semudah yang dibayangkan. Banyak kendala ditemuinya, kekuatan sepak bola yang tidak ada di tangan mereka, namun Ukraina, salah satu negara yang baru saja dicaplok. Dan klub top mereka, Dynamo Kyiv, dikenal amat tangguh dalam kompetisi dalam negeri.
Insting politik Stalin pada Ukraina lebih berperan ketimbang mencari sisi positifnya. Dia gerah melihat kehebatan Dynamo Kyiv, yang dicurigainya sebagai simbol perlawanan rakyat Ukraina. Untuk itu dia sering membentuk klub-klub tandingan. Salah satunya ya Dinamo Moskva itu. Stalin amat gemar menggiring pemain Kyiv ke Gulag, kamp kerja paksa di Siberia. Hampir semua rakyat yang berasal dari Ukrainan diperlakukan amat diskriminatif.
Olimpiade 1956
Antrian jelang laga Arsenal vs Dinamo Moskva di White Hart Lane, 21 Mei 1945. |
Kejayaan awal olah raga Negeri Tirai Besi terjadi di Olimpiade Helsinki 1952. Pada pesta olah raga di Finlandia itu, Uni Soviet menempati urutan kedua di bawah AS, namun kesebelasan Soviet sukses meraih medali emas sepak bola dengan amat perkasa. Sejak saat itu Uni Soviet menobatkan diri sebagai salah satu kekuatan sepak bola dunia. Di 1950-an nyaris tak ada yang menandingi kekuatan sepak bola Blok Timur.
Swedia, finalis Piala Dunia 1958, dipermak 7-0 pada laga di Moskva, 8 September 1954. Juara dunia Jerman Barat kalah 2-3 pada laga 21 Agustus 1955. Usai Stalin tewas diracun pada 1953, spirit olah raga Soviet tetap terjaga. Di Olimpiade 1956 di Melbourne, mereka menjungkalkan hegemoni ikon kapitalis, AS, setelah jadi juara umum. Bukan itu saja, Rusia mempertahankan emas sepak bola yang dalam perjalanannya melibatkan nama Indonesia.
Sebelum mengalahkan Yugoslavia 1-0 di final, dan Bulgaria 2-1 di semifinal, Soviet kewalahan meladeni Indonesia di perempatfinal sebelum menang 4-0. Rusia harus tanding ulang karena sebelumnya ditahan 0-0 oleh Maulwi Saelan cs. Laga superpatriotik 29 November 1956 itu melahirkan banyak cedera di kedua belah pihak, termasuk kiper muda nan hebat yang kelak melegenda, Lev Yashin.
Di sisi lain, Rusia juga menularkan spirit sepak bolanya ke Indonesia. Skuad Soviet saat berlaga pada Olimpiade 1956 di Melbourne terdiri dari klub-klub tentara ini. Dinamo diwakili Lev Yashin, Boris Kuznetsov, dan Vladimir Ryzhkin. Dari Spartak Moskva, kapten tim Igor Nietto, Nikolay Tischenko, Anatoly Isayev, Boris Tatushin dan Sergey Salnikov. Dari CSKA, Anatoly Bashashkin, Josef Betza dan Boris Razinsky serta dari Torpedo, Valentin Ivanov dan Eduard Streltzov.
(foto: mirror/flashbak/russianfootballnews/listor)