Grup C yang disebut-sebut sebagai Group of Death sungguhan memakan korban. Bukannya Belanda yang secara tradisional selalu dihinggapi penyakit lemah mental, tapi malahan diderita Prancis. Tim berjuluk Les Bleus, yang dipadati belasan pemain dengan kualitas top dan pengalaman mumpuni, nyaris disebut hancur total di turnamen ini.
Yang menyelamatkan tim ini dari kemiripan tragedi World Cup 2002, hanyalah berkat penampilan mereka yang menjanjikan. Siapapun berdecak kagum dengan permainan Franck Ribery atau Karim Benzema. Bahkan Florent Malouda yang selama di Chelsea jarang meliak-liuk, mempertontonkan keahliannya berslalom merobek pertahanan lawan. Belum lagi kiprah Claude Makelele yang tua-tua keladi, makin berumur makin tangguh.
Ada kesan, kegagalan utama Prancis disebabkan oleh cederanya kapten Patrick Vieira. Ini benar, tapi sebenarnya bukan yang utama. Kegagalan utama Prancis bahkan terjadi sebelum mereka berangkat ke turnamen! Saat merilis skuad, lagi-lagi pelatih Raymond Domenech memperlihatkan arogansi dus kekerasan hatinya.
Dia boleh lihai membaca lawan, tapi justru nol besar memahami psikologis dan kebutuhan skuadnya. Tak ada Philippe Mexes, Mathieu Flamini, Gael Clichy, atau Robert Pires. Pires? Ya. Kenapa tidak? Lihatlah aksi Thierry Henry yang amburadul tak keruan. Ada Henry mesti ada Pires. Itu rumusnya!
Statistik juga membuktikan, sejak Pires dibelenggu Domenech, rekor gol Henry jadi seret. Lantaran Domenech punya urusan pribadi unfinished business dengan Pires, dia dengan tegar hati mencampakan gelandang serang yang tahun ini meloloskan Villarreal ke Liga Champion 2008/09 itu.
Pires merupakan salah satu pemain yang paling mengerti kemauan Henry, barangkali selain Dennis Bergkamp dan Cesc Fabregas. Ketiga pemain inilah yang mendudukan TH14, atau TH12 di Les Bleus. Tanpa Pires, tampak Henry sering salah tingkah. Saking bingungnya dengan tekanan yang melanda diri dan timnya, Henry malah jahil memainkan kakinya yang berujung pada lahirnya gol kedua Italia yang menamatkan perjalanan mereka. O la la!
Strategi Blunder
Faktor kedua kegagalan Prancis ada di lini tengah. Jika Vieira masih diragukan tampil, kenapa tidak ada keputusan pasti soal penggantinya? Seharusnya Mathieu Flamini. Kengototan khas Flamini akan membantu peran Makelele agar konsen dengan tugas utamanya. Ada Flamini dijamin Ribery tak akan kelayapan ke belakang mengejar-ngejar lawan. Barangkali dia tak akan cedera parah saat melawan Italia. Lagi-lagi Domenech menafikan hal ini.
Adanya Flamini akan ikut membantu 'nafas' si gaek Lilian Thuram atau agar tak termakan cedera. Faktor ketiga kelemahan Domenech, entah alpa atau sengaja, dia tak memanggil Philippe Mexes, si bek tengah AS Roma, yang jelas saja berguna karena tahu betul isi dapur metoda serangan ala anak-anak Italia.
Seharusnya Domemech juga memanggil Clichy ketimbang Patrice Evra yang sudah 'habis' bila mengingat sepak terjang Manchester United di musim ini. Pendek kata, dari sisi teknis Domenech memang sudah kesulitan dengan materi yang ide kreatifnya pas-pasan! Sisa kesalahan berikut Domenech ada di sisi strategi. Ketika ditahan Rumania 0-0 di partai perdana Grup C, aksi Prancis seperti di laga eksibisi saja. Jujur saja, saat itu permainan Les Bleus nggak jelas mau apa, dan seperti tak punya leader melihat Vieira dan Henry absen.
Di partai kedua, belajar dari kesalahan, Prancis tampak ngotot habis saat lawan Belanda. Sayang, modal ini tak cukup mengingat stamina para pemain De Oranje lebih oke plus taktik jitu Marco van Basten. Rasa panik yang mencekam itu harus dibayar mahal, mereka justu digunduli, dipermalukan 1-4.
Kesempatan terakhir di Zurich lawan Italia berubah jadi pengesahan kehancuran strategi dan mesin perang Domenech. Orang ini blunder memainkan Eric Abidal jadi tandem William Gallas usai cederanya Thuram. Anehnya setelah bek kiri Barcelona itu diusir wasit karena menendang Luca Toni dari belakang, Tuan Domenech baru menurunkan Jean-Alain Boumsong.
Bukannya dari awal! Efek domino muncul. Ribery bekerja sangat keras, lalu cedera parah. Henry panik dan stres, lalu kakinya membelokan bola tendangan Daniele De Rossi yang sebenarnya akan mudah ditangkap Gregory Coupet. Dengan satu poin, jelas saja Prancis tersingkir dan jadi korban Group of Death; tapi gilanya dengan rekor menyakitkan: jadi juru kunci Grup C!
Awal menyakitkan tapi jadi akhir yang menyenangkan justru digapai di Rusia pada Grup D. Bermula Rusia ditampar keras 4-1 oleh tim Matador dalam laga seru di Stadion Tivoli Neu, Insnsbruck, (10/6). Tiga gol David Villa dan Fernando Torres, bukan saja mengejutkan publik Rusia tapi bikin nyesek Guus Hiddink, sang pelatih. Maklum saja, saat itu Rusia memainkan ball possession dengan apik bahkan menang 54% berbanding 46%. Namun begitu bola berpindah ke kaki-kaki pemain Spanyol dengan cepat, mereka tetap terkesima.
Berkilauannya nama-nama top di kubu Spanyol disinyalir yang membuat Igor Akenfeev cs. minder duluan sebelum bertarung, apalagi sang andalan, Andrei Arshavin, masih terkena larangan main. "Anda boleh sebut kami merogoh isi dompet dan memberikan seluruhnya pada Spanyol," begitu Hiddink menggambarkan hasil laga perdana timnya.
Di mata pelatih 'spesialis' semifinal ini, tim Tirai Besi tampil kekanak-kanakan dan naif alias lugu! Ini mengingatkan orang pada kiprah Yunani di Piala Dunia 1994 saat bertemu Argentina. Penyebabnya hampir semua pemain Yunani mengidolakan Diego Maradona dan menempeli kamarnya dengan poster sang bintang. Jadi saat El Diego berlenggak-lenggok dengan bola, mereka bukannya merebut malah kebablasan takjub.
Pidato Hiddink
Barangkali tema kejadian di Innsbruck nyaris sama. Bahkan belakangan diketahui bahwa mayoritas pemain Rusia nge-fan berat dengan Barcelona. Hiddink, yang tahu betul setiap detil kejadian di sepak bola, langsung menepuk-nepuk pipi seluruh pemainnya agar eling. Nah, inilah bedanya pelatih lengkap dengan yang setengah-tengah. Pada partai kedua di Stadion Wals-Siezenheim, Salzburg, (14/10), Rusia bangkit dan menang 1-0 atas juara bertahan Yunani lewat partai sengit bin alot. Melihat penampilan Rusia, harapan Hiddink sontak membuncah.
Ribuan suporter Rusia yang royal dan loyal itu sangat disayangkan kalau harus angkat koper duluan dari gegap gempita Euro 2008. Sebelum pertandingan, Hiddink menyemproti anak buahnya dengan pidato-pidato membakar semangat. "Kalian bisa bermain bola dengan baik, buktikanlah! Tampilkan karakter dan kualitas kalian, ini laga penentuan hidup mati langkah kita. Jangan lupakan hal itu barang sedetik pun selama 90 menit!" umbar Hiddink berapi-api.
Rabu, 18 Juni, Hiddink dan pasukannya kembali ke Tivoli Neu, yang delapan hari lalu memberi kenangan buruk. Apa yang dilakukan Hiddink untuk menghapus sedikit trauma? "Tiada jalan lain untuk bermain kecuali berusaha menang sejak menit awal. Tanpa itu percuma!" sergahnya pada latihan terakhir. Bukan apa-apa, Swedia adalah lawan yang paling dihormati Hiddink.
"Meski penduduknya cuma 8-9 juta orang, Swedia selalu mengatur timnya dengan baik di turnamen besar. Mereka bermain sederhana, jelas dan positif. Swedia tak mencari kemenangan dengan jalan bertahan atau bermain kotor. Kepercayaan diri mereka hebat dan tak pernah panik. Swedia adalah skuad dengan kontrol dan konsentrasi hebat," demikian Hiddink mendeskripsikan lawannya sebelum pertandingan.
Di satu sisi, Rusia ketambahan tenaga. Dialah Andrey Arshavin, sang bintang yang juga bekas kapten nasional di era pelatih Yuri Semin. Melihat dua kali absen, awalnya Hiddink ragu menurunkan Arshavin karena takut merusak irama permainan timnya. Tapi melihat status do or die laga, hal itu sirna dengan sendirinya. Sungguh fenomenal, Arshavin malahan membayar kepercayaan pelatihnya. Tak dinyana, Swedia dibabat 2-0 lewat gol Roman Pavlyuchenko dan Arshavin.
Rusia lolos ke perempatfinal, melaju untuk menjemput impiannya: mengulangi euforia 1988 saat melaju ke final Piala Eropa di Jerman. Bagi Hiddink pribadi, pelatih legendaris PSV Eindhoven di 1987-88 yang memberi treble winner, sukses ini melesakkan euforia pribadinya sebagai orang yang memang bertangan dingin. Julukan sebagai spesialis semifinalis terus melekat di dirinya. Orang terkenang yang dia lakukan pada Belanda di Piala Dunia 1998 dan Korea Selatan di Piala Dunia 2002.
(foto: premiershiptalk/reuters/lavoixdunord)
Yang menyelamatkan tim ini dari kemiripan tragedi World Cup 2002, hanyalah berkat penampilan mereka yang menjanjikan. Siapapun berdecak kagum dengan permainan Franck Ribery atau Karim Benzema. Bahkan Florent Malouda yang selama di Chelsea jarang meliak-liuk, mempertontonkan keahliannya berslalom merobek pertahanan lawan. Belum lagi kiprah Claude Makelele yang tua-tua keladi, makin berumur makin tangguh.
Ada kesan, kegagalan utama Prancis disebabkan oleh cederanya kapten Patrick Vieira. Ini benar, tapi sebenarnya bukan yang utama. Kegagalan utama Prancis bahkan terjadi sebelum mereka berangkat ke turnamen! Saat merilis skuad, lagi-lagi pelatih Raymond Domenech memperlihatkan arogansi dus kekerasan hatinya.
Dia boleh lihai membaca lawan, tapi justru nol besar memahami psikologis dan kebutuhan skuadnya. Tak ada Philippe Mexes, Mathieu Flamini, Gael Clichy, atau Robert Pires. Pires? Ya. Kenapa tidak? Lihatlah aksi Thierry Henry yang amburadul tak keruan. Ada Henry mesti ada Pires. Itu rumusnya!
Statistik juga membuktikan, sejak Pires dibelenggu Domenech, rekor gol Henry jadi seret. Lantaran Domenech punya urusan pribadi unfinished business dengan Pires, dia dengan tegar hati mencampakan gelandang serang yang tahun ini meloloskan Villarreal ke Liga Champion 2008/09 itu.
Pires merupakan salah satu pemain yang paling mengerti kemauan Henry, barangkali selain Dennis Bergkamp dan Cesc Fabregas. Ketiga pemain inilah yang mendudukan TH14, atau TH12 di Les Bleus. Tanpa Pires, tampak Henry sering salah tingkah. Saking bingungnya dengan tekanan yang melanda diri dan timnya, Henry malah jahil memainkan kakinya yang berujung pada lahirnya gol kedua Italia yang menamatkan perjalanan mereka. O la la!
Strategi Blunder
Faktor kedua kegagalan Prancis ada di lini tengah. Jika Vieira masih diragukan tampil, kenapa tidak ada keputusan pasti soal penggantinya? Seharusnya Mathieu Flamini. Kengototan khas Flamini akan membantu peran Makelele agar konsen dengan tugas utamanya. Ada Flamini dijamin Ribery tak akan kelayapan ke belakang mengejar-ngejar lawan. Barangkali dia tak akan cedera parah saat melawan Italia. Lagi-lagi Domenech menafikan hal ini.
Adanya Flamini akan ikut membantu 'nafas' si gaek Lilian Thuram atau agar tak termakan cedera. Faktor ketiga kelemahan Domenech, entah alpa atau sengaja, dia tak memanggil Philippe Mexes, si bek tengah AS Roma, yang jelas saja berguna karena tahu betul isi dapur metoda serangan ala anak-anak Italia.
Seharusnya Domemech juga memanggil Clichy ketimbang Patrice Evra yang sudah 'habis' bila mengingat sepak terjang Manchester United di musim ini. Pendek kata, dari sisi teknis Domenech memang sudah kesulitan dengan materi yang ide kreatifnya pas-pasan! Sisa kesalahan berikut Domenech ada di sisi strategi. Ketika ditahan Rumania 0-0 di partai perdana Grup C, aksi Prancis seperti di laga eksibisi saja. Jujur saja, saat itu permainan Les Bleus nggak jelas mau apa, dan seperti tak punya leader melihat Vieira dan Henry absen.
Di partai kedua, belajar dari kesalahan, Prancis tampak ngotot habis saat lawan Belanda. Sayang, modal ini tak cukup mengingat stamina para pemain De Oranje lebih oke plus taktik jitu Marco van Basten. Rasa panik yang mencekam itu harus dibayar mahal, mereka justu digunduli, dipermalukan 1-4.
Kesempatan terakhir di Zurich lawan Italia berubah jadi pengesahan kehancuran strategi dan mesin perang Domenech. Orang ini blunder memainkan Eric Abidal jadi tandem William Gallas usai cederanya Thuram. Anehnya setelah bek kiri Barcelona itu diusir wasit karena menendang Luca Toni dari belakang, Tuan Domenech baru menurunkan Jean-Alain Boumsong.
Bukannya dari awal! Efek domino muncul. Ribery bekerja sangat keras, lalu cedera parah. Henry panik dan stres, lalu kakinya membelokan bola tendangan Daniele De Rossi yang sebenarnya akan mudah ditangkap Gregory Coupet. Dengan satu poin, jelas saja Prancis tersingkir dan jadi korban Group of Death; tapi gilanya dengan rekor menyakitkan: jadi juru kunci Grup C!
Awal menyakitkan tapi jadi akhir yang menyenangkan justru digapai di Rusia pada Grup D. Bermula Rusia ditampar keras 4-1 oleh tim Matador dalam laga seru di Stadion Tivoli Neu, Insnsbruck, (10/6). Tiga gol David Villa dan Fernando Torres, bukan saja mengejutkan publik Rusia tapi bikin nyesek Guus Hiddink, sang pelatih. Maklum saja, saat itu Rusia memainkan ball possession dengan apik bahkan menang 54% berbanding 46%. Namun begitu bola berpindah ke kaki-kaki pemain Spanyol dengan cepat, mereka tetap terkesima.
Berkilauannya nama-nama top di kubu Spanyol disinyalir yang membuat Igor Akenfeev cs. minder duluan sebelum bertarung, apalagi sang andalan, Andrei Arshavin, masih terkena larangan main. "Anda boleh sebut kami merogoh isi dompet dan memberikan seluruhnya pada Spanyol," begitu Hiddink menggambarkan hasil laga perdana timnya.
Di mata pelatih 'spesialis' semifinal ini, tim Tirai Besi tampil kekanak-kanakan dan naif alias lugu! Ini mengingatkan orang pada kiprah Yunani di Piala Dunia 1994 saat bertemu Argentina. Penyebabnya hampir semua pemain Yunani mengidolakan Diego Maradona dan menempeli kamarnya dengan poster sang bintang. Jadi saat El Diego berlenggak-lenggok dengan bola, mereka bukannya merebut malah kebablasan takjub.
Pidato Hiddink
Barangkali tema kejadian di Innsbruck nyaris sama. Bahkan belakangan diketahui bahwa mayoritas pemain Rusia nge-fan berat dengan Barcelona. Hiddink, yang tahu betul setiap detil kejadian di sepak bola, langsung menepuk-nepuk pipi seluruh pemainnya agar eling. Nah, inilah bedanya pelatih lengkap dengan yang setengah-tengah. Pada partai kedua di Stadion Wals-Siezenheim, Salzburg, (14/10), Rusia bangkit dan menang 1-0 atas juara bertahan Yunani lewat partai sengit bin alot. Melihat penampilan Rusia, harapan Hiddink sontak membuncah.
Ribuan suporter Rusia yang royal dan loyal itu sangat disayangkan kalau harus angkat koper duluan dari gegap gempita Euro 2008. Sebelum pertandingan, Hiddink menyemproti anak buahnya dengan pidato-pidato membakar semangat. "Kalian bisa bermain bola dengan baik, buktikanlah! Tampilkan karakter dan kualitas kalian, ini laga penentuan hidup mati langkah kita. Jangan lupakan hal itu barang sedetik pun selama 90 menit!" umbar Hiddink berapi-api.
Rabu, 18 Juni, Hiddink dan pasukannya kembali ke Tivoli Neu, yang delapan hari lalu memberi kenangan buruk. Apa yang dilakukan Hiddink untuk menghapus sedikit trauma? "Tiada jalan lain untuk bermain kecuali berusaha menang sejak menit awal. Tanpa itu percuma!" sergahnya pada latihan terakhir. Bukan apa-apa, Swedia adalah lawan yang paling dihormati Hiddink.
"Meski penduduknya cuma 8-9 juta orang, Swedia selalu mengatur timnya dengan baik di turnamen besar. Mereka bermain sederhana, jelas dan positif. Swedia tak mencari kemenangan dengan jalan bertahan atau bermain kotor. Kepercayaan diri mereka hebat dan tak pernah panik. Swedia adalah skuad dengan kontrol dan konsentrasi hebat," demikian Hiddink mendeskripsikan lawannya sebelum pertandingan.
Di satu sisi, Rusia ketambahan tenaga. Dialah Andrey Arshavin, sang bintang yang juga bekas kapten nasional di era pelatih Yuri Semin. Melihat dua kali absen, awalnya Hiddink ragu menurunkan Arshavin karena takut merusak irama permainan timnya. Tapi melihat status do or die laga, hal itu sirna dengan sendirinya. Sungguh fenomenal, Arshavin malahan membayar kepercayaan pelatihnya. Tak dinyana, Swedia dibabat 2-0 lewat gol Roman Pavlyuchenko dan Arshavin.
Rusia lolos ke perempatfinal, melaju untuk menjemput impiannya: mengulangi euforia 1988 saat melaju ke final Piala Eropa di Jerman. Bagi Hiddink pribadi, pelatih legendaris PSV Eindhoven di 1987-88 yang memberi treble winner, sukses ini melesakkan euforia pribadinya sebagai orang yang memang bertangan dingin. Julukan sebagai spesialis semifinalis terus melekat di dirinya. Orang terkenang yang dia lakukan pada Belanda di Piala Dunia 1998 dan Korea Selatan di Piala Dunia 2002.
(foto: premiershiptalk/reuters/lavoixdunord)