Di Inggris, Frank Lampard dan Sol Campbell dibayar £100 ribu (Rp 1,7 milyar) sepekan atau sekitar £5,2 juta (Rp 85 milyar) setahun. Sedangkan gaji dua pembalap top Britania, Jenson Button dan David Coulthard, masing-masing sekitar £5,5 juta (Rp 94 milyar) pertahun.
Sementara itu, rata-rata gaji guru di Inggris adalah £20 ribu (Rp 340 juta) setahun. Ini berarti, pesepak bola dan pembalap punya nilai ekonomis 260-275 kali dari seorang guru. Kisarannya tentu jauh melambung lagi jika komparasi sampai ke dua figur olah raga terbesar di dunia, Michael Schumacher (sekitar £20 juta) dan David Beckham (£6,5 juta). Mana yang penting buat anda? Atau iseng-iseng, tanyakanlah pada anak Anda, mana yang lebih dipilih. Menjadi bapak-ibu guru, Schumacher, atau ingin seperti Beckham?
Analogi ini barangkali keterlaluan, sangat dramatis. Tapi faktanya, dari alasan itulah, mungkin, yang membuat puluhan juta anak-anak dan remaja di Inggris 'berusaha' ingin seperti Schumacher dan Beckham. Lebih dari mimpi atau hasrat. Apapun akan dilakukan. Dunia bisnis pun menggeliat liar. Ini pasar besar, ini peluang, ini tantangan, dan ini kekuasaan. Mari kita bicara bisnis!
Kecuali di AS dan Kanada, sepak bola dan Formula 1 memang menjadi dua penguasa dunia olah raga berdasarkan jumlah audience dan tetek-bengek bisnis di sekitarnya mulai dari advertising, sponsor, promosi, marketing secara global. Popularitas adalah kata kunci.
Globalisasi F1 dimulai ketika 120-200 ribu orang menjejali grandstand tiap Grand Prix digelar. Lalu kalikan angka ini dengan 18 seri per-tahun mulai Maret sampai Oktober. Atraksi tak hanya dinikmati di dalam sirkuit. Ia melebar ke mana-mana. Minimal 100-an juta penonton loyal yang memelototi TV di 150 negara. Tak heran jika secara global, tiap tahun F1 meraup penghasilan bersih $2 milyar AS atau senilai Rp 19 trilyun, yang mayoritas diraih dari hak siar TV dan iklan. Ini di luar hitung-hitungan yang diraih setiap tim dan masing-masing pembalap.
Jadi bukan masalah apabila di tiap musim Ferrari menggelontor bujet sekitar $300 juta AS (Rp 2,85 trilyun). Yang akan diraih lebih dari itu. Saking prospektifnya, F1 juga telah dijamin komersialisasinya 105 tahun ke depan, hingga 31 Desember 2110, usai penekenan kontrak rights sebesar $360 juta AS (Rp 3,4 trilyun) pada Mei 2004.
Perlawanan AS
Sementara itu sepak bola juga makin mengukuhkan diri sebagai tambang uang dunia. Modalnya adalah jumlah audience tahunan di TV yang mencapai 4 milyar orang. Menurut FIFA, sepak bola setidaknya dimainkan oleh 1 milyar orang di seluruh dunia. Terdiri dari 250 juta pemain aktif, termasuk 40 juta-nya wanita dan 80%-nya orang muda. Dari jumlah itu, cuma 0,2 % diisi oleh pemain profesional.
Uang yang mengalir di sepak bola juga sungguh 'mengerikan'. Kontrak tiga tahun untuk hak siar English Premier League saja mencapai $ 2,4 milyar dolar AS atau mendekati angka Rp 24 trilyun! Tinggal AS, satu-satunya wilayah yang belum ditaklukkan F1. Tak heran jika mulai musim 2005, Bernie kini memakai jasa DIC Entertainment dan Wasserman Media Group (WMG), konsultan manajemen dan marketing terkemuka yang bergerak di bidang olah raga dan hiburan.
Kedua perusahaan ini dikenal punya koneksi dengan CBS, jaringan pemegang hak siar olah raga di AS. Hasilnya, mulai 24 April, ratusan juta orang di AS bisa menikmati F1 setidaknya untuk empat seri, sejak San Marino, Catalunya, Montreal, dan Nurburgring.
WMG, yang berkantor pusat di Los Angeles, biasa bergaul dengan atlit dan pemusik, mulai dari superstar Travis Pastrana sampai band Coldplay. Dua pihak yang terakhir kali jasa memakai WMG adalah Emirate Airlines dan Arsenal tatkala melakukan kontrak naming rights sebesar $180 juta dolar AS. Pelanggan setia WMG lainnya adalah Juventus.
Sedangkan DIC, berbasis di California, adalah penguasa hiburan kartun. Produk-produk mereka antara lain Inspector Gadget, Strawberry Shortcake, Sabrina, Madeline, Liberty's Kids, Where On Earth Is Carmen Sandiego?, Sonic The Hedgehog, Super Mario Bros dan Care Bears.
Soal olah raga AS memang sulit dikalahkan, cenderung superlatif. Paul McCartney, legenda hidup The Beatles, bahkan terang-terangan bilang, "Tak ada yang sebesar Super Bowl". Putaran final National Football League (NFL) alias 'sepak bola Amerika' ini adalah magnet uang paling global. Bayangkan, tarif iklan selama 30 detiknya saja $2,4 juta AS atau sekitar Rp 22,8 milyar. Jumlah ini bahkan empat kali lebih mahal dibanding final Liga Champion sekalipun!
Di sepak bola, rata-rata tarif iklan spot 30 detik di ITV saat Liga Champion cuma sebesar $188 ribu atau Rp 1,7 milyar. "Tapi bisa lebih mahal tiga kali lipat jika yang main Manchester United atau Chelsea," ucap Steve Bignall, dari Mindshare Worldwide, top konsultan yang berbasis di London.
RAPBN Indonesia
Padahal ada 59 jenis iklan yang masuk, mulai dari McDonalds sampai General Motors. Walhasil dari iklan saja, SuperBowl menangguk $141,6 juta setara dengan Rp 1,4 trilyun. Bandingkan dengan Grand Prix Monaco, inti perhelatan F1, yang 'cuma' menyetor $70 juta AS. Gilanya lagi, iklan di SuperBowl itu masih sangat jauh dibanding pemasukan hak siar pay-per-view, $56 juta, yang digaet Time Warner-HBO saat Bernard Hopkins meng-KO Oscar De La Hoya, September silam.
Jika kontrak hak siar NBA selama 6 tahun dengan ABC/ESPN dan Time Warner's TNT bernilai $4.6 milyar, maka kontrak untuk NFL 1998-2006, yang diteken Fox, ABC (Walt Disney Co.'s), ESPN, dan CBS (Viacom Inc.'s), mencapai $17,6 milyar AS atau Rp 167,2 trilyun! Sebagai komparasi, RAPBN Indonesia di 2005 adalah Rp 377 triliun, di mana Rp 123 trilyun-nya dialokasikan untuk membayar hutang. Nah, laba dari bisnis olah raga ternyata bisa 'membuat' negara baru!
Sepak bola memiliki penggemar nomor satu di dunia, tapi tidak dari segi bisnis. Pasalnya, kontrak termahal dalam sejarah sepak bola, tiga tahun dari B-Sky-B untuk English Premier League, itu cuma sepersepuluhnya dari NFL atau $1,88 milyar AS (Rp 17,86 trilyun)! Pun di Liga Champion. Uang yang telah terkumpul di kas UEFA dari hak siar dan iklan untuk final Liga Champion 2004/05 di Istanbul, 25 Mei mendatang, 'cuma' mencapai 900 juta Swiss Francs setara dengan $754 juta AS (Rp 7,16 trilyun).
Kemenangan Amrik juga terjadi di arena sports-betting. Menurut Nevada Gaming Comission, uang yang berputar di ajang Super Bowl 2004 mencapai $81,2 juta AS, sedang kata Graham Sharpe dari William Hill, total uang yang beredar untuk final prestisius Liga Champion antara FC Porto vs AS Monaco berjumlah $ 18,8 juta AS.
Jika gebyar sepak bola dengan rekor audience-nya bisa tersaingi, apalagi F1? Apalagi kesan bahwa F1 cuma 'sandiwara' belaka atau kian boring menguat. Bahkan ada yang yakin, masa depan F1 sebentar lagi akan punah seiring dengan munculnya ajang tandingan yang lebih 'membumi', Grand Prix World Championship (GPWC) pada 2008.
"Saya tak sependapat pernyataan masa depan Formula 1 kacau. Dari studi marketing kami, Formula 1 masih berperang dengan sepak bola dan atletik menjadi olah raga nomor satu di dunia, di mana tingkat pertumbuhannya sekitar 5% per tahun. Inilah yang membuat kami mau bermain di Formula 1," tangkis John Howett, presiden Toyota Motorsport di sela-sela launching mobil andalan tim Toyota, TF105, belum lama ini.
Betul, namanya juga bisnis! Tokoh fiktif Hollywood, Jerry Maguire, saja selalu bilang "Show Me The Money", dan orang Betawi juga punya jargon "Ada uang, abang sayang. Nggak ada uang, abang ya...ditendang aja!"
(foto: motorsport.com/goal/ronaldo7)
Bernie dan Arsene Wenger, sama-sama jago lihat duit. |
Analogi ini barangkali keterlaluan, sangat dramatis. Tapi faktanya, dari alasan itulah, mungkin, yang membuat puluhan juta anak-anak dan remaja di Inggris 'berusaha' ingin seperti Schumacher dan Beckham. Lebih dari mimpi atau hasrat. Apapun akan dilakukan. Dunia bisnis pun menggeliat liar. Ini pasar besar, ini peluang, ini tantangan, dan ini kekuasaan. Mari kita bicara bisnis!
Kecuali di AS dan Kanada, sepak bola dan Formula 1 memang menjadi dua penguasa dunia olah raga berdasarkan jumlah audience dan tetek-bengek bisnis di sekitarnya mulai dari advertising, sponsor, promosi, marketing secara global. Popularitas adalah kata kunci.
Globalisasi F1 dimulai ketika 120-200 ribu orang menjejali grandstand tiap Grand Prix digelar. Lalu kalikan angka ini dengan 18 seri per-tahun mulai Maret sampai Oktober. Atraksi tak hanya dinikmati di dalam sirkuit. Ia melebar ke mana-mana. Minimal 100-an juta penonton loyal yang memelototi TV di 150 negara. Tak heran jika secara global, tiap tahun F1 meraup penghasilan bersih $2 milyar AS atau senilai Rp 19 trilyun, yang mayoritas diraih dari hak siar TV dan iklan. Ini di luar hitung-hitungan yang diraih setiap tim dan masing-masing pembalap.
Jadi bukan masalah apabila di tiap musim Ferrari menggelontor bujet sekitar $300 juta AS (Rp 2,85 trilyun). Yang akan diraih lebih dari itu. Saking prospektifnya, F1 juga telah dijamin komersialisasinya 105 tahun ke depan, hingga 31 Desember 2110, usai penekenan kontrak rights sebesar $360 juta AS (Rp 3,4 trilyun) pada Mei 2004.
Perlawanan AS
Sementara itu sepak bola juga makin mengukuhkan diri sebagai tambang uang dunia. Modalnya adalah jumlah audience tahunan di TV yang mencapai 4 milyar orang. Menurut FIFA, sepak bola setidaknya dimainkan oleh 1 milyar orang di seluruh dunia. Terdiri dari 250 juta pemain aktif, termasuk 40 juta-nya wanita dan 80%-nya orang muda. Dari jumlah itu, cuma 0,2 % diisi oleh pemain profesional.
Ronaldo dan Button, bekerjasama demi kejayaan glamor. |
Kedua perusahaan ini dikenal punya koneksi dengan CBS, jaringan pemegang hak siar olah raga di AS. Hasilnya, mulai 24 April, ratusan juta orang di AS bisa menikmati F1 setidaknya untuk empat seri, sejak San Marino, Catalunya, Montreal, dan Nurburgring.
WMG, yang berkantor pusat di Los Angeles, biasa bergaul dengan atlit dan pemusik, mulai dari superstar Travis Pastrana sampai band Coldplay. Dua pihak yang terakhir kali jasa memakai WMG adalah Emirate Airlines dan Arsenal tatkala melakukan kontrak naming rights sebesar $180 juta dolar AS. Pelanggan setia WMG lainnya adalah Juventus.
Sedangkan DIC, berbasis di California, adalah penguasa hiburan kartun. Produk-produk mereka antara lain Inspector Gadget, Strawberry Shortcake, Sabrina, Madeline, Liberty's Kids, Where On Earth Is Carmen Sandiego?, Sonic The Hedgehog, Super Mario Bros dan Care Bears.
Soal olah raga AS memang sulit dikalahkan, cenderung superlatif. Paul McCartney, legenda hidup The Beatles, bahkan terang-terangan bilang, "Tak ada yang sebesar Super Bowl". Putaran final National Football League (NFL) alias 'sepak bola Amerika' ini adalah magnet uang paling global. Bayangkan, tarif iklan selama 30 detiknya saja $2,4 juta AS atau sekitar Rp 22,8 milyar. Jumlah ini bahkan empat kali lebih mahal dibanding final Liga Champion sekalipun!
Di sepak bola, rata-rata tarif iklan spot 30 detik di ITV saat Liga Champion cuma sebesar $188 ribu atau Rp 1,7 milyar. "Tapi bisa lebih mahal tiga kali lipat jika yang main Manchester United atau Chelsea," ucap Steve Bignall, dari Mindshare Worldwide, top konsultan yang berbasis di London.
RAPBN Indonesia
Padahal ada 59 jenis iklan yang masuk, mulai dari McDonalds sampai General Motors. Walhasil dari iklan saja, SuperBowl menangguk $141,6 juta setara dengan Rp 1,4 trilyun. Bandingkan dengan Grand Prix Monaco, inti perhelatan F1, yang 'cuma' menyetor $70 juta AS. Gilanya lagi, iklan di SuperBowl itu masih sangat jauh dibanding pemasukan hak siar pay-per-view, $56 juta, yang digaet Time Warner-HBO saat Bernard Hopkins meng-KO Oscar De La Hoya, September silam.
Jika kontrak hak siar NBA selama 6 tahun dengan ABC/ESPN dan Time Warner's TNT bernilai $4.6 milyar, maka kontrak untuk NFL 1998-2006, yang diteken Fox, ABC (Walt Disney Co.'s), ESPN, dan CBS (Viacom Inc.'s), mencapai $17,6 milyar AS atau Rp 167,2 trilyun! Sebagai komparasi, RAPBN Indonesia di 2005 adalah Rp 377 triliun, di mana Rp 123 trilyun-nya dialokasikan untuk membayar hutang. Nah, laba dari bisnis olah raga ternyata bisa 'membuat' negara baru!
Jenson Button dan David Beckham. Idola dua bisnis. |
Kemenangan Amrik juga terjadi di arena sports-betting. Menurut Nevada Gaming Comission, uang yang berputar di ajang Super Bowl 2004 mencapai $81,2 juta AS, sedang kata Graham Sharpe dari William Hill, total uang yang beredar untuk final prestisius Liga Champion antara FC Porto vs AS Monaco berjumlah $ 18,8 juta AS.
Jika gebyar sepak bola dengan rekor audience-nya bisa tersaingi, apalagi F1? Apalagi kesan bahwa F1 cuma 'sandiwara' belaka atau kian boring menguat. Bahkan ada yang yakin, masa depan F1 sebentar lagi akan punah seiring dengan munculnya ajang tandingan yang lebih 'membumi', Grand Prix World Championship (GPWC) pada 2008.
"Saya tak sependapat pernyataan masa depan Formula 1 kacau. Dari studi marketing kami, Formula 1 masih berperang dengan sepak bola dan atletik menjadi olah raga nomor satu di dunia, di mana tingkat pertumbuhannya sekitar 5% per tahun. Inilah yang membuat kami mau bermain di Formula 1," tangkis John Howett, presiden Toyota Motorsport di sela-sela launching mobil andalan tim Toyota, TF105, belum lama ini.
Betul, namanya juga bisnis! Tokoh fiktif Hollywood, Jerry Maguire, saja selalu bilang "Show Me The Money", dan orang Betawi juga punya jargon "Ada uang, abang sayang. Nggak ada uang, abang ya...ditendang aja!"
(foto: motorsport.com/goal/ronaldo7)