Di era globalisasi ini, pertarungan sepak bola yang seru dan menarik bukan melulu terjadi di atas rumput, tapi juga di atas kertas. Perang target juga tak harus dilakukan lewat formasi tim, taktik atau strategi, namun juga bisa via lobi, diplomasi atau negosiasi bisnis.
Maka di London, 6 Oktober 2004, terjadi peristiwa istimewa yang akan mengubah peta kekuatan English Premier League di masa depan. Pelakonnya adalah Arsenal, yang kini tengah mengepakkan kedua sayapnya di angkasa Eropa, melanglang tinggi sebagai raja sepak bola se-Inggris. Saat itu di markas Highbury, dilakukan penekenan MoU (Memorandum of Understanding) Arsenal dengan Emirates Airline.
Nilai kontrak yang dibubuhkan kedua chairman Peter Hill-Wood dan Sheikh Ahmed bin Saeed Al-Maktoum, bikin semua orang ngiler lantaran mencapai 100 juta pound atau sekitar Rp 1,6 trilyun. Ada dua hal yang dicari maskapai penerbangan Uni Emirat Arab itu dengan uang segunungnya. Pertama cap Emirates harus dipakai sebagai nama stadion baru Arsenal berkapasitas 60.000-an penonton yang akan rampung pada Agustus 2006.
Kontrak ini berlangsung 15 tahun. Artinya sampai 2021 nama Emirates Stadium akan menggantikan Ashburton Grove. Yang kedua disepakati pula sponsor di kostum bertuliskan Fly Emirates selama 8 musim hingga 2014 atau 2015. Semua kontrak efektif sejak musim 2006/07. Sebagai uang mukanya, Arsenal akan menerima pembayaran 9 juta pound (sekitar 144 milyar rupiah) mulai April 2005.
Menurut The Sun, Arsenal sebenarnya rugi 23 juta pound lantaran angka semula yang diajukan sebesar 123 juta pound. Tapi setelah Arsenal minta beda masa kontrak stadion dan kostum, maka angka 100 juta pound akhirnya disetujui. "Rekor yang wajar diraih. Di dua tahun terakhir brand Arsenal kian meroket di Eropa. Untuk masa 5 sampai 10 tahun mendatang, Emirates justru akan meraih nilai jauh besar dari uang yang dikeluarkannya sekarang," kata Oliver Butler, seorang analis dari firma Sport+ Markt of London.
"Ini kerjasama win-win yang saling menguntungkan bagi Emirates Airline dan Arsenal," komentar Sheikh Al-Maktoum di depan para petinggi, antara lain vice-president Arsenal David Dein, managing director Keith Edelman dan manajer tim Arsene Wenger serta vice-chairman and Group President of Emirates Airline, Maurice Flanagan.
Rabu itu adalah hari bersejarah bagi English Premier League karena sebuah rekor sponsorship telah lahir. Lewat deal itu Arsenal kini kian pede mengambil alih mahkota dari Manchester United sebagai klub terkaya di Inggris. Yakin?
"Sebentar lagi," tukas Edelman. Benarkah itu akan terjadi? Bukankah dari nilai keseluruhan, harga Manchester United kini ditaksir sebesar 711 juta pound atau Rp 11,375 trilyun, sementara Arsenal 'cuma' 150 juta pound atau setara dengan 2,4 trilyun rupiah? Analisis bisnis bicara. Penentuan itu ada di London Stock Exchange. Sudah bukan rahasia jika publik kini mengejar-ngejar saham The Gunners ketimbang Red Devils.
Melihat prospek prestasinya yang lebih menjanjikan, investor lebih percaya memutar fulusnya bersama Arsenal ketimbang United. Sedangkan citra United justru meluruk di mata pemegang saham, terbanyak akibat kisruh trio top shareholders, JP McManus-John Magnier-Malcolm Glazer. Dari dalam lapangan, pelbagai kendala disorot khalayak.
Cedera pemain, kegagalan transfer window, misharmonis tim dengan manajemen, atau masa kontrak Sir Alex Ferguson yang tinggal setahun, adalah hal-hal sensitif yang mengganggu. "Itulah yang membuat investor melirik kami. Dan terus terang, Emirates telah membuat pasar kami akan mampu menjangkau seluruh dunia," lanjut Edelman.
Terkaya Ketujuh
Sehari setelah Emirates masuk, rapat umum pemegang saham digelar di Highbury. Selain Hill-Wood atau Edelman yang bicara di sana adalah Wenger. Pasalnya para shareholder masih belum yakin pada masa depan sebelum Le Boss menandatangani perpanjangan kontrak.
Siapapun setuju bahwa berkat Wenger-lah Arsenal jadi begini. Delapan musim digarap Frenchman, eksistensi Gunners mencapai masa keemasan kedua setelah era Herbert Chapman pada dekade 1930-an. Wenger cuma butuh dua musim untuk menuai titel pertamanya pada 1997/98.
Sejak itu, Arsenal tidak pernah keluar dari dua besar. Kalau tidak juara, ya runner-up. Di bawah rezim Wenger, Arsenal menuai 3 kali juara EPL, 3 kali juara Piala FA, dan sekali runner-up Piala UEFA. Dampak jangka panjangnya, brand Arsenal jadi membubung, menyaingi bahkan ada yang bilang telah menghempaskan Manchester United sebagai klub paling top di Inggris.
Kata Robert Pires, pokoknya selama Wenger jadi manajer, Arsenal akan menjadi klub penuh ambisi. Hal inilah yang didambakan oleh para pemegang saham. Mereka ingin memastikan kemanan investasi di masa depan. Dari catatan Deloitte & Touche LLP yang dilansir Maret 2004, Arsenal kini menempati urutan ketujuh sebagai klub terkaya di dunia dengan income 149,6 juta euro atau sekitar Rp 1,5 trilyun per tahun.
Posisi dua besar masih dipegang Manchester United (218,3) dan Juventus (200,2). AC Milan naik jadi ketiga dengan 200,2 juta euro. Begitu juga Real Madrid (192,6), dari enam ke empat. Bayern Muenchen sebaliknya turun ke posisi lima dari tiga dengan pendapatan 162,7 juta euro. Yang meroket adalah FC Internazionale Milano. Mereka naik enam posisi, dari 12 ke 6 dengan raihan 162,4 juta euro.
Tiga klub top Inggris lainnya, Chelsea, malah anjlok tiga posisi ke-10 lewat keuntungan 133,8 juta euro. Berikutnya Liverpool (149,4) turun dari lima ke delapan, Newcastle United (138,9) naik dari 13 ke 9. Tottenham Hotspur (95,6) naik ke-16 dari 15. Di bawahnya adalah Leeds United (92,0) yang turun lima level meski sudah dicukongi donatur baru.
Pundi-pundi keuntungan Arsenal terjadi musim lalu. Di akhir 2003/04 yang penuh glory itu, laba tahunan Gunners sebelum pajak membengkak 19,05 juta dolar AS atau 10,6 juta pound atau hampir Rp 170 milyar. Bandingkan di 2002/03 yang 'cuma' 4,5 juta pound (Rp 7,2 milyar). Secara total, turnover Arsenal Holdings naik pesat sebesar 33% atau 39,1 juta pound per 31 Mei 2004. Kongkritnya menjadi 156,9 juta pound (Rp 2,5 trilyun) dari 117,8 juta pound tahun sebelumnya.
Musim 2003/04 merupakan titik balik Arsenal secara keseluruhan. Dari atas lapangan label Undefetead, Invincibles, Immortality yang dibesut Wenger beserta armadanya selain sebagai perempatfinalis Liga Champion dan semifinalis Piala FA. Seperti diketahui di dua ajang ini, uang yang mengalir jauh lebih besar dibanding EPL sendiri.
Sementara dari luar lapangan pemasukan penjualan properti dan operasional klub mengalami surplus. Seperti yang diduga, prospek finansial kini kian cerah. Antrian sponsor, iklan dan kerjasama di meja Dein kian meninggi. Brand Arsenal diserbu orang. Masa depan London Les Rouges kian rancak di Februari 2004. Dengan hegemoni dan dominasi barunya di pentas EPL, wajar jika Arsenal terus berhitung demi menatap masa depan nan cerah.
Keputusan kontroversial, menggusur Highbury yang menjadi bagian sejarahnya sendiri siap dilakukan. Bagaimana mau untung banyak dari tiket jika stadion yang digunakan sejak 1913 itu cuma muat 38.200 penonton? Lewat sebuah konsorsium yang mengucurkan dana 400 juta pound (Rp 6,4 trilyun).
Dari kredit bank inilah, sebuah area di Ashburton Grove, berjarak cuma 1 km dari Highbury, siap disulap menjadi sebuah stadion besar berkapasitas 60.000. Biaya pembangunannya sebesar 357 juta pound alias lebih dari Rp 5,7 trilyun.
"Hari ini adalah momen penting dalam sejarah Arsenal untuk memantapkan tujuan strategis di masa depan yaitu mempertahankan kemapanan di Inggris dan Eropa," sebut Hill-Wood tanpa bermaksud sombong pada 1 September silam saat dilakukan pemancangan tiang pertama.
Mengorbankan Tradisi
Sebelum 'kejatuhan bintang' dari Emirates, tadinya Hill-Wood telah mengesahkan permintaan kelompok suporter fanatik agar stadion baru nanti dinamakan Herbert Chapman Stadium atau Arsene Wenger Stadium, dua manajer The Gunners terhebat sepanjang masa.
"Tiba-tiba semua itu harus berubah seperti yang berlaku di sepak bola. Tanpa diduga ada tawaran menggiurkan, yang terbesar di persepak bolaan Inggris sepanjang zaman, dan kami harus bertindak," papar bos Peter, generasi ketiga Hill-Wood yang memiliki saham Arsenal sejak 1920-an. Keputusan ini sontak membuat fans fanatik Gunners berpolemik. Bagi mereka yang anti, harga 100 juta pound selama 15 tahun tetap tak sebanding dengan hilangnya kebanggaan. "Setelah kontrak usai, apakah stadion itu ganti bernama Walt Disney Stadium?" tanya mereka.
"Tradisi telah hilang. Nama itu tak ada hubungannya sama sekali dengan Arsenal. Tadinya kami berharap namanya Ashburton Grove atau Emirates Highbury. Jangan kaget jika pada awal nanti banyak suporter yang tetap menyebutnya Ashburton Grove ketimbang Emirates Stadium," timpal Barry Baker, seorang perwakilan kelompok suporter Arsenal.
"Bagi saya itu sebuah nama yang jelas, keputusan yang fantastis dan akan mudah mengerti suporter. Percayalah," komentar Paul Fletcher, eks pemain timnas Inggris U-23 yang kini menjadi salah satu pakar stadion di Eropa. Apakah Stadion Emirates bisa menahan dominasi Old Trafford sebagai penyedot pemasukan tiket terbesar di Inggris? Tampaknya sulit, mengingat isi stadion baru Arsenal itu pun masih kalah 17.000 penonton dibanding Old Trafford.
Di Inggris, stadion adalah simbol keagungan sebuah klub. Apalagi jika stadion itu megah dan besar. Nah, mulai 2006 kepercayaan diri Arsenal dipastikan akan meninggi saat Stadion Emirates resmi digunakan. Selain itu stadion yang besar juga bisa menjadi sumber uang yang besar. Itulah yang membuat Manchester United atau Newcastle United sukses menjaga kekayaannya.
Pada 2 Oktober lalu, saat United jumpa Middlesbrough, Theatre of Dreams - yang kabarnya akan ditambah 180 kursi lagi - kembali mencatat rekor penonton, 67.988 orang. Rekor tertinggi terjadi di semifinal Piala FA antara Wolverhampton Wanderers vs Grimsby, Maret 1939, yakni 76.962 orang.
Jadi, menurut bos United, David Gill, pihaknya tak khawatir disaingi. Bahkan pernah, saking percaya dirinya, United pernah menolak tawaran sebuah perusahaan yang ngebet namanya dipakai menggantikan Old Trafford. "Semua orang menyarankan agar nama itu tidak diganti," akunya.
Tapi deal Arsenal dan Emirat Airlines bikin gerah Chelsea. Sontak Si Biru emoh memperbarui kontrak senilai 4 juta pound per tahun itu mulai musim depan. Sebagai incarannya, The Blues getol merayu Vodafone, sponsor United, dengan permintaan 9 juta pound semusim.
Kabarnya mereka juga tengah meng-arrange O2 yang kini dipakai Arsenal, sebesar 6 juta pound. "Kami tetap respek pada Emirates, tapi kami percaya sponsor yang terbaik bagi Chelsea di era baru globalisasi ini adalah sebuah brand perusahaan konsumen," begitu Paul Smith, direktur urusan bisnis Chelsea memberi alasan. Jrengg, perang masa depan pun siap dimulai
(foto: arsenal.com)
Maka di London, 6 Oktober 2004, terjadi peristiwa istimewa yang akan mengubah peta kekuatan English Premier League di masa depan. Pelakonnya adalah Arsenal, yang kini tengah mengepakkan kedua sayapnya di angkasa Eropa, melanglang tinggi sebagai raja sepak bola se-Inggris. Saat itu di markas Highbury, dilakukan penekenan MoU (Memorandum of Understanding) Arsenal dengan Emirates Airline.
Nilai kontrak yang dibubuhkan kedua chairman Peter Hill-Wood dan Sheikh Ahmed bin Saeed Al-Maktoum, bikin semua orang ngiler lantaran mencapai 100 juta pound atau sekitar Rp 1,6 trilyun. Ada dua hal yang dicari maskapai penerbangan Uni Emirat Arab itu dengan uang segunungnya. Pertama cap Emirates harus dipakai sebagai nama stadion baru Arsenal berkapasitas 60.000-an penonton yang akan rampung pada Agustus 2006.
Kontrak ini berlangsung 15 tahun. Artinya sampai 2021 nama Emirates Stadium akan menggantikan Ashburton Grove. Yang kedua disepakati pula sponsor di kostum bertuliskan Fly Emirates selama 8 musim hingga 2014 atau 2015. Semua kontrak efektif sejak musim 2006/07. Sebagai uang mukanya, Arsenal akan menerima pembayaran 9 juta pound (sekitar 144 milyar rupiah) mulai April 2005.
Menurut The Sun, Arsenal sebenarnya rugi 23 juta pound lantaran angka semula yang diajukan sebesar 123 juta pound. Tapi setelah Arsenal minta beda masa kontrak stadion dan kostum, maka angka 100 juta pound akhirnya disetujui. "Rekor yang wajar diraih. Di dua tahun terakhir brand Arsenal kian meroket di Eropa. Untuk masa 5 sampai 10 tahun mendatang, Emirates justru akan meraih nilai jauh besar dari uang yang dikeluarkannya sekarang," kata Oliver Butler, seorang analis dari firma Sport+ Markt of London.
"Ini kerjasama win-win yang saling menguntungkan bagi Emirates Airline dan Arsenal," komentar Sheikh Al-Maktoum di depan para petinggi, antara lain vice-president Arsenal David Dein, managing director Keith Edelman dan manajer tim Arsene Wenger serta vice-chairman and Group President of Emirates Airline, Maurice Flanagan.
Rabu itu adalah hari bersejarah bagi English Premier League karena sebuah rekor sponsorship telah lahir. Lewat deal itu Arsenal kini kian pede mengambil alih mahkota dari Manchester United sebagai klub terkaya di Inggris. Yakin?
"Sebentar lagi," tukas Edelman. Benarkah itu akan terjadi? Bukankah dari nilai keseluruhan, harga Manchester United kini ditaksir sebesar 711 juta pound atau Rp 11,375 trilyun, sementara Arsenal 'cuma' 150 juta pound atau setara dengan 2,4 trilyun rupiah? Analisis bisnis bicara. Penentuan itu ada di London Stock Exchange. Sudah bukan rahasia jika publik kini mengejar-ngejar saham The Gunners ketimbang Red Devils.
Melihat prospek prestasinya yang lebih menjanjikan, investor lebih percaya memutar fulusnya bersama Arsenal ketimbang United. Sedangkan citra United justru meluruk di mata pemegang saham, terbanyak akibat kisruh trio top shareholders, JP McManus-John Magnier-Malcolm Glazer. Dari dalam lapangan, pelbagai kendala disorot khalayak.
Cedera pemain, kegagalan transfer window, misharmonis tim dengan manajemen, atau masa kontrak Sir Alex Ferguson yang tinggal setahun, adalah hal-hal sensitif yang mengganggu. "Itulah yang membuat investor melirik kami. Dan terus terang, Emirates telah membuat pasar kami akan mampu menjangkau seluruh dunia," lanjut Edelman.
Terkaya Ketujuh
Sehari setelah Emirates masuk, rapat umum pemegang saham digelar di Highbury. Selain Hill-Wood atau Edelman yang bicara di sana adalah Wenger. Pasalnya para shareholder masih belum yakin pada masa depan sebelum Le Boss menandatangani perpanjangan kontrak.
Siapapun setuju bahwa berkat Wenger-lah Arsenal jadi begini. Delapan musim digarap Frenchman, eksistensi Gunners mencapai masa keemasan kedua setelah era Herbert Chapman pada dekade 1930-an. Wenger cuma butuh dua musim untuk menuai titel pertamanya pada 1997/98.
Sejak itu, Arsenal tidak pernah keluar dari dua besar. Kalau tidak juara, ya runner-up. Di bawah rezim Wenger, Arsenal menuai 3 kali juara EPL, 3 kali juara Piala FA, dan sekali runner-up Piala UEFA. Dampak jangka panjangnya, brand Arsenal jadi membubung, menyaingi bahkan ada yang bilang telah menghempaskan Manchester United sebagai klub paling top di Inggris.
Kata Robert Pires, pokoknya selama Wenger jadi manajer, Arsenal akan menjadi klub penuh ambisi. Hal inilah yang didambakan oleh para pemegang saham. Mereka ingin memastikan kemanan investasi di masa depan. Dari catatan Deloitte & Touche LLP yang dilansir Maret 2004, Arsenal kini menempati urutan ketujuh sebagai klub terkaya di dunia dengan income 149,6 juta euro atau sekitar Rp 1,5 trilyun per tahun.
Posisi dua besar masih dipegang Manchester United (218,3) dan Juventus (200,2). AC Milan naik jadi ketiga dengan 200,2 juta euro. Begitu juga Real Madrid (192,6), dari enam ke empat. Bayern Muenchen sebaliknya turun ke posisi lima dari tiga dengan pendapatan 162,7 juta euro. Yang meroket adalah FC Internazionale Milano. Mereka naik enam posisi, dari 12 ke 6 dengan raihan 162,4 juta euro.
Tiga klub top Inggris lainnya, Chelsea, malah anjlok tiga posisi ke-10 lewat keuntungan 133,8 juta euro. Berikutnya Liverpool (149,4) turun dari lima ke delapan, Newcastle United (138,9) naik dari 13 ke 9. Tottenham Hotspur (95,6) naik ke-16 dari 15. Di bawahnya adalah Leeds United (92,0) yang turun lima level meski sudah dicukongi donatur baru.
Pundi-pundi keuntungan Arsenal terjadi musim lalu. Di akhir 2003/04 yang penuh glory itu, laba tahunan Gunners sebelum pajak membengkak 19,05 juta dolar AS atau 10,6 juta pound atau hampir Rp 170 milyar. Bandingkan di 2002/03 yang 'cuma' 4,5 juta pound (Rp 7,2 milyar). Secara total, turnover Arsenal Holdings naik pesat sebesar 33% atau 39,1 juta pound per 31 Mei 2004. Kongkritnya menjadi 156,9 juta pound (Rp 2,5 trilyun) dari 117,8 juta pound tahun sebelumnya.
Musim 2003/04 merupakan titik balik Arsenal secara keseluruhan. Dari atas lapangan label Undefetead, Invincibles, Immortality yang dibesut Wenger beserta armadanya selain sebagai perempatfinalis Liga Champion dan semifinalis Piala FA. Seperti diketahui di dua ajang ini, uang yang mengalir jauh lebih besar dibanding EPL sendiri.
Sementara dari luar lapangan pemasukan penjualan properti dan operasional klub mengalami surplus. Seperti yang diduga, prospek finansial kini kian cerah. Antrian sponsor, iklan dan kerjasama di meja Dein kian meninggi. Brand Arsenal diserbu orang. Masa depan London Les Rouges kian rancak di Februari 2004. Dengan hegemoni dan dominasi barunya di pentas EPL, wajar jika Arsenal terus berhitung demi menatap masa depan nan cerah.
Keputusan kontroversial, menggusur Highbury yang menjadi bagian sejarahnya sendiri siap dilakukan. Bagaimana mau untung banyak dari tiket jika stadion yang digunakan sejak 1913 itu cuma muat 38.200 penonton? Lewat sebuah konsorsium yang mengucurkan dana 400 juta pound (Rp 6,4 trilyun).
Dari kredit bank inilah, sebuah area di Ashburton Grove, berjarak cuma 1 km dari Highbury, siap disulap menjadi sebuah stadion besar berkapasitas 60.000. Biaya pembangunannya sebesar 357 juta pound alias lebih dari Rp 5,7 trilyun.
"Hari ini adalah momen penting dalam sejarah Arsenal untuk memantapkan tujuan strategis di masa depan yaitu mempertahankan kemapanan di Inggris dan Eropa," sebut Hill-Wood tanpa bermaksud sombong pada 1 September silam saat dilakukan pemancangan tiang pertama.
Mengorbankan Tradisi
Sebelum 'kejatuhan bintang' dari Emirates, tadinya Hill-Wood telah mengesahkan permintaan kelompok suporter fanatik agar stadion baru nanti dinamakan Herbert Chapman Stadium atau Arsene Wenger Stadium, dua manajer The Gunners terhebat sepanjang masa.
"Tiba-tiba semua itu harus berubah seperti yang berlaku di sepak bola. Tanpa diduga ada tawaran menggiurkan, yang terbesar di persepak bolaan Inggris sepanjang zaman, dan kami harus bertindak," papar bos Peter, generasi ketiga Hill-Wood yang memiliki saham Arsenal sejak 1920-an. Keputusan ini sontak membuat fans fanatik Gunners berpolemik. Bagi mereka yang anti, harga 100 juta pound selama 15 tahun tetap tak sebanding dengan hilangnya kebanggaan. "Setelah kontrak usai, apakah stadion itu ganti bernama Walt Disney Stadium?" tanya mereka.
"Tradisi telah hilang. Nama itu tak ada hubungannya sama sekali dengan Arsenal. Tadinya kami berharap namanya Ashburton Grove atau Emirates Highbury. Jangan kaget jika pada awal nanti banyak suporter yang tetap menyebutnya Ashburton Grove ketimbang Emirates Stadium," timpal Barry Baker, seorang perwakilan kelompok suporter Arsenal.
"Bagi saya itu sebuah nama yang jelas, keputusan yang fantastis dan akan mudah mengerti suporter. Percayalah," komentar Paul Fletcher, eks pemain timnas Inggris U-23 yang kini menjadi salah satu pakar stadion di Eropa. Apakah Stadion Emirates bisa menahan dominasi Old Trafford sebagai penyedot pemasukan tiket terbesar di Inggris? Tampaknya sulit, mengingat isi stadion baru Arsenal itu pun masih kalah 17.000 penonton dibanding Old Trafford.
Di Inggris, stadion adalah simbol keagungan sebuah klub. Apalagi jika stadion itu megah dan besar. Nah, mulai 2006 kepercayaan diri Arsenal dipastikan akan meninggi saat Stadion Emirates resmi digunakan. Selain itu stadion yang besar juga bisa menjadi sumber uang yang besar. Itulah yang membuat Manchester United atau Newcastle United sukses menjaga kekayaannya.
Pada 2 Oktober lalu, saat United jumpa Middlesbrough, Theatre of Dreams - yang kabarnya akan ditambah 180 kursi lagi - kembali mencatat rekor penonton, 67.988 orang. Rekor tertinggi terjadi di semifinal Piala FA antara Wolverhampton Wanderers vs Grimsby, Maret 1939, yakni 76.962 orang.
Jadi, menurut bos United, David Gill, pihaknya tak khawatir disaingi. Bahkan pernah, saking percaya dirinya, United pernah menolak tawaran sebuah perusahaan yang ngebet namanya dipakai menggantikan Old Trafford. "Semua orang menyarankan agar nama itu tidak diganti," akunya.
Tapi deal Arsenal dan Emirat Airlines bikin gerah Chelsea. Sontak Si Biru emoh memperbarui kontrak senilai 4 juta pound per tahun itu mulai musim depan. Sebagai incarannya, The Blues getol merayu Vodafone, sponsor United, dengan permintaan 9 juta pound semusim.
Kabarnya mereka juga tengah meng-arrange O2 yang kini dipakai Arsenal, sebesar 6 juta pound. "Kami tetap respek pada Emirates, tapi kami percaya sponsor yang terbaik bagi Chelsea di era baru globalisasi ini adalah sebuah brand perusahaan konsumen," begitu Paul Smith, direktur urusan bisnis Chelsea memberi alasan. Jrengg, perang masa depan pun siap dimulai
(foto: arsenal.com)