Secara historis membandingkan Juventus dengan Parma di Piala Italia sebenarnya amat jauh. Sejak digelar pertama kali pada 1922, dan mulai teratur sejak 1936, Juve terus mengikuti kejuaraan yang pemenangnya akan mewakili Italia di Piala Winner itu.
Dalam penyelenggaraan ke-47 hingga sampai saat ini, Juve telah 11 kali tampil di final dengan delapan kali diantaranya meraih juara. Juventus sesungguhnya bukan spesialis Piala Italia seperti halnya Torino. Namun realitanya berkata lain, seperti juga di Serie A, Bianconeri juga berkuasa di Coppa Italiana.
Butuh waktu tujuh tahun bagi Juve untuk menggapai gelar kedelapan atau terakhir yaitu pada musim 1989/90. Saat itu mereka diperkuat dua pemain asing, Sergei Aleinikov (Rusia) dan Rui Barros (Portugal). Di final, tim Zebra mengalahkan AC Milan di San Siro 1-0 lewat gol emas Roberto Galia.
Kesempatan datang lagi ketika mereka harus bertemu dengan tim anak bawang kala itu, Parma, pada final 1991/92. Hasil di Delle Api oke, menang 1-0. Namun giliran di Ennio Tardini, dua gol tuan rumah yang dilesakkan Marco Osio dan Tomas Brolin, menggagalkan impian.
Sekarang di final 1994/95, yang akan dihadapi pada 11 dan 18 Juni mendatang, lagi-lagi Parma menjadi lawan Si Nyonya Besar. Untuk diketahui pertautan Piala Italia, Juve, dan Parma seperti silsilah yang tidak wajar. Piala Italia lahir pada 1922, Juve pada 1897, dan Parma...1968! Sehingga antara Juve dan Parma selalu terpaut usia 71 tahun, sepanjang masa!
Namun dunia memang terus berkembang dan berubah. Di bawah tangan dingin Nevio Scala, seorang pemain Milan ketika memenangkan Liga Champion 1968/69, Parma mulai mengusik tatanan calcio, Serie A, serta Piala Italia sekaligus! Sejak promosi pertama kali ke Serie A di akhir musim 1990/91, nama Parma mulai jadi buah bibir orang.
Di debut Piala Italia sejak menjadi anggota Serie A, Parma dirontokkan Fiorentina. Namun selang semusim, pada 1991/92, tak diduga Parma meraih Coppa Italia pertama kalinya. Gelar ini yang lalu memberi tiket mereka ke Eropa lewat ajang Piala Winner. Gilanya lagi, dalam debutnya itu Scala membawa Parma menjuarai ajang terhormat kedua buat klub-klub Eropa setelah Liga Champion. Di final, Brolin cs. menerjang Royal Antwerpen (Belgia) 3-1 dalam final di Wembley, London.
Meniru Parola
Lama-lama Juve bisa alergi dengan nama Parma. Pasalnya di musim ini saja, pasukan Marcello Lippi sampai tujuh kali bertarung dengan brigade-nya Scala. Bayangkan, tujuh kali! Bagaimana hitungannya? Sepele saja. Dua kali di Serie A, dua kali di final Piala Italia, dua kali di final Piala UEFA, dan sekali di final Piala Super Italia nanti.
Seperti lazimnya di Eropa, final Piala Super Italia juga menjodohkan scudetto Serie A dengan kampiun Piala Italia. Khusus musim ini, calon penantang Juve sudah dipastikan yakni Parma! Andai nanti kalah pun di final Piala Italia, yang artinya Juve jadi juaranya, Parma tetap menjadi wakil Italia di Piala Winner lagi.
Wah tidak seru karena hasilnya sudah bisa ditebak. Tidak juga jika melihat motivasi khusus Juventus. Lippi punya tiga alasan untuk memenangi Coppa Italia musim ini dengan status ‘harus’. Pertama Juve ingin mengulangi kejayaan di 1959/60. Di musim ini La Vecchia Signora menjadi penguasa tunggal dengan menyabet titel di Serie A dan di Piala Italia. Motif Lippi jelas sekali ingin meniru pelatih Juve ketika itu, Domenico Parola.
Kebetulan pasukan Parola juga disesaki para bintang seperti halnya Lippi sekarang. Dulu ada Omar Sivori, Giampiero Boniperti, dan si raksasa asal Wales, Ray Charles. Alasan kedua adalah masalah gengsi. Masak kalah lagi dari Parma? Masak jawara Italia kalah lagi dari klub yang umurnya kemaren sore? Di Piala UEFA, Juve sudah takluk dari Parma, keterlaluan kalau jadi pecundang lagi di Coppa. Mau ditaruh di mana muka mereka?
Adapun alasan terakhir cukup masuk akal, yaitu membalas kekalahan di final Piala Italia 1991/92. Terlepas soal persaingan bebuyutan baru diantara mereka, namun yang pasti sulit untuk tidak menjagokan Juventus. Semua orang se-Italia tahu, skuad Lippi sedang dilanda euforia seusai merebut titel Serie A yang ditunggu-tunggu selama 8 tahun. Di Piala Italia inilah mereka akan membuktikan kepantasan itu.
(foto: wikipedia)
Aksi Gianluca Vialli vs Fernando Couto bakal terjadi lagi. |
Butuh waktu tujuh tahun bagi Juve untuk menggapai gelar kedelapan atau terakhir yaitu pada musim 1989/90. Saat itu mereka diperkuat dua pemain asing, Sergei Aleinikov (Rusia) dan Rui Barros (Portugal). Di final, tim Zebra mengalahkan AC Milan di San Siro 1-0 lewat gol emas Roberto Galia.
Kesempatan datang lagi ketika mereka harus bertemu dengan tim anak bawang kala itu, Parma, pada final 1991/92. Hasil di Delle Api oke, menang 1-0. Namun giliran di Ennio Tardini, dua gol tuan rumah yang dilesakkan Marco Osio dan Tomas Brolin, menggagalkan impian.
Sekarang di final 1994/95, yang akan dihadapi pada 11 dan 18 Juni mendatang, lagi-lagi Parma menjadi lawan Si Nyonya Besar. Untuk diketahui pertautan Piala Italia, Juve, dan Parma seperti silsilah yang tidak wajar. Piala Italia lahir pada 1922, Juve pada 1897, dan Parma...1968! Sehingga antara Juve dan Parma selalu terpaut usia 71 tahun, sepanjang masa!
Namun dunia memang terus berkembang dan berubah. Di bawah tangan dingin Nevio Scala, seorang pemain Milan ketika memenangkan Liga Champion 1968/69, Parma mulai mengusik tatanan calcio, Serie A, serta Piala Italia sekaligus! Sejak promosi pertama kali ke Serie A di akhir musim 1990/91, nama Parma mulai jadi buah bibir orang.
Di debut Piala Italia sejak menjadi anggota Serie A, Parma dirontokkan Fiorentina. Namun selang semusim, pada 1991/92, tak diduga Parma meraih Coppa Italia pertama kalinya. Gelar ini yang lalu memberi tiket mereka ke Eropa lewat ajang Piala Winner. Gilanya lagi, dalam debutnya itu Scala membawa Parma menjuarai ajang terhormat kedua buat klub-klub Eropa setelah Liga Champion. Di final, Brolin cs. menerjang Royal Antwerpen (Belgia) 3-1 dalam final di Wembley, London.
Meniru Parola
Lama-lama Juve bisa alergi dengan nama Parma. Pasalnya di musim ini saja, pasukan Marcello Lippi sampai tujuh kali bertarung dengan brigade-nya Scala. Bayangkan, tujuh kali! Bagaimana hitungannya? Sepele saja. Dua kali di Serie A, dua kali di final Piala Italia, dua kali di final Piala UEFA, dan sekali di final Piala Super Italia nanti.
Seperti lazimnya di Eropa, final Piala Super Italia juga menjodohkan scudetto Serie A dengan kampiun Piala Italia. Khusus musim ini, calon penantang Juve sudah dipastikan yakni Parma! Andai nanti kalah pun di final Piala Italia, yang artinya Juve jadi juaranya, Parma tetap menjadi wakil Italia di Piala Winner lagi.
Wah tidak seru karena hasilnya sudah bisa ditebak. Tidak juga jika melihat motivasi khusus Juventus. Lippi punya tiga alasan untuk memenangi Coppa Italia musim ini dengan status ‘harus’. Pertama Juve ingin mengulangi kejayaan di 1959/60. Di musim ini La Vecchia Signora menjadi penguasa tunggal dengan menyabet titel di Serie A dan di Piala Italia. Motif Lippi jelas sekali ingin meniru pelatih Juve ketika itu, Domenico Parola.
Kebetulan pasukan Parola juga disesaki para bintang seperti halnya Lippi sekarang. Dulu ada Omar Sivori, Giampiero Boniperti, dan si raksasa asal Wales, Ray Charles. Alasan kedua adalah masalah gengsi. Masak kalah lagi dari Parma? Masak jawara Italia kalah lagi dari klub yang umurnya kemaren sore? Di Piala UEFA, Juve sudah takluk dari Parma, keterlaluan kalau jadi pecundang lagi di Coppa. Mau ditaruh di mana muka mereka?
Adapun alasan terakhir cukup masuk akal, yaitu membalas kekalahan di final Piala Italia 1991/92. Terlepas soal persaingan bebuyutan baru diantara mereka, namun yang pasti sulit untuk tidak menjagokan Juventus. Semua orang se-Italia tahu, skuad Lippi sedang dilanda euforia seusai merebut titel Serie A yang ditunggu-tunggu selama 8 tahun. Di Piala Italia inilah mereka akan membuktikan kepantasan itu.