Apa ambisi duabelas negara yang tampil di Piala Amerika 1995? Macam-macam. Jadi juara? Sah saja kalau yang mengatakan atau menginginkannya itu Uruguay, Brasil, atau Argentina. Yang lain? Tahu dirilah. Sebab empat negara yang paling dijagokan ke semifinal adalah tuan rumah Uruguay, juara bertahan Argentina, tim favorit Brasil, dan kuda hitam Kolombia. Skenario ini selain berdasarkan utak-atik dari undian grup, juga berasal dari kualitas dan kekuatan masing-masing tim. Tapi tahukah Anda bahwa tuan rumah tengah mempertaruhkan segalanya di situ?
Uruguay, yang menjadi tuan rumah ketujuh kalinya, jelas berambisi paling besar. Dalam beberapa tahun terakhir, negeri mini ini semakin tergencet oleh keperkasaan Argentina dan Brasil, serta kekuatan baru Kolombia. Piala Dunia 1994 lalu jelas menyakitkan hati sebab dunia melupakan Uruguay dan memuja Kolombia. La Celeste gagal lolos ke AS, sementara Kolombia - walau tersingkir tragis - namun sanggup mencuri perhatian dunia, terutama lewat aksi kiper Rene Higuita, kapten elegen Carlos Valderrama, dan tentu saja, simpati untuk terbunuhnya Andreas Escobar oleh mafia kokain Kolombia.
Problem Uruguay juga ada di urusan internal. Klub-klub divisi satu banyak terancam bangkrut akibat kalah bersaing mendapatkan sponsor dan hak siar. Hanya klub Nacional dan Penarol yang masih stabil bertahan. Akibatnya banyak pemain berbakat yang harus melupakan mimpinya menjadi bintang. Dampak lebih panjang kentara pada gagalnya klub-klub Uruguay menjuarai Piala Libertadores sejak 1988!
"Hanya dengan menjadi juara Copa America yang bisa mengobati luka ini, tiada lain," kata kapten tim sekaligus superstar-nya yang semakin menua, Enzo Francescoli, 33 tahun. Maka wajar jika pelatih Hector Nunez terpaksa memanggil seluruh pemain terbaik Uruguay yang bermain di Eropa. Sebut saja Daniel Fonseca (Roma), Ruben Sosa dan Jose Herrera (Cagliari) serta Gustavo Poyet (Real Zaragoza), yang tak lain untuk mengejahwantahkan proyek membangun citra baru ini.
Terancam Rugi
Aksi AFU (PSSI-nya Uruguay) ini pun didukung pemerintah. Dana sebesar US$ 21,5 juta atau sekitar Rp 45 miliar, telah dikucurkan untuk membiayai segala infrastruktur yang berhubungan dengan pagelaran impian ini. Sekitar Rp 26 miliar di antaranya habis hanya untuk membangun stadion baru di Maldonado.
Imbalan paling setimpal untuk pengeluaran besar ini tidak lain adalah dengan menjadi kampiun. Hal kedua yang diincar AFU adalah berusaha keras mengembalikan uang negara lewat penjualan tiket, iklan, wisatawan, dan hak siar televisi. Sekedar informasi, Chile saja berhasil menggandeng Traffic, sebuah stasiun TV Brasil sebagai saluran resmi kejuaraan, dengan imbalan dana senilai Rp 3,75 miliar sewaktu menggelar Copa America 1991. Begitu juga Ekuador yang sukses menjual hak siar kepada Gammavision sebesar Rp 6,3 miliar untuk tayangan Piala Amerika 1993.
Bagaimana dengan Uruguay kali ini? Sialnya terdapat berbagai kendala yang dihadapi panitia untuk mengeruk keuntungan lebih besar. Salah satunya masalah transportasi. Tidak adanya bandara yang memadai serta jalur kereta api modern akan memaksa turis menggunakan jalan darat yang membosankan, terutama jika ingin ke Paysandu dan Rivera. Untungnya negara Uruguay itu terbilang mini, bahkan paling mini di jajaran konfederasi sepak bola Amerika Latin dengan luas 176.215 km2 atau tidak begitu jauh dengan propinsi Kalimantan Tengah di Indonesia, di luar Suriname (163.821 km2) dan Guyana Prancis (83.534 km2).
Padahal tim-tim Kolombia, Brasil, Argentina, dan AS akan memainkan pertandingan di kedua kota tersebut. Siapa pun tahu, mereka inilah pemilik suporter yang banyak dan heboh. Rugilah Uruguay kalau mereka sampai urung datang atau katakanlah terhambat menikmati perjalanan sepak bolanya. Namun terlepas dari itu semua, tampaknya Uruguay tak terlalu mempermasalahkan itu. Baginya dengan menjadi juara Piala Amerika 1995 saja sudah mengobati dan melupakan semua permasalahan yang asa, sekaligus sebagai obat kerinduan kekeringan prestasi dan kejayaan masa lalu.
Ini sangat jelas, mengingat hanya dengan sepak bola sajalah, nama dan reputasi negara yang punya lagu kebangsaan Libertad o Muerte (merdeka atau mati) ini bisa dikenal dan terkenal ke seluruh dunia. Di satu sisi, hal ini berarti membuat tekanan atau beban lebih berat buat Enzo Francescoli dkk. Uruguay sudah sangat beruntung bila di semifinal hanya menghadapi Kolombia atau Meksiko sesuai skenario awal. Jangan sampai justru Argentina atau Brasil. Maka dari itu, mereka harus selalu ingat tujuan, serta waspada di setiap laga yang akan dijalani sejak di penyisihan grup.
SKUAD LENGKAP URUGUAY
Kiper: Fernando Alvez, Claudio Arbiza, Oscar Ferro. Belakang: Oscar Aguirregaray, Eber Moas, Jose Herrera, Edgardo Adinolfi, Gustavo Mendez, Tabare Silva, Diego Lopez. Tengah: Alvaro Gutierrez, Pablo Bengoechea, Ruben Da Silva, Marcelo Saralegui, Diego Dorta, Nelson Abeijon. Depan: Daniel Fonseca, Ruben Sosa, Enzo Francescoli, Gustavo Poyet, Sergio Martinez, Marcelo Otero.
(foto: wikiwand/ebay)
Estadio Centenario di Montevideo akan menjadi pusat pertaruhan reputasi Uruguay. |
Problem Uruguay juga ada di urusan internal. Klub-klub divisi satu banyak terancam bangkrut akibat kalah bersaing mendapatkan sponsor dan hak siar. Hanya klub Nacional dan Penarol yang masih stabil bertahan. Akibatnya banyak pemain berbakat yang harus melupakan mimpinya menjadi bintang. Dampak lebih panjang kentara pada gagalnya klub-klub Uruguay menjuarai Piala Libertadores sejak 1988!
"Hanya dengan menjadi juara Copa America yang bisa mengobati luka ini, tiada lain," kata kapten tim sekaligus superstar-nya yang semakin menua, Enzo Francescoli, 33 tahun. Maka wajar jika pelatih Hector Nunez terpaksa memanggil seluruh pemain terbaik Uruguay yang bermain di Eropa. Sebut saja Daniel Fonseca (Roma), Ruben Sosa dan Jose Herrera (Cagliari) serta Gustavo Poyet (Real Zaragoza), yang tak lain untuk mengejahwantahkan proyek membangun citra baru ini.
Terancam Rugi
Aksi AFU (PSSI-nya Uruguay) ini pun didukung pemerintah. Dana sebesar US$ 21,5 juta atau sekitar Rp 45 miliar, telah dikucurkan untuk membiayai segala infrastruktur yang berhubungan dengan pagelaran impian ini. Sekitar Rp 26 miliar di antaranya habis hanya untuk membangun stadion baru di Maldonado.
Imbalan paling setimpal untuk pengeluaran besar ini tidak lain adalah dengan menjadi kampiun. Hal kedua yang diincar AFU adalah berusaha keras mengembalikan uang negara lewat penjualan tiket, iklan, wisatawan, dan hak siar televisi. Sekedar informasi, Chile saja berhasil menggandeng Traffic, sebuah stasiun TV Brasil sebagai saluran resmi kejuaraan, dengan imbalan dana senilai Rp 3,75 miliar sewaktu menggelar Copa America 1991. Begitu juga Ekuador yang sukses menjual hak siar kepada Gammavision sebesar Rp 6,3 miliar untuk tayangan Piala Amerika 1993.
Bagaimana dengan Uruguay kali ini? Sialnya terdapat berbagai kendala yang dihadapi panitia untuk mengeruk keuntungan lebih besar. Salah satunya masalah transportasi. Tidak adanya bandara yang memadai serta jalur kereta api modern akan memaksa turis menggunakan jalan darat yang membosankan, terutama jika ingin ke Paysandu dan Rivera. Untungnya negara Uruguay itu terbilang mini, bahkan paling mini di jajaran konfederasi sepak bola Amerika Latin dengan luas 176.215 km2 atau tidak begitu jauh dengan propinsi Kalimantan Tengah di Indonesia, di luar Suriname (163.821 km2) dan Guyana Prancis (83.534 km2).
Padahal tim-tim Kolombia, Brasil, Argentina, dan AS akan memainkan pertandingan di kedua kota tersebut. Siapa pun tahu, mereka inilah pemilik suporter yang banyak dan heboh. Rugilah Uruguay kalau mereka sampai urung datang atau katakanlah terhambat menikmati perjalanan sepak bolanya. Namun terlepas dari itu semua, tampaknya Uruguay tak terlalu mempermasalahkan itu. Baginya dengan menjadi juara Piala Amerika 1995 saja sudah mengobati dan melupakan semua permasalahan yang asa, sekaligus sebagai obat kerinduan kekeringan prestasi dan kejayaan masa lalu.
Ini sangat jelas, mengingat hanya dengan sepak bola sajalah, nama dan reputasi negara yang punya lagu kebangsaan Libertad o Muerte (merdeka atau mati) ini bisa dikenal dan terkenal ke seluruh dunia. Di satu sisi, hal ini berarti membuat tekanan atau beban lebih berat buat Enzo Francescoli dkk. Uruguay sudah sangat beruntung bila di semifinal hanya menghadapi Kolombia atau Meksiko sesuai skenario awal. Jangan sampai justru Argentina atau Brasil. Maka dari itu, mereka harus selalu ingat tujuan, serta waspada di setiap laga yang akan dijalani sejak di penyisihan grup.
SKUAD LENGKAP URUGUAY
Kiper: Fernando Alvez, Claudio Arbiza, Oscar Ferro. Belakang: Oscar Aguirregaray, Eber Moas, Jose Herrera, Edgardo Adinolfi, Gustavo Mendez, Tabare Silva, Diego Lopez. Tengah: Alvaro Gutierrez, Pablo Bengoechea, Ruben Da Silva, Marcelo Saralegui, Diego Dorta, Nelson Abeijon. Depan: Daniel Fonseca, Ruben Sosa, Enzo Francescoli, Gustavo Poyet, Sergio Martinez, Marcelo Otero.
(foto: wikiwand/ebay)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar