Tim Ayam Jantan Prancis kembali berkokok. Tak syak lagi, keberhasilan itu rupanya akibat mereka menempati kandang yang cocok. Sebelumnya Aime Jacquet, sang pelatih, menolak pertarungan melawan Slowakia digelar di Stadion Parc Des Princes, Paris. Apakah ia trauma?
Bisa jadi, sebab kandang klub Paris Saint-Germain itu sepertinya pembawa sial bagi persepak bolaaan negeri itu jika dipakai untuk pertandingan penentuan. Ingat kegagalan Prancis ke Piala Dunia 1994 di tangan Bulgaria, atau baru-baru ini, PSG takluk oleh Milan di semifinal Piala Champion?
Tapi, bukan itu penyebabnya. Menurutnya, publik Paris ternyata tidak bersahabat dengan tim nasional. Ini alasan utama Jacquet, yang sudah kenyang dikritik para pelatih termasuk orang yang digantikannya, Michel Platini. Skenario pun dibuat, pertandingan hidup-mati bagi Prancis melawan Slowakia, digelar di Stadion La Beaujoire, milik klub Nantes.
Hasilnya? Luar biasa. Prancis menang mutlak 4-0 pada lanjutan Pra-Piala Eropa Grup 1 itu. “Publik di sini lebih bersahabat, dan kebetulan lima pemain kami berasal dari Nantes. Jelas hal ini berpengaruh terhadap antusias suporter dan permainan,” jelas Jacquet dengan tangkas.
Berkat kemenangan itu, peluang juara Eropa 1984 itu kembali cerah. Bukan apa-apa, kalau saja seri apalagi kalah, sirnalah peluang mereka tampil di Inggris tahun depan. Hal ini mengingat Rumania makin sulit dikejar dan satu tempat lagi diperebutkan bersama Polandia serta kuda hitam Israel yang terus menguntit.
Tetap Dikecam
Sialnya kegembiraan itu hanya bertepuk sebelah tangan, Jacquet tetap saja dihujani kritik, karena dianggap orang yang keras kepala, feodalis, dan tak mau belajar dari pengalaman. Para pengamat berpendapat meski menang posisi Prancis belumlah aman.
Publik tetap sinis melihat bukan trisula Nantes – Patrice Loko, Nicolas Quedec, dan Reynald Pedros – yang mencetak gol. Selama ini ketiganya amat diagungkan Jacquet. Tapi, kenyataannya lain. Meski ketiganya adalah pencetak gol ulung di Liga Prancis, namun di tim nasional belum ada apa-apanya.
Justru dua bintang PSG, David Ginola dan Vincent Guerin, yang mampu menjebol gawang Slowakia yang dikawal Ladislav Molnar. Dua lagi dihasilkan oleh libero Laurent Blanc (St.Etienne), serta gol bunuh diri Onfrej Kristofik.
“Kalau ingin menang lihatlah realita, utamakan kerja sama dan jauhkan feodalisme,” kecam Luis Fernandez, pelatih PSG. “Saya sedih melihat tim nasional selalu ribut, tapi lebih pilu lagi Jacquet tidak memanggil saya,” tukas Basile Boli, yang kini bermain di Glasgow Rangers, Skotlandia.
Sepeningal Jean-Pierre Papin dan Eric Cantona, Prancis memang merasa kesulitan untuk menaikkan moral bertanding. Soalnya kedua pemain inilah yang dianggap sebagai maestro tim. Komentar menarik justru datang dari Michel Platini.
“Kemandulan tim terjadi karena Jacquet merekrut penyerang yang pendek-pendek, sehingga tidak bisa memanfaatkan bola-bola atas,” ucapnya. Ia membandingkan dengan rekan-rekan seangkatannya seperti Yannick Stoppyra, Maxime Bossis, atau Dominique Rocheteau.
(foto: Onze Mondial/L’Equipe)
Bisa jadi, sebab kandang klub Paris Saint-Germain itu sepertinya pembawa sial bagi persepak bolaaan negeri itu jika dipakai untuk pertandingan penentuan. Ingat kegagalan Prancis ke Piala Dunia 1994 di tangan Bulgaria, atau baru-baru ini, PSG takluk oleh Milan di semifinal Piala Champion?
Tapi, bukan itu penyebabnya. Menurutnya, publik Paris ternyata tidak bersahabat dengan tim nasional. Ini alasan utama Jacquet, yang sudah kenyang dikritik para pelatih termasuk orang yang digantikannya, Michel Platini. Skenario pun dibuat, pertandingan hidup-mati bagi Prancis melawan Slowakia, digelar di Stadion La Beaujoire, milik klub Nantes.
Hasilnya? Luar biasa. Prancis menang mutlak 4-0 pada lanjutan Pra-Piala Eropa Grup 1 itu. “Publik di sini lebih bersahabat, dan kebetulan lima pemain kami berasal dari Nantes. Jelas hal ini berpengaruh terhadap antusias suporter dan permainan,” jelas Jacquet dengan tangkas.
Berkat kemenangan itu, peluang juara Eropa 1984 itu kembali cerah. Bukan apa-apa, kalau saja seri apalagi kalah, sirnalah peluang mereka tampil di Inggris tahun depan. Hal ini mengingat Rumania makin sulit dikejar dan satu tempat lagi diperebutkan bersama Polandia serta kuda hitam Israel yang terus menguntit.
Tetap Dikecam
Sialnya kegembiraan itu hanya bertepuk sebelah tangan, Jacquet tetap saja dihujani kritik, karena dianggap orang yang keras kepala, feodalis, dan tak mau belajar dari pengalaman. Para pengamat berpendapat meski menang posisi Prancis belumlah aman.
Publik tetap sinis melihat bukan trisula Nantes – Patrice Loko, Nicolas Quedec, dan Reynald Pedros – yang mencetak gol. Selama ini ketiganya amat diagungkan Jacquet. Tapi, kenyataannya lain. Meski ketiganya adalah pencetak gol ulung di Liga Prancis, namun di tim nasional belum ada apa-apanya.
Justru dua bintang PSG, David Ginola dan Vincent Guerin, yang mampu menjebol gawang Slowakia yang dikawal Ladislav Molnar. Dua lagi dihasilkan oleh libero Laurent Blanc (St.Etienne), serta gol bunuh diri Onfrej Kristofik.
“Kalau ingin menang lihatlah realita, utamakan kerja sama dan jauhkan feodalisme,” kecam Luis Fernandez, pelatih PSG. “Saya sedih melihat tim nasional selalu ribut, tapi lebih pilu lagi Jacquet tidak memanggil saya,” tukas Basile Boli, yang kini bermain di Glasgow Rangers, Skotlandia.
Sepeningal Jean-Pierre Papin dan Eric Cantona, Prancis memang merasa kesulitan untuk menaikkan moral bertanding. Soalnya kedua pemain inilah yang dianggap sebagai maestro tim. Komentar menarik justru datang dari Michel Platini.
“Kemandulan tim terjadi karena Jacquet merekrut penyerang yang pendek-pendek, sehingga tidak bisa memanfaatkan bola-bola atas,” ucapnya. Ia membandingkan dengan rekan-rekan seangkatannya seperti Yannick Stoppyra, Maxime Bossis, atau Dominique Rocheteau.
(foto: Onze Mondial/L’Equipe)