Tak ada ambisi pemain besar di dada Edwin van der Sar ketika ia mengawali berlatih sepak bola pada usia tujuh tahun di klub Foreholte, di daerah tempat tinggalnya, Voorhuut, Amsterdam. Edwin hanya berusaha bermain sebaik mungkin dalam setiap pertandingan.
Tak seperti pemain lain, yang sejak awal sudah yakin akan menjadi pemain besar. Edwin van der Sar hanya mencoba bermain stabil tanpa pernah memikirkan, apakah kelak akan menjadi pemain sepak bola profesional. Pendek kata kalau kata orang Jawa, jangan neko-neko, yang penting main dulu!
Suatu ketika, dia pernah kebobolan nyaris selusin gol lantaran klubnya pernah kalah 1-10. Sebagai penjaga gawang sudah berusaha mati-matian. “Saya menangis di bawah gawang. Saya buang sarung tangan jauh-jauh dan duduk termenung,” kata Edwin, pemuda kelahiran 29 Oktober 1970, seraya tersenyum mengenang masa kecilnya.
Ia terus berlatih dan berlatih. Kemampuan dan bakat besarnya menghalau bola dari gawang makin terlihat nyata. Edwin makin bersinar dan banyak mendapat perhatian. Pada usia 17 tahun, Edwin pindah ke klub Noordwijk. Bakat besarnya memperoleh perhatian dari sang pelatih, Ruud Broring. Broring yakin Van der Sar akan menjadi pemain besar bila diasah maksimal.
Broring kemudian mengontak rekan akrabnya yang saat itu menjadi asisten pelatih di Ajax Amsterdam, Louis van Gaal. Seperti Broring, Van Gaal pun terkesima oleh kemampuan pria kurus bin jangkung ini. Edwin pun direkrut ke klub terhebat di Negeri Belanda tersebut.
Kiper Ketiga
Mulanya Edwin hanya duduk sebagai kiper ketiga, tetapi dengan cepat ia melejit menjadi kiper kedua di bawah Stanley Menzo. Pada 23 April 1991, ketika Ajax berhadapan dengan Sparta, Menzo cedera di tengah pertandingan. Van der Sar pun harus siap menggantikannya. Penampilannya ternyata cukup memukau.
Tetapi, selain pujian, ia mendapat makian dari rekan seniornya saat melakukan kesalahan. “Mulanya merasa jengkel, namun akhirnya saya sadar semuanya demi perbaikan,” katanya pada Voetbal International.
Menjadi kiper utama Ajax bukanlah menjadi impiannya. Ada kesan pembelotan diri. Ia merasa unik bergabung dengan Ajax, sebab di waktu kecil ia adalah pendukung Feyenoord Rotterdam, klub legendaris lainnya yang menjadi musuh nomor satu Ajax di Belanda. “Tetangga saya pendukung Feyenoord, saya pun ikut mendukungnya,” ujarnya sambil tertawa. Edwin memang pemuda yang ramah.
Edwin pun berterima kasih pada Van Gaal. “Dia sering mengingatkan saya, apa yang akan dilakukan seorang pemain depan bila memasuki daerah gawang. Ini penting bagi saya untuk mengantisipasi serangan seperti yang ditugaskan,” tutur Edwin untuk menjelaskan fungsi utama seorang kiper. “Louis van Gaal juga punya wawasan yang luas,” tambahnya sambil mengutarakan kekagumannya pada kejelian sang pelatih.
Edwin tak pernah berangan-angan menjadi pemain besar. Nyatanya kini dia telah menggapai apa yang diinginkan pemain sepak bola di dunia. Ia bergabung dengan klub besar, di bawah asuhan pelatih berwawasan luas, dan kini berjuang di ajang Liga Champion. Apakah ia dan timnya akan merebut gelar besar? Kita tunggu saja. Tapi, apapun yang terjadi, dia adalah calon kiper besar.
(foto: dailymail/fotoleren)
Tak seperti pemain lain, yang sejak awal sudah yakin akan menjadi pemain besar. Edwin van der Sar hanya mencoba bermain stabil tanpa pernah memikirkan, apakah kelak akan menjadi pemain sepak bola profesional. Pendek kata kalau kata orang Jawa, jangan neko-neko, yang penting main dulu!
Suatu ketika, dia pernah kebobolan nyaris selusin gol lantaran klubnya pernah kalah 1-10. Sebagai penjaga gawang sudah berusaha mati-matian. “Saya menangis di bawah gawang. Saya buang sarung tangan jauh-jauh dan duduk termenung,” kata Edwin, pemuda kelahiran 29 Oktober 1970, seraya tersenyum mengenang masa kecilnya.
Ia terus berlatih dan berlatih. Kemampuan dan bakat besarnya menghalau bola dari gawang makin terlihat nyata. Edwin makin bersinar dan banyak mendapat perhatian. Pada usia 17 tahun, Edwin pindah ke klub Noordwijk. Bakat besarnya memperoleh perhatian dari sang pelatih, Ruud Broring. Broring yakin Van der Sar akan menjadi pemain besar bila diasah maksimal.
Broring kemudian mengontak rekan akrabnya yang saat itu menjadi asisten pelatih di Ajax Amsterdam, Louis van Gaal. Seperti Broring, Van Gaal pun terkesima oleh kemampuan pria kurus bin jangkung ini. Edwin pun direkrut ke klub terhebat di Negeri Belanda tersebut.
Kiper Ketiga
Mulanya Edwin hanya duduk sebagai kiper ketiga, tetapi dengan cepat ia melejit menjadi kiper kedua di bawah Stanley Menzo. Pada 23 April 1991, ketika Ajax berhadapan dengan Sparta, Menzo cedera di tengah pertandingan. Van der Sar pun harus siap menggantikannya. Penampilannya ternyata cukup memukau.
Tetapi, selain pujian, ia mendapat makian dari rekan seniornya saat melakukan kesalahan. “Mulanya merasa jengkel, namun akhirnya saya sadar semuanya demi perbaikan,” katanya pada Voetbal International.
Menjadi kiper utama Ajax bukanlah menjadi impiannya. Ada kesan pembelotan diri. Ia merasa unik bergabung dengan Ajax, sebab di waktu kecil ia adalah pendukung Feyenoord Rotterdam, klub legendaris lainnya yang menjadi musuh nomor satu Ajax di Belanda. “Tetangga saya pendukung Feyenoord, saya pun ikut mendukungnya,” ujarnya sambil tertawa. Edwin memang pemuda yang ramah.
Edwin pun berterima kasih pada Van Gaal. “Dia sering mengingatkan saya, apa yang akan dilakukan seorang pemain depan bila memasuki daerah gawang. Ini penting bagi saya untuk mengantisipasi serangan seperti yang ditugaskan,” tutur Edwin untuk menjelaskan fungsi utama seorang kiper. “Louis van Gaal juga punya wawasan yang luas,” tambahnya sambil mengutarakan kekagumannya pada kejelian sang pelatih.
Edwin tak pernah berangan-angan menjadi pemain besar. Nyatanya kini dia telah menggapai apa yang diinginkan pemain sepak bola di dunia. Ia bergabung dengan klub besar, di bawah asuhan pelatih berwawasan luas, dan kini berjuang di ajang Liga Champion. Apakah ia dan timnya akan merebut gelar besar? Kita tunggu saja. Tapi, apapun yang terjadi, dia adalah calon kiper besar.
(foto: dailymail/fotoleren)