Di balik maraknya Liga Indonesia, ternyata masih banyak yang harus dibenahi oleh PSSI. Setelah masalah keributan pemain reda, muncullah ulah penonton. Ketika keberingasan penonton mulai diantisipasi, kini banyak yang menganggap sang pembuat ulah berikutnya adalah wasit. Benarkah? Banyak kecaman yang dilakukan oleh beberapa insan sepak bola, khususnya yang terlihat langsung di lapangan.
Sebagai contoh, buruknya kepemimpinan Suhartono (Surabaya), saat mewasiti laga Pelita Jaya vs Bandung Raya, melahirkan banyak pertanyaan. Suhartono dituding “diservis” dulu agar berpihak dan menguntungkan tuan rumah. “Hermansyah melakukan pelanggaran. Ia berusaha menggaet kaki Roger Milla. Bola memang terpegang olehnya, tetapi setelah Milla terjatuh,” tampik Suhartono, wasit yang dicerca di Stadion Lebak Bulus, 19 Maret lalu. Hukuman tendangan penalti bagi Bandung Raya memang dianggap kontroversial. Tetapi Suhartono tetap yakin pada pendiriannya. “Saya berdiri tak jauh dari tempat terjadinya pelanggaran,” kata pria yang menjadi wasit C-1 sejak 1991 ini dengan tenang.
Ia sudah melaporkan hal tersebut pada komisi wasit Komda PSSI Jawa Timu, Syahrir MS. “Kini segalanya saya serahkan pada PSSI,” ucap Suhartono dengan pasrah. Syahrir sendiri mempercayai laporan anak buahnya.
Suhartono tak ingat sudah berapa kali ia memimpin pertandingan Liga Indonesia. “Baru kali ini yang ramai dibicarakan,” katanya Syahrir. Baginya ancaman dan kekesalan tim yang merasa dirugikan adalah hal biasa. “Di Galadesa, ancamannya bisa lebih sadis: disantet!” kata pegawai Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surabaya itu.
Akibat kepemimpinan wasit Suhartono itu, Bandung Raya melayangkan surat protes ke PSSI. Sebuah tendangan penalti untuk Pelita dianggap “menguntungkan” tim elite ibukota itu. Kalau tidak ada penalti, Bandung Raya memang bisa menang, sebab hasil akhir imbang 2-2.
Sementara itu, kubu Persib lain lagi. “Di Padang kami dikerjai wasit Ngadimen Asri dari Simalungun, sedang di Tangerang kami dinakali wasit John Sumanto dari Sidoarjo. Kedua tim bermain fair, tapi dirusak wasit. Ini bisa mengundang kemarahan penonton,” kritik manajer Persib, Achmad Hidayat.
Salah Pasang
Tapi, menurut mantan wasit FIFA Jaja Mujahidin, yang kini aktif di Komda PSSI Jabar, buruknya kepemimpinan wasit bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, keberpihakan wasit terjadi memang karena “titipan”. Kedua, si wasit memang tak menguasai teknik perwasitan secara baik. “Bisa saja. Mereka Kecolongan dengan menugasi wasit yang secara teknis sebenarnya buruk. Dalam kasus Suhartono, kita tak bisa memvonis dia disuap. Tapi, bahwa kepemimpinannya buruk, itu adalah fakta,” ucap Jaja.
Untuk itu, Jaja menghimbau agar Komisi Perwasitan PSSI memilih sedikit wasit yang bermutu ketimbang banyak wasit yang diterjunkan tapi kualitasnya diragukan. Mengenai usul Soeparjo, tentang biaya perjalanan wasit yang diambil dari PSSI, ia juga setuju. “Bisa juga itu dipakai. Paling tidak itu akan meringankan beban wasit. Tapi, pihak tuan rumah juga harus mengimbangi maksud baik itu,” tutur Jaja.
Yang pasti, kepemimpinan wasit yang pada umumnya lebih miring membela tuan rumah telah menyulut pemikiran baru. Kalau selama ini biaya akomodasi, transportasi, serta honor untuk wasit ditanggung tuan rumah, maka PSSI lewat Sekretaris Umum Soeparjo Pontjowinoto mengusulkan agar biaya itu ditanggung oleh PSSI.
“Ini cuma soal mekanisme pembayaran. Tuan rumah tetap membiayai wasit, namun mereka akan menyerahkan kepada PSSI. Para wasitlah yang akan mengambilnya ke PSSI. Ini akan coba diterapkan pada putaran kedua,” papar Soeparjo.
Terhadap usulan ini, Achmad Hidayat menyatakan setuju. Tapi seorang wasit kelas C1 dari Balikpapan yang tak bersedia disebutkan namanya melihat sisi lain yang perlu dimiliki wasit. “Selama ini persyaratan untuk menjadi wasit yang dipegang oleh PSSI terdiri dari faktor usia, pendidikan, dan fisik. Harusnya ditambah satu lagi, yakni keimanannya,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Perwasitan PSSI, Jafar Umar, jauh-jauh hari sudah mengambil ancang-ancang untuk menindak wasit yang bermain kotor. “Tak banyak omong, saya langsung non-aktifkan siapapun orangnya,” seru Jafar. Menurutnya honor sebesar Rp 350.000 ditambah transportasi dan akomodasi selama empat hari sudah lebih dari cukup bagi seorang wasit.
Namun dia juga tidak bisa mencegah lagi jika pihak yang ingin main curang lebih aktif mempengaruhi si wasit. “Selain laporan dari IP (inspektur pertandingan), kami juga bergantung dari mental mereka. Lebih dari itu, kami angkat tangan,” tambahnya. Angkat tangan artinya menyerah. Bukan begitu? Jangan, ah!
Andi Lala (Pelatih Persiraja Banda Aceh)
“Saya sudah bosan berbicara soal wasit. Untuk itulah saya enggan protes. Nggak akan digubris. Percuma! Dan harus disadari wasit itu akan selalu menguntungkan tuan rumah. Celakanya, kesempatan ini digunakannya sewenang-wenang. Berbicara soal wasit memang lebih enak sama wartawan daripada dengan IP. Coba lihat waktu Khairul Agil cuma memberikan kartu kuning pada kiper Persib saat menghalau bola dengan tangan meski di luar kotak penalti. Itu 'kan harusnya tetap kartu merah soalnya gawang Persib waktu itu sudah kosong.”
Iswadi Idris (Pelatih Mataram Putra)
“Kalau PSSI masih memakai wasit yang begini-begini saja, sampai botak pun sepak bola kita nggak bakalan maju. Mungkin kalau pemain dan penonton ngaco lebih mudah diatasi. Tapi kalau wasit? Bakalan ancur sepak bola kita. Coba lihat saja dengan seenaknya Komisi Perwasitan bikin aturan. Masak ofisial nggak boleh memprotes? Memangnya protes itu sesuatu yang haram di negeri ini? Banyak pertandingan jadi kasar dan penonton ngamuk akibat Keputusan mereka yang kontroversial. Menurut saya, Komisi Perwasitan itu sombong, tidak mau mendengarkan masukan dari luar.”
Syamsuddin Umar (Pelatih PSM Ujung Pandang)
“Wasit memang mempunyai keputusan mutlak di lapangan. Tapi hal itu harus didukung oleh ketegasan. Kebanyakan wasit kita justru tidak mempunyai itu. Melihat banyaknya penonton tuan rumah, mereka langsung ciut untuk mengambil keputusan. Apa artinya kita disuruh fair play, kalau wasitnya begitu? Mereka harus berani lagi menerapkan aturan yang ada. Tak pandang bulu, mau tuan rumah atau tamu, kalau salah harus dihukum. Kami yang selalu tampil dengan ciri permainan keras memang sering dirugikan oleh keputusan wasit.”
Ir.Vigit Waluyo (Manajer Gelora Dewata)
“Sebenarnya ada juga wasit kita yang bagus. Namun dia kan tidak mampu bekerja sendirian di lapangan, makanya dia punya pembantu yakni hakim garis. Nah, mereka ini juga berperan besar bagi keabsahan keputusan wasit bahkan secara tak disadari reputasi mereka banyak ditentukan oleh hakim garis. Banyak wasit yang jatuh namanya karena peran hakim garis tidak maksimal. Memangnya peran mereka hanya mengawasi bola keluar saja? PSSI perlu juga memikirkan dan mengkaji hal ini.”
Wibisono (Pelatih PSMS Medan)
“Tak bisa dipungkiri bahwa wasit selalu memihak tuan rumah. Betul itu. Tapi jangan keterlaluan dong. Sampai-sampai kemenangan kami pernah dirampok. Masak hakim garis sudah mengangkat bendera tanda bola keluar, eh, wasit tetap saja tak bereaksi. Saya menganggap hal ini sudah melewati batas. Itu yang dilakukan wasit Ajar Supriyono ketika kami bertanding melawan Persiku di Kudus. Terlepas dia ‘diservis’ atau tidak oleh tuan rumah, yang pasti kepemimpinan wasit seperti ini sangat kelewatan.”
(foto: Tjandra)
Sebagai contoh, buruknya kepemimpinan Suhartono (Surabaya), saat mewasiti laga Pelita Jaya vs Bandung Raya, melahirkan banyak pertanyaan. Suhartono dituding “diservis” dulu agar berpihak dan menguntungkan tuan rumah. “Hermansyah melakukan pelanggaran. Ia berusaha menggaet kaki Roger Milla. Bola memang terpegang olehnya, tetapi setelah Milla terjatuh,” tampik Suhartono, wasit yang dicerca di Stadion Lebak Bulus, 19 Maret lalu. Hukuman tendangan penalti bagi Bandung Raya memang dianggap kontroversial. Tetapi Suhartono tetap yakin pada pendiriannya. “Saya berdiri tak jauh dari tempat terjadinya pelanggaran,” kata pria yang menjadi wasit C-1 sejak 1991 ini dengan tenang.
Ia sudah melaporkan hal tersebut pada komisi wasit Komda PSSI Jawa Timu, Syahrir MS. “Kini segalanya saya serahkan pada PSSI,” ucap Suhartono dengan pasrah. Syahrir sendiri mempercayai laporan anak buahnya.
Suhartono tak ingat sudah berapa kali ia memimpin pertandingan Liga Indonesia. “Baru kali ini yang ramai dibicarakan,” katanya Syahrir. Baginya ancaman dan kekesalan tim yang merasa dirugikan adalah hal biasa. “Di Galadesa, ancamannya bisa lebih sadis: disantet!” kata pegawai Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surabaya itu.
Akibat kepemimpinan wasit Suhartono itu, Bandung Raya melayangkan surat protes ke PSSI. Sebuah tendangan penalti untuk Pelita dianggap “menguntungkan” tim elite ibukota itu. Kalau tidak ada penalti, Bandung Raya memang bisa menang, sebab hasil akhir imbang 2-2.
Sementara itu, kubu Persib lain lagi. “Di Padang kami dikerjai wasit Ngadimen Asri dari Simalungun, sedang di Tangerang kami dinakali wasit John Sumanto dari Sidoarjo. Kedua tim bermain fair, tapi dirusak wasit. Ini bisa mengundang kemarahan penonton,” kritik manajer Persib, Achmad Hidayat.
Salah Pasang
Tapi, menurut mantan wasit FIFA Jaja Mujahidin, yang kini aktif di Komda PSSI Jabar, buruknya kepemimpinan wasit bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, keberpihakan wasit terjadi memang karena “titipan”. Kedua, si wasit memang tak menguasai teknik perwasitan secara baik. “Bisa saja. Mereka Kecolongan dengan menugasi wasit yang secara teknis sebenarnya buruk. Dalam kasus Suhartono, kita tak bisa memvonis dia disuap. Tapi, bahwa kepemimpinannya buruk, itu adalah fakta,” ucap Jaja.
Untuk itu, Jaja menghimbau agar Komisi Perwasitan PSSI memilih sedikit wasit yang bermutu ketimbang banyak wasit yang diterjunkan tapi kualitasnya diragukan. Mengenai usul Soeparjo, tentang biaya perjalanan wasit yang diambil dari PSSI, ia juga setuju. “Bisa juga itu dipakai. Paling tidak itu akan meringankan beban wasit. Tapi, pihak tuan rumah juga harus mengimbangi maksud baik itu,” tutur Jaja.
Yang pasti, kepemimpinan wasit yang pada umumnya lebih miring membela tuan rumah telah menyulut pemikiran baru. Kalau selama ini biaya akomodasi, transportasi, serta honor untuk wasit ditanggung tuan rumah, maka PSSI lewat Sekretaris Umum Soeparjo Pontjowinoto mengusulkan agar biaya itu ditanggung oleh PSSI.
“Ini cuma soal mekanisme pembayaran. Tuan rumah tetap membiayai wasit, namun mereka akan menyerahkan kepada PSSI. Para wasitlah yang akan mengambilnya ke PSSI. Ini akan coba diterapkan pada putaran kedua,” papar Soeparjo.
Terhadap usulan ini, Achmad Hidayat menyatakan setuju. Tapi seorang wasit kelas C1 dari Balikpapan yang tak bersedia disebutkan namanya melihat sisi lain yang perlu dimiliki wasit. “Selama ini persyaratan untuk menjadi wasit yang dipegang oleh PSSI terdiri dari faktor usia, pendidikan, dan fisik. Harusnya ditambah satu lagi, yakni keimanannya,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Perwasitan PSSI, Jafar Umar, jauh-jauh hari sudah mengambil ancang-ancang untuk menindak wasit yang bermain kotor. “Tak banyak omong, saya langsung non-aktifkan siapapun orangnya,” seru Jafar. Menurutnya honor sebesar Rp 350.000 ditambah transportasi dan akomodasi selama empat hari sudah lebih dari cukup bagi seorang wasit.
Namun dia juga tidak bisa mencegah lagi jika pihak yang ingin main curang lebih aktif mempengaruhi si wasit. “Selain laporan dari IP (inspektur pertandingan), kami juga bergantung dari mental mereka. Lebih dari itu, kami angkat tangan,” tambahnya. Angkat tangan artinya menyerah. Bukan begitu? Jangan, ah!
Apa Kata Mereka
Andi Lala (Pelatih Persiraja Banda Aceh)
“Saya sudah bosan berbicara soal wasit. Untuk itulah saya enggan protes. Nggak akan digubris. Percuma! Dan harus disadari wasit itu akan selalu menguntungkan tuan rumah. Celakanya, kesempatan ini digunakannya sewenang-wenang. Berbicara soal wasit memang lebih enak sama wartawan daripada dengan IP. Coba lihat waktu Khairul Agil cuma memberikan kartu kuning pada kiper Persib saat menghalau bola dengan tangan meski di luar kotak penalti. Itu 'kan harusnya tetap kartu merah soalnya gawang Persib waktu itu sudah kosong.”
Iswadi Idris (Pelatih Mataram Putra)
“Kalau PSSI masih memakai wasit yang begini-begini saja, sampai botak pun sepak bola kita nggak bakalan maju. Mungkin kalau pemain dan penonton ngaco lebih mudah diatasi. Tapi kalau wasit? Bakalan ancur sepak bola kita. Coba lihat saja dengan seenaknya Komisi Perwasitan bikin aturan. Masak ofisial nggak boleh memprotes? Memangnya protes itu sesuatu yang haram di negeri ini? Banyak pertandingan jadi kasar dan penonton ngamuk akibat Keputusan mereka yang kontroversial. Menurut saya, Komisi Perwasitan itu sombong, tidak mau mendengarkan masukan dari luar.”
Syamsuddin Umar (Pelatih PSM Ujung Pandang)
“Wasit memang mempunyai keputusan mutlak di lapangan. Tapi hal itu harus didukung oleh ketegasan. Kebanyakan wasit kita justru tidak mempunyai itu. Melihat banyaknya penonton tuan rumah, mereka langsung ciut untuk mengambil keputusan. Apa artinya kita disuruh fair play, kalau wasitnya begitu? Mereka harus berani lagi menerapkan aturan yang ada. Tak pandang bulu, mau tuan rumah atau tamu, kalau salah harus dihukum. Kami yang selalu tampil dengan ciri permainan keras memang sering dirugikan oleh keputusan wasit.”
Ir.Vigit Waluyo (Manajer Gelora Dewata)
“Sebenarnya ada juga wasit kita yang bagus. Namun dia kan tidak mampu bekerja sendirian di lapangan, makanya dia punya pembantu yakni hakim garis. Nah, mereka ini juga berperan besar bagi keabsahan keputusan wasit bahkan secara tak disadari reputasi mereka banyak ditentukan oleh hakim garis. Banyak wasit yang jatuh namanya karena peran hakim garis tidak maksimal. Memangnya peran mereka hanya mengawasi bola keluar saja? PSSI perlu juga memikirkan dan mengkaji hal ini.”
Wibisono (Pelatih PSMS Medan)
“Tak bisa dipungkiri bahwa wasit selalu memihak tuan rumah. Betul itu. Tapi jangan keterlaluan dong. Sampai-sampai kemenangan kami pernah dirampok. Masak hakim garis sudah mengangkat bendera tanda bola keluar, eh, wasit tetap saja tak bereaksi. Saya menganggap hal ini sudah melewati batas. Itu yang dilakukan wasit Ajar Supriyono ketika kami bertanding melawan Persiku di Kudus. Terlepas dia ‘diservis’ atau tidak oleh tuan rumah, yang pasti kepemimpinan wasit seperti ini sangat kelewatan.”
(foto: Tjandra)