Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

Hristo Stoichkov (3): Cruijff, Penev, dan Platini - Menginspirasi Jalan Hidupnya

Kerja keras, dedikasi dan obsesi akan membuat seseorang dengan mudah mencapai cita-cita hidupnya. Ini sebuah teori kesuksesan yang pernah dikatakan oleh industrialis kesohor Henry Ford. Semua faktor ini pun dimiliki oleh Hristo Stoichkov alias Hitzo. Bahkan ia mempunyai satu faktor lagi yaitu tokoh panutan. Siapa panutan Hitzo? Tak lain Michel Platini. Bintang Prancis ini amat mempengaruhi karier Hitzo. Segala kelebihan Platini dipelajarinya dengan seksama dan sungguh-sungguh. 

Hristo Stoichkov: Cruyff, Penev, dan Platini - Menginspirasi Jalan Hidupnya

Namun di balik itu, ia menyadari bahwa untuk menjadi Platini di Bulgaria sendiri amatlah sulit. Apalagi saat itu stabilitas di negerinya sedikit terusik, sebagai dampak runtuhnya komunisme. Untungnya Hitzo tak mau ambil pusing. Ia teringat kembali cita-citanya sejak kecil: tidak mau menjadi politisi kecuali pemain bola. 

Keuntungan kedua: ia bermain di CSKA Sofia, klub yang dimiliki AD Bulgaria. Hitzo amat dipandang meski nyaris dipecat akibat jadi biang kerok kerusuhan di sebuah laga prestisius. Namun usai mengantarkan CSKA menjuarai Soviet Army Cup di Moskow, bersama Emil Kostadinov dan Luboslav Penev, Hitzo makin dihormati.

Kehormatan ketiganya membubung mengingat yang dikalahkan CSKA di final adalah Chernomorets, kesebelasan tuan rumah, dan laga tersebut dijejali puluhan ribu tentara. Di Bulgaria, CSKA Sofia dan Levski Spartak merupakan klub paling mapan dan terpandang sehingga apapun yang terjadi di dalam tubuh mereka menjadi perhatian orang.

Kedua klub pun tidak rontok, bangkrut ataupun bubar setelah angin kebebasan melanda Bulgaria. Sementara klub lainnya kacau balau, para pemainnya keseringan mangkir latihan sebab konsentrasinya terganggu atau malahan ikutan demo. Beberapa pemain CSKA juga demikian.

Namun Hitzo tidak mau. Ia tidak peduli dengan kondisi sebab yang melulu dipikirkan cuma sepak bola dan sepak bola, plus hasrat terdalamnya ingin menjadi pesepak bola di luar negeri. Hanya ini. Lambat laun saat-saat manis pun tiba. Trio Hitzo, Lubo dan Emil mengantarkan CSKA menjuarai Liga Bulgaria pada 1989.

Prestasi ini dipercantik oleh gelar pribadi yang diraih Hitzo sebagai pencetak gol terbanyak dan Pemain Terbaik Bulgaria 1989. Tak ayal, dua penghargaan ini menjadi modal kuat Hitzo untuk meraih cita-citanya. Ketika diwawancara usai acara penghargaan, tanpa sungkan Hitzo menyatakan keinginannya untuk bermain di Barcelona atau Juventus serta menyebut La Liga dan Serie A sebagai kompetisi terbaik di dunia. "Saya amat tertantang bermain di sana," kilahnya di depan para wartawan.

Impian Terkabul

Keberuntungan Hitzo semakin mendekat ketika CSKA Sofia lolos ke semifinal Piala Winner setelah mengatasi Roda JC Kerkrade. Lalu lawan berikut yang harus dihadapi adalah tim yang dilatih oleh maestro Johan Cruijff: Barcelona! Tanggal 5 April 1989 dikenang Hitzo sebagai hari bersejarahnya, sebab untuk pertama kalinya dia tampil di Camp Nou. Hatinya sempat menciut, dadanya pun bergetar tidak karuan tatkala kakinya melangkah menginjak rumput Camp Nou yang disaksikan oleh hampir 100.000 pasang mata penonton.

Di stadion itu Hitzo merasakan dan melihat langsung permainan Ronald Koeman, Michael Laudrup atau Gary Lineker serta teriakan Cruijff dari tepi lapangan. Sama seperti rekan-rekannya, ada perasaan minder kala menyadari kostum mereka yang tanpa merek dan titel iklan. Sangat kontras dengan seragam tuan rumah.

Hristo Stoichkov: Cruyff, Penev, dan Platini - Menginspirasi Jalan Hidupnya

Beruntung CSKA punya pelatih berkarakter di diri Dimitar Penev. Dia segera membesarkan hati anak buahnya, terutama tiga bintang andalannya, Hitzo, Emil Kostadinov serta Luboslav Penev yang juga keponakan sang pelatih. "Pikirkan bagaimana caranya mencetak gol. Ingat, hanya itu!" hardik pelatih Penev. Suntikan moral berhasil sebab secara mengejutkan Hitzo mencetak gol yang membuat CSKA sempat unggul 1-0. Bahkan kemudian dua gol dibuat Hitzo.

Namun faktor kualitas dan pengalaman yang dimiliki tim Blaugrana sulit diatasi CSKA. Barcelona akhirnya menang 4-2. Seperti yang diduga, publik Camp Nou terkesima oleh penampilan Hitzo, terlebih-lebih Cruijff! Lewat penglihatan dari mata yang sehat aksi Hitzo jauh lebih bagus dari Laudrup atau Lineker yang berposisi sama dengannya. 

Tanpa harus diketahui Hitzo, Cruijff kemudian memang berkonsultasi dengan presiden klub, Josep Luis Nunez, membahas pemain bernama Hristo Stoichkov. Pada intinya, mereka tertarik untuk mencoba bakat Hitzo. Ada strategi mendalam dari Cruijff dan Nunez, di mana Hitzo jadi bagian dari skenario besar Barcelona untuk menyudahi dominasi Real Madrid di La Liga sejak 1986. Pada Juni 1990 Hitzo resmi dikontrak Barca dengan nilai transfer 1,5 juta pound atau hampir 5 milyar rupiah dengan kurs saat itu. 

Memang harga Hitzo kalah jauh dari bintang Eropa Timur lain seperti Dragan Stoijkovic (Yugoslavia) yang dibeli Olympique Marseille dari Red Star senilai 6,7 milyar rupiah, atau Gheorghe Hagi (Rumania) dari Steaua Bucuresti ke Real Madrid seharga Rp 5,5 milyar.

Hristo Stoichkov: Cruyff, Penev, dan Platini - Menginspirasi Jalan Hidupnya

Namun kedatangan Hitzo di Barcelona memakan korban. Posisi Gary Lineker di ujung tanduk. Usai mengantarkan Barcelona menjuarai Piala Winner 1990, penyerang nasional Inggris itu malah terlempar pada skuad 1990/91. "Dia tidak bisa dipertahankan. Tipe permainannya tidak cocok dengan strategi yang saya pasang sekarang," begitu Cruijff beralasan.

Mirip Dengan Cruijff

Bergabungnya dia ke klub dambaan sejak muda membuat Hitzo tidak akan bisa melupakan jasa Johan Cruijff seumur hidupnya. Tanpa Cruijff barangkali Stoichkov pernah tidak ada di Barca, dan sulit menggapai karier profesionalnya. Walau pada dasarnya punya naluri 'membunuh' yang bikin kecut lawan, berkat bimbingan Cruijff - bintang Barcelona di akhir 1970-an - karakter permainan Hitzo menjadi lebih terarah dan optimal.

Hristo Stoichkov: Cruyff, Penev, dan Platini - Menginspirasi Jalan Hidupnya

Sedikit banyak terdapat persamaan watak antara Cruijff dengan Hitzo, sama-sama temperamental, meledak-ledak, tukang protes wasit sehingga gampang terkena kartu kuning. "Siapapun orangnya kalau berbuat salah atau bermain buruk, saya tidak pernah mengistimewakan pemain saat berlatih," tegas legenda nomor satu sepak bola Belanda ini.

Jika dirunut ke belakang, maka boleh jadi Hitzo beruntung dua kali karena memiliki dua pelatih berbeda namun berkarakter mirip: Dimitar Penev di CSKA dan Johan Cruijff di Barcelona. Pernah sekali waktu Hitzo mangkir latihan karena sesuatu hal. Cruijff, lelaki flamboyan kelahiran 25 April 1947, hanya berkata singkat, "Kalau kau mau, besok pun kau boleh meninggalkan Barcelona."

Pada 1993, ketika Napoli berhasrat untuk merekrut Hitzo untuk menggantikan Gianfranco Zola yang hengkang ke Parma, Cruijff juga memberi kebebasan pada Hitzo. "Tanya pada dia, pilih Barcelona atau kariernya akan habis," tukas Cruijff dengan gaya khasnya. Nyatanya hingga kini Hitzo masih tetap di Barcelona.

(foto: jordimolina/novinite/ap/pinterest/es.besoccer.com/novsport)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini