Ditemui sedang santai di tribun penonton bersama rekannya, Nihad Boshi, malam itu Kurdachli dan kawan-kawan ternyata diperintahkan pelatih Anatoli Baldachnyi untuk menonton laga terakhir Grup B antara oleh Jepang dan Korea Selatan. Memang sepintas terlihat dia begitu menikmati suasana stadion.
Ketika ditanyakan mengapa menjadi pemain bola, pemuda bertinggi/berat 180 cm dan 78 kg itu, awalnya sedikit kaget namun kemudian pengakuanya juga mengejutkan. Ternyata motif dia bermain bola sebagai salah satu cara untuk membela negara!
Oleh sebab itu misi dan ambisinya di ajang ini juga spesial: mati-matian akan membawa Suriah masuk final dan kemudian merenggut juara. "It's a happy nice day," ucapnya singkat sambil berharap. Rupanya laga semifinal yang berlangsung Ahad nanti bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-19. Bukan main.
Papin dan Maradona
"Ia seorang penyerang yang bagus di klub Tishreen. Tidak kalah dengan penyerang nomor 10 Indonesia (Kurniawan). Kurdachli juga punya kelebihan lain yaitu bisa mencetak gol dengan posisi sulit," kata Fares Sulthan, rekannya yang duduk di samping Kurdachli.
Memang benar. Masih ingat gol kedua yang ia lesakkan ke gawang Kazakhstan? Dengan posisi membelakangi gawang ia tidak kehilangan kontrol badan apalagi akal. Dengan salto ia menciptakan gol pertama jenis itu di kejuaraan ini. Ketika ditanyakan, jawabannya lagi-lagi mengejutkan.
"Saya memang menyukai gaya (Jean Pierre) Papin dalam menciptakan gol dan menyukai (Diego) Maradona dalam mengumpan bola," ujar pemuja Maradona itu. Lalu bagaimana tentang pemain Indonesia? "Tim Anda sebenarnya tim yang kompak, tetapi tidak stabil dalam memainkan pola," kritik Kurdachli. Namun secara khusus dia memuji Kurniawan dan Eko Pujianto, pemain belakang bernomor punggung 4.
"Timing pemain nomor 4 Indonesia selalu pas dalam bola atas meski saat itu saya hanya bermain 20 menit tapi tetap saja sulit melewatinya. Ia bek yang tenang," tuturnya. Dalam laga kedua Grup A melawan Suriah, PSSI Primavera kalah 0-4.
(foto: stefan sihombing)