Tahun 1977, salah satu klub sepak bola terkaya di dunia asal Amerika
Serikat, Cosmos New York, mencoba impian yang hebat. Dengan senjata dollar,
mereka berambisi menggabungkan tiga superstars dunia; Pele, Franz Beckenbauer,
dan Johan Cruijff di dalam satu kesebelasan. Bayangkan.
Tetapi impian ini tidak pernah terwujud. Dengan keangkuhan burung merak, Cruijff menampik tawaran Cosmos. Uniknya, mahabintang asal Belanda itu malah memilih bergabung dengan klub AS lain, pesaing Cosmos, yaitu Los Angeles Aztecs. Walau tawaran bayarannya lebih rendah, Cruijff tidak peduli. Tampak, dia memang hanya ingin mencuat sendirian, agar tidak ada yang menandingi.
Kisah persaingan antarbintang sepak bola seperti ini sudah menjadi cerita klasik. Tahun 1958 misalnya, Didi, bintang Brasil, ditransfer ke Real Madrid, Spanyol. Didi adalah pemain kenamaan yang bersama Zito menjadi duet penghubung tim Samba tatkala meraih titel juara dunia pada Piala Dunia 1958 di Swedia. Saat itu dia dianggap sebagai gelandang terbaik sejagat.
Tetapi di Real Madrid sudah dulu ada Alfredo Di Stefano, pemain hebat dari Argentina, yang juga adalah seorang gelandang termahsyur. Di Stefano tak ingin disaingi oleh Didi dan memboikotnya. Jika mendapat bola, Di Stefano tak pernah mengumpannya ke Didi.
Kesal dan kecewa, tahun 1960 Didi putuskan kontrak dengan Real Madrid dan kembali ke negeri asalnya dengan dendam berkobar. Ia bertekad mengalahkan Di Stefano jika pemain tersebut memperkuat Spanyol ke Piala Dunia 1962 di Chile. Sayang, Di Stefano yang sudah ganti kewarganegaraan, tidak jadi memperkuat Spanyol. Alasannya karena cedera. Brasil keluar sebagai juara dunia di Chile, namun dendam Didi tak terbalas.
Tahun 1974 ketika memimpin Belanda ke kejuaraan dunia, pelatih Rinus Michels juga direpotkan dengan pertengkaran Cruijff dan Johan Neeskens yang masing-masing merasa diri lebih serba bisa dari yang lain. Menjelang Piala Dunia 1982, pelatih Jupp Derwal dari Jerman Barat juga dibuat pening oleh persaingan Karl Heinz Rummenigge (dan didukung oleh Paul Breitner) dengan Bernd Schuster.
Iswadi dan Ronny
Di Tanah Air, sekurang-kurangnya sejak tahun 1979, terasa persaingan seperti itu terjadi pada dua pemain nasional terbesar kita yang terakhir, Iswadi Idris dan Ronny Pattinasarani.
Persaingan ini demikian terselubung sehingga hampir tak pernah terungkap di media massa. Baru setelah Ronny tidak dipanggil untuk tim nasional SEA Games 1983 di Singapura, persaingan mereka terungkap. Apalagi setelah tim nasional yang dilatih Iswadi itu digunduli 0-5 oleh Muangthai. Tetapi sebulan kemudian, Juli, keduanya konon melakukan gencatan senjata ketika bersua di pusara almarhum Jakob Sihasale.
Sesungguhnya persaingan Iswadi vs Ronny sudah berakar sejak tahun 1974 ketika Persija Jakarta dan PSM Ujungpandang berhadapan di Stadion Utama Senayan dalam final Piala Presiden. Keduanya kapten kesebelasan. Ronny yang waktu itu masih memperkuat PSM, memenangkan persaingan tersebut, PSM juara.
Tetapi kebolehan Ronny waktu itu belum jadi jaminan untuk masuk tim nasional. Apalagi karena kegemarannya merokok. Ronny bentrok dengan Ketua Umum PSSI waktu itu, Bardosono, dan tidak direkrut. Cerita Iswadi lain lagi. Setelah kembali dari bermain di Liga Australia selama dua tahun, Iswadi langsung membela tim nasional Pra-Olimpiade 1976. Ketika itu lini tengah tim nasional didominasi oleh pemain Persija. Ronny tidak dipanggil.
Tetapi impian ini tidak pernah terwujud. Dengan keangkuhan burung merak, Cruijff menampik tawaran Cosmos. Uniknya, mahabintang asal Belanda itu malah memilih bergabung dengan klub AS lain, pesaing Cosmos, yaitu Los Angeles Aztecs. Walau tawaran bayarannya lebih rendah, Cruijff tidak peduli. Tampak, dia memang hanya ingin mencuat sendirian, agar tidak ada yang menandingi.
Kisah persaingan antarbintang sepak bola seperti ini sudah menjadi cerita klasik. Tahun 1958 misalnya, Didi, bintang Brasil, ditransfer ke Real Madrid, Spanyol. Didi adalah pemain kenamaan yang bersama Zito menjadi duet penghubung tim Samba tatkala meraih titel juara dunia pada Piala Dunia 1958 di Swedia. Saat itu dia dianggap sebagai gelandang terbaik sejagat.
Tetapi di Real Madrid sudah dulu ada Alfredo Di Stefano, pemain hebat dari Argentina, yang juga adalah seorang gelandang termahsyur. Di Stefano tak ingin disaingi oleh Didi dan memboikotnya. Jika mendapat bola, Di Stefano tak pernah mengumpannya ke Didi.
Kesal dan kecewa, tahun 1960 Didi putuskan kontrak dengan Real Madrid dan kembali ke negeri asalnya dengan dendam berkobar. Ia bertekad mengalahkan Di Stefano jika pemain tersebut memperkuat Spanyol ke Piala Dunia 1962 di Chile. Sayang, Di Stefano yang sudah ganti kewarganegaraan, tidak jadi memperkuat Spanyol. Alasannya karena cedera. Brasil keluar sebagai juara dunia di Chile, namun dendam Didi tak terbalas.
Tahun 1974 ketika memimpin Belanda ke kejuaraan dunia, pelatih Rinus Michels juga direpotkan dengan pertengkaran Cruijff dan Johan Neeskens yang masing-masing merasa diri lebih serba bisa dari yang lain. Menjelang Piala Dunia 1982, pelatih Jupp Derwal dari Jerman Barat juga dibuat pening oleh persaingan Karl Heinz Rummenigge (dan didukung oleh Paul Breitner) dengan Bernd Schuster.
Iswadi dan Ronny
Di Tanah Air, sekurang-kurangnya sejak tahun 1979, terasa persaingan seperti itu terjadi pada dua pemain nasional terbesar kita yang terakhir, Iswadi Idris dan Ronny Pattinasarani.
Persaingan ini demikian terselubung sehingga hampir tak pernah terungkap di media massa. Baru setelah Ronny tidak dipanggil untuk tim nasional SEA Games 1983 di Singapura, persaingan mereka terungkap. Apalagi setelah tim nasional yang dilatih Iswadi itu digunduli 0-5 oleh Muangthai. Tetapi sebulan kemudian, Juli, keduanya konon melakukan gencatan senjata ketika bersua di pusara almarhum Jakob Sihasale.
Sesungguhnya persaingan Iswadi vs Ronny sudah berakar sejak tahun 1974 ketika Persija Jakarta dan PSM Ujungpandang berhadapan di Stadion Utama Senayan dalam final Piala Presiden. Keduanya kapten kesebelasan. Ronny yang waktu itu masih memperkuat PSM, memenangkan persaingan tersebut, PSM juara.
Tetapi kebolehan Ronny waktu itu belum jadi jaminan untuk masuk tim nasional. Apalagi karena kegemarannya merokok. Ronny bentrok dengan Ketua Umum PSSI waktu itu, Bardosono, dan tidak direkrut. Cerita Iswadi lain lagi. Setelah kembali dari bermain di Liga Australia selama dua tahun, Iswadi langsung membela tim nasional Pra-Olimpiade 1976. Ketika itu lini tengah tim nasional didominasi oleh pemain Persija. Ronny tidak dipanggil.
Iswadi dan Ronny berlatih adu penalti bersama pada 1979. |
Ronny baru bermain sama-sama dengan Iswadi dalam
tim nasional ke Pra-Piala Dunia 1977 di Singapura dan SEA Games 1979 di
Jakarta. Di Singapura, ditangani pelatih Tony Poganik. Lalu
di Jakarta oleh Wiel Coerver. Tampaknya hanya kedua pelatih besar itu saja yang
mampu dan berani menggabungkan Iswadi dan Ronny dalam satu tim.
Hasilnya, walaupun tidak merebut gelar juara di kedua arena itu, saat-saat tersebut merupakan tahun-tahun terakhir kesebelasan Indonesia ditakuti di luar negeri.
Masa Surut
Lalu datanglah masa-masa surut, tahun-tahun di mana Iswadi dan Ronny sebetulnya bisa bersatu menjadi tulang punggung tim nasional, tetapi tidak pernah lagi ada pelatih yang mampu mempersatukan mereka. Bahkan timbul kesan lahirnya persaingan diam-diam antara kedua pemain tersebut.
Awal tahun 1980, Iswadi dipanggil memperkuat tim nasional ke Pra-Olimpiade di Kuala Lumpur di mana tim nasional untuk pertama kalinya kalah dari Brunei 2-3. Ronny Pattinasarani tidak dipanggil. Padahal ketika itu, dengan Iswadi bermain dalam sebagai ekstra free-back, Ronny dapat memainkan peranan besar sebagai penghubung yang mengalirkan serangan balik.
Dengan kemampuannya yang berkembang sebagai pemimpin pertahanan sejak dipercayakan oleh Coerver sebagai libero tahun 1979. Ronny juga bisa memainkan peranan sebagai tabir depan pertahanan.
Ronny kemudian membuktikan PSSI keliru tidak memanggil dia, ketika dalam final Galatama, Mei 1980, ia memimpin Warna Agung menjadi juara, dengan menundukkan Jayakarta yang dipimpin rival utamanya, Iswadi Idris. Andaikata Iswadi dan Ronny waktu itu sama-sama memperkuat tim nasional, sangat besar kemungkinan kali itu tim nasional lolos ke Olimpiade, walaupun kemudian tidak ke Moskwa karena memboikot.
Menghadapi Pra-Piala Dunia 1981, Ronny dipanggil dan ia segera membuktikan diri sebagai play-maker yang menonjol. Tetapi Ronny ketika itu sudah 31 tahun. Andaikata lebih awal mendapat kepercayaan, ia bisa memberi lebih banyak bagi tim nasional. Indonesia memang tersisih, bahkan menelan kekalahan pahit 0-5 dari Selandia Baru di Auckland, dan bermain 3-3 melawan Fiji di Jakarta. Tetapi itu banyak disebabkan oleh kesalahan dalam penerapan strategi di lapangan.
Ronny kemudian memimpin tim nasional ke SEA Games 1981 di Manila dan apling tidak meraih perunggu dan menang 2-0 atas Singapura yang diperkuat Fandi Ahmad. Andaikata waktu itu Iswadi belum mengundurkan diri, tim nasional akan jauh lebih tangguh dan prestasi yang diraih pun lebih baik. Sayangnya ketika itu Ronny Pattinasarani tidak mendesak pelatih Bernd Fischer memanggil Iswadi.
SEA Games 1983
Setelah tampil sebagai pelatih yang paling berhasil dalam kompetisi Galatama, Iswadi dipercayakan menangani tim nasional SEA Games 1983. Tetapi Iswadi tidak merekrut Ronny Pattinasarani yang seharusnya masih pantas masuk tim nasional. Hasilnya kita sudah tahu, perunggu pun kita tidak dapat.
Kini, baik Iswadi maupun Ronny Pattinasarani, menjadi orang luar dari tim nasional. Dipanggil bermain juga tidak, sebagai pelatih juga tidak. Dan ketika pukulan kekalahan beruntun di Singapura dari India dan Singapura, orang berbicara tentang tidak adanya permain bertipe pemimpin dalam tim kita, yang mampu mengangkat tim di lapangan.
Pada saat-saat seperti ini suka atau tidak, orang akan berpaling ke pemain seperti Iswadi dan Ronny yang mempunyai kualitas demikian. Bahkan kini, masing-masing dalam usia 35 dan 33 tahun, pemain mana pun dalam 22 anggota tim Pra-Olimpiade masih terus menyegani Iswadi dan Ronny jika berhadapan di lapangan. Pemain seperti Iswadi dan Ronny entah kapan lagi baru lahir.
(Catatan Valens Doy, foto: kompas)
Hasilnya, walaupun tidak merebut gelar juara di kedua arena itu, saat-saat tersebut merupakan tahun-tahun terakhir kesebelasan Indonesia ditakuti di luar negeri.
Masa Surut
Lalu datanglah masa-masa surut, tahun-tahun di mana Iswadi dan Ronny sebetulnya bisa bersatu menjadi tulang punggung tim nasional, tetapi tidak pernah lagi ada pelatih yang mampu mempersatukan mereka. Bahkan timbul kesan lahirnya persaingan diam-diam antara kedua pemain tersebut.
Awal tahun 1980, Iswadi dipanggil memperkuat tim nasional ke Pra-Olimpiade di Kuala Lumpur di mana tim nasional untuk pertama kalinya kalah dari Brunei 2-3. Ronny Pattinasarani tidak dipanggil. Padahal ketika itu, dengan Iswadi bermain dalam sebagai ekstra free-back, Ronny dapat memainkan peranan besar sebagai penghubung yang mengalirkan serangan balik.
Dengan kemampuannya yang berkembang sebagai pemimpin pertahanan sejak dipercayakan oleh Coerver sebagai libero tahun 1979. Ronny juga bisa memainkan peranan sebagai tabir depan pertahanan.
Ronny kemudian membuktikan PSSI keliru tidak memanggil dia, ketika dalam final Galatama, Mei 1980, ia memimpin Warna Agung menjadi juara, dengan menundukkan Jayakarta yang dipimpin rival utamanya, Iswadi Idris. Andaikata Iswadi dan Ronny waktu itu sama-sama memperkuat tim nasional, sangat besar kemungkinan kali itu tim nasional lolos ke Olimpiade, walaupun kemudian tidak ke Moskwa karena memboikot.
Menghadapi Pra-Piala Dunia 1981, Ronny dipanggil dan ia segera membuktikan diri sebagai play-maker yang menonjol. Tetapi Ronny ketika itu sudah 31 tahun. Andaikata lebih awal mendapat kepercayaan, ia bisa memberi lebih banyak bagi tim nasional. Indonesia memang tersisih, bahkan menelan kekalahan pahit 0-5 dari Selandia Baru di Auckland, dan bermain 3-3 melawan Fiji di Jakarta. Tetapi itu banyak disebabkan oleh kesalahan dalam penerapan strategi di lapangan.
Ronny kemudian memimpin tim nasional ke SEA Games 1981 di Manila dan apling tidak meraih perunggu dan menang 2-0 atas Singapura yang diperkuat Fandi Ahmad. Andaikata waktu itu Iswadi belum mengundurkan diri, tim nasional akan jauh lebih tangguh dan prestasi yang diraih pun lebih baik. Sayangnya ketika itu Ronny Pattinasarani tidak mendesak pelatih Bernd Fischer memanggil Iswadi.
SEA Games 1983
Setelah tampil sebagai pelatih yang paling berhasil dalam kompetisi Galatama, Iswadi dipercayakan menangani tim nasional SEA Games 1983. Tetapi Iswadi tidak merekrut Ronny Pattinasarani yang seharusnya masih pantas masuk tim nasional. Hasilnya kita sudah tahu, perunggu pun kita tidak dapat.
Kini, baik Iswadi maupun Ronny Pattinasarani, menjadi orang luar dari tim nasional. Dipanggil bermain juga tidak, sebagai pelatih juga tidak. Dan ketika pukulan kekalahan beruntun di Singapura dari India dan Singapura, orang berbicara tentang tidak adanya permain bertipe pemimpin dalam tim kita, yang mampu mengangkat tim di lapangan.
Pada saat-saat seperti ini suka atau tidak, orang akan berpaling ke pemain seperti Iswadi dan Ronny yang mempunyai kualitas demikian. Bahkan kini, masing-masing dalam usia 35 dan 33 tahun, pemain mana pun dalam 22 anggota tim Pra-Olimpiade masih terus menyegani Iswadi dan Ronny jika berhadapan di lapangan. Pemain seperti Iswadi dan Ronny entah kapan lagi baru lahir.
(Catatan Valens Doy, foto: kompas)