ENTAH kenapa tiba-tiba saya tertarik membaca berita soal rencana keberangkatan Megawati Soekarnoputri ke Korea Utara awal Oktober silam. Sebagai mediator yang dipercaya soal rencana reunifikasi Korea, dengan senang hati Ketua Umum PDI-P yang juga mantan Presiden Indonesia kelima itu memenuhi undangan pemimpin besar Republik Rakyat Demokratik Korea, Kim Jong-il, seperti halnya seorang kakak yang dimintai tolong adiknya.
Sesudah tak lagi bertitel RI-1, Mega malah terlihat lincah karena dalam setahun ini saja ia telah dua kali datang ke Pyongyang, sejak pada April 2005. Siapa yang ia temui itulah yang membuat saya tertarik, sosok misterius yang berjuluk The Dear Leader. Pertemuan tersebut selalu bernilai historis lantaran mewarisi persahabatan kedua ayah mereka, Soekarno dan Kim Il-sung.
Ada sepenggal cerita bagaimana akrabnya dua tokoh termahsyur Asia di era 1950 sampai 1960-an itu. Dalam suatu kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada 13 April 1965, Bung Karno mengajak jalan-jalan tamunya di Kebun Raya Bogor. Tiba-tiba Kim Il-sung tertarik pada deretan bunga anggrek asal Makassar yang tengah mekar.
Melihat itu, sontak Bung Karno menghadiahi anggrek berjenis CL Brandt itu pada Kim, seraya memberi nama Kimilsungia karena anggrek hasil penyilangan tersebut masih tanpa nama. Tentu saja hal ini diterima dengan senang hati oleh Kim, hitung-hitung sebagai kado ulang tahunnya yang ke-53, dua hari kemudian.
Kelak, lewat diplomasi bunga tadi, Indonesia dianggap sebagai satu-satunya sahabat erat Korut. Hingga kini, untuk mengenangnya, di Pyongyang setiap bulan April diadakan sebuah festival bunga dengan maskotnya, Kimilsungia, yang akhirnya ditabalkan menjadi bunga nasional negeri tersebut.
Jadi kita orang Indonesia, tenanglah, jika berada di Korea Utara. Insya Allah seharusnya aman. Karena apa? Karena sejarah. Karena Bug Karno. Rupanya saya masih terobsesi dengan Korea Utara. Padahal waktu kecil, saya benci sekali dengan negara ini. Sampai sekarang tertanam di lubuk hati saya karena Korea Utara-lah yang menggagalkan kesebelasan Indonesia lolos ke Olimpiade 1976 di Montreal, Kanada.
Korut membuat saya menangis tendangan Anjas Asmara melenceng keluar saat tos-tosan. Indonesia kalah 4-5, dan sejarah 20 tahun lalu seperti terulang kembali tatkala langkah PSSI dijegal Uni Soviet pada Olimpiade Melbourne 1956. Sejak itulah yang namanya Korut selalu menyita perhatian saya, lebih dari sepak bolanya saja.
INGAT Korut ingat barisan rakyat yang kurus-kurus, termasuk para tentaranya. Juga barisan orang berbaju belacu berwarna sama di pasar-pasar, atau gerombolan perempuan di depan pintu mertua sambil mengucek-ngucek rambut sambil mencari kutu seolah menikmati keprihatinan hidup. Jika sudah sampai masanya, maka setiap pemuda Korut yang sehat lahir batin diharuskan ikut wajib militer.
Hiburan satu-satunya rakyat Korut adalah jaringan Pyongyang Television yang dimonopoli mutlak dan cuma siaran selama enam jam, dari jam 17.00 hingga 23.00. Di negara Stanilist ini, akses untuk TV satelit dan internet adalah terlarang. Semua berita dari luar negeri disensor habis dan harus diolah lagi oleh Pyongyang Television.
Walau tingkat ekonominya tak seberapa, hidup penuh kesederhanaan, namun jangan sangsikan nasionalisme mereka. Bermodal rasa kebanggaan dan kebangsaan yang kelewat tinggi itu, Korut mampu meningkatkan ilmu teknologinya yang membuat paranoid George W. Bush sehingga mencapnya sebagai bagian dari Axis of Evil.
Kenapa si koboi Texas itu takut? Jawaban bikin bulu romanya merinding, karena mereka punya nuklir! Katanya, kalau Kim Jong-il sampai ngamuk, maka nuklir Korut bernama Taepo Dong bisa mendarat di California. Itulah yang membuat AS lebih ngeper dengan Korut ketimbang Rusia, Iran, Pakistan, atau India.
Bagi saya, selain Albania, Angola, Lesotho, Mongolia atau Togo misalnya, Korut juga sebuah negara misterius. Tempat di mana sepertinya tak pernah ada perubahan, tak tersentuh modernisasi dan terkesan angker. Kondisi mereka begitu-begitu saja, dari dulu hingga kini. Uniknya, Angola dan Togo akan mendapat perhatian luas dunia pada 2006 berkat prestasi fenomenalnya: lolos ke Piala Dunia!
Dan bicara World Cup nyambung juga ke Korut. Sebelum Korea Selatan membuat sejarah besar pada 2002 dengan suksesnya ke semifinal, Korut duluan bikin separo isi dunia melongo saat kejuaraan digelar di Inggris pada 1966. Bahkan apa yang diperlihatkan Korea Kapitalis, tiga tahun silam itu, masih belum bisa mengalahkan kiprah Korea Sosialis pada 1966, meski ujung prestasinya hanya sampai perempatfinal.
ENTAH karena makan apa sebelum tampil, tiba-tiba saja Pak Doo-ik, Pak Seung-jin, atau Rim Jung-son bermain bak kemasukan setan yang harus membuat tim Italia terpaksa main kayu untuk menghentikannya. Dan kita semua tahu, tim berlabel Gli Azzurri itupun terperdaya. Tak pelak lagi, inilah salah satu The Biggest Sensation and The Greatest Shock in World Cup History paling ternama.
Bagi Italia, malunya nggak ketulungan. Dua kali juara dunia itu dikalahkan oleh negara antah berantah, yang saat mendarat di St. George Airport membuat orang-orang Inggris berjejalan untuk melihat kedatangan makhluk-makhluk, seperti komentar BBC, so little known they might be flying in from outer space.
Italia benar-benar merasa tertampar. Gianni Rivera dan Giacomo Bulgarelli, dua bintang Azzurri, nyaris berkeputusan pensiun dini dari lapangan hijau. Di negaranya sendiri, dampaknya lebih dari yang dibayangkan. Kekalahan ini membuat rakyat Italia malas bekerja, uring-uringan, nggak nafsu makan, sensitif berat, frustrasi dan tidak sedikit yang jadi berperangai aneh bin ngaco.
Puncaknya, ketika tiba di Bandara Genova, masyarakat Italia menghujani pasukan Azzurri dengan sambitan tomat dan telur busuk! "Enyahlah para pengkhianat bangsa!" teriak para demonstran. "Inilah lembaran sejarah paling gelap sepak bola Italia sepanjang masa," tulis koran Il Tiempo di halaman depan keesokan harinya.
Korut memang gagal ke semifinal karena kalah 3-5 dari Portugal, meski sempat unggul 3-0. Hanya berkat kehebatan Eusebio Ferreira, yang melesakkan empat gol, langkah tim yang oleh pers Inggris dijuluki Red Mosquitos itu terhenti. Namun demikian prestasi itu sontak menaikkan gengsi Korut, dan tentunya, The Great Leader Kim Il-sung di mata dunia.
Kim merasa petunjuk agar timnya bermain dengan semangat Chonlima telah berhasil. Chonlima adalah mitos klasik bangsa Korea yang berwujud pada seekor kuda yang cepat dan kuat. Membaca cerita betapa kerasnya pembinaan menjadi pemain nasional di Korut saat itu, cukup membuat saya menggigil. Para pemain di-skrining ketat. Yang tak hapal lagu kebangsaan, alamat celaka tiga belas karena bisa-bisa disetrum. Bayangkan, disetrum! Janji setia harus dihapali tiap malam sebelum tidur sampai mata mereka lamuran.
Sang pendiri bangsa itu memang sempat marah pada timnya, tapi bukan lantaran kalah, tapi lebih kepada 'kelakuan kapitalis' yang dibuat Doo-ik dan kawan-kawan setelah menang atas Italia. Dalam novel The Last Gulag karya Pierre Rigoulot disebutkan para pemain Korut menghabiskan malam kemenangan dengan berpesta, minum-minum dan ditemani sejumlah wanita. Saking senangnya, pencetak gol bersejarah Pak Doo-ik dan kiper Pak Seung-jin, dua pahlawan Korut, menyantap dengan rakus sejumlah serangga!
Pimpinan yang jauh dengan anak buahnya tak lain seperti panglima tanpa tentara. Begitulah yang diyakini Kim. Sebelum berangkat ke Inggris, ia berkata, "Eropa dan Amerika Selatan telah mendominasi sepak bola dunia. Sebagai wakil dari ras kulit berwarna, kita, bangsa Asia dan juga Afrika, saya ingin kalian memenangkan satu atau dua pertandingan di Inggris. Saya sudah senang jika itu tercapai."
Ternyata sampai kapanpun juga sepak bola masih layak pakai sebagai alat perjuangan bangsa. Untuk mengangkat harkat bangsa di mata dunia dan mewujudkan kesatuan nasional. Meskipun berakar sama, namun ternyata buahnya beda. Semangat, apalagi prestasi sepak bola bangsa Indonesia telah berubah drastis, sementara bangsa Korea kian fantastis
(foto:historia.id)
Soekarno memberi anggrek asal Makassar kepada Kim Il-sung. |
Ada sepenggal cerita bagaimana akrabnya dua tokoh termahsyur Asia di era 1950 sampai 1960-an itu. Dalam suatu kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada 13 April 1965, Bung Karno mengajak jalan-jalan tamunya di Kebun Raya Bogor. Tiba-tiba Kim Il-sung tertarik pada deretan bunga anggrek asal Makassar yang tengah mekar.
Melihat itu, sontak Bung Karno menghadiahi anggrek berjenis CL Brandt itu pada Kim, seraya memberi nama Kimilsungia karena anggrek hasil penyilangan tersebut masih tanpa nama. Tentu saja hal ini diterima dengan senang hati oleh Kim, hitung-hitung sebagai kado ulang tahunnya yang ke-53, dua hari kemudian.
Kelak, lewat diplomasi bunga tadi, Indonesia dianggap sebagai satu-satunya sahabat erat Korut. Hingga kini, untuk mengenangnya, di Pyongyang setiap bulan April diadakan sebuah festival bunga dengan maskotnya, Kimilsungia, yang akhirnya ditabalkan menjadi bunga nasional negeri tersebut.
Jadi kita orang Indonesia, tenanglah, jika berada di Korea Utara. Insya Allah seharusnya aman. Karena apa? Karena sejarah. Karena Bug Karno. Rupanya saya masih terobsesi dengan Korea Utara. Padahal waktu kecil, saya benci sekali dengan negara ini. Sampai sekarang tertanam di lubuk hati saya karena Korea Utara-lah yang menggagalkan kesebelasan Indonesia lolos ke Olimpiade 1976 di Montreal, Kanada.
Korut membuat saya menangis tendangan Anjas Asmara melenceng keluar saat tos-tosan. Indonesia kalah 4-5, dan sejarah 20 tahun lalu seperti terulang kembali tatkala langkah PSSI dijegal Uni Soviet pada Olimpiade Melbourne 1956. Sejak itulah yang namanya Korut selalu menyita perhatian saya, lebih dari sepak bolanya saja.
INGAT Korut ingat barisan rakyat yang kurus-kurus, termasuk para tentaranya. Juga barisan orang berbaju belacu berwarna sama di pasar-pasar, atau gerombolan perempuan di depan pintu mertua sambil mengucek-ngucek rambut sambil mencari kutu seolah menikmati keprihatinan hidup. Jika sudah sampai masanya, maka setiap pemuda Korut yang sehat lahir batin diharuskan ikut wajib militer.
Hiburan satu-satunya rakyat Korut adalah jaringan Pyongyang Television yang dimonopoli mutlak dan cuma siaran selama enam jam, dari jam 17.00 hingga 23.00. Di negara Stanilist ini, akses untuk TV satelit dan internet adalah terlarang. Semua berita dari luar negeri disensor habis dan harus diolah lagi oleh Pyongyang Television.
Walau tingkat ekonominya tak seberapa, hidup penuh kesederhanaan, namun jangan sangsikan nasionalisme mereka. Bermodal rasa kebanggaan dan kebangsaan yang kelewat tinggi itu, Korut mampu meningkatkan ilmu teknologinya yang membuat paranoid George W. Bush sehingga mencapnya sebagai bagian dari Axis of Evil.
Kenapa si koboi Texas itu takut? Jawaban bikin bulu romanya merinding, karena mereka punya nuklir! Katanya, kalau Kim Jong-il sampai ngamuk, maka nuklir Korut bernama Taepo Dong bisa mendarat di California. Itulah yang membuat AS lebih ngeper dengan Korut ketimbang Rusia, Iran, Pakistan, atau India.
Bagi saya, selain Albania, Angola, Lesotho, Mongolia atau Togo misalnya, Korut juga sebuah negara misterius. Tempat di mana sepertinya tak pernah ada perubahan, tak tersentuh modernisasi dan terkesan angker. Kondisi mereka begitu-begitu saja, dari dulu hingga kini. Uniknya, Angola dan Togo akan mendapat perhatian luas dunia pada 2006 berkat prestasi fenomenalnya: lolos ke Piala Dunia!
Dan bicara World Cup nyambung juga ke Korut. Sebelum Korea Selatan membuat sejarah besar pada 2002 dengan suksesnya ke semifinal, Korut duluan bikin separo isi dunia melongo saat kejuaraan digelar di Inggris pada 1966. Bahkan apa yang diperlihatkan Korea Kapitalis, tiga tahun silam itu, masih belum bisa mengalahkan kiprah Korea Sosialis pada 1966, meski ujung prestasinya hanya sampai perempatfinal.
ENTAH karena makan apa sebelum tampil, tiba-tiba saja Pak Doo-ik, Pak Seung-jin, atau Rim Jung-son bermain bak kemasukan setan yang harus membuat tim Italia terpaksa main kayu untuk menghentikannya. Dan kita semua tahu, tim berlabel Gli Azzurri itupun terperdaya. Tak pelak lagi, inilah salah satu The Biggest Sensation and The Greatest Shock in World Cup History paling ternama.
Bagi Italia, malunya nggak ketulungan. Dua kali juara dunia itu dikalahkan oleh negara antah berantah, yang saat mendarat di St. George Airport membuat orang-orang Inggris berjejalan untuk melihat kedatangan makhluk-makhluk, seperti komentar BBC, so little known they might be flying in from outer space.
Italia benar-benar merasa tertampar. Gianni Rivera dan Giacomo Bulgarelli, dua bintang Azzurri, nyaris berkeputusan pensiun dini dari lapangan hijau. Di negaranya sendiri, dampaknya lebih dari yang dibayangkan. Kekalahan ini membuat rakyat Italia malas bekerja, uring-uringan, nggak nafsu makan, sensitif berat, frustrasi dan tidak sedikit yang jadi berperangai aneh bin ngaco.
Puncaknya, ketika tiba di Bandara Genova, masyarakat Italia menghujani pasukan Azzurri dengan sambitan tomat dan telur busuk! "Enyahlah para pengkhianat bangsa!" teriak para demonstran. "Inilah lembaran sejarah paling gelap sepak bola Italia sepanjang masa," tulis koran Il Tiempo di halaman depan keesokan harinya.
Korut memang gagal ke semifinal karena kalah 3-5 dari Portugal, meski sempat unggul 3-0. Hanya berkat kehebatan Eusebio Ferreira, yang melesakkan empat gol, langkah tim yang oleh pers Inggris dijuluki Red Mosquitos itu terhenti. Namun demikian prestasi itu sontak menaikkan gengsi Korut, dan tentunya, The Great Leader Kim Il-sung di mata dunia.
Kim merasa petunjuk agar timnya bermain dengan semangat Chonlima telah berhasil. Chonlima adalah mitos klasik bangsa Korea yang berwujud pada seekor kuda yang cepat dan kuat. Membaca cerita betapa kerasnya pembinaan menjadi pemain nasional di Korut saat itu, cukup membuat saya menggigil. Para pemain di-skrining ketat. Yang tak hapal lagu kebangsaan, alamat celaka tiga belas karena bisa-bisa disetrum. Bayangkan, disetrum! Janji setia harus dihapali tiap malam sebelum tidur sampai mata mereka lamuran.
Sang pendiri bangsa itu memang sempat marah pada timnya, tapi bukan lantaran kalah, tapi lebih kepada 'kelakuan kapitalis' yang dibuat Doo-ik dan kawan-kawan setelah menang atas Italia. Dalam novel The Last Gulag karya Pierre Rigoulot disebutkan para pemain Korut menghabiskan malam kemenangan dengan berpesta, minum-minum dan ditemani sejumlah wanita. Saking senangnya, pencetak gol bersejarah Pak Doo-ik dan kiper Pak Seung-jin, dua pahlawan Korut, menyantap dengan rakus sejumlah serangga!
Pimpinan yang jauh dengan anak buahnya tak lain seperti panglima tanpa tentara. Begitulah yang diyakini Kim. Sebelum berangkat ke Inggris, ia berkata, "Eropa dan Amerika Selatan telah mendominasi sepak bola dunia. Sebagai wakil dari ras kulit berwarna, kita, bangsa Asia dan juga Afrika, saya ingin kalian memenangkan satu atau dua pertandingan di Inggris. Saya sudah senang jika itu tercapai."
Ternyata sampai kapanpun juga sepak bola masih layak pakai sebagai alat perjuangan bangsa. Untuk mengangkat harkat bangsa di mata dunia dan mewujudkan kesatuan nasional. Meskipun berakar sama, namun ternyata buahnya beda. Semangat, apalagi prestasi sepak bola bangsa Indonesia telah berubah drastis, sementara bangsa Korea kian fantastis
(foto:historia.id)