Membuka-buka sejarah sepak bola nasional, siapa tak kenal Tan Liong Hou? Pada waktu itu kebanyakan seantero publik tahu, pemain yang kini bernama 'pribumi' Latief Haris Tanoto itu dikenal sebagai jagonya bola-bola mati, spesialis tendangan penalti, dan tentu sebagai kapten nasional Indonesia pasca kemerdekaan.
Namun yang membanggakan, barangkali, dan ini diakuinya sendiri, adalah dia sebagai pemegang rekor pemain terlama atau terbanyak membela tim nasional PSSI. Dia pula yang bersama Ramang, Maulwi Saelan dan kawan-kawan bahu membahu membuat sejarah internasional tertinggi Indonesia hingga sekarang: menahan Uni Soviet 0-0 di perdelapanfinal Olimpiade Melbourne 1956.
Dalam sepak terjangnya di tim nasional sepanjang 1950-1962, Tanoto sudah bermain lebih dari 100 kali (berdasarkan ingatan dan bukti-bukti lain). Memang tidak ada catatan resmi, dan ini jelas sebagai kebodohan dan tanggung-jawab PSSI, namun keyakinan merebak mengingat dalam sejarah, nama LH Tanoto sangat terkenal dan membumi.
Salah satu ukurannya adalah, saat itu frekwensi pertandingan yang dilakukan PSSI sangat banyak di mana mayoritas pemain nasional diisi oleh yang itu-itu saja. Paling hanya di satu-dua posisi saja yang diubah. "Kalau di angkatan saya, saya jamin rekor itu memang milik saya. Saya pernah dapat informasi sampai sekarang rekor itu belum terpecahkan atau belum ada yang menyamaunya," katanya bangga.
Ayah tiga putra dan satu putri ini mengawali karier sepak bola di usia 17 tahun pada sebuah klub di Jakarta, Chuang Hua. Bakat sepak bolanya diwariskan oleh ayahnya. Hanya dalam setahun berikutnya, Tan Liong Hou sudah membela bond ibukota yang disegani, Persija Jakarta. Perjalanan karier internasionalnya di tim nasional diawali ketika dia ikut pada Asian Games pertama di New Delhi pada 1951.
Asian Games I
Sejak itu Tanoto selalu menjadi langganan bermain di tim nasional dengan menempati posisi sayap kiri atau gelandang kiti. Posisi ini memang dilakoninya dengan kecintaan sejak berada di Persija. Dengan keterampilan dan kehebatannya itu, tak heran dia selalu dipanggil tim nasional untuk Asian Games berikutnya, Manila 1954, Tokyo 1958, dan yang terakhir, Jakarta 1962.
"Setelah juara Merdeka Games 1961, sebenarnya saya ingin berhenti bermain. Tapi pelatih Tony Pogacnik memaksa saya untuk terus," cerita pria kelahiran Surabaya 26 Juli 1930. "Kamu masih bisa main dan harus pimpin adik-adik kamu," begitu ucapan pelatih asal Yugoslavia kepada kapten kebanggaannya ini.
Ketika ditanya apa yang menjadi spesialisasi selama 12 tahun membela tim nasional Indonesia, dengan sigap dia menjawab: tendangan penalti! "Sayalah algojo tendangan penalti untuk PSSI, dan 99 persen pasti masuk," ucap suami dari Hilda Lannawati itu penuh semangat diiringi deraian tawa senang dan bangga.
Rasa tanggung-jawab terhadap profesi serta pengabdian kepada bangsa adalah kunci utama langgengnya LH Tanoto berkecimpung di tim nasional. "Jangan lupa juga, mental, tekad kuat dan disiplin harus dimiliki setiap pemain nasional," kilah peraih Satya Lencana Emas dari pemerintah Indonesia.
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Bakat sepak bola LH Tanoto kemudian diterusi oleh seluruh tiga anak lelakinya, Wahyu, Budi, dan Haryanto. Wahyu dan Budi Tanoto dikenal publik malang melintang sebagai pemain yang lumayan bagus di beberapa klub, antara lain Tunas Inti, dalam Kompetisi Galatama. Menurut Tanoto, anaknya yang bungsu justru bermain bola di sebuah klub di Amerika Serikat. Di hari tuanya, kini Tan Liong Hou alias Latif Haris Tanoto menghabisi waktunya dengan aktif di kegiatan sosial.
(foto: koleksi pribadi LH Tanoto)
Tan Liong Hou ketika bertukar vandel dengan Edwin Dutton, kapten Malaysia di Stadion Ikada, Jakarta 20 April 1960. |
Dalam sepak terjangnya di tim nasional sepanjang 1950-1962, Tanoto sudah bermain lebih dari 100 kali (berdasarkan ingatan dan bukti-bukti lain). Memang tidak ada catatan resmi, dan ini jelas sebagai kebodohan dan tanggung-jawab PSSI, namun keyakinan merebak mengingat dalam sejarah, nama LH Tanoto sangat terkenal dan membumi.
Salah satu ukurannya adalah, saat itu frekwensi pertandingan yang dilakukan PSSI sangat banyak di mana mayoritas pemain nasional diisi oleh yang itu-itu saja. Paling hanya di satu-dua posisi saja yang diubah. "Kalau di angkatan saya, saya jamin rekor itu memang milik saya. Saya pernah dapat informasi sampai sekarang rekor itu belum terpecahkan atau belum ada yang menyamaunya," katanya bangga.
Ayah tiga putra dan satu putri ini mengawali karier sepak bola di usia 17 tahun pada sebuah klub di Jakarta, Chuang Hua. Bakat sepak bolanya diwariskan oleh ayahnya. Hanya dalam setahun berikutnya, Tan Liong Hou sudah membela bond ibukota yang disegani, Persija Jakarta. Perjalanan karier internasionalnya di tim nasional diawali ketika dia ikut pada Asian Games pertama di New Delhi pada 1951.
Asian Games I
Sejak itu Tanoto selalu menjadi langganan bermain di tim nasional dengan menempati posisi sayap kiri atau gelandang kiti. Posisi ini memang dilakoninya dengan kecintaan sejak berada di Persija. Dengan keterampilan dan kehebatannya itu, tak heran dia selalu dipanggil tim nasional untuk Asian Games berikutnya, Manila 1954, Tokyo 1958, dan yang terakhir, Jakarta 1962.
"Setelah juara Merdeka Games 1961, sebenarnya saya ingin berhenti bermain. Tapi pelatih Tony Pogacnik memaksa saya untuk terus," cerita pria kelahiran Surabaya 26 Juli 1930. "Kamu masih bisa main dan harus pimpin adik-adik kamu," begitu ucapan pelatih asal Yugoslavia kepada kapten kebanggaannya ini.
Ketika ditanya apa yang menjadi spesialisasi selama 12 tahun membela tim nasional Indonesia, dengan sigap dia menjawab: tendangan penalti! "Sayalah algojo tendangan penalti untuk PSSI, dan 99 persen pasti masuk," ucap suami dari Hilda Lannawati itu penuh semangat diiringi deraian tawa senang dan bangga.
Rasa tanggung-jawab terhadap profesi serta pengabdian kepada bangsa adalah kunci utama langgengnya LH Tanoto berkecimpung di tim nasional. "Jangan lupa juga, mental, tekad kuat dan disiplin harus dimiliki setiap pemain nasional," kilah peraih Satya Lencana Emas dari pemerintah Indonesia.
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Bakat sepak bola LH Tanoto kemudian diterusi oleh seluruh tiga anak lelakinya, Wahyu, Budi, dan Haryanto. Wahyu dan Budi Tanoto dikenal publik malang melintang sebagai pemain yang lumayan bagus di beberapa klub, antara lain Tunas Inti, dalam Kompetisi Galatama. Menurut Tanoto, anaknya yang bungsu justru bermain bola di sebuah klub di Amerika Serikat. Di hari tuanya, kini Tan Liong Hou alias Latif Haris Tanoto menghabisi waktunya dengan aktif di kegiatan sosial.
(foto: koleksi pribadi LH Tanoto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar