Ah, andaikata Presiden Soekarno mampu mengkreasi turnamen sepak bola se-Asia setelah membidani kelahiran Konferensi Asia-Afrika atau Gerakan Non-Blok di era 1950-an, bisa jadi, Piala Asia sekarang ini jauh lebih gemuruh dan bergengsi. Jangan-jangan ia menjadi kejuaraan ketiga paling prestisius dan terakbar setelah Piala Dunia dan Piala Eropa.
Keyakinan itu amat beralasan mengingat sampai awal 1960-an, Indonesia adalah sang pelopor, sumber inspirasi perjuangan bagi negara-negara di Asia termasuk Afrika, yang dikomandoi langsung Soekarno. Kepemimpinan Indonesia di kancah politik internasional ketika itu juga diakui oleh empat negara terbesar dunia, Amerika Serikat, Uni Soviet, Cina dan India.
Saat itu nama Soekarno jaminan mutu untuk pelbagai gerakan regional bahkan perubahan internasional. Waktu itu Korea masih berantakan akibat perang saudara. Jepang masih tertatih-tatih setelah dibom atom oleh AS. Sementara India belum lama merdeka. Dan Cina masih disibuki oleh Revolusi Kebudayaan-nya. Kala perang dingin berlangsung antara blok barat (pro AS) dan blok timur (pro Uni Soviet), Soekarno pula yang sempat menengahinya.
Ah, andaikata Soekarno memindahkan energinya waktu membentuk olimpiade tandingan bernama GANEFO (Games of The New Emerging Forces) ke Piala Asia, mungkin catatan sejarah sepak bola Asia akan berbeda dengan yang sekarang. Jika politik dunia saja bisa dilakoninya, apalagi sepak bola yang cuma menjadi salah satu elemen politik? Benarkah faktor ekonomi dan politik dalam negeri yang mendera Indonesia di era 1950-an bisa disebut sebagai sumber kegagalan seorang Bung Karno mencatatkan dirinya sebagai bapak sepak bola Asia?
Tak ada yang memungkiri bahwa sepak bola adalah salah satu alat perjuangan yang paling mumpuni di awal-awal kemerdekaan Indonesia. Hal ini diyakini bukan saja oleh Soekarno, tapi bapak bangsa seperti Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara atau Muhammad Husni Thamrin. Mereka sepakat sepak bola merupakan sarana untuk menumbuhkan nasionalisme.
Pendapat bahwa di Indonesia sepak bola lahir dari kebutuhan politik, lebih dari kebutuhan publik memang ada benarnya. Sejak Boedi Oetomo berdiri pada 1908, para tokoh politik mendukung berdirinya klub-klub sepak bola di Tanah Air. Pertandingan sepak bola yang ditonton oleh ribuan orang pribumi, tentu amat merisaukan pihak kolonial. Taktik sepak bola juga ikut melatih pola pikir masyarakat dalam mematangkan strategi perjuangan.
Pihak Belanda melihatnya sebagai fenomena yang membahayakan. Mereka sempat membuat pengkastaan sepak bola di bawah induk organisasi NIVB (Nederlandsche-Indische Voetbal Bond) pada 1919, namun tak bisa mencegah popularitas sepak bola di masyarakat inlander yang memainkannya dengan telanjang kaki, tanpa sepatu bola.
Oldefos dan Nefos
Kelahiran Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928 semakin memantapkan rasa nasionalisme di sepak bola. Buktinya, tepat sebulan setelah Soempah Pemoeda, M.H. Thamrin mendirikan Persija Jakarta. Puncaknya, selang tiga tahun, pada 19 April 1930, di Yogyakarta berdiri induk organisasi tandingan milik pribumi dengan nama lokal, Persatoean Sepak Bola Seloeroeh Indonesia (PSSI) yang diketuai Ir. Soeratin Sosrosoegondo, eks mahasiswa di Jerman.
Berikut secuil kisah pembentukan PSSI seperti yang dilaporkan koran Bintang Mataram edisi 22-24 April 1930 yang dikutip dari buku Kenang-kenangan 50 tahun PSSI. Dapat dilihat bahwa salah satu misi berdirinya PSSI adalah sebagai jendela kebangsaan dan salah satu pintu gerbang menuju kemerdekaan.
"Spreker merasa bangga, bahoea comite poenja seroean boeat dirikan persatoean soeda dapet sympathie dari beberapa fihak, hal mana ada satoe tanda bahoea soeda sampe temponja dalam kalangan Indonesier diadakan matjam itoe badan persatoean. Spreker laloe terangkan hal goenanja kaloe sport ada salah satoe soeal dapetken kemoedian bangsa."
Pada PON II 1951 di lapangan IKADA Jakarta, untuk pertama kali secara terbuka Bung Karno memakai jargon olah raga untuk membangkitkan nasionalisme. "Ayo! Merdeka! Freedom! Come on! Let's go!" sering dipekikkannya. Setelah sering menghadiri PON dan merasa bangga dengan penampilan PSSI di Olimpiade 1956, ia kian yakin bahwa olah raga berarti politik. Ini selaras dengan sistem demokrasi terpimpin yang menaruh politik adalah segala-galanya.
"Nasionalisme adalah mesin besar yang menggerakkan dan mengawasi semua kegiatan internasional kita, nasionalisme adalah sumber besar dan inspirasi agung dari kemerdekaan," demikian ucapan Soekarno dalam pidatonya yang berjudul To Build The World A New pada Sidang Umum PBB XV, 30 September 1960 di New York.
Saking seriusnya merancang olah raga dan sepak bola sebagai kekuatan nasional dan pembangunan karakter bangsa, Soekarno menunjuk R. Maladi, eks kiper nasional terkenal, sebagai ketua KOGOR (Komando Gerakan Olah raga) yang bertugas menyiapkan Asian Games IV di Jakarta. Di bawah perintah Soekarno, kompleks olah raga (Bung Karno Sport Complex) dibangun dari kredit lunak Uni Soviet. Kedatangan PM Rusia Nikita Khruschev ke Jakarta pada 1960, sekaligus ingin melihat dari dekat pembangunan stadion, semakin membuat rakyat Indonesia yakin dengan gagasan sang pemimpin.
Menurut tulisan Metamorfosis Gelora Bung Karno (Kompas, 26 Mei 2006), pemancangan tiang pertama kompleks itu dilakukan oleh Soekarno sendiri pada 8 Februari 1960. Kemudian, satu demi satu sarana olah raga itu pun terwujud. Istana Olah Raga (Istora) selesai dibangun pada 21 Mei 1961, Stadion Renang, Stadion Madya, dan dan Stadion Tenis (Desember 1961), Gedung Basket (Juni 1962), serta Stadion Utama (21 Juli 1962).
Pidato membangun dunia baru di New York pada 1960 itu seolah-olah menjadi proklamasi kedua yang diucapkannya, namun kali ini untuk negara-negara dunia ketiga dan bangsa-bangsa Asia. "Bangsa-bangsa Asia harus unjuk diri bahwa mereka juga bisa melakukan sesuatu yang besar seperti yang dilakukan belahan dunia lainnya," timpalnya di majalah Time. Ketika itu Soekarno sudah memilah dunia dengan istilah Oldefos (Old Establish Forces) yang terdiri dari kaum imperialis dan Nefos (New Emerging Forces), tempatnya negara-negara berkembang.
Namun gerakan politik olah raga bukan tak memakan korban. Salah satunya justru menimpa di pentas sepak bola. Sebelum dihebohkan dengan trik-trik politik di AG 1962 dan GANEFO 1963, sepak bola Indonesia kena getah revolusi 'basmi imperialisme'. Pada Pra Piala Dunia 1962 zona Asia, PSSI terpaksa melupakan impian tampil pada putaran final di Chile, saat hasil undian harus bertemu dengan Israel. Sudah sejak saat itu kehadiran negara Israel oleh Inggis dan Amerika tidak diakui mayoritas negara di dunia, termasuk Indonesia.
Revolusi Olah raga
Kesuksesan Indonesia dari segi prestasi dan sebagai penyelenggara di AG 1962 ternyata berbuntut politik. Ini terjadi karena Indonesia menolak kehadiran Israel dan Taiwan. Keputusan ini membuat berang badan olimpiade dunia (IOC) ketika wakilnya yang juga pendiri Asian Games asal India, Guru Dutt Sondhi, datang ke Jakarta untuk menyatakan protes kerasnya. "Legitimasi pesta olah raga ini tak akan diakui IOC!" gertaknya saat itu pada Indonesia.
Yang terjadi di luar dugaan. Soekarno malah marah besar. Meski India dan PM Jawaharlal Nehru adalah sahabat kental Indonesia dan dirinya, Soekarno tak perduli. Ia mengutamakan kepentingan yang lebih besar. Dampak lainnya, akibat gerakan Sondhi itu, pusat perdagangan Pasar Baru yang banyak diisi orang-orang India, didemo rakyat Jakarta. Mobil-mobil mereka dibakari dan banyak toko-toko dilempari massa.
Keberangan Soekarno pada imperialisme ternyata tak mereda, sebab ia menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan IOC. Lebih dari itu, sambil menuduh IOC sebagai corong imperialis, beliau lalu merancang olimpiade tandingan bernama GANEFO (Games of the New Emerging Forces), 10-22 November 1963 seusainya AG 1962.
Soekarno menyerahkan tugas berat ini kepada Maladi lagi yang saat itu sudah naik pangkat menjadi pada menteri olah raga. Tidak seperti era sekarang, di bawah rezim Soekarno, kementerian olah raga memiliki akses besar. Itu karena memegang seluruh program dan kebijakan termasuk yang ada di bawah pengendalian KONI.
Bangga dengan hasil yang dicapai Indonesia pada AG 1962, Soekarno lalu mengeluarkan Kepres Nomor 263/1963. Isinya tentang misi Indonesia masuk dalam 10 besar olah raga di dunia. Ia berharap apabila sepertiga penduduk Indonesia aktif di bidang olah raga sejak SD, maka impiannya akan tercapai. "Revolusi olah raga demi mengharumkan nama bangsa. Olah raga adalah bagian dari revolusi multikompleks bangsa ini," ucap Soekarno saat itu.
Ewa T Pauker dalam buku berjudul Ganefo I: Sports and politics in Djakarta menceritakan betapa bersemangatnya rakyat Indonesia ketika Soekarno membuka olimpiade tandingan. Pesta olah raga dunia yang diikuti 51 negara di dunia mulai dari Afganishtan sampai Argentina, Burma sampai Belanda, Cina hingga Chile, Filipina hingga Finlandia!
"November 10, 1963, was no ordinary day in Djakarta. Already, early in the morning, a steady stream of people were proceeding along the newly-paved Djalan Djeneral Sudirman. Festively decorated with thousands of yards of red and white buntings, and along the just-opened American-built bypass. They were going to witness the opening of GANEFO I. The Games of the New Emerging Forces. To be held at the enormous 10 milion dollar Bung Karno sports complex which been constructed with Soviet aid."
Perjalanan politik Soekarno di dunia olah raga kini tinggal kenangan. Namun tetap menyisakan sejuta arti dan harapan. Soekarno tidak mengira betapa dahsyatnya dampak sepak bola buat politik di sebuah negara seperti sekarang. Gebyar dan pengaruh sepak bola saat itu masih kalah dengan gaung Olimpiade atau bahkan Asian Games.
Nah, jika pemimpin bangsa terdahulu belum mewujudkannya, kini tersisa peluang bagi pemerintahan Presiden SBY untuk menyikapi, melengkapi atau menerjemahkan semua inspirasi yang dulu telah dibuat Presiden Soekarno pada bangsa-bangsa di Asia. Piala Asia 2007 ada di depan mata, pada bulan Juli di Jakarta. Inilah saatnya untuk memutar kembali roda sejarah bangsa. Juga untuk mengakhiri gonjang-ganjing krisis multidimensi persepak bolaan nasional, PSSI dan dunia olahraga Indonesia secara umum.
(foto: mobigenic/forum detik)
Presiden Soekarno dan pemimpin Uni Soviet Nikita Khruschev di Jakarta 1960. |
Saat itu nama Soekarno jaminan mutu untuk pelbagai gerakan regional bahkan perubahan internasional. Waktu itu Korea masih berantakan akibat perang saudara. Jepang masih tertatih-tatih setelah dibom atom oleh AS. Sementara India belum lama merdeka. Dan Cina masih disibuki oleh Revolusi Kebudayaan-nya. Kala perang dingin berlangsung antara blok barat (pro AS) dan blok timur (pro Uni Soviet), Soekarno pula yang sempat menengahinya.
Ah, andaikata Soekarno memindahkan energinya waktu membentuk olimpiade tandingan bernama GANEFO (Games of The New Emerging Forces) ke Piala Asia, mungkin catatan sejarah sepak bola Asia akan berbeda dengan yang sekarang. Jika politik dunia saja bisa dilakoninya, apalagi sepak bola yang cuma menjadi salah satu elemen politik? Benarkah faktor ekonomi dan politik dalam negeri yang mendera Indonesia di era 1950-an bisa disebut sebagai sumber kegagalan seorang Bung Karno mencatatkan dirinya sebagai bapak sepak bola Asia?
Tak ada yang memungkiri bahwa sepak bola adalah salah satu alat perjuangan yang paling mumpuni di awal-awal kemerdekaan Indonesia. Hal ini diyakini bukan saja oleh Soekarno, tapi bapak bangsa seperti Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara atau Muhammad Husni Thamrin. Mereka sepakat sepak bola merupakan sarana untuk menumbuhkan nasionalisme.
Pendapat bahwa di Indonesia sepak bola lahir dari kebutuhan politik, lebih dari kebutuhan publik memang ada benarnya. Sejak Boedi Oetomo berdiri pada 1908, para tokoh politik mendukung berdirinya klub-klub sepak bola di Tanah Air. Pertandingan sepak bola yang ditonton oleh ribuan orang pribumi, tentu amat merisaukan pihak kolonial. Taktik sepak bola juga ikut melatih pola pikir masyarakat dalam mematangkan strategi perjuangan.
Pihak Belanda melihatnya sebagai fenomena yang membahayakan. Mereka sempat membuat pengkastaan sepak bola di bawah induk organisasi NIVB (Nederlandsche-Indische Voetbal Bond) pada 1919, namun tak bisa mencegah popularitas sepak bola di masyarakat inlander yang memainkannya dengan telanjang kaki, tanpa sepatu bola.
Oldefos dan Nefos
Kelahiran Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928 semakin memantapkan rasa nasionalisme di sepak bola. Buktinya, tepat sebulan setelah Soempah Pemoeda, M.H. Thamrin mendirikan Persija Jakarta. Puncaknya, selang tiga tahun, pada 19 April 1930, di Yogyakarta berdiri induk organisasi tandingan milik pribumi dengan nama lokal, Persatoean Sepak Bola Seloeroeh Indonesia (PSSI) yang diketuai Ir. Soeratin Sosrosoegondo, eks mahasiswa di Jerman.
Berikut secuil kisah pembentukan PSSI seperti yang dilaporkan koran Bintang Mataram edisi 22-24 April 1930 yang dikutip dari buku Kenang-kenangan 50 tahun PSSI. Dapat dilihat bahwa salah satu misi berdirinya PSSI adalah sebagai jendela kebangsaan dan salah satu pintu gerbang menuju kemerdekaan.
"Spreker merasa bangga, bahoea comite poenja seroean boeat dirikan persatoean soeda dapet sympathie dari beberapa fihak, hal mana ada satoe tanda bahoea soeda sampe temponja dalam kalangan Indonesier diadakan matjam itoe badan persatoean. Spreker laloe terangkan hal goenanja kaloe sport ada salah satoe soeal dapetken kemoedian bangsa."
Pada PON II 1951 di lapangan IKADA Jakarta, untuk pertama kali secara terbuka Bung Karno memakai jargon olah raga untuk membangkitkan nasionalisme. "Ayo! Merdeka! Freedom! Come on! Let's go!" sering dipekikkannya. Setelah sering menghadiri PON dan merasa bangga dengan penampilan PSSI di Olimpiade 1956, ia kian yakin bahwa olah raga berarti politik. Ini selaras dengan sistem demokrasi terpimpin yang menaruh politik adalah segala-galanya.
"Nasionalisme adalah mesin besar yang menggerakkan dan mengawasi semua kegiatan internasional kita, nasionalisme adalah sumber besar dan inspirasi agung dari kemerdekaan," demikian ucapan Soekarno dalam pidatonya yang berjudul To Build The World A New pada Sidang Umum PBB XV, 30 September 1960 di New York.
Stadion Utama Senayan, bagian dari Bung Karno Sports Complex. |
Menurut tulisan Metamorfosis Gelora Bung Karno (Kompas, 26 Mei 2006), pemancangan tiang pertama kompleks itu dilakukan oleh Soekarno sendiri pada 8 Februari 1960. Kemudian, satu demi satu sarana olah raga itu pun terwujud. Istana Olah Raga (Istora) selesai dibangun pada 21 Mei 1961, Stadion Renang, Stadion Madya, dan dan Stadion Tenis (Desember 1961), Gedung Basket (Juni 1962), serta Stadion Utama (21 Juli 1962).
Pidato membangun dunia baru di New York pada 1960 itu seolah-olah menjadi proklamasi kedua yang diucapkannya, namun kali ini untuk negara-negara dunia ketiga dan bangsa-bangsa Asia. "Bangsa-bangsa Asia harus unjuk diri bahwa mereka juga bisa melakukan sesuatu yang besar seperti yang dilakukan belahan dunia lainnya," timpalnya di majalah Time. Ketika itu Soekarno sudah memilah dunia dengan istilah Oldefos (Old Establish Forces) yang terdiri dari kaum imperialis dan Nefos (New Emerging Forces), tempatnya negara-negara berkembang.
Namun gerakan politik olah raga bukan tak memakan korban. Salah satunya justru menimpa di pentas sepak bola. Sebelum dihebohkan dengan trik-trik politik di AG 1962 dan GANEFO 1963, sepak bola Indonesia kena getah revolusi 'basmi imperialisme'. Pada Pra Piala Dunia 1962 zona Asia, PSSI terpaksa melupakan impian tampil pada putaran final di Chile, saat hasil undian harus bertemu dengan Israel. Sudah sejak saat itu kehadiran negara Israel oleh Inggis dan Amerika tidak diakui mayoritas negara di dunia, termasuk Indonesia.
Revolusi Olah raga
Kesuksesan Indonesia dari segi prestasi dan sebagai penyelenggara di AG 1962 ternyata berbuntut politik. Ini terjadi karena Indonesia menolak kehadiran Israel dan Taiwan. Keputusan ini membuat berang badan olimpiade dunia (IOC) ketika wakilnya yang juga pendiri Asian Games asal India, Guru Dutt Sondhi, datang ke Jakarta untuk menyatakan protes kerasnya. "Legitimasi pesta olah raga ini tak akan diakui IOC!" gertaknya saat itu pada Indonesia.
Yang terjadi di luar dugaan. Soekarno malah marah besar. Meski India dan PM Jawaharlal Nehru adalah sahabat kental Indonesia dan dirinya, Soekarno tak perduli. Ia mengutamakan kepentingan yang lebih besar. Dampak lainnya, akibat gerakan Sondhi itu, pusat perdagangan Pasar Baru yang banyak diisi orang-orang India, didemo rakyat Jakarta. Mobil-mobil mereka dibakari dan banyak toko-toko dilempari massa.
Keberangan Soekarno pada imperialisme ternyata tak mereda, sebab ia menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan IOC. Lebih dari itu, sambil menuduh IOC sebagai corong imperialis, beliau lalu merancang olimpiade tandingan bernama GANEFO (Games of the New Emerging Forces), 10-22 November 1963 seusainya AG 1962.
Soekarno menyerahkan tugas berat ini kepada Maladi lagi yang saat itu sudah naik pangkat menjadi pada menteri olah raga. Tidak seperti era sekarang, di bawah rezim Soekarno, kementerian olah raga memiliki akses besar. Itu karena memegang seluruh program dan kebijakan termasuk yang ada di bawah pengendalian KONI.
Bangga dengan hasil yang dicapai Indonesia pada AG 1962, Soekarno lalu mengeluarkan Kepres Nomor 263/1963. Isinya tentang misi Indonesia masuk dalam 10 besar olah raga di dunia. Ia berharap apabila sepertiga penduduk Indonesia aktif di bidang olah raga sejak SD, maka impiannya akan tercapai. "Revolusi olah raga demi mengharumkan nama bangsa. Olah raga adalah bagian dari revolusi multikompleks bangsa ini," ucap Soekarno saat itu.
Ewa T Pauker dalam buku berjudul Ganefo I: Sports and politics in Djakarta menceritakan betapa bersemangatnya rakyat Indonesia ketika Soekarno membuka olimpiade tandingan. Pesta olah raga dunia yang diikuti 51 negara di dunia mulai dari Afganishtan sampai Argentina, Burma sampai Belanda, Cina hingga Chile, Filipina hingga Finlandia!
"November 10, 1963, was no ordinary day in Djakarta. Already, early in the morning, a steady stream of people were proceeding along the newly-paved Djalan Djeneral Sudirman. Festively decorated with thousands of yards of red and white buntings, and along the just-opened American-built bypass. They were going to witness the opening of GANEFO I. The Games of the New Emerging Forces. To be held at the enormous 10 milion dollar Bung Karno sports complex which been constructed with Soviet aid."
Perjalanan politik Soekarno di dunia olah raga kini tinggal kenangan. Namun tetap menyisakan sejuta arti dan harapan. Soekarno tidak mengira betapa dahsyatnya dampak sepak bola buat politik di sebuah negara seperti sekarang. Gebyar dan pengaruh sepak bola saat itu masih kalah dengan gaung Olimpiade atau bahkan Asian Games.
Nah, jika pemimpin bangsa terdahulu belum mewujudkannya, kini tersisa peluang bagi pemerintahan Presiden SBY untuk menyikapi, melengkapi atau menerjemahkan semua inspirasi yang dulu telah dibuat Presiden Soekarno pada bangsa-bangsa di Asia. Piala Asia 2007 ada di depan mata, pada bulan Juli di Jakarta. Inilah saatnya untuk memutar kembali roda sejarah bangsa. Juga untuk mengakhiri gonjang-ganjing krisis multidimensi persepak bolaan nasional, PSSI dan dunia olahraga Indonesia secara umum.
(foto: mobigenic/forum detik)