"SAYA lahir di sepak bola. Ayah saya pesepak bola yang amat bagus, seperti halnya orang Italia yang selalu bergairah pada permainan cerdas ini. Sepak bola mengajarkan cara hidup bersama, cara berbagi jika anda lebih baik dari orang lain. Sepak bola adalah pendidikan luar biasa untuk seumur hidup."
Belakangan, Michel Francois Platini sering memandangi kantornya yang terletak diantara Place Andre Malraux dan Musee du Louvre, museum terkenal yang diceritakan dalam novel Da Vinci Code, di jantung kota Paris. Ia tengah mencari inspirasi sebagai bekal menghadapi duel yang menentukan bulan depan. Dia juga amat berharap mendapatkan firasat bagus bahwa tak lama lagi dia akan pindah kantor ke Bern.
Jumat, 20 Oktober 2006, Platini mendarat di London memulai kampanyenya sebelum menuju Hongaria, Polandia, Spanyol dan Serbia. First thing first, dahulukan yang utama. Untuk itu ia harus pergi ke negeri Mother of Football dan menemui Gary Lineker dan Thierry Henry, dua moralis sepak bola lewat perbuatannya.
Langkah kaki lelaki separo baya itu terlihat cepat saat memasuki hotel bintang lima di London. Dia menuju ke sudut ruangan hotel, sebuah private dining room. Malam itu Platini mengenakan setelan hitam berjiwa a life-and-soul dan amat klop dengan gestuur-nya yang humoris dan penuh enerjik.
"Thierry, saya memerlukan dukungan kamu sebab rekor saya sebentar lagi akan kamu patahkan," sergah Platini usai menyalami Henry. "Wah, ini akan jadi buruk. Bayangkan, jika saya sudah kalah dari kamu, berarti isi kepala saya adalah kamu! Ah, lihatlah, rambut saya mulai banyak yang abu-abu tapi ingat, saya bukan figur 20 tahun lalu. Jadi inikah saatnya saya jadi presiden, tidak?"
Bagi yang masih ingat betapa cerdiknya dia di Juventus atau di Les Bleus saat mengatur serangan, mengumpan, menendang dan menguasai lini tengah, momen itu bak nostalgia. Selang 20 tahun, ternyata imajinasi Platini tetap inspiratif, sulit ditangkap apalagi ditebak. Tipikal jenius. "Anda tahu mengapa saya melakukannya?"
Bak tengah memburu gawang lawan, pria kelahiran 21 Juni 1955 itu terus memacu seluruh imajinasinya. Dengan cerdik Platini menempatkan siapa dirinya kala menjelaskan lahirnya peraturan pelarangan handling-pass atau back-pass. "Selama 15 tahun saya tak pernah berhenti berlari! Saya kejar bola di kaki bek kiri... dia mengoper bola lalu ditangkap kiper. Saya kejar bola yang dikuasai bek kanan... bola dioper lagi dan ditangkap kipernya. Sejak itu saya bersumpah, andai saya ada di FIFA kelak, saya akan larang cara itu."
Impiannya terkabul, itu terkuak usai World Cup 1990. Sepp Blatter, saat itu sekjen FIFA, menelponnya untuk mendiskusikan kekecewaan pada Piala Dunia yang paling cekak gol sepanjang sejarah itu. "Ini yang pertama saya lakukan. Tiada lagi back-pass," ucap Platini yang gantung sepatu pada Juni 1987 di Juventus.
Bisa jadi Platini menganggap pemilu UEFA sebagai sebuah final Piala Eropa dan, lawannya jelas: Lennart Johansson! Oleh sebab itu 27 Januari 2007 patut ditunggu. Saatnya melihat sebuah pertarungan antara kreator andal kontra pengatur ulung; seorang fantasista yang dibesarkan klan Agnelli di tanah Romawi versus ketegaran ala Viking.
Seperti saat main di Juve, imajinasi dan visi selalu menjejali benak Platini, syarat seorang fantasista. Tak heran jika Blatter amat mengandalkan anak Aldo Platini dan cucu Francesco Platini yang asli Italia ini sebagai narasumber kala meletupkan ide-idenya di sepak bola, A to Z.
Pemain terbaik Eropa dan dunia 1984 dan 1985 itu sempat bercerita tentang masa kecilnya yang sangat mempengaruhi pola pikirnya kini. Pada waktu usia 6 tahun, ia diajak oleh ayahnya menonton pertandingan yang diikuti oleh Ladislao Kubala, bintang Barcelona masa silam.
"Ini adalah hari yang mengubah pandangan saya pada sepak bola. Pada satu momen di lini tengah, Kubala menerima bola dari kanan dan ia langsung mengoper kepada temannya di sebelah kiri, tanpa melihat! Dan saya bilang 'Papa, bagaimana dia dapat melihat temannya itu' Lalu ayah saya menjawab 'Sebab dia sudah melihat sebelumnya'. Peristiwa ini tertanam di kepala saya hingga 30 tahun kemudian," terang Platini yang idenya menambah dua asisten wasit untuk memastikan offside itu masih digodok FIFA.
Aldo Platini adalah seorang guru matematika. Dia dipengaruhi disiplin ilmunya saat mendidik anaknya. Berpikir praktis, jangan basa-basi. Lakukan dengan praktis, tidak bertele-tele. Dia yang mengajari Michel berlatih dengan mata ditutup untuk menajamkan inspirasinya bak pendekar silat. "Ada jutaan pemain yang punya teknik dan fisik lebih baik dari saya. Namun saya lebih terlatih dalam membaca permainan dan mengubah permainan," tambah wapres FFF (PSSI-nya Prancis) itu.
Di mata Platini, sejak dipimpin Lennart Johansson mulai 1990, kondisi sepak bola makin carut marut yang mengubah cita rasanya. Hal-hal kecil bermunculan yang berandil menggembosi nilai sepak bola. Misalnya soal nomor 10. "Selama 100 tahun, siapapun yang ditunjuk memakai nomor 10, maka dia identik sebagai seorang pengatur permainan."
Terlebih untuk sesuatu yang besar. Eksplorasi membabi buta siaran televisi sejak 1992 - ditandai dengan kelahiran Liga Champion dan English Premier League - ikut mengubah nafsu dan ambisi orang-orang yang tak mengerti sepak bola selain untuk mencari duit semata. Kenapa ini bisa terjadi?
"Karena kita dipimpin tanpa kepemimpinan yang cukup kuat. Kita harus dituntun oleh orang yang faham sepak bola. Kita perlu menata lagi organisasi, sebab jika tidak sepak bola akan kehilangan daya tariknya. Eropa adalah garda terdepan untuk membenahi itu semua!" ujar eks pelatih nasional Prancis 1988-1992 ini.
Platini punya lima rencana besar; menyatukan faksi-faksi yang berseteru; mengembalikan kekuasaan kepada masing-masing presiden federasi sepak bola nasional; memperkuat solidaritas sesama anggota federasi; mendesak Uni-Eropa membuat RUU yang melindungi bakat-bakat muda; dan menata kembali kompetisi Eropa khususnya Piala UEFA, Piala Eropa dan Piala Intertoto.
"Klub dan tim nasional harus menaati hukum dan mengontrol globalisasi. Saya bukan calon yang akan memecah belah keadaan, tapi sesesorang yang akan mengadaptasi evolusi sepak bola di abad 21 tanpa harus mengubah prinsip-prinsip permainan itu sendiri," tegas bekas kapten Les Bleus yang punya rekor 41 gol dari 72 partai. "Diskusi bukan untuk memutuskan masa depan sepak bola, tapi bagaimana memenuhi rasa tanggung jawab pada sepak bola," kata Platini yang tak sabar ingin membenahi rasisme, xenophobia, doping, dan taruhan ilegal.
"Saya adalah seorang pimpinan. Demi bola, saya rela tinggalkan sekolah pada usia 16. Saya bukan seorang pengacara atau seorang penyandang dana. Saya cuma butuh dukungan sebuah tim ahli yang bekerja di belakang saya. Jika saya jadi presiden, anda-anda akan naik!" sergah Platini.
"Hanya seseorang yang pernah merasakan bermain di level puncak saja yang mampu mengerti kami. Saya tak mau berpolitik, tapi saya pikir kami wajar mendukung Michel Platini," kata Henry tanpa basa-basi. "Modal dia bukan lewat statusnya, tapi lebih kepada kecintaannya pada permainan ini," sambung Lineker.
Jika Platini sukses menduduki kursi bos UEFA, berarti dia menjadi orang terkuat nomor dua di dunia setelah Sepp Blatter, mentor sekaligus pendukung utamanya. Hampir bisa dipastikan Blatter akan bekerja keras untuk membantu kepindahan kantor Platini di Bern, yang cuma berjarak beberapa menit dari markas besar FIFA di Zuerich.
(dimuat di Harian Kompas, Jumat 8 Desember 2006)
(foto: naijasilvergold/whoateallthepies)
Pasangan inovator dan stabilisator. |
Jumat, 20 Oktober 2006, Platini mendarat di London memulai kampanyenya sebelum menuju Hongaria, Polandia, Spanyol dan Serbia. First thing first, dahulukan yang utama. Untuk itu ia harus pergi ke negeri Mother of Football dan menemui Gary Lineker dan Thierry Henry, dua moralis sepak bola lewat perbuatannya.
Langkah kaki lelaki separo baya itu terlihat cepat saat memasuki hotel bintang lima di London. Dia menuju ke sudut ruangan hotel, sebuah private dining room. Malam itu Platini mengenakan setelan hitam berjiwa a life-and-soul dan amat klop dengan gestuur-nya yang humoris dan penuh enerjik.
"Thierry, saya memerlukan dukungan kamu sebab rekor saya sebentar lagi akan kamu patahkan," sergah Platini usai menyalami Henry. "Wah, ini akan jadi buruk. Bayangkan, jika saya sudah kalah dari kamu, berarti isi kepala saya adalah kamu! Ah, lihatlah, rambut saya mulai banyak yang abu-abu tapi ingat, saya bukan figur 20 tahun lalu. Jadi inikah saatnya saya jadi presiden, tidak?"
Bagi yang masih ingat betapa cerdiknya dia di Juventus atau di Les Bleus saat mengatur serangan, mengumpan, menendang dan menguasai lini tengah, momen itu bak nostalgia. Selang 20 tahun, ternyata imajinasi Platini tetap inspiratif, sulit ditangkap apalagi ditebak. Tipikal jenius. "Anda tahu mengapa saya melakukannya?"
Bak tengah memburu gawang lawan, pria kelahiran 21 Juni 1955 itu terus memacu seluruh imajinasinya. Dengan cerdik Platini menempatkan siapa dirinya kala menjelaskan lahirnya peraturan pelarangan handling-pass atau back-pass. "Selama 15 tahun saya tak pernah berhenti berlari! Saya kejar bola di kaki bek kiri... dia mengoper bola lalu ditangkap kiper. Saya kejar bola yang dikuasai bek kanan... bola dioper lagi dan ditangkap kipernya. Sejak itu saya bersumpah, andai saya ada di FIFA kelak, saya akan larang cara itu."
Impiannya terkabul, itu terkuak usai World Cup 1990. Sepp Blatter, saat itu sekjen FIFA, menelponnya untuk mendiskusikan kekecewaan pada Piala Dunia yang paling cekak gol sepanjang sejarah itu. "Ini yang pertama saya lakukan. Tiada lagi back-pass," ucap Platini yang gantung sepatu pada Juni 1987 di Juventus.
Bisa jadi Platini menganggap pemilu UEFA sebagai sebuah final Piala Eropa dan, lawannya jelas: Lennart Johansson! Oleh sebab itu 27 Januari 2007 patut ditunggu. Saatnya melihat sebuah pertarungan antara kreator andal kontra pengatur ulung; seorang fantasista yang dibesarkan klan Agnelli di tanah Romawi versus ketegaran ala Viking.
Yang lebih tua butuh kecerdasan sepak bola sejati. |
Pemain terbaik Eropa dan dunia 1984 dan 1985 itu sempat bercerita tentang masa kecilnya yang sangat mempengaruhi pola pikirnya kini. Pada waktu usia 6 tahun, ia diajak oleh ayahnya menonton pertandingan yang diikuti oleh Ladislao Kubala, bintang Barcelona masa silam.
"Ini adalah hari yang mengubah pandangan saya pada sepak bola. Pada satu momen di lini tengah, Kubala menerima bola dari kanan dan ia langsung mengoper kepada temannya di sebelah kiri, tanpa melihat! Dan saya bilang 'Papa, bagaimana dia dapat melihat temannya itu' Lalu ayah saya menjawab 'Sebab dia sudah melihat sebelumnya'. Peristiwa ini tertanam di kepala saya hingga 30 tahun kemudian," terang Platini yang idenya menambah dua asisten wasit untuk memastikan offside itu masih digodok FIFA.
Aldo Platini adalah seorang guru matematika. Dia dipengaruhi disiplin ilmunya saat mendidik anaknya. Berpikir praktis, jangan basa-basi. Lakukan dengan praktis, tidak bertele-tele. Dia yang mengajari Michel berlatih dengan mata ditutup untuk menajamkan inspirasinya bak pendekar silat. "Ada jutaan pemain yang punya teknik dan fisik lebih baik dari saya. Namun saya lebih terlatih dalam membaca permainan dan mengubah permainan," tambah wapres FFF (PSSI-nya Prancis) itu.
Di mata Platini, sejak dipimpin Lennart Johansson mulai 1990, kondisi sepak bola makin carut marut yang mengubah cita rasanya. Hal-hal kecil bermunculan yang berandil menggembosi nilai sepak bola. Misalnya soal nomor 10. "Selama 100 tahun, siapapun yang ditunjuk memakai nomor 10, maka dia identik sebagai seorang pengatur permainan."
Terlebih untuk sesuatu yang besar. Eksplorasi membabi buta siaran televisi sejak 1992 - ditandai dengan kelahiran Liga Champion dan English Premier League - ikut mengubah nafsu dan ambisi orang-orang yang tak mengerti sepak bola selain untuk mencari duit semata. Kenapa ini bisa terjadi?
"Karena kita dipimpin tanpa kepemimpinan yang cukup kuat. Kita harus dituntun oleh orang yang faham sepak bola. Kita perlu menata lagi organisasi, sebab jika tidak sepak bola akan kehilangan daya tariknya. Eropa adalah garda terdepan untuk membenahi itu semua!" ujar eks pelatih nasional Prancis 1988-1992 ini.
Platini punya lima rencana besar; menyatukan faksi-faksi yang berseteru; mengembalikan kekuasaan kepada masing-masing presiden federasi sepak bola nasional; memperkuat solidaritas sesama anggota federasi; mendesak Uni-Eropa membuat RUU yang melindungi bakat-bakat muda; dan menata kembali kompetisi Eropa khususnya Piala UEFA, Piala Eropa dan Piala Intertoto.
"Klub dan tim nasional harus menaati hukum dan mengontrol globalisasi. Saya bukan calon yang akan memecah belah keadaan, tapi sesesorang yang akan mengadaptasi evolusi sepak bola di abad 21 tanpa harus mengubah prinsip-prinsip permainan itu sendiri," tegas bekas kapten Les Bleus yang punya rekor 41 gol dari 72 partai. "Diskusi bukan untuk memutuskan masa depan sepak bola, tapi bagaimana memenuhi rasa tanggung jawab pada sepak bola," kata Platini yang tak sabar ingin membenahi rasisme, xenophobia, doping, dan taruhan ilegal.
"Saya adalah seorang pimpinan. Demi bola, saya rela tinggalkan sekolah pada usia 16. Saya bukan seorang pengacara atau seorang penyandang dana. Saya cuma butuh dukungan sebuah tim ahli yang bekerja di belakang saya. Jika saya jadi presiden, anda-anda akan naik!" sergah Platini.
"Hanya seseorang yang pernah merasakan bermain di level puncak saja yang mampu mengerti kami. Saya tak mau berpolitik, tapi saya pikir kami wajar mendukung Michel Platini," kata Henry tanpa basa-basi. "Modal dia bukan lewat statusnya, tapi lebih kepada kecintaannya pada permainan ini," sambung Lineker.
Jika Platini sukses menduduki kursi bos UEFA, berarti dia menjadi orang terkuat nomor dua di dunia setelah Sepp Blatter, mentor sekaligus pendukung utamanya. Hampir bisa dipastikan Blatter akan bekerja keras untuk membantu kepindahan kantor Platini di Bern, yang cuma berjarak beberapa menit dari markas besar FIFA di Zuerich.
(dimuat di Harian Kompas, Jumat 8 Desember 2006)
(foto: naijasilvergold/whoateallthepies)