Banyak cara bagi sebuah negara untuk memperkuat atau mempercepat roda ekonominya. Salah satunya ikut serta ke dalam pusaran globalisasi sepak bola. Yang namanya urusan berskala internasional, jika sudah atas nama bangsa atau pemerintah, dijamin tokcer, beres. Jargon tinggal dibikin, misalnya sebagai bagian dari dinamika ekonomi dunia, politik dunia, atau kebudayaan dunia.
Kepopuleran sepak bola sudah diakui di mana-mana. Olah raga ini dimainkan ratusan juta di seluruh dunia, ditonton oleh miliaran kepala dan kerap dibanjiri oleh berliter-liter air mata, bahkan darah. Universalitas olah raga ini memang sangat mengagumkan. Ia melintas batas, menembus lubang secepat membalikkan telapak tangan.
Sekarang jangan lagi terlampau banyak mati-matian di kompetisi skala nasional atau domestik. Sebagai prioritas, kalau itu bisa dibilang, minimal targetnya sebatas regional lalu perlahan-lahan ke internasional. Istilah ini terlalu biasa, mungkin yang pantas adalah internasionalisasi, globalisasi!
Sekarang memang sudah bukan lagi zaman yang berbau domestik, lokal. Yang namanya globalisasi bahkan sudah ada di dalam rumah. Tontonan langsung sepak bola Premier League dari ESPN atau Sky, misalnya, bisa ditonton entah itu di kamar tidur, ruang tamu, atau bahkan kamar mandi!
Karena itu, siapa sih yang tak tergoda oleh sesuatu yang mengalir di dalamnya? Tentu saja maksudnya uang. Sepak bola adalah pasar yang sangat besar. Empat dari lima penduduk bumi kenal olah raga ini. Jumlah pelaku aktif dari yang mulai awam sampai profesional plus investor plus konsumennya adalah setengah dari jumlah yang kenal dengan olah raga ini tadi. Nah, bisa dibayangkan aura keuntungannya?
Karena menjadi wilayah yang terbanyak penduduknya di bumi, wajar Asia dan Oseania tetap menjadi buruan investor. Meski ketimpangan sosio-kultur dan sosio-politiknya bisa saja menjadi kendala, angka pertumbuhan ekonomi Asia cukup menjanjikan. Termasuk untuk bisnis kolosal seperti sepak bola.
Sebagai negara benua dengan jumlah populasi seukuran pulau, tentu saja Australia ingin juga bermain, bahkan berada di pasar yang besar. Kini mereka telah merapatkan diri. Boleh dikatakan bahwa secara umum Asia dan Oseania adalah wilayah paling buntut di percaturan sepak bola dunia. Alam yang begitu luas dan cuaca keras lagipula amat kontradiktif, serta belahan lain yang dipenuhi lautan dan kepulauan terpencil, jelas bin jelas menjadi kendala paling wahid untuk menuai perkembangan yang kondusif.
Ditambah dengan ketimpangan strata ekonomi antar-region - di mana barat dan timur begitu makmur dibanding zona tengah, selatan, dan tenggara - jalan roda kompetisi akan memakan biaya tinggi. Transportasi atau akomodasi juga bisa bermasalah lantaran perbedaan standar gaya hidup. Bagaimana standar stadion plus kamar gantinya, hotel, tempat latihan, keamanan, kenyamanan, atau kelancaran akses lalu lintasnya? Belum lagi ruwetnya menghadapi belitan birokrasi.
Gara-gara soal faktor nonteknis begini, seringkali sulit bagi Asia dan Oseania untuk bersaing, jangankan dengan Eropa, dengan Afrika atau Amerika Latin saja dijamin bakal megap-megap terus. Lantas sampai kapan permasalahan tadi bisa diselesaikan AFC? Yang jelas, itu tergantung pada niat dan kemauan para pentolan konfederasi sepak bola Asia, yang didominasi orang-orang Arab, Cina, Korea, atau Melayu.
Sudah bukan rahasia lagi selama ini di badan sepak bola paling berkuasa se-Asia itu masih terjadi klik, perseteruan, dan perang kepentingan yang melibatkan bisnis sampai politik. Artinya, AFC harus konsisten dengan visi dan misinya dengan penekanan lebih ke entertainment, hiburan.
Prospek Indonesia
"Inti sepak bola adalah harus menghibur semua orang. Jangan sampai ia dijadikan alat oleh sebagian kecil orang yang rakus bin tamak, yang dengan pengaruh atau kekuatan uangnya bisa seenaknya memutuskan apa saja, bahkan bisa menghentikan perkembangan sepak bola kalangan bawah dan menghancurkan fondasi sepak bola bangsa," begitu yang pernah ditulis Presiden FIFA, Sepp Blatter, dalam tulisannya di The Financial Times edisi 29 September 2004.
Jelas sudah bahwa intinya adalah football must remain be entertainment for all. Nah, jika para petinggi AFC belum sepakat dalam mencapai tujuannya, bagaimana program baru AFC yakin Vision Asia bisa berjalan sesuai keinginan? Ketika AFC mengumandangkan tekad bahwa kemajuan sepak bola Asia harus diawali oleh masing-masing region, artinya perhatian untuk Central/South Asia dan South East Asia harus lebih besar ketimbang West Asia atau East Asia.
Masuknya Australia ke zona Asia, yang kelak bakal diikuti oleh Selandia Baru memang akan memberi tantangan bagi AFC untuk bekerja lebih keras lagi. Namun, di sana juga akan mendatangkan kesulitan bagi anggota lama. Indonesia misalnya. Tanpa Australia dan Selandia Baru saja sudah teramat sulit kita lolos ke Piala Dunia.
Salah sendiri. Selama ini tak ada ide dan pikiran, keberanian dan hasrat, demi mengubah nasib dengan cara mencoba atau melobi, katakanlah mengajak Filipina atau Timor Leste untuk meramaikan dan bergabung ke zona Oseania, sehingga bisa dapat satu jatah resmi dari FIFA.
Tengoklah Arab Saudi dan Iran di barat, Korea Selatan dan Jepang di timur, yang ibarat telah memesan empat tiket Asia di Piala Dunia. Satu lagi diperebutkan oleh Kuwait, Qatar, UEA, Bahrain, Irak, Uzbekistan, atau Cina, yang harus play-off melawan limpahan dari zona Eropa. Kini malah muncul Australia, tim Eropa kelas dua setengah.
Melihat gelagat ini, tak ayal lagi, jalan wilayah Asia Tenggara ikutan World Cup makin panjang dan berliku. Bahkan termasuk kejuaraan lokal setingkat Piala Tiger atau SEA Games seandainya Australia diterima sebagai anggota khusus ASEAN. Ke wilayah mana Australia nanti dimasukkan AFC setelah bergabung? Belum jelas. Apakah bule-bule itu juga bisa tampil di Piala Tiger juga misterius.
Mitos dan Visi
Selama ini sejarah sudah memberi bukti. Kemajuan di wilayah barat dan timur jauh lebih nyata, baik dari segi perkembangannya maupun prestasi. Mereka selalu bergantian menjuarai Piala Asia sejak awal. Dimulai oleh Korea Selatan pada 1956 dan 1960, Israel (1964), Iran (1968, 1972, 1976), Kuwait (1980), Arab Saudi (1984, 1988, 1996) sampai Jepang (1992, 2000, 2004). Di luar timur dan barat, seumur-umur cuma India (1964) dan Myanmar (1968) saja yang pernah mencapai pentas final.
Zona timur dan barat juga paling sering mewakili Asia di Piala Dunia. Arab Saudi, Iran, Korea Selatan dan Jepang paling tradisional dan belakangan diikuti Kuwait, Uni Emirat Arab atau Cina. Bagaimana dengan prospek wilayah lain untuk tampil di World Cup di masa depan? Tetap gelap! Hal itu baru bisa dikatakan terang jika AFC dengan seadil-adilnya sampai memberi masing-masing satu tiket untuk setiap wilayah!
Mitos bahwa timur dan barat lebih berkuasa sebenarnya justru berkebalikan dengan akar sejarah persepak bolaan di Asia. Banyak fakta yang seharusnya bisa mengangkat harkat wilayah Asia Tenggara atau Asia Selatan dan Asia Tengah. Sejarah membuktikan bahwa Asia Tenggara merupakan tempat asal muasalnya persepak-bolaan Asia diinagurasi pertama kali.
Pada bulan April 1913 di Manila, Filipina, digelar turnamen sepak bola se-Asia yang diberi nama The Far Eastern Games. Siapa juaranya? Tuan rumah! Bayangkan, Filipina! Di final mereka mengalahkan Cina 2-1. Sayang tradisi dan grass root sepak bola Filipina hancur lebur jadi debu setelah Amerika Serikat menguasai negeri kepulauan itu saat Perang Dunia II.
Tingkat kemajuan sepak bola Asia beraneka ragam. Di tenggara bak seekor siput, lambat. Di selatan malah diam tak bergerak. Sementara itu, langkah di barat dan timur malah cepat dan amat proaktif sehingga mampu meyakinkan pihak Arsenal, Real Madrid, atau Manchester United sebagai pasar globalnya.
Ini salah satu alasan mengapa Australia masuk Asia. Mereka melihat pasar sepak bola yang besar seiring dengan prediksi akan menghebatnya pertumbuhan ekonomi Asia. Mereka memiliki visi ke depan yang lebih mumpuni.
Bermula dari sebuah turnamen di Filipina pada 1913, lalu lolosnya Dutch East Indies (nama lama Indonesia) ke Piala Dunia 1938 dan kehebohan buatan Korea Utara saat melibas Italia di Piala Dunia 1966, sampai munculnya sejarah fenomenal bin spektakuler Korea Selatan tatkala nyelonong ke semifinal Piala Dunia 2002, pesta sepak bola dunia pertama di wilayah Asia, progresivitas persepak-bolaan kontinen ini makin terarah meski tetap terbilang lambat. Berikut sebelas tonggak perjalanan persepak-bolaan Asia di percaturan dunia.
👉 April 1913 di Manila, Filipina, diadakan The Far Eastern Games yang menjadi cikal bakal kejuaraan sepak bola pertama di Asia. Filipina menjadi juara pertama kali usai mengalahkan Cina 2-1 di final. Di era-era berikutnya sampai 1934, Cina mendominasi turnamen dengan 9 kali menjadi juara, termasuk menjadi juara bersama dengan Jepang pada 1930.
👉 Pada 1938, atas campur tangan pemerintahan kolonial Belanda dan belum terciptanya iklim perkembangan sepak bola bangsa-bangsa Asia, membawa keberuntungan bagi Dutch East Indies yang mewakili zona Asia ke Piala Dunia 1938 di Prancis.
👉 Pada 8 Mei 1954, tahun yang sama berdirinya UEFA di Eropa, 12 negara Asia - Afghanistan, Myanmar, Taiwan, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Pakistan, Filipina, Singapura, dan Vietnam - sepakat mendirikan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) di Manila. Man Kam Loh dari Hong Kong terpilih sebagai presiden pertama AFC.
👉 Pada 1956, diselenggarakan Piala Asia pertama di Hong Kong dengan 12 peserta. Korea Selatan menjadi juara pertama kali usai mengatasi Israel di final.
👉 Pada 25 November 1961, seorang pemain asal Hong Kong, Cheung Chi-doy, mencetak sejarah setelah menciptakan gol di Premier League (Divisi 1) untuk Blackpool saat melawan Sheffield Wednesday.
👉 Pada 30 Mei 1965, Malaysia mengalahkan Hong Kong dalam sebuah pertandingan sepak bola wanita Asia pertama. Selang satu dekade, AFC Women's Championship digelar pertama kali dan dimenangi Thailand setelah mengatasi Hong Kong, Singapura, Malaysia, Australia, dan Selandia Baru di final. Pada 1991, Cina menuai sejarah saat menjadi host Piala Dunia Wanita. Sayang di final mereka kalah dari AS.
👉 Pada 1979, turnamen kelas dunia pertama diadakan di Asia. Jepang menjadi tuan rumah FIFA World Youth Championship, kejuaraan yang kelak melahirkan legenda dunia, Diego Armando Maradona. Argentina meraih juara pertama kali. Pada 1985, giliran Cina menjadi tuan rumah pertama FIFA U-17 World Championship yang dimenangi Nigeria. Kejuaraan kelas dunia ketiga di Asia lagi-lagi digelar di Jepang, yang bersama Korea Selatan menjadi tuan rumah World Cup 2002.
👉 Pada 1980, penyerang top Korea Selatan, Cha Bum-keun, menjadi orang Asia pertama yang memenangi trofi Eropa setelah membawa Eintracht Frankfurt menjuarai Piala UEFA. Cha tampil di Bundesliga selama 8 musim dengan rekor 308 kali main dan 98 gol, termasuk di klub terakhirnya, Bayer Leverkusen.
👉 Pada 1994, usai aksi gemilangnya di Piala Dunia 1994 di AS, striker Arab Saudi, Said Owayran, memenangkan pemilihan Pemain Asia Terbaik (AFC Player of the Year Award) pertama kali. Golnya ke gawang Belgia, dengan menjelajahi setengah lapangan dan menaklukkan setengah para pemain lawan, menjadi salah satu The World Cup's Greatest Goals hingga kini. Sejajar dengan greatest goal ciptaan Diego Maradona tatkala mencetak gol kedua ke gawang Inggris di Piala Dunia 1986 di Meksiko.
👉 Pada Maret 1999, Iran menjuarai AFC Futsal Championship pertama di Malaysia. Di final mereka menghancurkan Korea Selatan 9-1.
👉 Pada Oktober 2003, klub asal Uni Emirat Arab, Al-Ain, menjuarai AFC Champions League pertama kali. Klub ini dilatih oleh Bruno Metsu, pria asal Prancis yang pada tahun sebelumnya mempermalukan negaranya sendiri tatkala tim asuhannya, Senegal, mengalahkan si juara dunia Les Bleus 1-0 lewat gol Papa Bouba-Diop.
(foto: footballaustralia)
Tim nasional Australia 2005. |
Sekarang jangan lagi terlampau banyak mati-matian di kompetisi skala nasional atau domestik. Sebagai prioritas, kalau itu bisa dibilang, minimal targetnya sebatas regional lalu perlahan-lahan ke internasional. Istilah ini terlalu biasa, mungkin yang pantas adalah internasionalisasi, globalisasi!
Sekarang memang sudah bukan lagi zaman yang berbau domestik, lokal. Yang namanya globalisasi bahkan sudah ada di dalam rumah. Tontonan langsung sepak bola Premier League dari ESPN atau Sky, misalnya, bisa ditonton entah itu di kamar tidur, ruang tamu, atau bahkan kamar mandi!
Karena itu, siapa sih yang tak tergoda oleh sesuatu yang mengalir di dalamnya? Tentu saja maksudnya uang. Sepak bola adalah pasar yang sangat besar. Empat dari lima penduduk bumi kenal olah raga ini. Jumlah pelaku aktif dari yang mulai awam sampai profesional plus investor plus konsumennya adalah setengah dari jumlah yang kenal dengan olah raga ini tadi. Nah, bisa dibayangkan aura keuntungannya?
Karena menjadi wilayah yang terbanyak penduduknya di bumi, wajar Asia dan Oseania tetap menjadi buruan investor. Meski ketimpangan sosio-kultur dan sosio-politiknya bisa saja menjadi kendala, angka pertumbuhan ekonomi Asia cukup menjanjikan. Termasuk untuk bisnis kolosal seperti sepak bola.
Sebagai negara benua dengan jumlah populasi seukuran pulau, tentu saja Australia ingin juga bermain, bahkan berada di pasar yang besar. Kini mereka telah merapatkan diri. Boleh dikatakan bahwa secara umum Asia dan Oseania adalah wilayah paling buntut di percaturan sepak bola dunia. Alam yang begitu luas dan cuaca keras lagipula amat kontradiktif, serta belahan lain yang dipenuhi lautan dan kepulauan terpencil, jelas bin jelas menjadi kendala paling wahid untuk menuai perkembangan yang kondusif.
Ditambah dengan ketimpangan strata ekonomi antar-region - di mana barat dan timur begitu makmur dibanding zona tengah, selatan, dan tenggara - jalan roda kompetisi akan memakan biaya tinggi. Transportasi atau akomodasi juga bisa bermasalah lantaran perbedaan standar gaya hidup. Bagaimana standar stadion plus kamar gantinya, hotel, tempat latihan, keamanan, kenyamanan, atau kelancaran akses lalu lintasnya? Belum lagi ruwetnya menghadapi belitan birokrasi.
Pasar sepak bola Australia semakin ramai. |
Sudah bukan rahasia lagi selama ini di badan sepak bola paling berkuasa se-Asia itu masih terjadi klik, perseteruan, dan perang kepentingan yang melibatkan bisnis sampai politik. Artinya, AFC harus konsisten dengan visi dan misinya dengan penekanan lebih ke entertainment, hiburan.
Prospek Indonesia
"Inti sepak bola adalah harus menghibur semua orang. Jangan sampai ia dijadikan alat oleh sebagian kecil orang yang rakus bin tamak, yang dengan pengaruh atau kekuatan uangnya bisa seenaknya memutuskan apa saja, bahkan bisa menghentikan perkembangan sepak bola kalangan bawah dan menghancurkan fondasi sepak bola bangsa," begitu yang pernah ditulis Presiden FIFA, Sepp Blatter, dalam tulisannya di The Financial Times edisi 29 September 2004.
Jelas sudah bahwa intinya adalah football must remain be entertainment for all. Nah, jika para petinggi AFC belum sepakat dalam mencapai tujuannya, bagaimana program baru AFC yakin Vision Asia bisa berjalan sesuai keinginan? Ketika AFC mengumandangkan tekad bahwa kemajuan sepak bola Asia harus diawali oleh masing-masing region, artinya perhatian untuk Central/South Asia dan South East Asia harus lebih besar ketimbang West Asia atau East Asia.
Rakyat Indonesia kedatangan 'musuh baru' |
Salah sendiri. Selama ini tak ada ide dan pikiran, keberanian dan hasrat, demi mengubah nasib dengan cara mencoba atau melobi, katakanlah mengajak Filipina atau Timor Leste untuk meramaikan dan bergabung ke zona Oseania, sehingga bisa dapat satu jatah resmi dari FIFA.
Tengoklah Arab Saudi dan Iran di barat, Korea Selatan dan Jepang di timur, yang ibarat telah memesan empat tiket Asia di Piala Dunia. Satu lagi diperebutkan oleh Kuwait, Qatar, UEA, Bahrain, Irak, Uzbekistan, atau Cina, yang harus play-off melawan limpahan dari zona Eropa. Kini malah muncul Australia, tim Eropa kelas dua setengah.
Melihat gelagat ini, tak ayal lagi, jalan wilayah Asia Tenggara ikutan World Cup makin panjang dan berliku. Bahkan termasuk kejuaraan lokal setingkat Piala Tiger atau SEA Games seandainya Australia diterima sebagai anggota khusus ASEAN. Ke wilayah mana Australia nanti dimasukkan AFC setelah bergabung? Belum jelas. Apakah bule-bule itu juga bisa tampil di Piala Tiger juga misterius.
Mitos dan Visi
Australia vs Indonesia. Bakal sering terjadi. |
Zona timur dan barat juga paling sering mewakili Asia di Piala Dunia. Arab Saudi, Iran, Korea Selatan dan Jepang paling tradisional dan belakangan diikuti Kuwait, Uni Emirat Arab atau Cina. Bagaimana dengan prospek wilayah lain untuk tampil di World Cup di masa depan? Tetap gelap! Hal itu baru bisa dikatakan terang jika AFC dengan seadil-adilnya sampai memberi masing-masing satu tiket untuk setiap wilayah!
Mitos bahwa timur dan barat lebih berkuasa sebenarnya justru berkebalikan dengan akar sejarah persepak bolaan di Asia. Banyak fakta yang seharusnya bisa mengangkat harkat wilayah Asia Tenggara atau Asia Selatan dan Asia Tengah. Sejarah membuktikan bahwa Asia Tenggara merupakan tempat asal muasalnya persepak-bolaan Asia diinagurasi pertama kali.
Pada bulan April 1913 di Manila, Filipina, digelar turnamen sepak bola se-Asia yang diberi nama The Far Eastern Games. Siapa juaranya? Tuan rumah! Bayangkan, Filipina! Di final mereka mengalahkan Cina 2-1. Sayang tradisi dan grass root sepak bola Filipina hancur lebur jadi debu setelah Amerika Serikat menguasai negeri kepulauan itu saat Perang Dunia II.
Tingkat kemajuan sepak bola Asia beraneka ragam. Di tenggara bak seekor siput, lambat. Di selatan malah diam tak bergerak. Sementara itu, langkah di barat dan timur malah cepat dan amat proaktif sehingga mampu meyakinkan pihak Arsenal, Real Madrid, atau Manchester United sebagai pasar globalnya.
Ini salah satu alasan mengapa Australia masuk Asia. Mereka melihat pasar sepak bola yang besar seiring dengan prediksi akan menghebatnya pertumbuhan ekonomi Asia. Mereka memiliki visi ke depan yang lebih mumpuni.
ASIAN MILESTONES
Bermula dari sebuah turnamen di Filipina pada 1913, lalu lolosnya Dutch East Indies (nama lama Indonesia) ke Piala Dunia 1938 dan kehebohan buatan Korea Utara saat melibas Italia di Piala Dunia 1966, sampai munculnya sejarah fenomenal bin spektakuler Korea Selatan tatkala nyelonong ke semifinal Piala Dunia 2002, pesta sepak bola dunia pertama di wilayah Asia, progresivitas persepak-bolaan kontinen ini makin terarah meski tetap terbilang lambat. Berikut sebelas tonggak perjalanan persepak-bolaan Asia di percaturan dunia.
👉 April 1913 di Manila, Filipina, diadakan The Far Eastern Games yang menjadi cikal bakal kejuaraan sepak bola pertama di Asia. Filipina menjadi juara pertama kali usai mengalahkan Cina 2-1 di final. Di era-era berikutnya sampai 1934, Cina mendominasi turnamen dengan 9 kali menjadi juara, termasuk menjadi juara bersama dengan Jepang pada 1930.
👉 Pada 1938, atas campur tangan pemerintahan kolonial Belanda dan belum terciptanya iklim perkembangan sepak bola bangsa-bangsa Asia, membawa keberuntungan bagi Dutch East Indies yang mewakili zona Asia ke Piala Dunia 1938 di Prancis.
👉 Pada 8 Mei 1954, tahun yang sama berdirinya UEFA di Eropa, 12 negara Asia - Afghanistan, Myanmar, Taiwan, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Pakistan, Filipina, Singapura, dan Vietnam - sepakat mendirikan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) di Manila. Man Kam Loh dari Hong Kong terpilih sebagai presiden pertama AFC.
👉 Pada 1956, diselenggarakan Piala Asia pertama di Hong Kong dengan 12 peserta. Korea Selatan menjadi juara pertama kali usai mengatasi Israel di final.
👉 Pada 25 November 1961, seorang pemain asal Hong Kong, Cheung Chi-doy, mencetak sejarah setelah menciptakan gol di Premier League (Divisi 1) untuk Blackpool saat melawan Sheffield Wednesday.
👉 Pada 30 Mei 1965, Malaysia mengalahkan Hong Kong dalam sebuah pertandingan sepak bola wanita Asia pertama. Selang satu dekade, AFC Women's Championship digelar pertama kali dan dimenangi Thailand setelah mengatasi Hong Kong, Singapura, Malaysia, Australia, dan Selandia Baru di final. Pada 1991, Cina menuai sejarah saat menjadi host Piala Dunia Wanita. Sayang di final mereka kalah dari AS.
👉 Pada 1979, turnamen kelas dunia pertama diadakan di Asia. Jepang menjadi tuan rumah FIFA World Youth Championship, kejuaraan yang kelak melahirkan legenda dunia, Diego Armando Maradona. Argentina meraih juara pertama kali. Pada 1985, giliran Cina menjadi tuan rumah pertama FIFA U-17 World Championship yang dimenangi Nigeria. Kejuaraan kelas dunia ketiga di Asia lagi-lagi digelar di Jepang, yang bersama Korea Selatan menjadi tuan rumah World Cup 2002.
👉 Pada 1980, penyerang top Korea Selatan, Cha Bum-keun, menjadi orang Asia pertama yang memenangi trofi Eropa setelah membawa Eintracht Frankfurt menjuarai Piala UEFA. Cha tampil di Bundesliga selama 8 musim dengan rekor 308 kali main dan 98 gol, termasuk di klub terakhirnya, Bayer Leverkusen.
👉 Pada 1994, usai aksi gemilangnya di Piala Dunia 1994 di AS, striker Arab Saudi, Said Owayran, memenangkan pemilihan Pemain Asia Terbaik (AFC Player of the Year Award) pertama kali. Golnya ke gawang Belgia, dengan menjelajahi setengah lapangan dan menaklukkan setengah para pemain lawan, menjadi salah satu The World Cup's Greatest Goals hingga kini. Sejajar dengan greatest goal ciptaan Diego Maradona tatkala mencetak gol kedua ke gawang Inggris di Piala Dunia 1986 di Meksiko.
👉 Pada Maret 1999, Iran menjuarai AFC Futsal Championship pertama di Malaysia. Di final mereka menghancurkan Korea Selatan 9-1.
👉 Pada Oktober 2003, klub asal Uni Emirat Arab, Al-Ain, menjuarai AFC Champions League pertama kali. Klub ini dilatih oleh Bruno Metsu, pria asal Prancis yang pada tahun sebelumnya mempermalukan negaranya sendiri tatkala tim asuhannya, Senegal, mengalahkan si juara dunia Les Bleus 1-0 lewat gol Papa Bouba-Diop.
(foto: footballaustralia)