Menjelang undian kualifikasi grup Piala Dunia 2006, Desember 2003 silam di Frankfurt, pria berkuasa yang menguasai bahasa Inggris, Spanyol, Prancis, Italia, plus Jerman ini tiba-tiba mengecam perilaku “orang-orang Eropa” pada orang-orang Afrika di depan elite UEFA. Waw, ada apa dan mengapa dia sampai nekat bertindak begitu?
Konkretnya, Sepp Blatter geram dengan kelakuan klub top Eropa yang mencomot bakat-bakat Afrika secara serampangan. “Saya lihat ada yang tidak sehat, kalau tak pantas disebut kekejian, ketika klub kaya mengirim pencari bakat untuk cari pemain di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia dengan cara memberi harapan. Setelah dilatih serius, mereka memainkan (politik) uang saat pemain tadi tertimpa kesulitan,” jelas Blatter berapi-api.
Yang paling banyak jadi korban, siapa lagi kalau bukan Benua Hitam. Tak terhitung berapa anak-anak Afrika yang dieksploitasi besar-besaran oleh agen-agen yang berstatus unscrupulous, tak bermoral. Dalam kolomnya di The Financial Times, pria kelahiran 10 Maret 1936 ini berani menyebut frasa Football Slavery alias perbudakan sepak bola (oleh Eropa)!
Buat negara-negara dunia ketiga, Blatter adalah pahlawan mereka. Dia punya moto “Football for All, All for Football”. Visinya adalah tiada hari tanpa modernisasi sepak bola, dan tentu saja keadilan untuk semua manusia. Kapasitas jabatannya melebihi seorang pemimpin negara mana pun karena sebagai capo di cappi tutti (bos dari segala bos), dia adalah presiden dari 204 negara sejagat. Jadi kekuatan dan kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengubah keadaan amat mumpuni. Ironisnya, realitanya tidak begitu.
Joseph “Sepp” Blatter (68) mengaku saban hari selalu menemukan permasalahan di sepak bola yang juga menjadi misinya. Dan orang Swiss ini tampak pro anti-kemapanan. Perkembangan sepak bola di Monserrat atau Ethiopia, wasit yang curang, klub yang tak membayar gaji pemainnya, transfer terselubung, kasus doping Rio Ferdinand, sampai kasus kematian pesepak bola. Karena harus terus berada di tengah-tengah, jika ombak ada di kiri ia harus membanting kapal (FIFA) ke kanan dan sebaliknya, akhirnya Blatter rentan dimusuhi segala pihak mulai orang per orang, pelatih, bos klub, perusahaan, bahkan negara!
Bahkan dengan UEFA, dia tidak akur. Blatter sering bersilat lidah dengan Presiden Lennart Johansson. Maklum, konotasi UEFA adalah profesional, kapitalis, uang alias cari untung. Sementara itu, FIFA condong amatir, penyamarataan, mengarah ke sosialisme. Itulah yang membuat Blatter - suksesor Dr. Joao Havelange sejak 8 Juni 1998 - lebih populer di kalangan proletar ketimbang borjuis.
“Istilah perbudakan sepak bola adalah gambaran seorang pemain bola yang di akhir karier jatuh miskin dan tak punya cukup uang untuk membiayai kehidupannya yang jauh dari Tanah Air-nya,” papar eks pesepak bola Liga Amatir Swiss di era 1948-71 itu. Blatter menuduh klub kaya Eropa telah memperkosa hak-hak sosial dan ekonomi para pemain Afrika dengan berbungkus membangun dunia untuk bakat dan hiburan atau industri. Jika terlalu berorientasi market, kehormatan, dan integritas berada di ujung tanduk.
Munculnya tarik-ulur antara klub Eropa dan negara-negara Afrika menjelang Piala Afrika 2004 membuktikan teori Blatter benar. Tunisia harus berterima kasih pada bos besar FIFA ini yang mengancam akan menghukum klub-klub Inggris jika tak melepas pemain Afrika untuk membela negaranya. “Kelakuan klub-klub kaya Eropa itu seperti neokolonialis, penjajahan baru, yang merampok warisan dan budaya munculnya pemain-pemain hebat di belahan dunia. Jika tak waspada, sepak bola akan menjadi sebuah permainan ketamakan. Saya akan lawan itu sekuat tenaga,” janji Blatter.
Identitas Eropa
Andaikata Anda adalah bagian dari sebuah klub yang begitu digdaya, maka Anda tentu saja bangga dan puas. Perasaan lain akan muncul jika anda berada di pihak yang disetir uang. Ingat kasus Kaka, yang tidak boleh dijamah tim nasional Brasil oleh AC Milan? Pekerjaan rumah Blatter tampaknya masih menumpuk.
Memang sudah seharusnya Eropa, dan juga sebagian Amerika Latin, tak boleh menyepelekan Afrika. Banyak fakta tersaji bahwa kehebatan beberapa negara di dua kontinen itu didongkrak oleh putra-putra Afrika. Siapa yang paling berpengaruh menjadikan Prancis juara dunia pertama kalinya pada 1998? Zinedine Zidane ‘kan? Dari mana dia? Aljazair, negara di Afrika Utara.
Lalu masih ingatkah anda akan gol emas Basile Boli, yang mengantar Olympique Marseille sebagai klub pertama Prancis yang menjuarai Liga Champion edisi perdana pada 1992/93? Boli adalah bek kenamaan Les Bleus asal Pantai Gading. Siapa yang melesatkan reputasi Benfica, bahkan tim nasional Portugal di era 1960-an? Jelas Eusebio Ferreira. Legenda hidup Portugis ini diadopsi langsung dari tanah leluhurnya, Mosambik, yang berada di pusat Benua Hitam.
Di pentas Liga Champion 1961/62, dua gol terakhir Eusebio menamatkan perlawanan klub 'bule' Real Madrid 5-3 di Amsterdam, 2 Mei 1962. Di Piala Dunia 1966, Portugal mencatat prestasi sempurna dalam penyisihan grup. Hongaria disikat 3-1, Bulgaria 3-0, dan Brasil 3-1! Lalu ia bikin empat gol beruntun dan menang 5-3 atas Korea Utara. Akhirnya, satu gol Eusebio ke gawang Lev Yashin (Uni Soviet) di final tiga-empat memberi titel terbaik Portugal sampai sekarang.
Kalau mau jujur, kehebatan Brasil sampai sekarang juga berkat Afrika. Sebagai jajahannya, Portugal mendatangkan budak-budak dari koloninya di Afrika seperti Mozambik atau Angola. Dari moyang mereka, lahirlah Pele, Leonidas, Garrincha, dan seterusnya. Di era modern, pemain ber-DNA Afrika makin bertebaran. Marcel Desailly misalnya yang asli orang Ghana. Tapi, dialah pemegang cap terbanyak Les Bleus, 112 kali (terakhir 18/2 vs Belgia), ketimbang putra asli Prancis yang juga menjadi kapten, Didier Deschamps (103).
Banyak alasan mereka sampai menukar kewarganegaraan. Ada yang dibajak seperti Eusebio Ferreira dulu sampai yang termuda, Freddy Adu, anak Ghana berumur 14 tahun yang digaet Amerika Serikat. Tapi, dalih terbanyak adalah profesionalitas dan gengsi, yang ujung-ujungnya soal persamaan hak. Jika ingin maju, ingin lebih sukses, ingin punya kesempatan dan hak apa saja, bermainlah dan jadilah warga Eropa!
Tapi tak semua anak Afrika bersikap sama. Frederic Kanoute memulangkan paspor Prancis dan menerima Mali sebagai negara yang harus diabdinya. Luar biasa. Tapi di masa depan, kisah Kanoute hanya jadi cerita langka.
Yang ada malah kebalikannya. Di kemudian hari bakal semakin banyak anak-anak Afrika akan dipaksa, atau terpaksa, harus ber-KTP Eropa. Menyanyikan lagu kebangsaan negeri baru, mengenakan simbol yang tidak cocok di seragam sampai berlagak-lagu ala bule. Untuk keberlangsungan hidup atau memuja passion, mereka akan begitu. Menjual identitas lama demi identitas baru. Apa mau dikata, bukankah mereka lebih meyakini hukum ‘terkuat’ di bumi, hak asasi manusia?
EROPANISASI AFRIKA
ALJAZAIR: Zinedine Zidane (Prancis); AFRIKA SELATAN Sean Dundee (Jerman); SENEGAL Patrick Vieira (Prancis), Ibrahim Ba (Prancis), David Bellion (Prancis); KONGO Claude Makelele (Prancis), Peguy Luyindula (Prancis), Blaise N'Kufo (Swiss), Emile Mpenza (Belgia), Mbo Mpenza (Belgia), Kiki Musampa (Belanda), Ali Maboula Lukunku (Prancis), Gaby Mudingayi (Belgia), Patrick Dimbala (Belgia), Vincent Kompany (Belgia); GHANA Freddy Adu (AS), Gerald Asamoah (Jerman), Marcel Desailly (Prancis), George Boateng (Belanda), Eric Ofori Okyere (Belgia), Daniel Ofori Okyere (Belgia); NIGERIA Emmanuel Olisadebe (Polandia), Okonkwo Digger Ifeani (Malta), Shola Ameobi (Inggris), Ugo Chukwu Ehiogu (Inggris), Ade Akinbiyi (Inggris), George Ndah (Inggris); PANTAI GADING Olivier Kapo (Prancis), Djibril Cisse (Prancis); KAMERUN Jean Alain Boumsong (Prancis), Charles Itanje (Prancis), Bruno N'Gotty (Prancis), Pascal Nouma (Prancis); TUNISIA Sabri Lamouchi (Prancis); MESIR Rami Shabaan (Swedia); SIERRA LEONE Carlton Cole (Inggris); SOMALIA Fabio Liverani (Italia); ETHIOPIA Youssouf Hersi (Belanda); ZAMBIA Robert Earnshaw (Wales); MOZAMBIK Abel Xavier (Portugal); MAROKO Yassine Benajiba (Belgia); GAMBIA John Alieu Carew (Norwegia).
(foto: swiss.info/news.yahoo/sofoot)
Konkretnya, Sepp Blatter geram dengan kelakuan klub top Eropa yang mencomot bakat-bakat Afrika secara serampangan. “Saya lihat ada yang tidak sehat, kalau tak pantas disebut kekejian, ketika klub kaya mengirim pencari bakat untuk cari pemain di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia dengan cara memberi harapan. Setelah dilatih serius, mereka memainkan (politik) uang saat pemain tadi tertimpa kesulitan,” jelas Blatter berapi-api.
Yang paling banyak jadi korban, siapa lagi kalau bukan Benua Hitam. Tak terhitung berapa anak-anak Afrika yang dieksploitasi besar-besaran oleh agen-agen yang berstatus unscrupulous, tak bermoral. Dalam kolomnya di The Financial Times, pria kelahiran 10 Maret 1936 ini berani menyebut frasa Football Slavery alias perbudakan sepak bola (oleh Eropa)!
Buat negara-negara dunia ketiga, Blatter adalah pahlawan mereka. Dia punya moto “Football for All, All for Football”. Visinya adalah tiada hari tanpa modernisasi sepak bola, dan tentu saja keadilan untuk semua manusia. Kapasitas jabatannya melebihi seorang pemimpin negara mana pun karena sebagai capo di cappi tutti (bos dari segala bos), dia adalah presiden dari 204 negara sejagat. Jadi kekuatan dan kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengubah keadaan amat mumpuni. Ironisnya, realitanya tidak begitu.
Joseph “Sepp” Blatter (68) mengaku saban hari selalu menemukan permasalahan di sepak bola yang juga menjadi misinya. Dan orang Swiss ini tampak pro anti-kemapanan. Perkembangan sepak bola di Monserrat atau Ethiopia, wasit yang curang, klub yang tak membayar gaji pemainnya, transfer terselubung, kasus doping Rio Ferdinand, sampai kasus kematian pesepak bola. Karena harus terus berada di tengah-tengah, jika ombak ada di kiri ia harus membanting kapal (FIFA) ke kanan dan sebaliknya, akhirnya Blatter rentan dimusuhi segala pihak mulai orang per orang, pelatih, bos klub, perusahaan, bahkan negara!
Bahkan dengan UEFA, dia tidak akur. Blatter sering bersilat lidah dengan Presiden Lennart Johansson. Maklum, konotasi UEFA adalah profesional, kapitalis, uang alias cari untung. Sementara itu, FIFA condong amatir, penyamarataan, mengarah ke sosialisme. Itulah yang membuat Blatter - suksesor Dr. Joao Havelange sejak 8 Juni 1998 - lebih populer di kalangan proletar ketimbang borjuis.
“Istilah perbudakan sepak bola adalah gambaran seorang pemain bola yang di akhir karier jatuh miskin dan tak punya cukup uang untuk membiayai kehidupannya yang jauh dari Tanah Air-nya,” papar eks pesepak bola Liga Amatir Swiss di era 1948-71 itu. Blatter menuduh klub kaya Eropa telah memperkosa hak-hak sosial dan ekonomi para pemain Afrika dengan berbungkus membangun dunia untuk bakat dan hiburan atau industri. Jika terlalu berorientasi market, kehormatan, dan integritas berada di ujung tanduk.
Munculnya tarik-ulur antara klub Eropa dan negara-negara Afrika menjelang Piala Afrika 2004 membuktikan teori Blatter benar. Tunisia harus berterima kasih pada bos besar FIFA ini yang mengancam akan menghukum klub-klub Inggris jika tak melepas pemain Afrika untuk membela negaranya. “Kelakuan klub-klub kaya Eropa itu seperti neokolonialis, penjajahan baru, yang merampok warisan dan budaya munculnya pemain-pemain hebat di belahan dunia. Jika tak waspada, sepak bola akan menjadi sebuah permainan ketamakan. Saya akan lawan itu sekuat tenaga,” janji Blatter.
Identitas Eropa
Andaikata Anda adalah bagian dari sebuah klub yang begitu digdaya, maka Anda tentu saja bangga dan puas. Perasaan lain akan muncul jika anda berada di pihak yang disetir uang. Ingat kasus Kaka, yang tidak boleh dijamah tim nasional Brasil oleh AC Milan? Pekerjaan rumah Blatter tampaknya masih menumpuk.
Memang sudah seharusnya Eropa, dan juga sebagian Amerika Latin, tak boleh menyepelekan Afrika. Banyak fakta tersaji bahwa kehebatan beberapa negara di dua kontinen itu didongkrak oleh putra-putra Afrika. Siapa yang paling berpengaruh menjadikan Prancis juara dunia pertama kalinya pada 1998? Zinedine Zidane ‘kan? Dari mana dia? Aljazair, negara di Afrika Utara.
Lalu masih ingatkah anda akan gol emas Basile Boli, yang mengantar Olympique Marseille sebagai klub pertama Prancis yang menjuarai Liga Champion edisi perdana pada 1992/93? Boli adalah bek kenamaan Les Bleus asal Pantai Gading. Siapa yang melesatkan reputasi Benfica, bahkan tim nasional Portugal di era 1960-an? Jelas Eusebio Ferreira. Legenda hidup Portugis ini diadopsi langsung dari tanah leluhurnya, Mosambik, yang berada di pusat Benua Hitam.
Di pentas Liga Champion 1961/62, dua gol terakhir Eusebio menamatkan perlawanan klub 'bule' Real Madrid 5-3 di Amsterdam, 2 Mei 1962. Di Piala Dunia 1966, Portugal mencatat prestasi sempurna dalam penyisihan grup. Hongaria disikat 3-1, Bulgaria 3-0, dan Brasil 3-1! Lalu ia bikin empat gol beruntun dan menang 5-3 atas Korea Utara. Akhirnya, satu gol Eusebio ke gawang Lev Yashin (Uni Soviet) di final tiga-empat memberi titel terbaik Portugal sampai sekarang.
Kalau mau jujur, kehebatan Brasil sampai sekarang juga berkat Afrika. Sebagai jajahannya, Portugal mendatangkan budak-budak dari koloninya di Afrika seperti Mozambik atau Angola. Dari moyang mereka, lahirlah Pele, Leonidas, Garrincha, dan seterusnya. Di era modern, pemain ber-DNA Afrika makin bertebaran. Marcel Desailly misalnya yang asli orang Ghana. Tapi, dialah pemegang cap terbanyak Les Bleus, 112 kali (terakhir 18/2 vs Belgia), ketimbang putra asli Prancis yang juga menjadi kapten, Didier Deschamps (103).
Banyak alasan mereka sampai menukar kewarganegaraan. Ada yang dibajak seperti Eusebio Ferreira dulu sampai yang termuda, Freddy Adu, anak Ghana berumur 14 tahun yang digaet Amerika Serikat. Tapi, dalih terbanyak adalah profesionalitas dan gengsi, yang ujung-ujungnya soal persamaan hak. Jika ingin maju, ingin lebih sukses, ingin punya kesempatan dan hak apa saja, bermainlah dan jadilah warga Eropa!
Tapi tak semua anak Afrika bersikap sama. Frederic Kanoute memulangkan paspor Prancis dan menerima Mali sebagai negara yang harus diabdinya. Luar biasa. Tapi di masa depan, kisah Kanoute hanya jadi cerita langka.
Yang ada malah kebalikannya. Di kemudian hari bakal semakin banyak anak-anak Afrika akan dipaksa, atau terpaksa, harus ber-KTP Eropa. Menyanyikan lagu kebangsaan negeri baru, mengenakan simbol yang tidak cocok di seragam sampai berlagak-lagu ala bule. Untuk keberlangsungan hidup atau memuja passion, mereka akan begitu. Menjual identitas lama demi identitas baru. Apa mau dikata, bukankah mereka lebih meyakini hukum ‘terkuat’ di bumi, hak asasi manusia?
EROPANISASI AFRIKA
ALJAZAIR: Zinedine Zidane (Prancis); AFRIKA SELATAN Sean Dundee (Jerman); SENEGAL Patrick Vieira (Prancis), Ibrahim Ba (Prancis), David Bellion (Prancis); KONGO Claude Makelele (Prancis), Peguy Luyindula (Prancis), Blaise N'Kufo (Swiss), Emile Mpenza (Belgia), Mbo Mpenza (Belgia), Kiki Musampa (Belanda), Ali Maboula Lukunku (Prancis), Gaby Mudingayi (Belgia), Patrick Dimbala (Belgia), Vincent Kompany (Belgia); GHANA Freddy Adu (AS), Gerald Asamoah (Jerman), Marcel Desailly (Prancis), George Boateng (Belanda), Eric Ofori Okyere (Belgia), Daniel Ofori Okyere (Belgia); NIGERIA Emmanuel Olisadebe (Polandia), Okonkwo Digger Ifeani (Malta), Shola Ameobi (Inggris), Ugo Chukwu Ehiogu (Inggris), Ade Akinbiyi (Inggris), George Ndah (Inggris); PANTAI GADING Olivier Kapo (Prancis), Djibril Cisse (Prancis); KAMERUN Jean Alain Boumsong (Prancis), Charles Itanje (Prancis), Bruno N'Gotty (Prancis), Pascal Nouma (Prancis); TUNISIA Sabri Lamouchi (Prancis); MESIR Rami Shabaan (Swedia); SIERRA LEONE Carlton Cole (Inggris); SOMALIA Fabio Liverani (Italia); ETHIOPIA Youssouf Hersi (Belanda); ZAMBIA Robert Earnshaw (Wales); MOZAMBIK Abel Xavier (Portugal); MAROKO Yassine Benajiba (Belgia); GAMBIA John Alieu Carew (Norwegia).
(foto: swiss.info/news.yahoo/sofoot)