Bem-Vindo! Ini liputan internasional saya setelah empat tahun. Tidak tanggung-tanggung, yang saya kunjungi adalah bekas musuh bebuyutan terakhir bangsa kita, Portugal. Apalagi dengan negeri yang semasih saya SD dulu disebut Portugis, hubungan diplomatik baru dibuka lagi oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada 2001.
Tapi memperkenalkan diri dari Indonesia cukup sakti juga. Mereka tak merasa aneh mendengarnya, tapi jangan mengharap dapat senyum Pepsodent. Yang pasti mereka biasanya melongo. Agaknya gara-gara isu Timor Timur membuat bangsa Portugal tak akan lupa tujuh turunan dengan Indonesia. Banyak kesan di negara yang cuma berbatasan dengan Spanyol dan Lautan Atlantik ini.
Saya sempat menduga akan mendapat penjagaan zona marking begitu mendarat di Lisbon (28/11). Maklumlah, ini pertama kali Portugal menyelenggarakan Piala Eropa. Saya pikir, faktor keamanan, yang di seluruh jagat kini menjadi super-VVIP, juga dimulai dari sana.
Nyatanya tidak. Kondisi Aeroporto de Lisboa, bandara Lisbon, rada mencengangkan. Petugas keamanan tak terlihat pagi itu. Apakah mereka menggunakan intel? Saya tak yakin. Pasalnya ketika ada seorang negro yang mabuk, tak satupun polisi terlihat sampai akhirnya pria itu ngeloyor pergi sendiri. Padahal beberapa turis Belanda sudah salah tingkah.
Saya masih ingat bagaimana siaganya polisi Prancis sebelum menyelenggarakan Piala Dunia 1998 setahun lebih sebelumnya saat Tournoi de France. Kemana saja pergi harus melalui detektor. Tapi terus terang sih, kondisi itu malah melegakan saya jika mengingat ketatnya mengurus visa di Kedubes Portugal di Menteng.
Dis-komunikasi, mis-informasi saat aktivitas cukup terasa. Ini merembet di Pavilhao Atlantico, pusat acara. Ada jurnalis Prancis yang sampai nyasar atau telat saat mengambil akreditasi. Press-release hanya ada dalam bahasa Inggris dan Portugal. Bahasa Spanyol, Prancis, Jerman, apalagi Indonesia, maaf-maaf saja, tidak dianggap! Padahal dua bahasa resmi lain di sepak bola selain Inggris adalah Prancis atau Spanyol.
Di benua biru yang berbahasa Portuguese memang cuma Portugal. Di luar Eropa, ada Brasil, Angola, Makau atau... Timor Leste! Saya jadi ingat betapa fasihnya seorang bermata sipit mewawancarai Nuno Gomes. Dan memang, wartawan itu berasal dari eks koloni Portugal yang sudah dikembalikan ke Cina pada 1999 itu.
Yang mengagetkan, beberapa volunteer banyak yang payah. Membedakan ID-Card saja sering salah. Untunglah pada persiapan final drawing EURO-2004 itu tidak didominasi oleh tuan rumah, kecuali petugas keamanan. Banyak officer UEFA yang datang dari Prancis, Belanda dan Swedia yang lebih ramah dan informatif. Kultur memegang peranan penting pada kesiapan Portugal menggelar Piala Eropa.
Selain soal bahasa, sikap menutup diri tapi over-confident mendominasi kehidupan sehari-hari. Masyarakat seperti tak mau tahu bagaimana kredibilitas negaranya dipertaruhkan bukan saja di atas rumput hijau, tapi juga secara profesional keseluruhan. Jika bicara soal EURO-2004, tanpa ditanya ujung-ujungnya mereka bilang: "Kami akan juara!"
Ketika Pele dan Eusebio menghadiri acara AllFootball, semacam bazaar, pengunjung menyemut dari anak-anak sampai kakek-nenek. Sambil terengah-engah dan acapkali menunduk, Eusebio bilang: "Saya amat letih seperti habis bertanding!" Tapi tatkala ada Johan Cruijff, warga sana biasa saja. Legenda hidup totaal-voetbal ini malah diserbu wartawan non-Portugal, termasuk saya yang merasa mendapatkan kesempatan superlangka.
Mereka hanya menonton dari kejauhan. Tidak mengejar-ngejarnya seperti kepada Pele dan Eusebio untuk sekedar menyentuhnya atau menyalaminya. Namun kenangan saya pada Portugal adalah menikmati betul bertemu tiga legenda dunia yang di waktu kecil hanya bisa saya lihat dari potongan koran atau cuplikan di televisi: Pele, Cruijff, dan Eusebio!
Lalu apa yang bikin kagum pada persiapan tuan rumah Piala Eropa ke-12 itu? Selain stadion, ada tiga kata: teknologi informasi, akomodasi, dan transportasi. Bisa dibilang ini yang siap pada 193 hari menjelang EURO-2004. Dan buat wartawan, jelas, ini paling melegakan. Mahal menjadi nomor dua, yang penting urusan kerjaan lancar.
Sebagian besar hotel di Portugal baru dibangun dan fasilitasnya canggih. Jauh misalnya dibandingkan dengan di Italia yang tua dan kuno. Beberapa lagi sedang tahap pembangunan. Begitu juga transportasi kota, bus, taksi dan subway. Ini yang menjadikan kota Lisboa tampak berantakan karena banyak pekerjaan di sana-sini.
(dokumentasi: arief natakusumah)
Tapi memperkenalkan diri dari Indonesia cukup sakti juga. Mereka tak merasa aneh mendengarnya, tapi jangan mengharap dapat senyum Pepsodent. Yang pasti mereka biasanya melongo. Agaknya gara-gara isu Timor Timur membuat bangsa Portugal tak akan lupa tujuh turunan dengan Indonesia. Banyak kesan di negara yang cuma berbatasan dengan Spanyol dan Lautan Atlantik ini.
Saya sempat menduga akan mendapat penjagaan zona marking begitu mendarat di Lisbon (28/11). Maklumlah, ini pertama kali Portugal menyelenggarakan Piala Eropa. Saya pikir, faktor keamanan, yang di seluruh jagat kini menjadi super-VVIP, juga dimulai dari sana.
Nyatanya tidak. Kondisi Aeroporto de Lisboa, bandara Lisbon, rada mencengangkan. Petugas keamanan tak terlihat pagi itu. Apakah mereka menggunakan intel? Saya tak yakin. Pasalnya ketika ada seorang negro yang mabuk, tak satupun polisi terlihat sampai akhirnya pria itu ngeloyor pergi sendiri. Padahal beberapa turis Belanda sudah salah tingkah.
Saya masih ingat bagaimana siaganya polisi Prancis sebelum menyelenggarakan Piala Dunia 1998 setahun lebih sebelumnya saat Tournoi de France. Kemana saja pergi harus melalui detektor. Tapi terus terang sih, kondisi itu malah melegakan saya jika mengingat ketatnya mengurus visa di Kedubes Portugal di Menteng.
Dis-komunikasi, mis-informasi saat aktivitas cukup terasa. Ini merembet di Pavilhao Atlantico, pusat acara. Ada jurnalis Prancis yang sampai nyasar atau telat saat mengambil akreditasi. Press-release hanya ada dalam bahasa Inggris dan Portugal. Bahasa Spanyol, Prancis, Jerman, apalagi Indonesia, maaf-maaf saja, tidak dianggap! Padahal dua bahasa resmi lain di sepak bola selain Inggris adalah Prancis atau Spanyol.
Di benua biru yang berbahasa Portuguese memang cuma Portugal. Di luar Eropa, ada Brasil, Angola, Makau atau... Timor Leste! Saya jadi ingat betapa fasihnya seorang bermata sipit mewawancarai Nuno Gomes. Dan memang, wartawan itu berasal dari eks koloni Portugal yang sudah dikembalikan ke Cina pada 1999 itu.
Yang mengagetkan, beberapa volunteer banyak yang payah. Membedakan ID-Card saja sering salah. Untunglah pada persiapan final drawing EURO-2004 itu tidak didominasi oleh tuan rumah, kecuali petugas keamanan. Banyak officer UEFA yang datang dari Prancis, Belanda dan Swedia yang lebih ramah dan informatif. Kultur memegang peranan penting pada kesiapan Portugal menggelar Piala Eropa.
Selain soal bahasa, sikap menutup diri tapi over-confident mendominasi kehidupan sehari-hari. Masyarakat seperti tak mau tahu bagaimana kredibilitas negaranya dipertaruhkan bukan saja di atas rumput hijau, tapi juga secara profesional keseluruhan. Jika bicara soal EURO-2004, tanpa ditanya ujung-ujungnya mereka bilang: "Kami akan juara!"
Ketika Pele dan Eusebio menghadiri acara AllFootball, semacam bazaar, pengunjung menyemut dari anak-anak sampai kakek-nenek. Sambil terengah-engah dan acapkali menunduk, Eusebio bilang: "Saya amat letih seperti habis bertanding!" Tapi tatkala ada Johan Cruijff, warga sana biasa saja. Legenda hidup totaal-voetbal ini malah diserbu wartawan non-Portugal, termasuk saya yang merasa mendapatkan kesempatan superlangka.
Mereka hanya menonton dari kejauhan. Tidak mengejar-ngejarnya seperti kepada Pele dan Eusebio untuk sekedar menyentuhnya atau menyalaminya. Namun kenangan saya pada Portugal adalah menikmati betul bertemu tiga legenda dunia yang di waktu kecil hanya bisa saya lihat dari potongan koran atau cuplikan di televisi: Pele, Cruijff, dan Eusebio!
Lalu apa yang bikin kagum pada persiapan tuan rumah Piala Eropa ke-12 itu? Selain stadion, ada tiga kata: teknologi informasi, akomodasi, dan transportasi. Bisa dibilang ini yang siap pada 193 hari menjelang EURO-2004. Dan buat wartawan, jelas, ini paling melegakan. Mahal menjadi nomor dua, yang penting urusan kerjaan lancar.
Sebagian besar hotel di Portugal baru dibangun dan fasilitasnya canggih. Jauh misalnya dibandingkan dengan di Italia yang tua dan kuno. Beberapa lagi sedang tahap pembangunan. Begitu juga transportasi kota, bus, taksi dan subway. Ini yang menjadikan kota Lisboa tampak berantakan karena banyak pekerjaan di sana-sini.
(dokumentasi: arief natakusumah)