Meroketnya Chievo telah mencengangkan banyak pihak. Semua orang bertanya-tanya, kenapa mereka bisa membuat kejutan dengan sempat menggenggam capolista selama 4 pekan? Apa rahasianya? Yang pertama, tentu saja kehebatan strategi il tecnico Luigi Del Neri.
Orang yang tengah dipikir-pikir Juventus untuk digaet menggantikan Marcello Lippi ini ternyata sosok pelatih yang perfetto, sempurna. Ia piawai memompa motivasi timnya, bahkan dengan materi ala kadarnya dalam naungan sebuah klub tanpa cerita, tanpa tradisi! Yang kedua? Nah, ini dia.
Untuk melaksanakan ide-idenya, Del Neri tentu perlu kepanjangan-tangannya di lapangan. Ia tak salah pilih menunjuk Eugenio Corini sebagai il capitano, sang komandan lapangan merangkap tokoh fantasista klub yang berdiri pada 1929 di musim ini. Inilah sebenarnya kunci sukses Chievo. Sosok Corini patut dicermati. Buat pencinta Serie A yang masih remaja, wajar bertanya-tanya siapakah dia sebenarnya? Putra daerah asli Brescia ini bukan barang baru di Lega Calcio. Kiprahnya terbilang agak veteran. Sayangnya, kemunculan pertamanya pada waktu itu sungguh tidak tepat sebab Serie A lagi booming tokoh-tokoh brilyan satu posisi dengannya. Corini mencuat pertama kali tatkala bergabung dengan Juventus di awal 90-an.
Namanya sempat gencar dikipas pers Italia sebagai Stella Aumentante alias bintang masa depan. Meski di sana masih bercokol Roberto Baggio, Thomas Haessler, atau Giancarlo Marocchi, ia langsung merebut perhatian umat. Di Juve, Corini cukup diandalkan pelatih Luigi 'Gigi' Maifredi sebagai cadangan Baggio atau Haessler.
Sayangnya kesempatan itu tidak berlangsung lama. Ia keburu dijual ke Sampdoria setelah para talent-scouting Juventus menemukan dua Stella Aumentante lain yang tengah berkeliaran di Serie B bersama Padova, Alessio Tacchinardi dan Alessandro Del Piero!
Kerasnya persaingan talenta-talenta muda dan para protagonista di tubuh Si Nyonya Besar membuat sosok Corini tersingkir, tanpa mendapat kesempatan berlebih. Namun berkat bakat dan kemampuan yang menyatu dengan jiwanya, menjadikan kepercayaan diri Corini memang luar biasa. Celakanya, di tempat baru ujian hidupnya kembali datang.
Di Sampdoria kiprahnya jelas keteteran dengan Roberto Mancini. Begitu juga waktu bergabung di Napoli. Di sini nama Gianfranco Zola - yang dijuluki Marazola dan digadang-gadang sebagai maestro baru pengganti Diego Maradona - sedang harum merekah. Akibatnya Corini hanya mendapat kesempatan 17 kali main membela Napoli.
Akhirnya ia mudik lagi ke kampung halamannya. Namun baru semusim membela Brescia lagi, Piacenza terpincut dengannya. Di sini dia juga hanya kuat semusim lantaran peran yang dilakoninya tak sesuai dengan kemampuan dan karakter dirinya. Di Piacenza-lah Corini mencatatkan rekor disiplin terburuk dengan 8 kartu kuning dan sekali kartu merah. Semua itu akibat peran yang harus dilakoninya: sebagai gelandang bertahan.
Angin Kedua
Tawakal dengan cobaan hidupnya, perjalanan karier Corini mulai bersinar lagi tatkala direkrut Verona. Dia begitu puas menikmati permainannya. Dia seperti mendapat angin kedua. Buktinya dia betah sampai tiga musim hingga 1998/99. "Verona adalah tempat di mana saya merasa hidup kembali. Saya pikir saya telah mengambil keputusan tepat mau pindah ke sini," kenang si spesialis penalti dan bola-bola mati ini.
Ya di citta delta Romeo e Giuletta storia, kota asal cerita kisah romantika Romeo dan Juliet inilah pangkal awal kebangkitan kariernya. Walau sempat membuat membuat murka tifosi Verona lantaran dia pindah ke Chievo, klub tetangga sebelah yang selalu rawan konflik, namun berkat kematangan hidupnya dia tenang dalam mengambil keputusan berikut.
Alasan kepindahan ke Chievo, klub yang waktu itu baru saja promosi, sangat jelas: Corini mulai 'disingkirkan' di musim terakhirnya bersama klub yang meraih scudetto pada 1984/85 itu. "Dalam sepak bola, saya memahami arti kerja keras. Saya telah melewati masa-masa sulit dan kini merasakan kepuasan," tutur Corini, setelah mapan bersama Chievo.
"Target kami cuma ingin bertahan di Serie A. Tak masuk akal jika Chievo berambisi sama dengan Milan atau Juventus," sambungnya. Saat pindah ke Chievo, klub berjulukan Mussi Volanti alias Keledai Terbang, Corini berumur 29 tahun, usia yang cukup matang buat seorang pria. Satu hal yang amat menunjang atau membangkitkan kembali kiprahnya tiada lain berkat ciamiknya mercato yang dilakukan Chievo. Untuk itu dia angkat topi buat Luigi Campedelli, sang pemilik klub. Tanpa terasa, tiba-tiba Corini sudah empat tahun bersama Chievo.
Dia sangat diandalkan pelatih Luigi Del Neri, dan juga pemilik klub, dia lebih banyak untuk dijadikan patron atau model buat rekan-rekannya yang kebanyakan masih punya jam terbang minim. Saking masih 'kampungannya' para pemain Chievo berlaga di Serie A, konon lutut beberapa dari mereka sudah bergetar melihat kemegahan Stadion San Siro menjelang duelnya melawan AC Milan, Ahad (2/12) ini.
"Mereka nervous karena sejak awal saya katakan itulah tempat sesungguhnya ujian kalian," sebut Campedelli, bos Chievo yang bersosok mirip Bill Gates, mahajutawan pemilik Microsoft. Ah, untungnya ada Corini. Mau tak mau, di saat seperti inilah peran dan tugas Corini sangat dibutuhkan.
Fakta tak terbantahkan, hingga menjelang setengah putaran kompetisi, geliat Gialloblu banyak melahirkan decak kagum masyarakat dan pers lantaran permainan menawan dan posisi di tangga klasemen. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Eugenio Corini adalah jenderal lini tengah yang menjadi tokoh sukses Chievo sejauh ini.
DATA DIRI
Lahir: Bagnolo Mella (Brescia), 30 Juli 1970
Warganegara: Italia
Tinggi/Berat: 173 cm/73 kg
Debut Seria A: 21 Oktober 1990; Juventus vs Lazio 0-0
Posisi: Gelandang
Nomor Punggung: 5
Kontrak: Juni 2002
DATA KARIER
Orang yang tengah dipikir-pikir Juventus untuk digaet menggantikan Marcello Lippi ini ternyata sosok pelatih yang perfetto, sempurna. Ia piawai memompa motivasi timnya, bahkan dengan materi ala kadarnya dalam naungan sebuah klub tanpa cerita, tanpa tradisi! Yang kedua? Nah, ini dia.
Untuk melaksanakan ide-idenya, Del Neri tentu perlu kepanjangan-tangannya di lapangan. Ia tak salah pilih menunjuk Eugenio Corini sebagai il capitano, sang komandan lapangan merangkap tokoh fantasista klub yang berdiri pada 1929 di musim ini. Inilah sebenarnya kunci sukses Chievo. Sosok Corini patut dicermati. Buat pencinta Serie A yang masih remaja, wajar bertanya-tanya siapakah dia sebenarnya? Putra daerah asli Brescia ini bukan barang baru di Lega Calcio. Kiprahnya terbilang agak veteran. Sayangnya, kemunculan pertamanya pada waktu itu sungguh tidak tepat sebab Serie A lagi booming tokoh-tokoh brilyan satu posisi dengannya. Corini mencuat pertama kali tatkala bergabung dengan Juventus di awal 90-an.
Namanya sempat gencar dikipas pers Italia sebagai Stella Aumentante alias bintang masa depan. Meski di sana masih bercokol Roberto Baggio, Thomas Haessler, atau Giancarlo Marocchi, ia langsung merebut perhatian umat. Di Juve, Corini cukup diandalkan pelatih Luigi 'Gigi' Maifredi sebagai cadangan Baggio atau Haessler.
Sayangnya kesempatan itu tidak berlangsung lama. Ia keburu dijual ke Sampdoria setelah para talent-scouting Juventus menemukan dua Stella Aumentante lain yang tengah berkeliaran di Serie B bersama Padova, Alessio Tacchinardi dan Alessandro Del Piero!
Kerasnya persaingan talenta-talenta muda dan para protagonista di tubuh Si Nyonya Besar membuat sosok Corini tersingkir, tanpa mendapat kesempatan berlebih. Namun berkat bakat dan kemampuan yang menyatu dengan jiwanya, menjadikan kepercayaan diri Corini memang luar biasa. Celakanya, di tempat baru ujian hidupnya kembali datang.
Di Sampdoria kiprahnya jelas keteteran dengan Roberto Mancini. Begitu juga waktu bergabung di Napoli. Di sini nama Gianfranco Zola - yang dijuluki Marazola dan digadang-gadang sebagai maestro baru pengganti Diego Maradona - sedang harum merekah. Akibatnya Corini hanya mendapat kesempatan 17 kali main membela Napoli.
Akhirnya ia mudik lagi ke kampung halamannya. Namun baru semusim membela Brescia lagi, Piacenza terpincut dengannya. Di sini dia juga hanya kuat semusim lantaran peran yang dilakoninya tak sesuai dengan kemampuan dan karakter dirinya. Di Piacenza-lah Corini mencatatkan rekor disiplin terburuk dengan 8 kartu kuning dan sekali kartu merah. Semua itu akibat peran yang harus dilakoninya: sebagai gelandang bertahan.
Angin Kedua
Tawakal dengan cobaan hidupnya, perjalanan karier Corini mulai bersinar lagi tatkala direkrut Verona. Dia begitu puas menikmati permainannya. Dia seperti mendapat angin kedua. Buktinya dia betah sampai tiga musim hingga 1998/99. "Verona adalah tempat di mana saya merasa hidup kembali. Saya pikir saya telah mengambil keputusan tepat mau pindah ke sini," kenang si spesialis penalti dan bola-bola mati ini.
Ya di citta delta Romeo e Giuletta storia, kota asal cerita kisah romantika Romeo dan Juliet inilah pangkal awal kebangkitan kariernya. Walau sempat membuat membuat murka tifosi Verona lantaran dia pindah ke Chievo, klub tetangga sebelah yang selalu rawan konflik, namun berkat kematangan hidupnya dia tenang dalam mengambil keputusan berikut.
Alasan kepindahan ke Chievo, klub yang waktu itu baru saja promosi, sangat jelas: Corini mulai 'disingkirkan' di musim terakhirnya bersama klub yang meraih scudetto pada 1984/85 itu. "Dalam sepak bola, saya memahami arti kerja keras. Saya telah melewati masa-masa sulit dan kini merasakan kepuasan," tutur Corini, setelah mapan bersama Chievo.
"Target kami cuma ingin bertahan di Serie A. Tak masuk akal jika Chievo berambisi sama dengan Milan atau Juventus," sambungnya. Saat pindah ke Chievo, klub berjulukan Mussi Volanti alias Keledai Terbang, Corini berumur 29 tahun, usia yang cukup matang buat seorang pria. Satu hal yang amat menunjang atau membangkitkan kembali kiprahnya tiada lain berkat ciamiknya mercato yang dilakukan Chievo. Untuk itu dia angkat topi buat Luigi Campedelli, sang pemilik klub. Tanpa terasa, tiba-tiba Corini sudah empat tahun bersama Chievo.
Dia sangat diandalkan pelatih Luigi Del Neri, dan juga pemilik klub, dia lebih banyak untuk dijadikan patron atau model buat rekan-rekannya yang kebanyakan masih punya jam terbang minim. Saking masih 'kampungannya' para pemain Chievo berlaga di Serie A, konon lutut beberapa dari mereka sudah bergetar melihat kemegahan Stadion San Siro menjelang duelnya melawan AC Milan, Ahad (2/12) ini.
"Mereka nervous karena sejak awal saya katakan itulah tempat sesungguhnya ujian kalian," sebut Campedelli, bos Chievo yang bersosok mirip Bill Gates, mahajutawan pemilik Microsoft. Ah, untungnya ada Corini. Mau tak mau, di saat seperti inilah peran dan tugas Corini sangat dibutuhkan.
Fakta tak terbantahkan, hingga menjelang setengah putaran kompetisi, geliat Gialloblu banyak melahirkan decak kagum masyarakat dan pers lantaran permainan menawan dan posisi di tangga klasemen. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Eugenio Corini adalah jenderal lini tengah yang menjadi tokoh sukses Chievo sejauh ini.
DATA DIRI
Lahir: Bagnolo Mella (Brescia), 30 Juli 1970
Warganegara: Italia
Tinggi/Berat: 173 cm/73 kg
Debut Seria A: 21 Oktober 1990; Juventus vs Lazio 0-0
Posisi: Gelandang
Nomor Punggung: 5
Kontrak: Juni 2002
DATA KARIER
Musim
|
Klub
|
Serie
|
Main/Gol
|
Menit
|
KK/KM
|
2001/02
|
Chievo
|
A
|
11/4
|
1.055
|
2/0
|
2000/01
|
Chievo
|
B
|
36/7
|
3.357
|
6/0
|
1999/00
|
Chievo
|
B
|
31/6
|
2.846
|
7/0
|
1998/99
|
Chievo
|
B
|
7/0
|
593
|
2/0
|
1998/99
|
Verona
|
B
|
2/0
|
143
|
0/0
|
1997/98
|
Verona
|
B
|
35/3
|
3.172
|
7/0
|
1996/97
|
Verona
|
A
|
1/1
|
680
|
0/0
|
1995/96
|
Piacenza
|
A
|
32/1
|
2.702
|
8/1
|
1994/95
|
Brescia
|
B
|
24/2
|
1.735
|
7/1
|
1994/95
|
Napoli
|
A
|
3/0
|
57
|
0/0
|
1993/94
|
Napoli
|
A
|
14/0
|
1.040
|
3/1
|
1992/93
|
Sampdoria
|
A
|
24/4
|
2.005
|
0/0
|
1991/92
|
Juventus
|
A
|
22/1
|
770
|
2/0
|
1990/91
|
Juventus
|
A
|
25/1
|
1.651
|
5/0
|
1989/90
|
Brescia
|
B
|
34/9
|
0
|
0/0
|
1988/89
|
Brescia
|
B
|
29/0
|
0
|
0/0
|
1987/88
|
Brescia
|
B
|
14/0
|
0
|
0/0
|
1986/87
|
Brescia
|
B
|
0/0
|
0
|
0/0
|
(foto: stpauls/thebigsoccer)