Benarkah klub-klub Amerika Latin selalu memainkan pola menyerang? Tidak juga. Gremio buktinya. Mereka justru pintar memainkan tempo, tampil superdefensif di kandang lawan namun sangar di kandang sendiri. Dan berkat kiat itu pula, klub asal Porto Alegre, pesisir timur Brasil, akhirnya mampu merebut Piala Libertadores 1995, yang kedua sejak 1983. Artinya merekalah penantang juara Eropa Ajax Amsterdam, November mendatang di Tokyo.
Apa keistimewaan Gremio? "Kami tidak selalu memainkan sepak bola manis. Tapi lebih dari itu. Apa yang harus diperbuat untuk menang?" kilah Carlos Alberto Silva, pelatih Gremio. Klub berjuluk Imortal Tricolor ini memang luar biasa. Menyadari banyak kekurangan, tim ini menggenjot diri dari segi lain. "Fighting spirit! Tanpa itu omong kosong," kata Mario Jardel, gelandang serang Gremio bernomor punggung 16. Tanpa pemain bintang, tanpa prestasi wah seperti kebanyakan klub top Brasil lainnya, juga diidentikkan dengan keributan - toh pada akhirnya mereka tampil sebagai klub yang terbaik di Amerika Latin dengan meraih titel Piala Libertadores 1995.
"Makin ricuh, kami makin semangat bermain," tambah Amaral, bek langganan kartu merah mengenai rahasia permainan klubnya. Padahal di Brasil, Gremio rada disepelekan. Apa karena seumur-umur hanya sekali menjadi juara liga pada 1980/81? Mungkin. Malahan sebaliknya, Gremio dikenal sebagai klub yang identik dengan keonaran, baik dari para pemainnya maupun pendukungnya yang berangasan. Terlebih lagi gaya permainan Gremio keras cenderung kasar.
Gaya itu tidak melulu diperlihatkan di Liga Brasil, tapi juga di Piala Libertadores. Contohnya saat menghadapi juara Kolombia, Atletico Nacional Medellin, pada putaran kedua di Stadion Atanasio Garardi, Medellin, akhir Agustus silam. Dalam laga itu, tidak tanggung-tanggung, delapan pemain Gremio diganjar kartu kuning di mana seorang di antaranya akhirnya terkena kartu merah. Rekor kartu hukuman itu makin menggila bila dihitung sejak babak penyisihan.
"Itulah Gremio, bahkan permainan kami bisa membuat polisi ingin memukuli kami," kata pelatih Carlos Alberto Silva dengan bangga. Rute Gremio ke final sesungguhnya sangat kusut. Lepas dari penyisihan grup yang hanya lolos sebagai runner-up Grup 4 di bawah Palmeiras, rival sesama Brasil, klub bernama asli Gremio Foot-Ball Porto Alegrense itu menghantam dulu Olimpia, juara Paraguay dengan skor 3-0 dan 2-0.
Peran Dinho
Masuk babak perempatfinal, uniknya klub kelahiran 15 September 1903 ini bertemu lagi dengan Palmeiras. Aksi balas dendam pun terjadi. Sewaktu di penyisihan Grup 4, Gremio kalah 2-3 di kandang lawan dan hanya seri 0-0 di kandang sendiri. Kekalahan Gremio begitu tragis setelah gol-gol tiga bintang Palmeiras: Roberto Carlos, Rivaldo, dan Edmundo sanggup dibalas oleh dua gol Mario Jardel dan Luis Carlos Goiana. Sayang sewaktu laga kedua di kandang sendiri, Palmeiras sanggup menahan Gremio tanpa imbang.
Namun di babak knock-out, pada 26 Juli 1995 dan 2 Agustus 1995, Gremio memperlihatkan spirit aslinya. Di kandang sendiri, mereka membenamkan Palmeiras 5-0 lewat gol-gol Fernando Arce, Adilson dan hattrick Mario Jardel. Jardel pula yang menyelamatkan Gremio ketika sebuah golnya menyingkirkan Palmeiras walau menang 5-1 di kandang sendiri. Gremio lolos dengan keunggulan gol 6-5. Saat di semifinal, drama yang lahir lain lagi. Mereka harus terbang ke Ekuador untuk menghadapi Emelec. Dengan taktik bertahan yang prima, Gremio sukses menahan 0-0. Ketika main di kandang sendiri, dua gol Paulo Nunes dan Jardel, lagi-lagi membawa kejayaan. Gremio menang 2-0 dan menuju final untuk meladeni Rene Higuita dkk yang menang adu penalti melawan jawara Argentina River Plate.
Final pertama melawan Nacional Medellin digelar di Arena Do Gremio pada 23 Agustus 1995. Gol bunuh diri Marulanda, lalu sumbangan dari Mario Jardel dan Paulo Nunes mengamankan kemenangan penting 3-1. Walau demikian kubu tamu sempat membuat satu gol melalui Pablo Angel. Karena final Libertadores berlangsung dua kali, maka Gremio cukup menahan seri Nacional sepekan kemudian. "Hal yang tidak begitu sulit. Kami akan membentuk tembok di garis pertahanan," janji pelatih Carlos Alberto menjelang terbang ke Medellin. Tekad itu dipenuhi.
Taktik Alberto berjalan sesuai skenario sebab ketika tampil di Stadion Atanasio Garardi, Medellin, mereka bermain 1-1. Gol tuan rumah dibuat oleh Aristizabal. Sementara Gremio membalas lewat tendangan penalti libero-nya, Dinho. Pertahanan kukuh yang digalang Dinho dan kapten Adilson serta penampilan kiper Darnlei sulit ditembus Nacional yang sempat unggul 1-0. Sebuah serangan balik empat menit jelang usai menghasilkan hadiah yang tak diduga: hukuman penalti buat tuan rumah. Dengan mental baja, Dinho sukses menaklukkan kiper Rene Higuita. Skor 1-1 tak berubah hingga akhir laga. Titel Libertadores pun direnggut Gremio.
Sesungguhnya tak banyak yang istimewa dari Gremio Foot-Ball Porto Alegrense, klub kelahiran 15 September 1903. Bahkan dibanding rival sedaerahnya di Rio Grande do Sul, yakni Internacional, Gremio masih kalah gaung. Apalagi sekarang nama-nama Flamengo, Palmeiras, Corinthians, atau Botafogo sedang naik daun.
Liga Brasil yang dipila-pilah dari berbagai federasi daerah (23 federasi), memang membuat reputasi seiap klub gampang runtuh. Namun seperti halnya klub-klub di atas tadi, Gremio pun pernah tampil sebagai juara liga meski hanya sekali di tahun 1981. Namun di tingkat federasi atau propinsi, sejak kompetisi digelar pada 1919 mereka telah 40 kali menjadi jawara Rio Grande do Sul, sebuah propinsi yang berbatasan dengan Uruguay. Untuk level regional, klub yang bermarkas di Largo dos Campeoes punya prestasi lumayan.
Sukses tahun ini adalah yang ketigakalinya tampil di final Piala Libertadores dengan raihan dua kali juara, 1983 dan 1995. Mereka sekali kalah di final 1984 saat dipecundangi Independiente (Argentina). Namun yang sakral, yang belum banyak digapai pesaingnya di Brasil, mereka pernah menjuarai Piala Dunia Antarklub pada 1983, atau yang lebih dikenal dengan Piala Toyota yang digelar di Tokyo, Jepang.
Dengan taburan pemain nasional Brasil waktu itu seperti Tita, Paulo Roberto, Renato, serta bek top asal Uruguay, Hugo De Leon, mereka sanggup mengalahkan juara Eropa, Hamburg SV (Jerman) dengan skor 2-1. Mampukah mereka mengulangi sejarah manis pada November mendatang melawan Ajax Amasterdam? Patut dinantikan.
(torcedores/youtube)
Gremio saat jelang bertanding melawan Nacional Medellin di final Libertadores 1995. |
"Makin ricuh, kami makin semangat bermain," tambah Amaral, bek langganan kartu merah mengenai rahasia permainan klubnya. Padahal di Brasil, Gremio rada disepelekan. Apa karena seumur-umur hanya sekali menjadi juara liga pada 1980/81? Mungkin. Malahan sebaliknya, Gremio dikenal sebagai klub yang identik dengan keonaran, baik dari para pemainnya maupun pendukungnya yang berangasan. Terlebih lagi gaya permainan Gremio keras cenderung kasar.
Gaya itu tidak melulu diperlihatkan di Liga Brasil, tapi juga di Piala Libertadores. Contohnya saat menghadapi juara Kolombia, Atletico Nacional Medellin, pada putaran kedua di Stadion Atanasio Garardi, Medellin, akhir Agustus silam. Dalam laga itu, tidak tanggung-tanggung, delapan pemain Gremio diganjar kartu kuning di mana seorang di antaranya akhirnya terkena kartu merah. Rekor kartu hukuman itu makin menggila bila dihitung sejak babak penyisihan.
"Itulah Gremio, bahkan permainan kami bisa membuat polisi ingin memukuli kami," kata pelatih Carlos Alberto Silva dengan bangga. Rute Gremio ke final sesungguhnya sangat kusut. Lepas dari penyisihan grup yang hanya lolos sebagai runner-up Grup 4 di bawah Palmeiras, rival sesama Brasil, klub bernama asli Gremio Foot-Ball Porto Alegrense itu menghantam dulu Olimpia, juara Paraguay dengan skor 3-0 dan 2-0.
Peran Dinho
Masuk babak perempatfinal, uniknya klub kelahiran 15 September 1903 ini bertemu lagi dengan Palmeiras. Aksi balas dendam pun terjadi. Sewaktu di penyisihan Grup 4, Gremio kalah 2-3 di kandang lawan dan hanya seri 0-0 di kandang sendiri. Kekalahan Gremio begitu tragis setelah gol-gol tiga bintang Palmeiras: Roberto Carlos, Rivaldo, dan Edmundo sanggup dibalas oleh dua gol Mario Jardel dan Luis Carlos Goiana. Sayang sewaktu laga kedua di kandang sendiri, Palmeiras sanggup menahan Gremio tanpa imbang.
Namun di babak knock-out, pada 26 Juli 1995 dan 2 Agustus 1995, Gremio memperlihatkan spirit aslinya. Di kandang sendiri, mereka membenamkan Palmeiras 5-0 lewat gol-gol Fernando Arce, Adilson dan hattrick Mario Jardel. Jardel pula yang menyelamatkan Gremio ketika sebuah golnya menyingkirkan Palmeiras walau menang 5-1 di kandang sendiri. Gremio lolos dengan keunggulan gol 6-5. Saat di semifinal, drama yang lahir lain lagi. Mereka harus terbang ke Ekuador untuk menghadapi Emelec. Dengan taktik bertahan yang prima, Gremio sukses menahan 0-0. Ketika main di kandang sendiri, dua gol Paulo Nunes dan Jardel, lagi-lagi membawa kejayaan. Gremio menang 2-0 dan menuju final untuk meladeni Rene Higuita dkk yang menang adu penalti melawan jawara Argentina River Plate.
Final pertama melawan Nacional Medellin digelar di Arena Do Gremio pada 23 Agustus 1995. Gol bunuh diri Marulanda, lalu sumbangan dari Mario Jardel dan Paulo Nunes mengamankan kemenangan penting 3-1. Walau demikian kubu tamu sempat membuat satu gol melalui Pablo Angel. Karena final Libertadores berlangsung dua kali, maka Gremio cukup menahan seri Nacional sepekan kemudian. "Hal yang tidak begitu sulit. Kami akan membentuk tembok di garis pertahanan," janji pelatih Carlos Alberto menjelang terbang ke Medellin. Tekad itu dipenuhi.
Mario Jardel dan Dinho menggenggam trofi Libertadores. |
Sesungguhnya tak banyak yang istimewa dari Gremio Foot-Ball Porto Alegrense, klub kelahiran 15 September 1903. Bahkan dibanding rival sedaerahnya di Rio Grande do Sul, yakni Internacional, Gremio masih kalah gaung. Apalagi sekarang nama-nama Flamengo, Palmeiras, Corinthians, atau Botafogo sedang naik daun.
Liga Brasil yang dipila-pilah dari berbagai federasi daerah (23 federasi), memang membuat reputasi seiap klub gampang runtuh. Namun seperti halnya klub-klub di atas tadi, Gremio pun pernah tampil sebagai juara liga meski hanya sekali di tahun 1981. Namun di tingkat federasi atau propinsi, sejak kompetisi digelar pada 1919 mereka telah 40 kali menjadi jawara Rio Grande do Sul, sebuah propinsi yang berbatasan dengan Uruguay. Untuk level regional, klub yang bermarkas di Largo dos Campeoes punya prestasi lumayan.
Sukses tahun ini adalah yang ketigakalinya tampil di final Piala Libertadores dengan raihan dua kali juara, 1983 dan 1995. Mereka sekali kalah di final 1984 saat dipecundangi Independiente (Argentina). Namun yang sakral, yang belum banyak digapai pesaingnya di Brasil, mereka pernah menjuarai Piala Dunia Antarklub pada 1983, atau yang lebih dikenal dengan Piala Toyota yang digelar di Tokyo, Jepang.
Dengan taburan pemain nasional Brasil waktu itu seperti Tita, Paulo Roberto, Renato, serta bek top asal Uruguay, Hugo De Leon, mereka sanggup mengalahkan juara Eropa, Hamburg SV (Jerman) dengan skor 2-1. Mampukah mereka mengulangi sejarah manis pada November mendatang melawan Ajax Amasterdam? Patut dinantikan.
(torcedores/youtube)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar