Untuk soal kerusuhan, ‘prestasi’ Prancis tidak kalah dari Italia, Belanda atau Inggris. Apalagi kalau berbicara soal kuantitas, tampaknya mereka malah unggul. Kalau di Inggris biasanya si pembuat ulah adalah pemain atau pengurus klub, dan di Belanda atau Italia para suporter, maka di Prancis bisa kedua-duanya bahkan lebih beraneka ragam lagi. Mengapa?
Corak keributan sepak bola di Prancis yang lebih bervariasi ini bisa jadi dipengaruhi oleh kehidupan sosial yang begitu kompleks. Misalnya masalah rasial. Kebencian sebagian masyarakat asli terhadap keturunan orang asing dan kebudayaannya, ikut andil dan tercurah di pertandingan sepak bola.
Jadi bukan melulu kericuhan antarsuporter belaka, tapi juga perusakan stadion dan fasilitas kota bahkan penjarahan toko seperti halnya di Belanda. Yang lebih spesifik lagi kerusuhan malah sering terjadi pada kompetisi divisi bawah atau di liga amatir sekalipun. Malah secara kualitas kerusuhan yang terjadi tidak kalah dengan kompetisi profesionalnya.
Belum lama ini seorang suporter klub lokal Parisien Berbers, Douadi Atou (22), tewas tertembak dalam kerusuhan pertandingan amatir antara klub itu melawan Drancy, 5 Februari lalu. Akibatnya seluruh kegiatan kompetisi amatir diistirahatkan seminggu. “Seluruh Prancis turut berduka cita dan kami akan menghentikan 6.800 partai di semua divisi selama seminggu,” kata Ketua Liga, Jean Verbeke.
Divisi Ricuh
Di Divisi Dua, Olympique Marseille tampaknya menjadi klub yang sering berurusan dengan Federasi Sepak Bola Prancis (FFF) atau kepolisian. Setelah keributan yang diciptakan pendukungnya akhir tahun lalu, klub yang dicopot titelnya di Liga Champion 1992/93 dan didegradasi paksa dari divisi utama Liga Prancis akibat kasus suap, awal Februari lalu kembali mendapat teguran dari federasi sepak bola Prancis lantaran ulah pendukungnya.
Akhir tahun lalu, saat pertandingan divisi dua antara tuan rumah Marseille vs Nancy terjadi bentrokan massal antarsuporter. Pendukung tuan rumah merasa kecewa sekaligus tersinggung atas ulah pendukung Nancy yang mencemooh timnya begitu ditahan seri 2-2. Mereka langsung menyerang kubu lawan sehingga terjadi anarki di Stadion Velodrome.
Masih belum kapok, pendukung Marseille kembali memperlihatkan gejala serupa menjelang pertandingan Piala Prancis melawan Nice, awal Februari lalu. Beruntung Marseille menang 1-0 atas klub tetangganya itu. Pihak keamanan pun boleh merasa lega. Seminggu kemudian, hal serupa terjadi saat pertandingan Red Star melawan Ales.
Untuk hal yang satu ini, federasi sampai sekarang masih menundanya. “Kalau terus begini, citra sepak bola sebagai olah raga dan keindahan akan menghilang dan berganti dengan kekerasan,” kata Jean Claude Bras, Ketua Klub Red Star sambil mengeluh.
Jika dilebarkan lagi, bertebaran juga kasus suap, korupsi, pemecatan pelatih atau ketua klub. Bernard Tapie, presiden Olympique Marseille, klub yang sekarang berada di divisi dua, adalah contoh paling besar. Belum lama ini Roland Courbis, pelatih klub divisi dua Toulouse, juga dijatuhi hukuman tiga tahun penjara oleh pengadilan, akhir Januari lalu, karena terbukti menyalahgunakan keuangan.
Tampaknya FFF terus didera masalah, Bukan prestasi yang berbicara tapi anarki yang mencuat. Mereka harus bisa mengatasinya dengan tuntas, karena bisa jadi FIFA malah meragukan Prancis sebagai tuan rumah Piala Dunia 1998 mendatang.
(foto: adexsports/topeleven)
Corak keributan sepak bola di Prancis yang lebih bervariasi ini bisa jadi dipengaruhi oleh kehidupan sosial yang begitu kompleks. Misalnya masalah rasial. Kebencian sebagian masyarakat asli terhadap keturunan orang asing dan kebudayaannya, ikut andil dan tercurah di pertandingan sepak bola.
Jadi bukan melulu kericuhan antarsuporter belaka, tapi juga perusakan stadion dan fasilitas kota bahkan penjarahan toko seperti halnya di Belanda. Yang lebih spesifik lagi kerusuhan malah sering terjadi pada kompetisi divisi bawah atau di liga amatir sekalipun. Malah secara kualitas kerusuhan yang terjadi tidak kalah dengan kompetisi profesionalnya.
Belum lama ini seorang suporter klub lokal Parisien Berbers, Douadi Atou (22), tewas tertembak dalam kerusuhan pertandingan amatir antara klub itu melawan Drancy, 5 Februari lalu. Akibatnya seluruh kegiatan kompetisi amatir diistirahatkan seminggu. “Seluruh Prancis turut berduka cita dan kami akan menghentikan 6.800 partai di semua divisi selama seminggu,” kata Ketua Liga, Jean Verbeke.
Divisi Ricuh
Di Divisi Dua, Olympique Marseille tampaknya menjadi klub yang sering berurusan dengan Federasi Sepak Bola Prancis (FFF) atau kepolisian. Setelah keributan yang diciptakan pendukungnya akhir tahun lalu, klub yang dicopot titelnya di Liga Champion 1992/93 dan didegradasi paksa dari divisi utama Liga Prancis akibat kasus suap, awal Februari lalu kembali mendapat teguran dari federasi sepak bola Prancis lantaran ulah pendukungnya.
Akhir tahun lalu, saat pertandingan divisi dua antara tuan rumah Marseille vs Nancy terjadi bentrokan massal antarsuporter. Pendukung tuan rumah merasa kecewa sekaligus tersinggung atas ulah pendukung Nancy yang mencemooh timnya begitu ditahan seri 2-2. Mereka langsung menyerang kubu lawan sehingga terjadi anarki di Stadion Velodrome.
Masih belum kapok, pendukung Marseille kembali memperlihatkan gejala serupa menjelang pertandingan Piala Prancis melawan Nice, awal Februari lalu. Beruntung Marseille menang 1-0 atas klub tetangganya itu. Pihak keamanan pun boleh merasa lega. Seminggu kemudian, hal serupa terjadi saat pertandingan Red Star melawan Ales.
Untuk hal yang satu ini, federasi sampai sekarang masih menundanya. “Kalau terus begini, citra sepak bola sebagai olah raga dan keindahan akan menghilang dan berganti dengan kekerasan,” kata Jean Claude Bras, Ketua Klub Red Star sambil mengeluh.
Bos Olympique Marseille, Bernard Tapie (tengah). |
Tampaknya FFF terus didera masalah, Bukan prestasi yang berbicara tapi anarki yang mencuat. Mereka harus bisa mengatasinya dengan tuntas, karena bisa jadi FIFA malah meragukan Prancis sebagai tuan rumah Piala Dunia 1998 mendatang.
(foto: adexsports/topeleven)