Suatu kali pemain Belanda, Dennis Bergkamp, Bryan Roy, dan Wim Jonk, secara bersamaan merasa putus asa dalam sebuah laga. Bermain jelekkah mereka? Sama sekali tidak. Ketiganya hanya kesal akibat tidak mampu menembus gawang lawannya.
Aksi penjaga gawang tersebut sangat tangguh. Sebenarnya mereka tak perlu merasa kecewa dengan permainannya itu karena kiper yang dihadapi sungguh sakti, dia adalah Michel Preud’homme, kiper nasional Belgia yang kini sedang menjadi nomor satu di dunia. Gambaran di atas bukanlah sesuatu yang berlebihan. Namun jika meyaksikan partai Belanda vs Belgia pada duel Grup F Piala Dunia, 24 Juni 1994 lalu, keyakinan semakin menjadi-jadi.
Preud’homme juga menjadi bintang lapangan saat itu. Secara mengejutkan gawang Belgia tetap perawan dari bombardiran dan serangan bertubi-tubi Pasukan Oranye. Sebanyak 61.219 pasang mata di Stadion Citrus Bowl, Orlando, sedikitnya telah menjadi saksi hidup kepiawaian kiper berambut gondrong yang hebohnya diketahui bermata minus lima!
Belanda kalah bukan karena kebobolan satu gol, tetapi lebih karena tidak bisa mencetak gol ke gawang Belgia. “Luar biasa, dia benar-benar palang pintu besi. Michel adalah penentu kemenangan Belgia,” puji pelatih nasional Belanda tanpa ragu.
Menjawab berondongan wartawan dalam jumpa pers usai pertandingan, Preud’homme tapak rendah hati dan simpatik. Apa kiat bisa bermain sehebat itu” “Ah, hanya bermodalkan ketenangan dan konsentrasi saja seperti biasa,” ungkapnya santai. Ada prinsip untuk membuktikan itu? “Seorang kiper adalah saksi terbaik jalannya suatu pertandingan. Ironis sekali jika dia juga harus memungut banyak bola dari gawangnya,” ucap Preud’homme lagi sambil tersenyum.
Dipikir-pikir benar juga ucapannya. Sederhana tapi bermakna. Punya karakter tenang tak berarti reaksi juga harus tenang atau lembut. Justru sebaliknya. Tontonlah sekali lagi duel Belgia vs Belanda itu secara utuh. Kesan pertama yang ditangkap atas performa Preud’homme adalah cerdasnya dia mengantisipasi gerakan pemain dan aliran bola.
Pendek kata, begitu flamboyan, begitu dingin. Dia cuma memakai ototnya 25%, ketika menangkis semua serangan yang menuju gawangnya, sebab yang 75% sebelumnya telah dibaca dengan kecepatan otaknya. Luar biasa. Jelas, ini tanda seorang kiper yang amat matang.
Tangan Gurita
Perhatikan juga cara dia memotong bola di udara. Memblok tembakan lawan, atau setidaknya ketika menempatkan posisi tubuhnya untuk memudahkan mengantisipasi kedatangan lawan atau bola. Kelihaian membaca permainan membuatnya semakin mudah dan ‘santai’ dalam bermain.
Tidak salah sama sekali ketika dirinya terpilih sebagai penjaga gawang terbaik di Piala Dunia 1994 sekaligus nomor wahid sejagat. Michel Preud’homme merebut gelar pribadi paling bergengsi di ajang bergengsi, Lev Yashin Prize.
Bayangkan, mata kiper terbaik di dunia sekarang ini minus lima dan dia harus memakai contact lens di setiap laga. Hebat? Pastilah dibandingkan dengan kiper yang bermata normal. Tak usah heran jika namanya segera terdaftar sebagai anggota tim impian versi FIFA dan kantor berita Reuters.
Pria berusia 36 tahun ini telah menyisihkan deretan pengawal bola terbaik sejagat seperti Thomas Ravelli (Swedia), Gianluca Pagliuca (Italia), Claudio Taffarel (Brasil) , dan Boris Mihailov (Bulgaria). Keempatnya bermain di semifinal, final, atau peringkat ketiga. Tidak demikian dengan Preud’homme dan Belgia yang cuma sampai perempatfinal. “Saya sangat mengagumi kecepatan refleksnya, seolah-olah dia punya tangan yang banyak seperti gurita,” kata Paul Van Himst, pelatih nasional Belgia.
Ketenangan adalah modal utama kiper sebab keputusan yang diambil sangat menentukan hasil akhir permainan. Setidaknya sebanyak 31 kali laga tanpa putus, kiper gondrong kelahiran 24 Januari 1959 itu sanggup memanggul kepercayaan yang diberikan negaranya. Jika dihitung secara matematis, dia tampil beruntun membela Belgia selama 2.790 jam atau sekitar 116 hari!
Namun dua hal yang sangat disayangkan dari Preud’homme adalah pertama rada telat mencapai puncak kariernya. Juga sinarnya yang kurang benderang secara profesional di klub lantaran tidak pernah mengangkasa alias pindah ke liga yang lebih besar.
Preud’homme terlalu lama berada di Standard Liege, sejak 1979 hingga 1986. Kemudian dia pindah ke klub Belgia lainnya KV Mechelen sampai namanya tercatat di buku Piala Dunia 1994. Setelah sukses di USA 1994, di usia yang terbilang uzur buat pesepak bola non-kiper, 36 tahun, barulah dia menerima tawaran klub top Portugal, Benfica, di awal musim 1994/95 lalu.
Selama di dua dekade, Belgia memang punya tiga kiper yang mumpuni, tangguh untuk ukuran Eropa bahkan dunia. Pertama yang gampang dikenang adalah Jean-Marie Pfaff. Kiper Bayern Muenchen yang tampil cemerlang di Piala Dunia 1986 ini baru pensiun setelah pesta sepak bola di Meksiko. Pfaff pensiun, Preud’homme naik kasta menjadi kiper utama. Di bawah dia masih ada Gilbert Bodart (Standard Liege), yang juga cukup senior, 33 tahun.
(foto: pinterest/igniteph.deviantart.com)
Aksi penjaga gawang tersebut sangat tangguh. Sebenarnya mereka tak perlu merasa kecewa dengan permainannya itu karena kiper yang dihadapi sungguh sakti, dia adalah Michel Preud’homme, kiper nasional Belgia yang kini sedang menjadi nomor satu di dunia. Gambaran di atas bukanlah sesuatu yang berlebihan. Namun jika meyaksikan partai Belanda vs Belgia pada duel Grup F Piala Dunia, 24 Juni 1994 lalu, keyakinan semakin menjadi-jadi.
Preud’homme juga menjadi bintang lapangan saat itu. Secara mengejutkan gawang Belgia tetap perawan dari bombardiran dan serangan bertubi-tubi Pasukan Oranye. Sebanyak 61.219 pasang mata di Stadion Citrus Bowl, Orlando, sedikitnya telah menjadi saksi hidup kepiawaian kiper berambut gondrong yang hebohnya diketahui bermata minus lima!
Belanda kalah bukan karena kebobolan satu gol, tetapi lebih karena tidak bisa mencetak gol ke gawang Belgia. “Luar biasa, dia benar-benar palang pintu besi. Michel adalah penentu kemenangan Belgia,” puji pelatih nasional Belanda tanpa ragu.
Menjawab berondongan wartawan dalam jumpa pers usai pertandingan, Preud’homme tapak rendah hati dan simpatik. Apa kiat bisa bermain sehebat itu” “Ah, hanya bermodalkan ketenangan dan konsentrasi saja seperti biasa,” ungkapnya santai. Ada prinsip untuk membuktikan itu? “Seorang kiper adalah saksi terbaik jalannya suatu pertandingan. Ironis sekali jika dia juga harus memungut banyak bola dari gawangnya,” ucap Preud’homme lagi sambil tersenyum.
Dipikir-pikir benar juga ucapannya. Sederhana tapi bermakna. Punya karakter tenang tak berarti reaksi juga harus tenang atau lembut. Justru sebaliknya. Tontonlah sekali lagi duel Belgia vs Belanda itu secara utuh. Kesan pertama yang ditangkap atas performa Preud’homme adalah cerdasnya dia mengantisipasi gerakan pemain dan aliran bola.
Pendek kata, begitu flamboyan, begitu dingin. Dia cuma memakai ototnya 25%, ketika menangkis semua serangan yang menuju gawangnya, sebab yang 75% sebelumnya telah dibaca dengan kecepatan otaknya. Luar biasa. Jelas, ini tanda seorang kiper yang amat matang.
Tangan Gurita
Perhatikan juga cara dia memotong bola di udara. Memblok tembakan lawan, atau setidaknya ketika menempatkan posisi tubuhnya untuk memudahkan mengantisipasi kedatangan lawan atau bola. Kelihaian membaca permainan membuatnya semakin mudah dan ‘santai’ dalam bermain.
Tidak salah sama sekali ketika dirinya terpilih sebagai penjaga gawang terbaik di Piala Dunia 1994 sekaligus nomor wahid sejagat. Michel Preud’homme merebut gelar pribadi paling bergengsi di ajang bergengsi, Lev Yashin Prize.
Bayangkan, mata kiper terbaik di dunia sekarang ini minus lima dan dia harus memakai contact lens di setiap laga. Hebat? Pastilah dibandingkan dengan kiper yang bermata normal. Tak usah heran jika namanya segera terdaftar sebagai anggota tim impian versi FIFA dan kantor berita Reuters.
Pria berusia 36 tahun ini telah menyisihkan deretan pengawal bola terbaik sejagat seperti Thomas Ravelli (Swedia), Gianluca Pagliuca (Italia), Claudio Taffarel (Brasil) , dan Boris Mihailov (Bulgaria). Keempatnya bermain di semifinal, final, atau peringkat ketiga. Tidak demikian dengan Preud’homme dan Belgia yang cuma sampai perempatfinal. “Saya sangat mengagumi kecepatan refleksnya, seolah-olah dia punya tangan yang banyak seperti gurita,” kata Paul Van Himst, pelatih nasional Belgia.
Ketenangan adalah modal utama kiper sebab keputusan yang diambil sangat menentukan hasil akhir permainan. Setidaknya sebanyak 31 kali laga tanpa putus, kiper gondrong kelahiran 24 Januari 1959 itu sanggup memanggul kepercayaan yang diberikan negaranya. Jika dihitung secara matematis, dia tampil beruntun membela Belgia selama 2.790 jam atau sekitar 116 hari!
Namun dua hal yang sangat disayangkan dari Preud’homme adalah pertama rada telat mencapai puncak kariernya. Juga sinarnya yang kurang benderang secara profesional di klub lantaran tidak pernah mengangkasa alias pindah ke liga yang lebih besar.
Preud’homme terlalu lama berada di Standard Liege, sejak 1979 hingga 1986. Kemudian dia pindah ke klub Belgia lainnya KV Mechelen sampai namanya tercatat di buku Piala Dunia 1994. Setelah sukses di USA 1994, di usia yang terbilang uzur buat pesepak bola non-kiper, 36 tahun, barulah dia menerima tawaran klub top Portugal, Benfica, di awal musim 1994/95 lalu.
Selama di dua dekade, Belgia memang punya tiga kiper yang mumpuni, tangguh untuk ukuran Eropa bahkan dunia. Pertama yang gampang dikenang adalah Jean-Marie Pfaff. Kiper Bayern Muenchen yang tampil cemerlang di Piala Dunia 1986 ini baru pensiun setelah pesta sepak bola di Meksiko. Pfaff pensiun, Preud’homme naik kasta menjadi kiper utama. Di bawah dia masih ada Gilbert Bodart (Standard Liege), yang juga cukup senior, 33 tahun.
(foto: pinterest/igniteph.deviantart.com)