Lewat pertarungan agak dramatis, Juventus akhirnya lolos dari lobang jarum kekalahan di Stadion San Nicola, Bari, Ahad lalu. Bagaimana tidak? Bari, tim yang sedang naik daun, itu ternyata mampu membungkan trio maut Juve: Alessandro Del Piero-Fabrizio Ravanelli-Gianluca Vialli plus playmaker Paulo Sousa.
Kalau pasukan Marcello Lippi ternyata mampu menang 2-0, ini bukan dikarenakan kemanjuran pola yang diterapkannya. Sama sekali tidak. Gol pertama Del Piero yang datang dari titik penalti, semata-mata karena kesialan Bari atas handsball gelandang mereka yang asal Spanyol, Julen Guerrero. Begitu pun gol kedua, di detik-detik akhir pertandingan, tak lain karena kecolongannya pemain tuan rumah.
Gol kedua itu boleh dikata sebagai penentu kemenangan Super Juve yang sesungguhnya. Karena di saat injury time itu, Bari masih melakukan tekanan berbahaya. Akhirnya lewat solo run dari tengah, Ciro Ferrara terus menggenjot larinya dan melesakkan bola dari sudut sempit. Gol! Habislah perjuangan anak-anak San Nicola.
Apakah Ferrara pantas jadi bintang lapangan? Mengapa tidak. Selain bikin gol mematikan, kehebatan dia yang lain adalah dengan menutup sukses menutup ruang tembak Sandro Tovalieri, bomber Bari yang gemar mengancam gawang Angelo Peruzzi. Tanpa Ferrara mungkin gawang Juve sudah bocor berkali-kali.
Ciro Ferrara bukan nama baru di blantika Serie A. Dia adalah salah satu anggota legiun Magica Napoli, saat Diego Maradona cs merengkuh scudetto kedua pada Serie A 1989/90. Ferrara anak Napoli asli, identik dengan klub kota pantai terindah di Italia itu.
Sepeninggal Maradona pada awal musim 1991/92, lengan dialah yang dilingkarkan ban kapten Napoli, bukan Fernando De Napoli atau si Marazola – Gianfranco Zola – yang juga deretan pria-pria Napoli asli. Sama seperti Maradona, kepergian Ferrara juga ditangisi wadyabala dan mayoritas warga kota yang berseberangan dengan Gunung Vesuvius yang terkenal itu.
Seusai ditinggal Maradona, sumber pemasukan Napoli terjun bebas. Pemasukan karcis, pendapatan iklan dan dukungan sponsor lainnya. Stadion San Paolo mulai menjadi seperti gereja alias kebanyakan hening, sangat bertolak belakang ketika Maradona masih bermain.
Di Juve, Ferrara kembali bertemu dengan salah satu tandemnya di Napoli dulu, Luca Fusi, yang sebelum ke Juve sempat ngetem sebentar di Torino. Dengan adanya Ferrara, Fusi, ditambah Juergen Kohler dan Massimo Carrera, jantung pertahanan La Vecchia Signora kuat bagai beton sebagai modal utama untuk mengarungi kompetisi dan target juara.
Ferrara sendiri mengakui bahwa dia sangat berat hati meninggalkan Napoli dan menyesali krisis keuangan klub kecintaannya itu. Acara perpisahannya diwarnai tangisan. “Napoli adalah kecintaanku. Hatiku selalu berada di sana,” kata Ferrara sambil menangis waktu itu. Ironisnya, akhir pekan ini Ferrara akan bertemu klub kecintaannya itu dalam lanjutan Serie A di Stadion Delle Alpi. Drama apa yang bakal terjadi?
(foto: digilander.libero.it)
Kalau pasukan Marcello Lippi ternyata mampu menang 2-0, ini bukan dikarenakan kemanjuran pola yang diterapkannya. Sama sekali tidak. Gol pertama Del Piero yang datang dari titik penalti, semata-mata karena kesialan Bari atas handsball gelandang mereka yang asal Spanyol, Julen Guerrero. Begitu pun gol kedua, di detik-detik akhir pertandingan, tak lain karena kecolongannya pemain tuan rumah.
Gol kedua itu boleh dikata sebagai penentu kemenangan Super Juve yang sesungguhnya. Karena di saat injury time itu, Bari masih melakukan tekanan berbahaya. Akhirnya lewat solo run dari tengah, Ciro Ferrara terus menggenjot larinya dan melesakkan bola dari sudut sempit. Gol! Habislah perjuangan anak-anak San Nicola.
Apakah Ferrara pantas jadi bintang lapangan? Mengapa tidak. Selain bikin gol mematikan, kehebatan dia yang lain adalah dengan menutup sukses menutup ruang tembak Sandro Tovalieri, bomber Bari yang gemar mengancam gawang Angelo Peruzzi. Tanpa Ferrara mungkin gawang Juve sudah bocor berkali-kali.
Ciro Ferrara bukan nama baru di blantika Serie A. Dia adalah salah satu anggota legiun Magica Napoli, saat Diego Maradona cs merengkuh scudetto kedua pada Serie A 1989/90. Ferrara anak Napoli asli, identik dengan klub kota pantai terindah di Italia itu.
Sepeninggal Maradona pada awal musim 1991/92, lengan dialah yang dilingkarkan ban kapten Napoli, bukan Fernando De Napoli atau si Marazola – Gianfranco Zola – yang juga deretan pria-pria Napoli asli. Sama seperti Maradona, kepergian Ferrara juga ditangisi wadyabala dan mayoritas warga kota yang berseberangan dengan Gunung Vesuvius yang terkenal itu.
Napoli = Cinta
Kalau tidak karena Napoli terancam bubar akibat krisis utang dan mismanajemen, bisa dipastikan Ferrara akan selalu bertahan di Napoli, kota yang juga menjadi tempat kelahirannya pada 11 Februari 1967. Kepergiannya ke Juventus pada musim lalu, merupakan bagian dari paket dan klausul hengkangnya pelatih Napoli, Marcello Lippi, ke Juventus. Didalangi oleh Luciano Moggi, yang juga mantan pengurus klub Napoli, Juve tahu betul untuk memanfaatkan bayangan kebangkrutan yang dialami Partenopei.Seusai ditinggal Maradona, sumber pemasukan Napoli terjun bebas. Pemasukan karcis, pendapatan iklan dan dukungan sponsor lainnya. Stadion San Paolo mulai menjadi seperti gereja alias kebanyakan hening, sangat bertolak belakang ketika Maradona masih bermain.
Di Juve, Ferrara kembali bertemu dengan salah satu tandemnya di Napoli dulu, Luca Fusi, yang sebelum ke Juve sempat ngetem sebentar di Torino. Dengan adanya Ferrara, Fusi, ditambah Juergen Kohler dan Massimo Carrera, jantung pertahanan La Vecchia Signora kuat bagai beton sebagai modal utama untuk mengarungi kompetisi dan target juara.
Ferrara sendiri mengakui bahwa dia sangat berat hati meninggalkan Napoli dan menyesali krisis keuangan klub kecintaannya itu. Acara perpisahannya diwarnai tangisan. “Napoli adalah kecintaanku. Hatiku selalu berada di sana,” kata Ferrara sambil menangis waktu itu. Ironisnya, akhir pekan ini Ferrara akan bertemu klub kecintaannya itu dalam lanjutan Serie A di Stadion Delle Alpi. Drama apa yang bakal terjadi?
(foto: digilander.libero.it)