Karier Eric Cantona kini benar-benar terancam. Pelakon Kungfu Kick pada seorang pendukung Crystal Palace ini bakal menghadapi kesulitan besar atas sanksi berat, yang entah apa bentuknya. Pastinya vonis hampir pasti akan dijatuhkan seperti larangan bertanding dengan waktu yang cukup lama. Ia selalu lupa pada satu hal: sikap semau-mau gue yang membuat sulit hidupnya.
Kalau vonis itu dijatuhkan, maka Cantona bisa hilang dari peredaran untuk sementara waktu, seperti halnya yang pernah diderita Diego Maradona setelah didakwa melakukan doping di Napoli, dua musim lalu. FA (Federasi Sepak Bola Inggris) memang belum menjatuhkan hukuman resmi, namun tampaknya bakal tidak jauh-jauh dari prediksi kebanyakan pengamat dan pers.
Manchester United sendiri telah menjatuhkan hukuman internal pada sang kapten berupa pengurangan gaji, denda, dan keharusan melakukan kegiatan sosial. Semuanya dimaksudkan untuk memulihkan reputasi Cantona sendiri. Oleh klubnya, ayah dari Raphael Cantona (7 tahun) itu, disuruh merogoh dompet bayar denda senilai 30 ribu dolar AS (sekitar Rp 62 juta), dan harus menerima larangan 20 kali main dengan kostum United.
Dengan ‘azab’ itu saja praktis dia akan ‘hilang dari bumi’ sekitar enam bulanan. Setelah klub, hukuman kedua juga telah dilayangkan oleh Federasi Sepak Bola Prancis (FFF) berupa berupa surat PHK! Mungkin saking malunya dan juga melihat prospek reputasi sepak bola Prancis di masa depan, ketika rapat petinggi FFF nyaris tidak ada yang membela Cantona.
“Kami tidak mau menerima lagi pemain yang telah ternoda,” sungut Noel Le Graet, Presiden Liga Prancis, ketika mengonfirmasi hukuman. Bersama bos FFF, Claude Simonet, dia juga bilang kepada pers bahwa ban kapten tim nasional Les Bleus yang selama ini disandang pria berukuran 188 cm itu resmi dicopot! Olala.
Buat ukuran masyarakat elite Eropa, status Cantona adalah pendosa kelas berat. Untungnya di Inggris sepak bola adalah olah raga milik kaum working-class sehingga dramanya hanya menyentuh di permainan, paling banter karakternya sebagai bad boy di lapangan hijau. Namun para elite sepak bola, kaum moralis, dan beberapa politisi yang mencari kesempatan, kelihatannya seperti ingin menghabisi Cantona dari sisi attitude.
Padahal perlu diingat juga, Cantona hanya seorang manusia biasa yang tak luput dari dosa dan kesalahan. Kini mereka seolah tidak mau melihat lagi sebuah bakat yang mumpuni, karakter yang langka, atau sosok yang membuat sepak bola semakin menarik karenanya.
Seperti halnya kepada Maradona, yang seluruh jasanya buat sepak bola Italia langsung dihapus dan dilupakan, begitu juga Cantona, Ironisnya justru di negaranya sendiri. Iyalah kalau Maradona wajar diperlakukan begitu di Italia sebab dia orang Argentina, tapi Cantona? Sampai kiamat pun, Maradona selalu dianggap sebagai legenda dan pahlawan Argentina. Namun dunia belum kiamat, nasib Cantona berkebalikan. Mau dibilang apa. Itulah salahnya kalau gampangan jadi pemberang.
Seusai 45 kali membela tim nasional, Cantona mesti melupakannya. Belakangan, FFF ngotot mengajak FA bekerjasama untuk mencari ‘kesalahan lain’ gelandang serang United yang juga merangkap sebagai skipper, kapten tim. “Kalau perlu kami siap merekomendasikan hasil investigasi agar UEFA dan FIFA memberi sanksi lebih berat lagi seperti halnya Maradona,” kata Gordon Taylor, Ketua Eksekutif Asosiasi Pesepak Bola Profesional Inggris.
Di Old Trafford, Cantona sebenarnya telah menjadi legenda dengan julukan King Eric atau Eric The King. Nomor 7 yang dikenakannya dianggap keramat. Kehadirannya adalah jaminan mutu disaratinya stadion itu.
Atas jasanya - membahagiakan hati, penyemangat hidup, pemberi harapan mereka - Cantona pantas dianggap sebagai pahlawan rakyat oleh pendukung United. Tapi atas satu ulahnya itu segera dia dianggap seorang bandit oleh elite klub atau federasi yang memang selalu berkorelasi dengan politik dan kepentingan.
Siapa sebenarnya pemberang yang di akte kelahirannya tercatat sebagai Eric Daniel Pierre Cantona itu? Pemain ini dilahirkan di Marseille pada 24 Mei 1966 dari rahim wanita bernama Eleonore Raurich, seorang tukang jahit. Ayahnya adalah Albert Cantona, yang mendalami bakatnya sebagai pelukis namun harus cari uang lebih sebagai perawat. Sejak kecil hidupnya memang tidak begitu menjanjikan dari sisi ekonomi alias pas-pasan.
Bakat bolanya ternyata diturunkan sang ayah, yang pernah jadi kiper kelas tarkam di Caillolais. Tak heran bila satu-satunya adik Cantona, yaitu Joel Cantona, juga jadi pesepak bola profesional di Marseille, Ujpesti TE (Hongaria), dan Stockport County (Inggris). Tidak seperti abangnya yang tak punya bakat seni, sang adik rupanya mewarisi bakat sang ayah yang punya keinginan kuat menjadi aktor. Salah seorang sepupu Cantona, Sacha Ospinel, juga tercatat sebagai pemain bola.
Kendala Cantona sejak masih anak-anak memang adalah tabiatnya yang bertensi tinggi atau gampang nyolot. Ia sering ribut dan cekcok atau berkelahi di mana saja. Temperamen yang mengalir di darahnya itu tidak lain diwarisi oleh leluhurnya yang konon berasal dari Italia. Baik Albert maupun Eleonore sering dipanggil kepala sekolah atas kelakuan anak tengahnya. Kebrutalan Eric merambah di lingkungan rumahnya. Banyak tetangga yang sering mengeluh. Untungnya Cantona masih punya nilai lebih, yakni bakat sepak bolanya.
Masa Jahiliyah
Pesepak bola hebat biasanya memang suka jadi biang kerok. Tengok saja Maradona, Hristo Stoichkov, Harald ‘Tony‘ Schumacher, Vinnie Jones, atau siapapun yang Anda tahu. Guy Roux, orang pertama yang mendidiknya serius di AJ Auxerre, mengakui kebengalan anak asuhnya. “Begitulah karakternya. Tidak ada yang boleh mengecewakannya. Anda akan dilibasnya, tidak terkecuali, besar, kecil, tua, atau muda,” jelas pelatih top di Prancis itu tanpa melupakan kelebihan Cantona.
Apakah Cantona seorang psikopat yang enggan menerima atau melihat perbuatan yang tidak menyenangkannya? Perlu penyelidikan lebih dalam. “Darah panas yang mengalir di tubuhnya itu berasal dari kakeknya yang orang Sardinia, dan ibu yang datang dari selatan Spanyol. Ini merupakan kombinasi yang amat eksplosif,” tutur Roux lagi.
Dari penelusuran memang terbukti, kakek-nenek Cantona dari jalur ayah, berasal dari Pulau Sardinia di selatan Italia. Usai Perang Dunia II, Joseph dan Lucienne berimigrasi ke Les Caillols, sebuah dusun berbukit di dekat Marseille yang dipenuhi gua dan pernah dijadikan pos pengintaian oleh Nazi. Tapi karena Joseph seorang tukang batu andal, tentu saja tidak bermasalah. Salah satu gua telah diukir sedemikian rupa sehingga sebuah tempat tinggal yang layak bagi keluarga besar Joseph Cantona.
Asal tahu saja, di situ pula tiga anak lelaki Albert- Eleonore lahir. Jean-Marie Cantona (1962), Eric Cantona (1966), dan Joel Cantona (1967) semua diberojolkan Eleonore di rumah gua! Jadi bukan mengada-ada jika disebutkan bahwa Eric The King Cantona, seorang raja di Old Trafford, adalah seorang caveman, alias manusia gua.
Asal muasal dari garis ibu juga menjelaskan dari mana sifat keberingasan dan betapa berangasan-nya Cantona. Ayah Eleonore, Pere Raurich, adalah salah seorang gembong separatis Catalunya yang diburu-buru pasukan penguasa dan diktator Spanyol, Jenderal Franco. Pada 1938, Pere harus mundur dari perjuangan karena menderita sakit liver. Bersama Paquita – nenek Cantona – Pere terpaksa mencari pengobatan sampai akhirnya bertahan di Saint-Priest, Ardeche, Prancis, sebelum menetap di Marseille.
Kembali ke soal permulaan. Di usia 18 tahun, sepak terjang Cantona di sepak bola sempat terhenti lantaran dia kena wajib militer. Roux agak lega. Ketika balik, sentuhan bermainnya rada memudar sehingga Auxerre menyewakannya ke Martigues. Pulang dari sana, kelakuan Cantona rada membaik. Jelas terlihat ia rupanya mau berubah demi kecintaannya dengan sepak bola. Bukan itu saja, permainan Cantona juga sudah kembali seperti apa yang diingini Roux.
Tak heran jika di musim 1986/87 dia akhirnya menandatangani kontrak profesional di Auxerre. Dasar pemain bagus, aksi bagus Cantona di Auxerre diendus anak buah Henri Michel, pelatih nasional Prancis. Tak lama kemudian, Cantona diberi debut penuh oleh Michel saat menghadapi Jerman Barat. Sayang, kelakuan buruk gelandang yang karakter permainannya disukai Michel Platini ini muncul lagi. Tiba-tiba saja dia meninju muka kiper nasional Bruno Martins dalam sebuah latihan!
Sedingin-dinginnya Roux tidak tahan juga dengan kelakuan Cantona. Auxerre tidak boleh bergantung dengan Cantona sang pemberang bin pendendam sekaligus raja biang kerok. Di musim 1988/89, Suami dari Isabelle Ferrer itu ditransfer ke klub top Olympique Marseille setelah mencetak 27 gol dari 79 laga untuk Auxerre.
Maklum yang meminta dia langsung adalah Bernard Tapie, CEO sekaligus pemilik OM yang terkenal ambisius. Jika dia meminta, berarti Cantona itu pemain di atas rata-rata. Transfernya memecahkan rekor sebagai pemain termahal se-Prancis dengan nilai 22 juta Franc.
Ada kejadian menarik soal dendam mendendam Cantona. Delapan tahun silam, sebelum masuk Auxerre, dirinya pernah berkelahi dengan seseorang di sekolahnya. Kemudian dalam satu laga dia berkonfrontasi berat dengan seorang pemain Nantes. Konflik jadi terlihat ganjil sebab keduanya terlihat obsesif. Rupanya baik Cantona maupun Michel Der Zakarian, pemain Nantes itu, saling mengingat masa lalunya! Tak lama kemudian mereka saling bereaksi di lapangan.
Tak urung wasit mengusir Cantona dengan kartu merah. Hukuman Cantona dianggap berat sebab dia yang memulai perkara. Teklingnya yang sadis ala Kungfu ke Zakarian bukan saja dianggap amat berbahaya tapi juga sesuatu yang gila di sepak bola. Benar saja, Cantona dihukum tiga bulan oleh FFF. Namun, sekali lagi, bakat hebatnya telah menyelamatkan kariernya di Prancis. Tenaga pria yang tak suka bicara banyak ini memang dibutuhkan di tim nasional junior Prancis.
Pada 1988 timnas Prancis U21 jadi juara Eropa. Lagi-lagi nama Cantona disebut-sebut media massa se-Eropa. Bangsa Inggris pertama kali berkenalan dengan Cantona juga dari ajang itu. Pada perjalanan menuju juara, Les Bleus junior mengalahkan Inggris U-21 di babak perempatfinal di mana Cantona mencetak hattrick! Namun begitu tak bisa dipungkiri bahwa di era inilah Cantona sedang memasuki masa jahiliyah-nya.
Cantona disebut-sebut seorang pendendam seketika. Barangkali sejenis Manic-Depression akut. Hal ini dibuktikan ketika dia meludahi kerumunan suporter Leeds United yang mengatainya pengkhianat. Ia sabar hingga laga usai sebelum melakukan aksinya. Dia juga pernah bergumul dan berkelahi dengan seorang polisi Turki yang dianggap telah mengintimidasinya.
Frustrasi disewakan Marseille ke Bordeuax, Januari 1989, Cantona langsung bikin ulah saat membela Bordeaux berlaga melawan Torpedo Moskva. Pertama dia menendang bola ke penonton. Kedua, begitu diganti pelatih Aime Jacquet atas ulahnya itu, Cantona melempar dan membanting kostum Bordeaux. Dia langsung ‘dirumahkan’ sebulan oleh klub barunya. Di saat yang sama pintu ke tim nasional tertutup lagi akibat menghina pelatih nasional Henri Michel saat diwawancara oleh TV.
Kepedulian Platini
Tidak tahan punya bintang bengal, Bordeaux – yang saat itu diperkuat deretan bintang seperti Bixente Lizarazu, Alain Roche, Jean Tigana, Enzo Scifo, Christophe Dugarry, Yannick Stopyra, Jesper Olsen, atau Bernard Genghini – akhirnya memulangkan Cantona.
Di musim 1989/90, Marseille kembali mengirim Cantona ke Montepellier semusim penuh. Di sini bengalnya tidak mau hilang. Cantona berkelahi dengan rekan barunya di Montpellier, Jean-Claude Lemoult. Wajah Lemoult bonyok sebab dilempar sepatu bola oleh Cantona. Melihat itu, enam pemain Montpellier bikin petisi agar Cantona diusir dari klub.
Namun dua pemain berpengaruh di Montpellier, Laurent Blanc dan Carlos Valderrama (Kolombia) meredam suasana seraya berjanji akan meredam kelakuan Cantona. Janji itu ditepati. Jiwa Cantona berubah membaik seiring dengan penampilan hebatnya, hingga Montpellier sanggup merebut titel Coupe De France. Aksi semusim di 1989/90 di Montpellier itu membuka mata Marseille bahwa pemain ‘tirinya’ itu ternyata memang punya sesuatu yang dapat dimanfaatkan.
Kedatangan kembali Cantona di Marseille – klub yang paling dicintainya – tidak mengubah banyak keadaan. Tapie terus melakukan bongkar pasang mencari skema manajemen terbaik. Setelah Gerard Gili dipecat, dia memanggil Franz Beckenbauer jadi manajer tim yang baru. Proses permainan masih belum juga memuaskan Tapie. Di tengah perjalanan, legenda Jerman dipecat dan giliran Raymond Goethals (Belgia) masuk menggantikan.
Walau Marseille sukses meraih titel juara Liga Prancis 1990/91, namun Cantona – hanya tampil 21 kali dengan 9 gol – kena assesment yang membuatnya harus dijual ke Nimes. Tak pelak lagi, realita seperti ini membuat Cantona kembali dilanda kekecewaan dan frustrasi. Dia seperti dipaksa harus meninggalkan klub kecintaannya. Di musim 1991/92 Cantona resmi bermain di Nimes, sebuah klub terbilang gurem di Liga Prancis.
Sudah bisa diramal penyakit psikopat Cantona bakal muncul. Pada Desember 1991, dalam sebuah laga dia melempar bola pada wasit karena kecewa dengan keputusannya. Eric dihukum FFF sebulan tak boleh main. Ketika diadili untuk banding, dia malah mengatai-ngatai para utusan FFF dengan sebutan idiot. Hukumannya ditambah jadi dua bulan. Mendengar itu putusan itu, pada 16 Desember 1991, Eric Cantona langsung memaklumatkan untuk mengundurkan diri total dari dunia sepak bola!
Mendengar kabar itu, pelatih nasional Michel Platini (1988-92) rada panik. Dia adalah pemuja Cantona dan tahu bila orang ini gantung sepatu, Prancis akan kehilangan salah satu aset penting di sepak bola. Pengumuman itu juga membuat Marseille panik. Cuek terkesan menjilat ludah, mereka antusias menawari kontrak baru lagi. Namun apa yang dilakukan kubu Les Bleus lebih kongkrit dan mengubah jalan hidup Cantona.
Saking takutnya, Platini mengutus asistennya, Gerard Houllier, untuk merayu Cantona. Kebetulan Houllier seorang psikoanalis, semacam psikiater, yang cukup andal. “Dia (Houllier) menyarankan saya menolak ke Marseille, dan kalau mau, dia merekomendasikan saya ke klub-klub Inggris,” aku Cantona suatu kali.
Sejarah menulis nama Cantona mulai jadi isu di Inggris setelah Liverpool menang 3-0 atas Auxerre di Piala UEFA, 6 November 1991. Laga itu ditonton Platini dan Houllier. Usai laga, Platini menemui pelatih Liverpool, Graeme Souness, yang meminta The Reds mentransfer Cantona di bursa transfer Januari nanti. Souness bilang terima kasih tapi menolaknya. Barangkali dia membayangkan skuad Liverpool yang sudah mapan bakal berantakan bila Cantona bergabung.
Souness melihat timnya tetap oke sebab masih punya Ian Rush, John Barnes, Dean Saunders, dan juga bintang Israel, Ronny Rosenthal. Namun uniknya, Souness malah mendatangkan Paul Stewart dan Nigel Clough yang kelasnya masih di bawah Cantona.
Namun Platini – eks bintang Juventus (1982-87) – tidak menyerah. Gayungnya disambut oleh Trevor Francis, pelatih Sheffield Wednesday, klub Divisi Dua Inggris yang sedang berambisi promosi ke Divisi Utama. Dan Francis sudah dikenal lama oleh Platini ketika dia menjadi pemain Sampdoria (1982-86).
Namun Francis mengajukan satu syarat hanya mencoba Cantona sebagai trialist, pemain untuk teman berlatih, sebab diakuinya The Owls tidak punya bujet transfer sama sekali. Baik Liverpool maupun Sheffield Wednesday sama-sama menolak Cantona, namun cara yang dilakukan The Owls lebih sopan. Hubungan pertemanan Platini-Francis adalah penyebabnya, dan itu kelak menjadi titik balik nasib Cantona ke depan.
Pucuk Dicinta Ulam Tiba
Untungnya Cantona, yang tetap berstatus menjadi pemain Nimes, mau ditawari Francis seperti itu. Iyalah, daripada menganggur tidak karuan di Prancis. Jadilah Cantona hanya bermain sepak bola indoor bersama klub Divisi Dua itu di kala musim dingin tiba.
Di saat itu semua klub-klub di Inggris justru menghadapi beberapa laga penting Boxing Day di Liga dan Piala FA. Nasib Cantona mulai terang ketika klub yang tengah berpeluang bagus di Divisi Utama Inggris 1991/92, Leeds United, mau membayar 900 ribu pound kepada klub Cantona, Nimes.
Leeds, yang dilatih Howard Wilkinson, adalah juara Divisi Dua Inggris di musim sebelumnya. Euforia yang meledak-ledak membuat mereka berprestasi bagus di Premiership. Cantona hanya tampil 15 kali dan bikin tiga gol. Namun berbagai assist dan dukungannya pada striker utama Lee Chapman, dianggap menjadi kunci sukses Leeds United yang secara menghebohkan menjuarai Premiership 1991/92.
Mata pecandu bola di Inggris makin terbuka ketika Cantona mencetak hattrick saat Leeds mengalahkan Liverpool, juara Piala FA, dalam laga Charity Shield di Wembley. Sebuah prestasi yang langka sebab jarang ada pemain yang bisa mencetak tiga gol dalam laga final. Bisa dibayangkan bagaimana raut wajah Souness ketika itu. Nasib baik menunggu Cantona di Liga Inggris 1992/93.
Beruntungnya lagi, kehadiran Cantona berbarengan dengan dimulainya era Premiership, musim 1992/93, sebutan pengganti untuk Divisi Utama Liga Inggris. Cantona semakin menggila ketika membuat hattrick lagi tatkala Leeds menggulung Tottenham Hotspur 5-0 di liga. Atensi pada dirinya makin menyeruak, dan puncaknya ikut membuat galau Manchester United, klub yang sedang bermimpi jadi juara Liga Inggris setelah musim 1966/67 atau 26 tahun lalu!
Dan setelah enam musim dilatih Alex Ferguson (sejak November 1986), The Red Devils selalu gagal dalam persaingan juara. Sejak 1986/87, titel Liga Inggris seolah cuma beredar antara kota London dan kota Liverpool. Jika bukan Everton, pasti Liverpool dan Arsenal. Kali ini bahkan Leeds! Secara personal Ferguson merasa punya aura dan spirit yang sama dengan Cantona. Setelah dipikir secara mendalam, dia mengakui amat mengidamkan Cantona di timnya!
Kata orang, pucuk dicinta ulam tiba. Semuanya diawali oleh ketertarikan Wilkinson pada bek kiri United, Dennis Irwin. Wilko lalu meminta bos Leeds Bill Fotherby agar mengurus, yang segera menelpon Martin Edwards, bos besar Manchester United. Ferguson langsung menampik usulan Edwards yang meminta dirinya melepas Irwin ke Leeds. Sebaliknya Ferguson justru butuh seorang striker, dan dia selalu ingat akan hasrat terdalamnya.
Tiga nama terdepan yang diusulkan dan sedang diurus Edwards adalah David Hirst, Matt Le Tissier, dan Brian Deane. Tapi Ferguson menyebut nama Cantona seraya meminta atasannya untuk bertanya balik pada Fotherby. Lalu Fotherby berdiskusi pada Wilkinson, pelatih Leeds yang tengah euforia, dan jawabannya sangat mengejutkan.
Cantona bisa dilepas ke Old Trafford! Pada 26 November 1992, momen yang kelak mengubah sejarah United secara keseluruhan, sungguhan terjadi ketika Leeds menerima cek senilai 1,2 juta pound untuk kepindahan Cantona ke United.
Hujan emas di negeri orang adalah ungkapan yang tepat untuk Cantona. Merasa naik pangkat akibat lebih ‘dibutuhkan’ di negeri orang, kali ini Cantona sama sekali tidak merasa jadi pemain buangan seperti di negerinya sendiri. Kondisi psikisnya kian membaik, dan rekan-rekan barunya menyambut dirinya dengan hangat. Apalagi Ferguson cukup memanjakannya, dan menjadikannya kapten tim. Di tengah permainan, Cantona sangat nyetel dengan Mark Hughes dan Brian McClair.
Trio inilah yang mengawali kesuksesan United dan Ferguson mengakhiri puasa panjangnya di Liga Inggris. Di musim 1992/93 itu, akhirnya Red Devils meraih juara Premieship untuk pertama kalinya. Nama Cantona tak pelak tercatat dengan tinta emas dalam sejarah klub.
Namun pelajaran hidup mengatakan tidak melulu kegagalan yang bikin orang hancur, tetapi juga kesuksesan. Setelah tiga musim di United, Cantona kembali menunjukkan sifat aslinya: semau gua. Manusia gua yang semau gua? Olala. Cantona oh Cantona...
(foto: bbc/sportbible/guardian/offsideflag/montpellierinteractive/zetaboards/pinterest)