Kompetisi Liga Indonesia belum genap sebulan bergulir. Tapi dari 53 wasit yang memimpin pertandingan, dua di antaranya telah dinon-aktifkan. Siapa mereka? "Mohon maaf, saya tak bisa menyebut namanya. Ini sudah komitmen," tegas Jafar Umar, Ketua Komisi Wasit PSSI.
Pastinya kedua orang itu akan diskors sementara hingga pertandingan istirahat sebulan penuh di bulan Ramadhan tahun depan. Setelah Idul Fitri. dengan berbagai pertimbangan, kedua wasit itu diizinkan kembali bertugas. Jafar mengaku mengambil inisiatif langsung untuk memutuskan hal itu, karena ia tidak percaya begitu saja kepada Inspektur Pertandingan (IP).
Memang menurutnya kedua wasit itu memimpin di bawah standar yang diharapkan. Kebetulan lagi, saat kedua wasit itu menjalankan tugasnya, Jafar menonton pertandingan tersebut. "Ya, penilaian IP 'kan berbeda dengan saya," ujarnya. Karena punya wewenang penuh untuk mengambil keputusan terhadap anak buahnya itulah Jafar menghukum mereka.
Kalau ada lagi wasit yang terbukti memimpin dalam kategori buruk, bukan mustahil Jafar akan menjatuhkan tindakan serupa. "Bisa lebih berat kalau memang kesalahannya lebih fatal. Malah sampai partai final wasit yang bersangkutan mungkin tak akan saya tugaskan lagi," tuturnya.
Mantan Pemain
Untuk menjadi wasit yang baik, pengalaman mutlak diperlukan. Begitu kata Jafar Umar. "Apalagi untuk menjadi wasit FIFA," tambahnya. Salah satu jalan ke arah itu adalah wasit yang mantan pemain. Sekarang ini yang aktif bertugas terdapat sembilan orang kepercayaan FIFA.
Mereka adalah Ngadiman Asri asal Simalungun, Sumatera Utara, I Made Sudra (Bali), Widiyanto Nugroho (Semarang), dan Zulkifli Chaniago (Bengkulu) untuk wasit. Sedangkan Zainudin A (Aceh), Miskamto (Jakarta), Hajar Supriyono (Yogyakarta), Yan Karyoso (Tulungagung), dan Abdul Razak Umar (Palu) bertindak sebagai penjaga garis.
Para penjaga garis itu tak diizinkan menjadi wasit dalam pertandingan yang diakui FIFA. "Tapi untuk Liga Indonesia mereka tentu saya tugaskan memimpin pertandingan," ungkap Jafar lagi. Bagaimana pun harapan Jafar agar mantan pemain beralih status menjadi wasit tetap besar. Namun ia maklum kalau mereka akhirnya menjadi pelatih. "Gaji pula yang menentukan," ujarnya.
Isu Suap
Isu lain yang sebenarnya tidak diyakini Jafar terjadi pada para wasit adalah soal suap. Menurutnya, adalah bodoh kalau mereka mau menerima segepok uang hanya untuk kepentingan pihak tertentu. Gaji mereka sekarang sudah jauh lebih besar dibandingkan, katakanlah 10 tahun lalu.
"Sekali memimpin, mereka dibayar Rp 350 ribu ditambah bonus Rp 200 ribu dari sponsor," tutur Jafar. Bandingkan dengan yang pernah diterima Jafar kala memimpin final Divisi Utama PSMS vs Persib tahun 1985. Berapa? Hanya 10 ribu rupiah!
Sampai sekarang, Jafar belum melihat anak buahnya terlibat suap. Dengan bayaran sekian dan sama jumlahnya bagi semua wasit, apalagi kalau mereka memimpin dua sampai tiga kali dalam sebulan, gaji korps pengadil ini bisa lebih besar dibandingkan pemain lokal. “Makanya sangat tidak masuk akal jika mereka mau menerima uang haram itu,” kata mantan wasit yang mengaku paling sering memimpin partai final baik Galatama, Perserikatan, atau PON itu.
(foto: zaenal effendi)
Jafar Umar. |
Memang menurutnya kedua wasit itu memimpin di bawah standar yang diharapkan. Kebetulan lagi, saat kedua wasit itu menjalankan tugasnya, Jafar menonton pertandingan tersebut. "Ya, penilaian IP 'kan berbeda dengan saya," ujarnya. Karena punya wewenang penuh untuk mengambil keputusan terhadap anak buahnya itulah Jafar menghukum mereka.
Kalau ada lagi wasit yang terbukti memimpin dalam kategori buruk, bukan mustahil Jafar akan menjatuhkan tindakan serupa. "Bisa lebih berat kalau memang kesalahannya lebih fatal. Malah sampai partai final wasit yang bersangkutan mungkin tak akan saya tugaskan lagi," tuturnya.
Mantan Pemain
Untuk menjadi wasit yang baik, pengalaman mutlak diperlukan. Begitu kata Jafar Umar. "Apalagi untuk menjadi wasit FIFA," tambahnya. Salah satu jalan ke arah itu adalah wasit yang mantan pemain. Sekarang ini yang aktif bertugas terdapat sembilan orang kepercayaan FIFA.
Mereka adalah Ngadiman Asri asal Simalungun, Sumatera Utara, I Made Sudra (Bali), Widiyanto Nugroho (Semarang), dan Zulkifli Chaniago (Bengkulu) untuk wasit. Sedangkan Zainudin A (Aceh), Miskamto (Jakarta), Hajar Supriyono (Yogyakarta), Yan Karyoso (Tulungagung), dan Abdul Razak Umar (Palu) bertindak sebagai penjaga garis.
Para penjaga garis itu tak diizinkan menjadi wasit dalam pertandingan yang diakui FIFA. "Tapi untuk Liga Indonesia mereka tentu saya tugaskan memimpin pertandingan," ungkap Jafar lagi. Bagaimana pun harapan Jafar agar mantan pemain beralih status menjadi wasit tetap besar. Namun ia maklum kalau mereka akhirnya menjadi pelatih. "Gaji pula yang menentukan," ujarnya.
Isu Suap
Isu lain yang sebenarnya tidak diyakini Jafar terjadi pada para wasit adalah soal suap. Menurutnya, adalah bodoh kalau mereka mau menerima segepok uang hanya untuk kepentingan pihak tertentu. Gaji mereka sekarang sudah jauh lebih besar dibandingkan, katakanlah 10 tahun lalu.
"Sekali memimpin, mereka dibayar Rp 350 ribu ditambah bonus Rp 200 ribu dari sponsor," tutur Jafar. Bandingkan dengan yang pernah diterima Jafar kala memimpin final Divisi Utama PSMS vs Persib tahun 1985. Berapa? Hanya 10 ribu rupiah!
Sampai sekarang, Jafar belum melihat anak buahnya terlibat suap. Dengan bayaran sekian dan sama jumlahnya bagi semua wasit, apalagi kalau mereka memimpin dua sampai tiga kali dalam sebulan, gaji korps pengadil ini bisa lebih besar dibandingkan pemain lokal. “Makanya sangat tidak masuk akal jika mereka mau menerima uang haram itu,” kata mantan wasit yang mengaku paling sering memimpin partai final baik Galatama, Perserikatan, atau PON itu.
(foto: zaenal effendi)