Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

Kejurnas Angkat Besi 1994: Peta Kekuatan Tidak Merata

Meski dibayangi oleh sepinya penonton, Kejuaraan Nasional Angkat Besi, Bina Raga, dan Angkat Berat XIII di Bekasi, ternyata tetap disemarakkan paling tidak oleh rekor-rekor. Hari pertama saja lifter putri asal Lampung, Sriyani, sudah memecahkan dua rekornas di kelas 64 kg.
Kejurnas Angkat Besi 1994: Peta Kekuatan Tidak Merata

Lifter nasional ini membukukan rekor nasional baru untuk angkatan Clean & Jerk dari 105 menjadi 110 kg. serta angkatan total 187.5 ke 190 kg. Selain itu lifter Ami G juga berjaya dengan dua rekornas barunya, 175 kg di kelas 70 kg untuk jenis total, dari rekor sebelumnya yaitu 167,5 kg. Satu lagi yang dipecahkan Ami adalah di jenis Clean & Jerk dari 95 menjadi 97,5 kg.

Demikian juga lifter nasional lain seperti Supeni (Jambi), yang tanpa pesaing, menyumbang tiga medali emas, komplit di tiga jenis angkatan. Pemegang medali perak Asian Games Hiroshima ini turun di kelas 50 kg. Sayang lifter nasional asal Jabar, Fatmawati, tidak bisa ikut karena cedera setelah AG XII belum pulih.

Kurang Sponsor

Sayang, kejurnas kali ini masih saja tetap didominasi oleh daerah yang "itu-itu juga" yaitu Lampung, Jabar, Sulsel, atau Jambi adalah gudang "Samson-Samson" nasional. bukan saja tingkat senior, tapi juga junior. Lampung misalnya, hari pertama saja sudah merebut 12 medali emas. Bisa dikatakan peta kekuatan amat tidak merata.

Menanggapi hal demikian, Ketua Harian PB PABBSI Budiono Kartohadiprodjo memaklumi kondisi daerah-daerah lain yang masih belum unjuk gigi. "Karena kesulitan dana masing-masing, kejurnas ini saja cuma diikuti oleh 13 pengda dari 22 pengda yang ada di lingkungan PABBSI," ungkap Budiono.

Masalah dana memang menjadi hal yang dirasakan paling menghambat pembinaan di daerah. Terlebih lagi PB PABBSI menekankan bahwa soal dana, pengda jangan terlalu ngoyo ke pusat. "Tapi harus diakui, mencari sponsor untuk angkat besi memang sulit. Soalnya angkat besi ‘kan bukan olah raga permainan. Lain dengan bulu tangkis atau sepak bola," tanggap Tommy Tueh SH, manajer tim Kalteng.

Ia menuturkan bahwa untuk masalah gizi saja, daerahnya sudah kesulitan sponsor untuk dijadikan bapak angkat. "Lifter itu paling tidak, seharinya harus membutuhkan 6.000 kalori. Tanpa bantuan sponsor, tentu saja kami akan sulit berkembang," tambah Tommy yang juga menjabat sekretaris pengda PABBSI Kalteng.

Memang terlihat persaingan para lifter junior lebih kompetitif dibandingkan senior. "Hidup Bengkulu, Hidup Kalsel...". yel-yel pemberi semangat ini terdengar begitu bergemuruh saat rekan mereka berhasil mengangkat barbel. Daerah-daerah seperti Bengkulu, Kalsel, atau pengda paling buncit, Kalteng, sudah mulai menunjukkan ketertinggalnya dari daerah lain.

(foto: tjandra)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini