Perjalanan, Pengalaman, & Pemahaman Permainan Terindah

Rai Oliveira: Pasang Surut Dicerca dan Dicinta

Jauh sebelum memperkuat Paris Saint Germain (PSG), Rai telah mempunyai keinginan yang akhirnya jadi kenyataan. “Saya cinta Paris. Saya selalu menginginkan tinggal di sana dan saya bangga bisa menjadi bagian dari masyarakat Paris," ucapnya saat itu. Namun ia lupa bahwa Paris juga bisa membencinya.

Rai Oliveira: Pasang Surut Dicerca dan Dicinta

Untaian kata-kata Rai di atas belum menjadi jaminan baginya untuk dianggap sebagai bagian The Parisian. Kalau PSG gagal menjadi juara Liga Prancis 1993/94, bisa dipastikan pemain bernama lengkap Raimundo Souza Vieira de Oliveira ini akan tenggelam selama-lamanya. Sebelumnya pendukung PSG sudah putus asa pada Rai dan berharap ia segera pergi dari Paris. Rai beruntung sebab PSG sukses jadi juara. Lebih beruntung lagi, PSG kedatangan pelatih baru.

Ada satu ungkapan di sana yang bunyinya: “PSG menang, Rai bermain buruk. PSG seri, Rai bermain buruk. PSG kalah, Rai bermain buruk”. Anggapan itu bisa diartikan sudah tak pedulinya para Le Parisien atas kehadiran Rai. Mereka jelas kesal. Awalnya mereka menganggap Rai sebagai bintang yang terbesar sepanjang sejarah klub itu sejak berdiri pada 1973. Tapi beda kenyataan.

Sewaktu menjuarai Ligue 1 yang kedua kali, setelah 1985/86, Rai tidak dianggap pahlawan. Warga Paris lebih menghargai the Brazilian lain, Valdo dan Ricardo Gomez. Valdo yang berposisi gelandang sayap, dinilai lebih menggigit ketimbang Rai yang bermain sebagai playmaker. Jasa Gomez dikenang atas koordinasi pertahanan yang dipimpinnya.

Barangkali Rai masih dilindungi nama besarnya. Mereka masih ingat bahwa Rai adalah pemain terbaik Piala Toyota 1992. Penentu kemenangan Sao Paulo 2-1 atas Barcelona. Mereka Juga menghargai karena dia adalah pemain termahal yang pernah dibeli PSG (hampir 7 miliar rupiah). Mereka akhirnya benar-benar maklum usai PSG menjadi juara.

Tapi, itu hanya sekejap. Ingatan kembali menyeruak ke permukaan tatkala PSG mengalami surut prestasi di musim ini. Jangankan Rai, sang pelatih Arthur Jorge (Portugal), yang mengantar PSG berjaya, dipecat oleh Presiden PSG Bernard Brochand. Jorge kemudian diganti oleh Luiz Fernandez, mantan pemain nasional Prancis di dekade 1980-an. Ini titik balik yang mengubah penampilan Rai.

Kunci Kebangkitan

Fernandez berani melawan arus. Dia mempertahankan mati-matian pemain yang dijuluki “Maradona Brasil” itu. Bahkan ia berani mempertaruhkan jabatan demi Rai, karena saat itu petinggi PSG sudah memberi lampu hijau untuk menjual pemain bernomor 10 itu. Piala Dunia 1994 dianggap sebagai titik kulminasi terendah Rai.

Rai Oliveira: Pasang Surut Dicerca dan Dicinta


“Rai merupakan kendala terbesar taktik Brasil. la belum bisa melepaskan tekanan psikis klubnya," kata Zico. Namun pelatih Carlos Alberto Parreira ngotot mempertahankannya. Walau dibela nasib baik, permainan Rai tetap tak berubah: buruk. Carlos Alberto baru percaya. Ban kapten yang disandangnya terpaksa diberikan kepada pemain senior lainnya, Carlos Dunga. Setelah Rai tidak diturunkan di final Piala Dunia 1994 melawan Italia, Brasil menang adu penalti.

Masa-masa negatif Rai juga diingat saat PSG berkiprah di Piala Winner 1993/1994. Mereka berhasil lolos ke semi-final dan menghadapi rintangan terakhir, Arsenal. Masyarakat menunggu. Akankah PSG tampil di final internasional pertama kali? Ternyata tidak. Akibat kalah selisih gol tandang (1-1 dan 0-0), impian masyarakat Paris terbang melayang. Rai kembali jadi terpidana.

Masa-masa suram itu pasti selalu diingat pemain yang kini berusia 29 tahun. Kenangan lama menjadi cambuk sehingga ia kini seolah bangkit dari kubur. Di Ligue 1, posisi PSG terus mendekati posisi puncak. Yang menggembirakan lagi, produktivitas Rai pun meningkat. Tujuh gol telah dibukukan sehingga dirinya tercatat sebagai pencetak gol terbanyak di klub melewati David Ginola.
Rai Oliveira: Pasang Surut Dicerca dan Dicinta
Kuartet maut Paris: Rai, Ginola, Weah, dan Le Guen.
Di ajang bergengsi Piala Champion, harapan besar juga muncul. Paris SG merupakan satu-satunya klub yang memastikan diri ke perempatfinal. Hal ini menguntungkan sebab PSG bisa berkonsentrasi mengejar target lain di liga. Semua jadi berubah begitu performa Rai kembali seperti semula.

Setelah ditinggal Valdo ke Bordeaux, Fernandez sukses memaksimalkan peranan Rai di lini tengah. Inilah kunci kebangkitan Rai dan PSG secara keseluruhan. Kerjasamanya dengan Alain Roche, Daniel Bravo, dan Patrick Colleter begitu hidup dan dinamis. Dikelilingi tiga rekannya yang jago mematahkan serangan lawan, Rai leluasa mengatur serangan, menyuplai bola dan umpan pada duet striker, George Weah (Liberia) dan Ginola.

Problem terberat Rai tampaknya telah berlalu. Adik dari Socrates, mantan kapten Brasil  di era 1980-an ini mulai menemukan kegairahan lagi. Publik Parc des Princes, stadion kebanggaan PSG, kembali mencintainya, mengharapkannya, mengelu-elukannya. Namun yang paling menggembirakan Rai adalah dia diakui lagi sebagai bagian dari Le Parisien. Itu sudah lebih dari cukup.

Rai Oliveira: Pasang Surut Dicerca dan Dicinta

(foto: firerank/psg70.free/pinterest/redcafe.net)

Share:

Artikel Populer

Maurizio Sarri: Tantangan Baru Si Mantan Bankir

Buat tifosi Napoli yang militan dan fanatik, begitu melihat jagoannya cuma meraup dua poin dari tiga laga jelas bikin dongkol selain gundah...

Arsip

Intermeso

Wawancara

Arsip

Artikel Terkini