Biasanya kalau dipandang remeh akan membuat kepercayaan orang diri luntur. Namun bisa saja tidak, jika orang itu memiliki mental kuat dan tak mudah putus asa. Maka imbalannya yang paling pantas adalah kesuksesan. Ini jelas dirasakan gelandang menyerang Ajax Amsterdam asal Nigeria yang belakangan sedang naik daun.
Siapa Finidi George? Tengok dulu penyisihan Grup D Piala Dunia 1994 lalu. Saat Nigeria menggulung Yunani 2-0. Gol indah Finidi di menit terakhir ke gawang Christos Karkamanis membuat skenario perdelapan final langsung jadi kacau. Nigeria menjuarai Grup D dengan melangkahi Bulgaria dan Argentina.
Jadi sebenarnya kualitasnya bukan main-main. Jika ditarik ke belakang lagi, maka dia juga berkontribusi besar meloloskan negaranya meraih tiket ke Piala Dunia 1994. Dalam laga pra Piala Dunia yang menentukan di Algiers, ibukota Aljazair, Oktober 1993, gol Finidi merampas tiket tuan rumah untuk lolos ke Piala Dunia 1994. Super Eagles sukses menahan seri 1-1 tuan rumah.
Walau jadi pahlawan bangsa, entah kenapa nasib Finidi rada buruk. Di awal-awal putaran grup Piala Dunia 1994, ia sempat dinomorduakan oleh pelatih Clement Westerhoff. Namanya tenggelam di balik mencuatnya Rashidi Yekini, Emmanuel Amunike, Sunday Oliseh, atau Daniel Amokachie. Finidi merasa jengkel dan mencap pelatih asal Belanda itu sebagai orang yang keras kepala.
Menjadi Penjelajah
Namun selepas Piala Dunia, dasar bakatnya memang bagus, dia mulai menemukan kegairahan lagi. Ketika pertama kali menempati posisi Brian Roy yang hengkang ke Foggia, Italia, gelandang sayap cukup kesulitan beradaptasi dengan varian dan gaya main Ajax yang diinstruksikan manajer Louis van Gaal, yaitu harus bisa bermain di segala posisi.
Untuk komitmen bermain atau disiplin, Van Gaal dikenal memang zakelijk alias saklek, bahasa Jawa-nya. Apalagi untuk pemain baru macam Finidi. Jelas, ini menyangkut reputasi sang manajer mengingat Van Gaal punya catatan sukses dalam menempa pemain baru.
Diketahui pula, saat tim pemandu bakat mencomot Finidi dari Afrika langsung, dari klub Calabar Rovers, Van Gaal sempat tak berkonsultasi dulu dengan Johan Cruijff, sang 'Suhu' Ajax Amsterdam, yang dikenal tidak menyukai pemain-pemain asal Afrika.
Tahun pertama di Ajax, perkembangan dan masa depan Finidi sempat mengkhawatirkan. Untungnya di saat itu Ajax sukses meraih gelar Eredivisie 1993/94. Baru di musim 1994/95 ini, bujangan berusia 23 tahun itu mulai menunjukkan prestasi meningkat. Makin produktif, makin mengkilap. Seiring sejalan, namanya pun masuk dalam daftar pencetak gol terbanyak sementara Liga Belanda pada pekan ini.
Ada keyakinan penampilan pemain kelahiran 15 April 1971 ini bakal meroket, seiring sejalan dengan pengalaman terdahulu baik di musim lalu bersama Ajax atau tim nasional Nigeria di Piala Dunia 1994. "Dia masih muda. masih bisa berkembang pesat. Kelebihan pemain-pemain Afrika adalah mempunyai otot yang lebih kuat. Dia amat cocok sebagai penjelajah," ungkap Van Gaal.
Belum memuaskan, namun tentu saja harapan menguat. Lihat saja komposisi lapangan tengah Ajax yang semakin mendingan dengan kuartet Finidi di sayap kanan dan Marc Overmars di kiri yang mengapit duet Frank Rijkaard dan Jari Litmanen. Selain tangguh, barisan lini tengah Ajax ini juga subur dalam menyuplai umpan ke striker kembar, Ronald de Boer - Patrick Kluivert.
Dalam laga Grup D Liga Champion 1994/95 di Amsterdam, September silam, AC Milan kesusahan mengatasi kuartet ini. Meski diperkuat trio Ruud Gullit, Roberto Donadoni, dan Zvonimir Boban, lapangan tengah Rossoneri porak poranda oleh tusukan Overmars dan Finidi. Pertahanan Franco Baresi kocar-kacir yang berujung pada bocornya gawang Sebastiano Rossi sampai dua kali. Milan kalah 2-0. Pasti kejengkelan Finidi George sekarang sudah hilang.
(foto: ajaxinside/wolexis)
Finidi George (kiri) dan Louis van Gaal. |
Siapa Finidi George? Tengok dulu penyisihan Grup D Piala Dunia 1994 lalu. Saat Nigeria menggulung Yunani 2-0. Gol indah Finidi di menit terakhir ke gawang Christos Karkamanis membuat skenario perdelapan final langsung jadi kacau. Nigeria menjuarai Grup D dengan melangkahi Bulgaria dan Argentina.
Jadi sebenarnya kualitasnya bukan main-main. Jika ditarik ke belakang lagi, maka dia juga berkontribusi besar meloloskan negaranya meraih tiket ke Piala Dunia 1994. Dalam laga pra Piala Dunia yang menentukan di Algiers, ibukota Aljazair, Oktober 1993, gol Finidi merampas tiket tuan rumah untuk lolos ke Piala Dunia 1994. Super Eagles sukses menahan seri 1-1 tuan rumah.
Walau jadi pahlawan bangsa, entah kenapa nasib Finidi rada buruk. Di awal-awal putaran grup Piala Dunia 1994, ia sempat dinomorduakan oleh pelatih Clement Westerhoff. Namanya tenggelam di balik mencuatnya Rashidi Yekini, Emmanuel Amunike, Sunday Oliseh, atau Daniel Amokachie. Finidi merasa jengkel dan mencap pelatih asal Belanda itu sebagai orang yang keras kepala.
Menjadi Penjelajah
Namun selepas Piala Dunia, dasar bakatnya memang bagus, dia mulai menemukan kegairahan lagi. Ketika pertama kali menempati posisi Brian Roy yang hengkang ke Foggia, Italia, gelandang sayap cukup kesulitan beradaptasi dengan varian dan gaya main Ajax yang diinstruksikan manajer Louis van Gaal, yaitu harus bisa bermain di segala posisi.
Untuk komitmen bermain atau disiplin, Van Gaal dikenal memang zakelijk alias saklek, bahasa Jawa-nya. Apalagi untuk pemain baru macam Finidi. Jelas, ini menyangkut reputasi sang manajer mengingat Van Gaal punya catatan sukses dalam menempa pemain baru.
Diketahui pula, saat tim pemandu bakat mencomot Finidi dari Afrika langsung, dari klub Calabar Rovers, Van Gaal sempat tak berkonsultasi dulu dengan Johan Cruijff, sang 'Suhu' Ajax Amsterdam, yang dikenal tidak menyukai pemain-pemain asal Afrika.
Tahun pertama di Ajax, perkembangan dan masa depan Finidi sempat mengkhawatirkan. Untungnya di saat itu Ajax sukses meraih gelar Eredivisie 1993/94. Baru di musim 1994/95 ini, bujangan berusia 23 tahun itu mulai menunjukkan prestasi meningkat. Makin produktif, makin mengkilap. Seiring sejalan, namanya pun masuk dalam daftar pencetak gol terbanyak sementara Liga Belanda pada pekan ini.
Ada keyakinan penampilan pemain kelahiran 15 April 1971 ini bakal meroket, seiring sejalan dengan pengalaman terdahulu baik di musim lalu bersama Ajax atau tim nasional Nigeria di Piala Dunia 1994. "Dia masih muda. masih bisa berkembang pesat. Kelebihan pemain-pemain Afrika adalah mempunyai otot yang lebih kuat. Dia amat cocok sebagai penjelajah," ungkap Van Gaal.
Belum memuaskan, namun tentu saja harapan menguat. Lihat saja komposisi lapangan tengah Ajax yang semakin mendingan dengan kuartet Finidi di sayap kanan dan Marc Overmars di kiri yang mengapit duet Frank Rijkaard dan Jari Litmanen. Selain tangguh, barisan lini tengah Ajax ini juga subur dalam menyuplai umpan ke striker kembar, Ronald de Boer - Patrick Kluivert.
Dalam laga Grup D Liga Champion 1994/95 di Amsterdam, September silam, AC Milan kesusahan mengatasi kuartet ini. Meski diperkuat trio Ruud Gullit, Roberto Donadoni, dan Zvonimir Boban, lapangan tengah Rossoneri porak poranda oleh tusukan Overmars dan Finidi. Pertahanan Franco Baresi kocar-kacir yang berujung pada bocornya gawang Sebastiano Rossi sampai dua kali. Milan kalah 2-0. Pasti kejengkelan Finidi George sekarang sudah hilang.
(foto: ajaxinside/wolexis)