Buat Italia, sepak bola Inggris adalah sebuah obsesi dan ikon rivalitas. Walau di satu sisi mereka mengklaim Julius Caesar yang mengenalkan sepak bola ke Britania, tapi pada sisi lain, budaya calcio Italia juga mengakui Inggris sebagai tanah air sejati sepak bola yang memicu berkembangnya permainan sepak bola modern di negeri mereka. Yang menarik, sejalan dengan peredaran waktu, efeknya jadi serius. Orang-orang Italia berubah impulsif jika harus bicara atau meladeni gaya Inggris. Pada dasarnya, Italia lebih suka berkelahi dengan Brasil atau Jerman sekalian daripada ketemu Inghilterra.
Pasalnya budaya sepak bola Italia mencap gaya Britania sebagai momok menakutkan, minimal bikin puyeng dan capek meladeninya. Lucunya, orang Inggris pun merasakan hal yang sama. Ada dua lawan yang paling dibenci bangsa Inggris: Jerman dan Italia! Bek dan kiper Italia paling gedeg sekaligus jiper dengan umpan lambung atau crossing dari sayap kiri dan kanan ke gawang mereka. Sedangkan para penyerang Italia paling sebal bertemu bek-bek Inggris yang suka hantam kromo dan dianggap main tidak pake otak. Mengalahkan Inggris jadi kemenangan sejati. Lebih sejuk rasanya dari menghantam Argentina, Prancis, atau Belanda. Apalagi jika terjadi di rumah mereka. Lebih afdol lagi, bila kemenangan itu juga membuat efek buruk nan menikam bagi tim-tim Inggris.
Ini yang bikin lakon bentrok lapangan hijau Anglo-Italian di manapun, kapan pun serta dalam bentuk apa pun, selalu dianggap prestisius oleh bangsa Italia. Walau kesuksesan mengatasi Inggris kerap lahir dari cara-cara yang kurang fair, bagi mereka itu bukan soal besar. Kultur sepak bola Italia menganggap hal-hal kontroversial, politis, dan bahkan unsur klenik, sebagai bagian dari sepak bola itu sendiri. Berikut ini 10 duel terbaik menaklukkan Inggris yang dianggap majalah Calcio Italia paling top sepanjang masa.
10. ARSENAL 0-1 FIORENTINA (Wembley, London, 27 Oktober 1999)
Kesalahan pasukan Arsene Wenger adalah tak memaknai utuh kesaktian Gabriel Batistuta yang punya genjotan kaki kanan mematikan. Intersep Joerg Heinrich di menit 74, tak segera stop The Gunners. Menjelang kotak penalti, dia memberi umpan ke kanan pada Batigol, yang rada renggang dari kawalan Nigel Winterburn. Dengan tenaga mumpuni, Bati melaju, unggul sedetik, lalu melesakkan bola ke atas kepala David Seaman dari sudut sempit! Kekalahan ini amat menyesakkan lantaran La Viola cuma punya tiga peluang, sedangkan Arsenal memiliki sembilan peluang untuk mencetak gol. Dampaknya, Arsenal tersingkir dari Grup B Liga Champion 1999/2000. Fiorentina dan Barcelona lolos.
(foto: latestanelpallone)
9. INGGRIS 0-1 ITALIA (Wembley, London, 12 Februari 1997)
Penyisihan Piala Dunia 1998 Grup 2. Sebanyak 75.055 pasang mata di Wembley jadi saksi kehebatan Gianfranco Zola, attacanti Gli Azzurri yang jadi idola Chelsea. Baru 18 menit, sebuah umpan jauh dari Billy Costacurta digapai Zola. Lewat akselerasi indah, ia menjemput bola, membawa ke kanan untuk membuka ruang. Graeme Le Saux terus mengejarnya. Tapi Zola terus meliuk-liuk. Di detik terakhir hadangan kaki Sol Campbell menghampiri, dia melepaskan tembakan. Bola malah melenting dan bikin kaget Ian Walker. Jala Inggris bergetar. Untungnya kekalahan ini tak melahirkan efek buruk bagi timnya Glenn Hoddle. Three Lions tetap lolos ke Prancis. Namun bagi allenatore Cesare Maldini sungguh fenomenal di saat-saat awal memimpin Azzurri: menang di Wembley, dan anaknya, Paolo, ikut main!
(foto: ansa)
8. INTER 3-0 LIVERPOOL (Giuseppe Meazza, Milano, 12 Mei 1965)
Semifinal II Liga Champion 1964/65 menjodohkan dua pelatih legendaris, Hellenio Herrera dan Bill Shankly. Inter adalah juara bertahan. Sedang Liverpool debutan yang mimpi menjadi klub Inggris pertama peraih juara Eropa. Laga awal 4 Mei, Liverpool menang 3-1. "Malam ini kita kalah tapi belum menyerah!" kata Herrera yang meninggalkan ancaman. Benar saja. Pada duel di Milano, Inter unggul cepat 1-0 via Corso (8').
Namun gol kedua amat kontroversial. Saat kiper Tommy Lawrence mau menangkap bola, Joaquim Peiro bangun dari cedera di belakang gawang. Ia merebut bola dan melob bola ke gawang kosong. Gol! Liverpool protes berat, tapi tak digubris wasit Spanyol Ortiz Mendibil. Gol emas dibuat Giacinto Facchetti (62'). Setelah itu, Herrera memerintahkan untuk 'mematikan' permainan. Pers Italia menamai laga ini E'l Astuzia di Peiro atau 'Buah Kelicikan Peiro'.
(foto: wikiwand)
7. ROMA 3-1 CHELSEA (Olimpico, 4 November 2008)
Jangan disangka, duel klasik Anglo-Italian selalu dari zaman baheula. Duel ini dari matchday 4 Liga Champion musim ini. Setelah kalah 0-1 di laga sebelumnya, pelatih Luciano Spalletti kian faham dengan gaya Chelsea di tangan Luiz Scolari. Spalletti juga jeli melihat celah kondisi kapal Chelsea yang sedang oleng di Premier League. Tapi sebelum bikin menu pembalasan, Spalletti minta syarat pada pemainnya: segera temukan kembali confidenza, kepercayaan diri.
Rupanya ini dipenuhi. Hasilnya, melodi main Roma jadi beda serta mengacaukan resep racikan Scolari. Dengan dua golnya, Mirko Vucinic jadi bintang. Benar, kedua tim tetap lolos ke babak knock-out, tapi setidaknya telah mengubah skenario asli Chelsea di Liga Champion.
(foto: boxofficefootball)
6. ITALIA 1-0 INGGRIS (Comunale, Torino, 15 Juni 1980)
Grup 2 Piala Eropa 1980. Italia ditahan 0-0 oleh Spanyol pada laga awal di Milano. Begitu pun Inggris. Gol Ray Wilkins di menit 26, disamakan Jan Cuelemans hanya selang empat menit. Italia vs Inggris ada di laga kedua. Italia harus menang, dan mereka menang. Duel ini berkesan bagi Azzurri lebih banyak dikarenakan faktor Marco Tardelli. Dia yang mematikan gerakan kapten Inggris sang superstar Kevin Keegan. Dan Tardelli pula yang mencetak gol emas di menit 79.
Hebatnya lagi, skuad Enzo Bearzot bermain ala Inggris: menyerang full dari sayap! Pada laga terakhir, Inggris menang atas Spanyol 2-1, sedang Italia menahan Belgia 0-0. Klasemen akhir: Belgia 4, Italia 4, Inggris 3, Spanyol 1. Terbukti sudah, menang dari Inggris jadi kunci sukses.
(foto: theguardian)
5. JUVENTUS 3-0 MANCHESTER UNITED (Comunale, Torino, 3 November 1976)
Karena hanya menjadi runner-up Serie A di bawah Torino, La Vecchia Signora harus tampil di level kedua kejuaraan Eropa. Tapi jadi bernasib baik sebab membuahkan kepuasan hebat. Di era ini Piala UEFA masih bergengsi. Dan di musim 1976/77 para pesertanya tidak main-main. Ada Ajax, Bayern, Barcelona, Inter, Red Star, AC Milan, Celtic dan Feijenoord. Namun yang paling diperhitungkan Juve adalah rombongan Inggris: Manchester City, Derby County, Queens Park Rangers dan Manchester United.
Di babak awal, Roberto Bettega cs. berjuang keras mengatasi City.Juventus unggul agregat 3-1 (0-1 dan 3-0). Di babak kedua, skuad Giovanni Trapattoni terbang lagi ke Manchester bertemu Red Devils. Hasilnya sama! Kalah 0-1 dan menang 3-0! Menyingkirkan klub kuat Inggris bikin Juve jadi percaya diri. Pada akhirnya mereka meraih titel setelah di final mengatasi Athletic Bilbao.
(foto: lagareliadelfutbol)
4. MILAN 2-1 LIVERPOOL (Olympiakos, Athena, 23 Mei 2007)
Ini ulangan final 2005. Kalah tragis di Istanbul, masih menohok skuad dan fan Rossoneri sedunia. Jelang final, orang menunggu apa respon AC Milan mengatasi trauma. Media massa di Italia merancang skenario di final II. Membedah strategi Carlo Ancelotti, ternyata mesti menunggu hingga kick-off. Jawaban itu ada di Ricardo Kaka! Don Carletto kali ini memainkan il Pippo di depan sendirian, mematok Gattuso-Ambrosini untuk meladeni duet Alonso-Mascherano.
Harapan terbesar ada di duo lainnya, Pirlo-Seedorf. Hasilnya paten. Kaka jadi leluasa berkreasi! Filippo Inzaghi jadi pahlawan dengan dua golnya. Semenit mau usai, Liverpool back to game gara-gara gol Dirk Kuijt. Tapi Milan telah bersumpah ogah terperosok dua kali ke lubang yang sama. Dan Rossoneri pun membayar dendamnya dengan lunas!
(foto: acmi1899)
3. INTER 3-0 ASTON VILLA (Giuseppe Meazza, Milano, 7 November 1990)
Laga ini dianggap lebih fenomenal dari bentrok Milan vs Liverpool. Laga di babak kedua Piala UEFA ini memang dramatis. Kalau Inter tak bisa mengatasi Aston Villa, maka mustahil ada gelar Piala UEFA. Pada laga di Villa Park, Inter diacak-acak duet David Platt-Tony Cascarino sebelum kalah 0-2. Padahal pelatih Giovanni Trapattoni memainkan trio juara dunia 1990: Lothar Matthaeus, Juergen Klinsmann dan Andreas Brehme.
Namun di laga kedua ceritanya terbalik. Tiga gol dari Klinsmann, Nicola Berti, dan Alessandro Bianchi mengubur harapan Aston Villa. Gilanya, gol ketiga Inter lagi-lagi kontroversial. Bola lambung Fausto Pizzi sebelum dihajar Bianchi, terlihat jelas sudah out. Berbekal super comeback, Inter terus melaju hingga ke final dan membungkam AS Roma.
(foto: myinteraltervista.org)
2. INGGRIS 0-1 ITALIA (Wembley, London, 11 November 1973)
Superstar bentrok Anglo-Italian kali ini tak disangka-sangka. Dia adalah Fabio Capello, yang kini menjadi pelatih nasional Inggris! Aksi Capello menampar negeri penggagas sepak bola modern. Ironisnya reputasi Capello 'dibantu' Peter Shilton. Di laga friendly yang dihadiri 88 ribu orang di Wembley, satu crossing Giorgio Chinaglia dari sisi kiri gagal diamankan Shilton. Umpan sepele itu malah lepas. Capello yang ada di depan gawang enak sekali, tinggal mencocor bola ke jala. Celakanya, gol ini terjadi di menit 87.
Ironi yang kedua, partai ini adalah laga terakhir bagi dua legenda sepak bola yang menjadikan Inggris menjadi juara dunia 1966. Mereka adalah kapten nasional paling kharismatik, Sir Bobby Moore, yang mengakhiri caps-nya yang ke-108 kali, serta Martin Peters.
(foto: gazzettaworld)
1. LIVERPOOL 1-2 GENOA (Anfield, 18 Maret 1992)
Laga yang jadi juara sejati tajuk Wins Over The English! Sekilas memang kurang sreg. Namun ditelaah lebih dalam, ada benarnya. Partai ini sakral bukan dari soal menangnya Genoa di Anfield dan di Marasi. Lebih ke politis, soal hati. Inilah pembalasan pertama rakyat Italia pada Inggris. Anda akan mengerti jika diingatkan soal Tragedi Heysel 1985 di Brussels. Terbunuhnya 39 Juventini oleh suporter Liverpool dianggap sebagai bencana nasional. Itu menyatukan Italia.
Kalau hal itu terjadi di Amerika Latin atau Afrika, bisa jadi dua negara itu langsung perang. Waktu Tomas Skuhravy, Carlos Aguilerra, atau Branco berduel dengan Liverpool, Grifoni juga didukung serta didoakan satu Italia! Dan makbul, Liverpool keok 0-2 dan 1-2 di perempat final. Sayang Genoa dibekuk Ajax di semifinal. Namun tumbangnya ikon Liverpool oleh sebuah klub tertua di Italia ini dianggap sebagai simbol hegemoni Italia atas Inggris sampai kini. Laga itu dijadikan bukti bahwa Julius Caesar-lah yang memang mengajarkan sepak bola pada bangsa Inggris! Luar biasa.
(foto: dailypost)
Pasalnya budaya sepak bola Italia mencap gaya Britania sebagai momok menakutkan, minimal bikin puyeng dan capek meladeninya. Lucunya, orang Inggris pun merasakan hal yang sama. Ada dua lawan yang paling dibenci bangsa Inggris: Jerman dan Italia! Bek dan kiper Italia paling gedeg sekaligus jiper dengan umpan lambung atau crossing dari sayap kiri dan kanan ke gawang mereka. Sedangkan para penyerang Italia paling sebal bertemu bek-bek Inggris yang suka hantam kromo dan dianggap main tidak pake otak. Mengalahkan Inggris jadi kemenangan sejati. Lebih sejuk rasanya dari menghantam Argentina, Prancis, atau Belanda. Apalagi jika terjadi di rumah mereka. Lebih afdol lagi, bila kemenangan itu juga membuat efek buruk nan menikam bagi tim-tim Inggris.
Ini yang bikin lakon bentrok lapangan hijau Anglo-Italian di manapun, kapan pun serta dalam bentuk apa pun, selalu dianggap prestisius oleh bangsa Italia. Walau kesuksesan mengatasi Inggris kerap lahir dari cara-cara yang kurang fair, bagi mereka itu bukan soal besar. Kultur sepak bola Italia menganggap hal-hal kontroversial, politis, dan bahkan unsur klenik, sebagai bagian dari sepak bola itu sendiri. Berikut ini 10 duel terbaik menaklukkan Inggris yang dianggap majalah Calcio Italia paling top sepanjang masa.
10. ARSENAL 0-1 FIORENTINA (Wembley, London, 27 Oktober 1999)
Kesalahan pasukan Arsene Wenger adalah tak memaknai utuh kesaktian Gabriel Batistuta yang punya genjotan kaki kanan mematikan. Intersep Joerg Heinrich di menit 74, tak segera stop The Gunners. Menjelang kotak penalti, dia memberi umpan ke kanan pada Batigol, yang rada renggang dari kawalan Nigel Winterburn. Dengan tenaga mumpuni, Bati melaju, unggul sedetik, lalu melesakkan bola ke atas kepala David Seaman dari sudut sempit! Kekalahan ini amat menyesakkan lantaran La Viola cuma punya tiga peluang, sedangkan Arsenal memiliki sembilan peluang untuk mencetak gol. Dampaknya, Arsenal tersingkir dari Grup B Liga Champion 1999/2000. Fiorentina dan Barcelona lolos.
(foto: latestanelpallone)
9. INGGRIS 0-1 ITALIA (Wembley, London, 12 Februari 1997)
Penyisihan Piala Dunia 1998 Grup 2. Sebanyak 75.055 pasang mata di Wembley jadi saksi kehebatan Gianfranco Zola, attacanti Gli Azzurri yang jadi idola Chelsea. Baru 18 menit, sebuah umpan jauh dari Billy Costacurta digapai Zola. Lewat akselerasi indah, ia menjemput bola, membawa ke kanan untuk membuka ruang. Graeme Le Saux terus mengejarnya. Tapi Zola terus meliuk-liuk. Di detik terakhir hadangan kaki Sol Campbell menghampiri, dia melepaskan tembakan. Bola malah melenting dan bikin kaget Ian Walker. Jala Inggris bergetar. Untungnya kekalahan ini tak melahirkan efek buruk bagi timnya Glenn Hoddle. Three Lions tetap lolos ke Prancis. Namun bagi allenatore Cesare Maldini sungguh fenomenal di saat-saat awal memimpin Azzurri: menang di Wembley, dan anaknya, Paolo, ikut main!
(foto: ansa)
8. INTER 3-0 LIVERPOOL (Giuseppe Meazza, Milano, 12 Mei 1965)
Semifinal II Liga Champion 1964/65 menjodohkan dua pelatih legendaris, Hellenio Herrera dan Bill Shankly. Inter adalah juara bertahan. Sedang Liverpool debutan yang mimpi menjadi klub Inggris pertama peraih juara Eropa. Laga awal 4 Mei, Liverpool menang 3-1. "Malam ini kita kalah tapi belum menyerah!" kata Herrera yang meninggalkan ancaman. Benar saja. Pada duel di Milano, Inter unggul cepat 1-0 via Corso (8').
Namun gol kedua amat kontroversial. Saat kiper Tommy Lawrence mau menangkap bola, Joaquim Peiro bangun dari cedera di belakang gawang. Ia merebut bola dan melob bola ke gawang kosong. Gol! Liverpool protes berat, tapi tak digubris wasit Spanyol Ortiz Mendibil. Gol emas dibuat Giacinto Facchetti (62'). Setelah itu, Herrera memerintahkan untuk 'mematikan' permainan. Pers Italia menamai laga ini E'l Astuzia di Peiro atau 'Buah Kelicikan Peiro'.
(foto: wikiwand)
7. ROMA 3-1 CHELSEA (Olimpico, 4 November 2008)
Jangan disangka, duel klasik Anglo-Italian selalu dari zaman baheula. Duel ini dari matchday 4 Liga Champion musim ini. Setelah kalah 0-1 di laga sebelumnya, pelatih Luciano Spalletti kian faham dengan gaya Chelsea di tangan Luiz Scolari. Spalletti juga jeli melihat celah kondisi kapal Chelsea yang sedang oleng di Premier League. Tapi sebelum bikin menu pembalasan, Spalletti minta syarat pada pemainnya: segera temukan kembali confidenza, kepercayaan diri.
Rupanya ini dipenuhi. Hasilnya, melodi main Roma jadi beda serta mengacaukan resep racikan Scolari. Dengan dua golnya, Mirko Vucinic jadi bintang. Benar, kedua tim tetap lolos ke babak knock-out, tapi setidaknya telah mengubah skenario asli Chelsea di Liga Champion.
(foto: boxofficefootball)
6. ITALIA 1-0 INGGRIS (Comunale, Torino, 15 Juni 1980)
Grup 2 Piala Eropa 1980. Italia ditahan 0-0 oleh Spanyol pada laga awal di Milano. Begitu pun Inggris. Gol Ray Wilkins di menit 26, disamakan Jan Cuelemans hanya selang empat menit. Italia vs Inggris ada di laga kedua. Italia harus menang, dan mereka menang. Duel ini berkesan bagi Azzurri lebih banyak dikarenakan faktor Marco Tardelli. Dia yang mematikan gerakan kapten Inggris sang superstar Kevin Keegan. Dan Tardelli pula yang mencetak gol emas di menit 79.
Hebatnya lagi, skuad Enzo Bearzot bermain ala Inggris: menyerang full dari sayap! Pada laga terakhir, Inggris menang atas Spanyol 2-1, sedang Italia menahan Belgia 0-0. Klasemen akhir: Belgia 4, Italia 4, Inggris 3, Spanyol 1. Terbukti sudah, menang dari Inggris jadi kunci sukses.
(foto: theguardian)
5. JUVENTUS 3-0 MANCHESTER UNITED (Comunale, Torino, 3 November 1976)
Karena hanya menjadi runner-up Serie A di bawah Torino, La Vecchia Signora harus tampil di level kedua kejuaraan Eropa. Tapi jadi bernasib baik sebab membuahkan kepuasan hebat. Di era ini Piala UEFA masih bergengsi. Dan di musim 1976/77 para pesertanya tidak main-main. Ada Ajax, Bayern, Barcelona, Inter, Red Star, AC Milan, Celtic dan Feijenoord. Namun yang paling diperhitungkan Juve adalah rombongan Inggris: Manchester City, Derby County, Queens Park Rangers dan Manchester United.
Di babak awal, Roberto Bettega cs. berjuang keras mengatasi City.Juventus unggul agregat 3-1 (0-1 dan 3-0). Di babak kedua, skuad Giovanni Trapattoni terbang lagi ke Manchester bertemu Red Devils. Hasilnya sama! Kalah 0-1 dan menang 3-0! Menyingkirkan klub kuat Inggris bikin Juve jadi percaya diri. Pada akhirnya mereka meraih titel setelah di final mengatasi Athletic Bilbao.
(foto: lagareliadelfutbol)
4. MILAN 2-1 LIVERPOOL (Olympiakos, Athena, 23 Mei 2007)
Ini ulangan final 2005. Kalah tragis di Istanbul, masih menohok skuad dan fan Rossoneri sedunia. Jelang final, orang menunggu apa respon AC Milan mengatasi trauma. Media massa di Italia merancang skenario di final II. Membedah strategi Carlo Ancelotti, ternyata mesti menunggu hingga kick-off. Jawaban itu ada di Ricardo Kaka! Don Carletto kali ini memainkan il Pippo di depan sendirian, mematok Gattuso-Ambrosini untuk meladeni duet Alonso-Mascherano.
Harapan terbesar ada di duo lainnya, Pirlo-Seedorf. Hasilnya paten. Kaka jadi leluasa berkreasi! Filippo Inzaghi jadi pahlawan dengan dua golnya. Semenit mau usai, Liverpool back to game gara-gara gol Dirk Kuijt. Tapi Milan telah bersumpah ogah terperosok dua kali ke lubang yang sama. Dan Rossoneri pun membayar dendamnya dengan lunas!
(foto: acmi1899)
3. INTER 3-0 ASTON VILLA (Giuseppe Meazza, Milano, 7 November 1990)
Laga ini dianggap lebih fenomenal dari bentrok Milan vs Liverpool. Laga di babak kedua Piala UEFA ini memang dramatis. Kalau Inter tak bisa mengatasi Aston Villa, maka mustahil ada gelar Piala UEFA. Pada laga di Villa Park, Inter diacak-acak duet David Platt-Tony Cascarino sebelum kalah 0-2. Padahal pelatih Giovanni Trapattoni memainkan trio juara dunia 1990: Lothar Matthaeus, Juergen Klinsmann dan Andreas Brehme.
Namun di laga kedua ceritanya terbalik. Tiga gol dari Klinsmann, Nicola Berti, dan Alessandro Bianchi mengubur harapan Aston Villa. Gilanya, gol ketiga Inter lagi-lagi kontroversial. Bola lambung Fausto Pizzi sebelum dihajar Bianchi, terlihat jelas sudah out. Berbekal super comeback, Inter terus melaju hingga ke final dan membungkam AS Roma.
(foto: myinteraltervista.org)
2. INGGRIS 0-1 ITALIA (Wembley, London, 11 November 1973)
Superstar bentrok Anglo-Italian kali ini tak disangka-sangka. Dia adalah Fabio Capello, yang kini menjadi pelatih nasional Inggris! Aksi Capello menampar negeri penggagas sepak bola modern. Ironisnya reputasi Capello 'dibantu' Peter Shilton. Di laga friendly yang dihadiri 88 ribu orang di Wembley, satu crossing Giorgio Chinaglia dari sisi kiri gagal diamankan Shilton. Umpan sepele itu malah lepas. Capello yang ada di depan gawang enak sekali, tinggal mencocor bola ke jala. Celakanya, gol ini terjadi di menit 87.
Ironi yang kedua, partai ini adalah laga terakhir bagi dua legenda sepak bola yang menjadikan Inggris menjadi juara dunia 1966. Mereka adalah kapten nasional paling kharismatik, Sir Bobby Moore, yang mengakhiri caps-nya yang ke-108 kali, serta Martin Peters.
(foto: gazzettaworld)
1. LIVERPOOL 1-2 GENOA (Anfield, 18 Maret 1992)
Laga yang jadi juara sejati tajuk Wins Over The English! Sekilas memang kurang sreg. Namun ditelaah lebih dalam, ada benarnya. Partai ini sakral bukan dari soal menangnya Genoa di Anfield dan di Marasi. Lebih ke politis, soal hati. Inilah pembalasan pertama rakyat Italia pada Inggris. Anda akan mengerti jika diingatkan soal Tragedi Heysel 1985 di Brussels. Terbunuhnya 39 Juventini oleh suporter Liverpool dianggap sebagai bencana nasional. Itu menyatukan Italia.
Kalau hal itu terjadi di Amerika Latin atau Afrika, bisa jadi dua negara itu langsung perang. Waktu Tomas Skuhravy, Carlos Aguilerra, atau Branco berduel dengan Liverpool, Grifoni juga didukung serta didoakan satu Italia! Dan makbul, Liverpool keok 0-2 dan 1-2 di perempat final. Sayang Genoa dibekuk Ajax di semifinal. Namun tumbangnya ikon Liverpool oleh sebuah klub tertua di Italia ini dianggap sebagai simbol hegemoni Italia atas Inggris sampai kini. Laga itu dijadikan bukti bahwa Julius Caesar-lah yang memang mengajarkan sepak bola pada bangsa Inggris! Luar biasa.
(foto: dailypost)