Tahukah Anda bahwa pelopor Piala Afrika adalah seorang dokter? Dan tahukah Anda Piala Afrika ada hubungannya dengan Indonesia? Ya, usai penyelenggaraan Gerakan Non Blok 1954 di Kolombo, Sri Lanka serta Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, bangsa-bangsa Afrika menjadi semakin percaya diri dalam segala hal, termasuk sepak bola.
Pada 1956, Dr. Abdul Halim Mohammad Abdul Halim yang berasal dari Sudan mengepalai delegasi Afrika ke Kongres FIFA di Lisbon, Portugal, dengan tujuan menggolkan keinginan Afrika untuk membentuk federasi sendiri serta membuat kejuaraan regional. Setelah mendapat restu dari FIFA, Sudan, Afrika Selatan, Ethiopia, dan Mesir mendirikan CAF (Confederation of Africa Football). Ditelaah dari wilayahnya, terlihat hanya negeri yang di ujung (Utara-Selatan) pada saat itu yang sanggup berpikir ke depan berkat peradabannya yang lebih maju dibanding wilayah sisanya, terutama di bagian tengah.
Keempat ras negara Afrika itu pun bukan Afrika totok seperti misalnya Uganda, Kenya atau katakanlah Gabon. Tiga negara di utara, rada berbau Arab. Yang di bawah (Afsel) malahan berbudaya Barat sebab realitanya Afrika Selatan masih dikuasai orang-orang Eropa.
Setahun kemudian turnamen sepak bola antarnegara digelar dengan nama Africa Cup yang direncanakan akan bergulir setiap dua tahun. Karena banyak tidak siap dan sanggup menyusun tim nasional - gara-gara mayoritas negara Afrika belum banyak yang merdeka - kejuaraan terpaksa hanya diikuti para pendirinya kecuali Afrika Selatan.
Negara berpemerintahan Eropa itu kesulitan membentuk tim nasional di era rasialis dan politik apartheid sedang panas-panasnya. Sebenarnya Afsel bisa membentuk tim nasional sepak bolanya, tetapi semua pemainnya barangkali bule-bule alias berkulit putih. Ini jelas bertentangan dengan simbol Afrika. Kemana pemain kulit hitam atau pemain aslinya? Hanya dua hal, mereka tidak mau bergabung atau memang dilarang oleh pemerintahan apartheid.
Jadilah Piala Afrika pertama pesertanya hanya tiga negara. Hebohnya, ketika pertama kali diadakan di Sudan, pemimpin baru Mesir saat itu, Kolonel Gamal Abdul Nasser, menyatakan negerinya terlibat perang sungguhan terhadap Ethiopia gara-gara konflik perbatasan. Bayangkan, di saat mereka perang beneran di meda laga, Mesir dan Etiopia juga bertempur di lapangan hijau! Barangkali juga karena patriotisme para pemainnya yang membludak, Mesir tampil sebagai juara setelah menang 2-1 atas Sudan dan melumat musuh sesungguh-sungguhnya, Ethiopia, dengan skor 4-0.
Mesir merebut piala yang diberi nama Trofi Abdelaziz Abdallar Salem, lantaran orang Mesir ini adalah Presiden CAF yang pertama. Di edisi kedua turnamen, 1959, Mesir kembali meraih gelar juara. Uniknya, yang tercatat di trofi bukan nama Mesir melainkan Republik Arab Bersatu alias United Arab Republik (UAR) yang hanya hidup selama tiga tahun (1958-1961).
Saat itu akibat pergolakan politik di Timur Tengah, Kolonel Nasser telah menyatukan negaranya dengan Suriah. Kali ini yang berkumandang bukan lagi lagu kebangsaan Mesir, Es Salaam El Gamhoury El Misri, tetapi lagu kebangsaan UAR, Walla Zaman Ya Selahy (Oh Senjataku).
Bicara peta politik saat itu, di Afrika sedang 'terbakar' oleh kebencian anti-Barat, anti-penjajahan. Kebangkitan negara-negara Afrika untuk menemukan kemerdekaannya menjadi inspirasi bagi Nasser yang kemudian bersama-sama Kwame Nkrumah (Ghana), Jawaharlal Nehru (India), Presiden Soekarno (Indonesia), dan Josip Broz Tito (Yugoslavia) mendirikan Non-Alignment Movement alias Gerakan Non-Blok (GNB) di Kolombo pada 1954 yang hingga kini masih eksis.
Setelah GNB berdiri, dalam taraf tidak langsung sebagai kelanjutan dari KTT 1955 di Bandung, Indonesia, banyak sekali negara di Afrika mendapat kemerdekaannya. Hal ini tentu saja menguntungkan buat Piala Afrika karena turnamen semakin marak setelah banyak negara baru yang bisa ikut.
Edisi ketiga kejuaraan baru bergulir saat diselenggarakan di Addis Ababa, Etiopia, Januari 1962. Ketika itu pemerintahan Nasser telah digulingkan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Pengaruh Mesir di CAF pun jadi menciut dan turnamen yang sudah telat setahun digulirkan itu diubah namanya menjadi The African Nations Cup (ANC Cup). Tim tuan rumah yang bertanding di hadapan rajanya, Kaisar Haille Selassie, kali ini menjuarainya.
Sejak awal keberadaannya, Piala Afrika terbukti selalu mengandung kehebohan, terutama perubahan tempat yang mendadak. Di tahun 1962, sebenarnya yang menjadi tuan rumah adalah Zimbabwe. Namun mendadak dipindahkan ke Ethiopia atas restu Kaisar Haile Selassie. Pada 1988, Zambia digantikan Maroko. Empat tahun sebelumnya, tempat Malawi juga diberikan kepada Pantai Gading.
Demikian pula ketika pada 1996 status Kenya sebagai tuan rumah terserabut begitu saja akibat tak satu pun peserta yang mau datang ke negara tersebut lantaran saat itu stadion utama Mombasa belum rampung dibangun! Bukan itu saja, yang lebih menakutkan adalah virus Ebola tengah marak-maraknya menyerang negara itu! Akhirnya tempat Kenya diisi oleh Afrika Selatan, yang kemudian muncul sebagai juara.
Dalam sepak bola Afrika, apapun bisa menjadi masalah, apalagi perihal perbedaan. Penggunaan merek kejuaraan contohnya. Awalnya adalah The Africa Cup of Nations atau ANC Cup. Namun ketika diubah menjadi CAN, diambil dari bahasa Prancis, Coupe d'Afrique des Nations, timbul protes bagi negeri-negeri yang tidak berbahasa Prancis. Mereka lebih menyukai singkatan Inggris-nya, AFCON. Hingga kini persoalan merek tersebut belum murni disepakati bersama.
(foto: 3waffy/gen20.xyz)
Pada 1956, Dr. Abdul Halim Mohammad Abdul Halim yang berasal dari Sudan mengepalai delegasi Afrika ke Kongres FIFA di Lisbon, Portugal, dengan tujuan menggolkan keinginan Afrika untuk membentuk federasi sendiri serta membuat kejuaraan regional. Setelah mendapat restu dari FIFA, Sudan, Afrika Selatan, Ethiopia, dan Mesir mendirikan CAF (Confederation of Africa Football). Ditelaah dari wilayahnya, terlihat hanya negeri yang di ujung (Utara-Selatan) pada saat itu yang sanggup berpikir ke depan berkat peradabannya yang lebih maju dibanding wilayah sisanya, terutama di bagian tengah.
Keempat ras negara Afrika itu pun bukan Afrika totok seperti misalnya Uganda, Kenya atau katakanlah Gabon. Tiga negara di utara, rada berbau Arab. Yang di bawah (Afsel) malahan berbudaya Barat sebab realitanya Afrika Selatan masih dikuasai orang-orang Eropa.
Setahun kemudian turnamen sepak bola antarnegara digelar dengan nama Africa Cup yang direncanakan akan bergulir setiap dua tahun. Karena banyak tidak siap dan sanggup menyusun tim nasional - gara-gara mayoritas negara Afrika belum banyak yang merdeka - kejuaraan terpaksa hanya diikuti para pendirinya kecuali Afrika Selatan.
Negara berpemerintahan Eropa itu kesulitan membentuk tim nasional di era rasialis dan politik apartheid sedang panas-panasnya. Sebenarnya Afsel bisa membentuk tim nasional sepak bolanya, tetapi semua pemainnya barangkali bule-bule alias berkulit putih. Ini jelas bertentangan dengan simbol Afrika. Kemana pemain kulit hitam atau pemain aslinya? Hanya dua hal, mereka tidak mau bergabung atau memang dilarang oleh pemerintahan apartheid.
Jadilah Piala Afrika pertama pesertanya hanya tiga negara. Hebohnya, ketika pertama kali diadakan di Sudan, pemimpin baru Mesir saat itu, Kolonel Gamal Abdul Nasser, menyatakan negerinya terlibat perang sungguhan terhadap Ethiopia gara-gara konflik perbatasan. Bayangkan, di saat mereka perang beneran di meda laga, Mesir dan Etiopia juga bertempur di lapangan hijau! Barangkali juga karena patriotisme para pemainnya yang membludak, Mesir tampil sebagai juara setelah menang 2-1 atas Sudan dan melumat musuh sesungguh-sungguhnya, Ethiopia, dengan skor 4-0.
Mesir merebut piala yang diberi nama Trofi Abdelaziz Abdallar Salem, lantaran orang Mesir ini adalah Presiden CAF yang pertama. Di edisi kedua turnamen, 1959, Mesir kembali meraih gelar juara. Uniknya, yang tercatat di trofi bukan nama Mesir melainkan Republik Arab Bersatu alias United Arab Republik (UAR) yang hanya hidup selama tiga tahun (1958-1961).
Saat itu akibat pergolakan politik di Timur Tengah, Kolonel Nasser telah menyatukan negaranya dengan Suriah. Kali ini yang berkumandang bukan lagi lagu kebangsaan Mesir, Es Salaam El Gamhoury El Misri, tetapi lagu kebangsaan UAR, Walla Zaman Ya Selahy (Oh Senjataku).
Jawaharlal Nehru, Kwame Nkrumah (Ghana), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Soekarno, dan Josip Broz Tito. |
Setelah GNB berdiri, dalam taraf tidak langsung sebagai kelanjutan dari KTT 1955 di Bandung, Indonesia, banyak sekali negara di Afrika mendapat kemerdekaannya. Hal ini tentu saja menguntungkan buat Piala Afrika karena turnamen semakin marak setelah banyak negara baru yang bisa ikut.
Edisi ketiga kejuaraan baru bergulir saat diselenggarakan di Addis Ababa, Etiopia, Januari 1962. Ketika itu pemerintahan Nasser telah digulingkan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Pengaruh Mesir di CAF pun jadi menciut dan turnamen yang sudah telat setahun digulirkan itu diubah namanya menjadi The African Nations Cup (ANC Cup). Tim tuan rumah yang bertanding di hadapan rajanya, Kaisar Haille Selassie, kali ini menjuarainya.
Kaisar Haille Selassie memberi trofi juara kepada Ethiopia. |
Demikian pula ketika pada 1996 status Kenya sebagai tuan rumah terserabut begitu saja akibat tak satu pun peserta yang mau datang ke negara tersebut lantaran saat itu stadion utama Mombasa belum rampung dibangun! Bukan itu saja, yang lebih menakutkan adalah virus Ebola tengah marak-maraknya menyerang negara itu! Akhirnya tempat Kenya diisi oleh Afrika Selatan, yang kemudian muncul sebagai juara.
Dalam sepak bola Afrika, apapun bisa menjadi masalah, apalagi perihal perbedaan. Penggunaan merek kejuaraan contohnya. Awalnya adalah The Africa Cup of Nations atau ANC Cup. Namun ketika diubah menjadi CAN, diambil dari bahasa Prancis, Coupe d'Afrique des Nations, timbul protes bagi negeri-negeri yang tidak berbahasa Prancis. Mereka lebih menyukai singkatan Inggris-nya, AFCON. Hingga kini persoalan merek tersebut belum murni disepakati bersama.
(foto: 3waffy/gen20.xyz)