Pelatih nasional Italia, Arrigo Sacchi, sempat keki dan mengajukan protes atas pemberitaan Corriere Dello Sport-Stadio. Mau tahu? Gara-garanya, tim binaannya dianggap sejajar dengan Battipagliese, klub Serie C2 yang kostumnya mirip habis dengan Juventus. Seperti diketahui, Italia mengalahkan Estonia 4-1 dalam penyisihan Piala Eropa 1996 di Salerno.
Hasil itu ternyata sederajat dengan kemenangan Battipagliese 3-0 atas Estonia pada pertandingan ujicoba sebelumnya. “Itu tidak beralasan sama sekali! Mereka kan menurunkan pemain cadangan saat lawan Battipagliese,” ucap Sacchi dengan tangkas. Tapi, harian olah raga terbesar tirasnya di Italia itu men-skak mati kutu Sacchi dengan mengungkap bahwa pergantian pemainnya pun sama. Contohnya salah satu pemain Estonia, Lell, diganti oleh Pari. Akhirnya Sacchi mati kutu.
Tak dinyana, mereka ngambek dengan aksi datang ke stadion tapi tidak menonton! Stadion tetap kosong tanpa penonton ketika Ascoli bertanding. Tifosi hanya kongkow-kongkow sambil makan-makan dan minum-minum bak orang kemping.
“Ascoli tidak pantas didukung, kami sangat kecewa pada mereka,” kata salah seorang diantara mereka sambil mengunyah roti dan menenggak anggur. Tidak itu saja, mereka juga bersenang-senang bermain kartu dan kuis dengan hadiah menarik.
Ternyata semua itu didalangi oleh seseorang yang jadi sponsor. Orang inilah yang juga menyebarkan 10 ribu lembaran yang berisi ungkapan sinis: “Anda (pemain Ascoli) adalah para juara.” Tifosi klub Torino lain lagi. Bisa dibilang murah meriah sebab tidak perlu sponsor, tapi tetap menonton, dan tidak perlu modal besar. “Kami berbuat begini karena Torino selalu bermain jelek dalam bertandang,” kata seorang gembong tifosi.
Para tifosi yang tergabung dalam tiga kelompok, Ultras, Quinta Colonna, dan Granata Korps itu melakukan aksi saat Torino menghadapi Foggia dengan cara diam selama 15 menit pertama! Tanpa suara, tanpa ulah, dan tanpa gerakan apapun. Semua itu agar pemain Torino mengerti. Patut juga ditiru di Indonesia.
Pertama, klub Skotlandia, Glasgow Celtic, pada tahun 1967. Ketika masih diperkuat oleh salah satu pemain tenarnya. Kevin Johnstone, mereka menjuarai Liga Skotlandia, Piala Champion, dan Piala Skotlandia. Kedua, Ajax Amsterdam. Saat diperkuat Johan Cruyff, tim penyumbang pemain nasional Belanda terbesar itu merebut gelar juara liga, Piala Belanda, dan Liga Champion pada tahun 1972.
Ketiga, klub Swedia, IFK Goteborg, yang pada tahun 1982 di mana dua trofi domestiknya mendapat tambahan menjuarai Piala UEFA. Sedangkan terakhir yang membuat sejarah adalah PSV Eindhoven. Ronald Koeman dkk. berhasil memadukan kedua gelar domestik dengan Liga Champion 1988. So, mampukah Juventus?
(foto: soccernostalgia /zmnapoli)
Hasil itu ternyata sederajat dengan kemenangan Battipagliese 3-0 atas Estonia pada pertandingan ujicoba sebelumnya. “Itu tidak beralasan sama sekali! Mereka kan menurunkan pemain cadangan saat lawan Battipagliese,” ucap Sacchi dengan tangkas. Tapi, harian olah raga terbesar tirasnya di Italia itu men-skak mati kutu Sacchi dengan mengungkap bahwa pergantian pemainnya pun sama. Contohnya salah satu pemain Estonia, Lell, diganti oleh Pari. Akhirnya Sacchi mati kutu.
Protes Gaya Tifosi
Protes yang dilakukan oleh para tifosi di Italia memang bermacam-macam dan tidak melulu bermuara pada keributan. Contohnya yang diperlihatkan oleh pendukung klub Ascoli (Serie B) yang posisinya tengah anjlok dan terancam terlempar ke Serie C.Tak dinyana, mereka ngambek dengan aksi datang ke stadion tapi tidak menonton! Stadion tetap kosong tanpa penonton ketika Ascoli bertanding. Tifosi hanya kongkow-kongkow sambil makan-makan dan minum-minum bak orang kemping.
“Ascoli tidak pantas didukung, kami sangat kecewa pada mereka,” kata salah seorang diantara mereka sambil mengunyah roti dan menenggak anggur. Tidak itu saja, mereka juga bersenang-senang bermain kartu dan kuis dengan hadiah menarik.
Ternyata semua itu didalangi oleh seseorang yang jadi sponsor. Orang inilah yang juga menyebarkan 10 ribu lembaran yang berisi ungkapan sinis: “Anda (pemain Ascoli) adalah para juara.” Tifosi klub Torino lain lagi. Bisa dibilang murah meriah sebab tidak perlu sponsor, tapi tetap menonton, dan tidak perlu modal besar. “Kami berbuat begini karena Torino selalu bermain jelek dalam bertandang,” kata seorang gembong tifosi.
Para tifosi yang tergabung dalam tiga kelompok, Ultras, Quinta Colonna, dan Granata Korps itu melakukan aksi saat Torino menghadapi Foggia dengan cara diam selama 15 menit pertama! Tanpa suara, tanpa ulah, dan tanpa gerakan apapun. Semua itu agar pemain Torino mengerti. Patut juga ditiru di Indonesia.
Ambisi Juventus
Klub ini ternyata sangat berambisi untuk merebut tiga gelar sekaligus: juara liga, juara Piala Italia, dan juara Piala UEFA. Memang sampai kini belum pernah ada satu pun klub di Italia yang dapat melakukan hattrick itu. Hanya ada empat klub besar di Eropa yang menggapai prestasi demikian.Pertama, klub Skotlandia, Glasgow Celtic, pada tahun 1967. Ketika masih diperkuat oleh salah satu pemain tenarnya. Kevin Johnstone, mereka menjuarai Liga Skotlandia, Piala Champion, dan Piala Skotlandia. Kedua, Ajax Amsterdam. Saat diperkuat Johan Cruyff, tim penyumbang pemain nasional Belanda terbesar itu merebut gelar juara liga, Piala Belanda, dan Liga Champion pada tahun 1972.
Ketiga, klub Swedia, IFK Goteborg, yang pada tahun 1982 di mana dua trofi domestiknya mendapat tambahan menjuarai Piala UEFA. Sedangkan terakhir yang membuat sejarah adalah PSV Eindhoven. Ronald Koeman dkk. berhasil memadukan kedua gelar domestik dengan Liga Champion 1988. So, mampukah Juventus?
(foto: soccernostalgia /zmnapoli)