Oleh pelatih AC Milan, Fabio Capello, duet Paris Saint-Germain ini dinilai yang terbaik sedunia. Sedangkan oleh Johan Cruijff dianggap terbaik se-Eropa. Di Paris, pasangan ini amat dominan dan jadi titik gempuran secara keseluruhan.
Namun tidak jarang juga mereka langsung melakukan tusukan tidak dari lini tengah, tetapi bisa dari belakang! Contohnya kiper Bernard Lama sering mengarahkan bola lambung langsung ke Ginola. Lewat striker ganteng ini, bola dengan mudah dikuasai berkat ketinggian tubuhnya, sebelum dioper lagi ke tengah, diolah sendiri, atau malah langsung diumpan ke Weah.
Dengan dua orang yang berlainan ras ini saja, juara Liga Prancis 1993/94 itu mampu memporak-porandakan pertahanan lawan. Seandainya mereka gagal, masih ada Candido Valdo, Rai Oliveira, atau Vincent Guerin yang bisa menjadi second-striker di belakang mereka. Dan jangan lupa, Paris Saint-Germain merupakan tim yang paling produktif dari semua semifinalis Liga Champion bahkan seluruh peserta sejak awal. Hingga saat ini mereka telah mencetak 15 gol.
“Kunci permainan saya adalah bermain lepas pada setiap pertandingan. Saya yakin Tuhan beserta kita, itu saja,” ujar Weah suatu kali. Memang jika dibanding Ginola, pemain asal Liberia kelahiran 2 Oktober 1966 itu lebih tenang, lebih gesit, dan tentu lebih tajam.
Meski begitu banyak yang berpendapat bahwa kunci serangan Le Parisien sebenarnya ada pada pemain sayap mereka, Candido Valdo, atau playmaker Rai Oliveira. Hal ini terbukti ketika mereka memukul Barcelona di perempatfinal. Saat dipecundangi Milan di putaran pertama laga semifinal, Valdo absen dan perannya dialihkan ke Rai. Namun pemain ini belum bisa menggantikan kiprah Valdo. Akibatnya, serangan agak timpang.
Penyebab utamanya, Rai kalah cepat dan gesit dibanding Valdo yang bermain selalu menggunakan insting. Sedang Rai dengan imajinasi. “Jika Valdo menjadi playmaker, permainan saya lebih hidup dan saya tak perlu lagi memikirkan lini tengah,” tambah Ginola, yang pernah difoto bugil untuk majalah pria di Prancis itu. Nah ketahuan, Ginola lebih butuh gerakan instingtif daripada imajinatif.
(foto: pinterest)
David Ginola dan George Weah. |
Dengan dua orang yang berlainan ras ini saja, juara Liga Prancis 1993/94 itu mampu memporak-porandakan pertahanan lawan. Seandainya mereka gagal, masih ada Candido Valdo, Rai Oliveira, atau Vincent Guerin yang bisa menjadi second-striker di belakang mereka. Dan jangan lupa, Paris Saint-Germain merupakan tim yang paling produktif dari semua semifinalis Liga Champion bahkan seluruh peserta sejak awal. Hingga saat ini mereka telah mencetak 15 gol.
“Kunci permainan saya adalah bermain lepas pada setiap pertandingan. Saya yakin Tuhan beserta kita, itu saja,” ujar Weah suatu kali. Memang jika dibanding Ginola, pemain asal Liberia kelahiran 2 Oktober 1966 itu lebih tenang, lebih gesit, dan tentu lebih tajam.
Meski begitu banyak yang berpendapat bahwa kunci serangan Le Parisien sebenarnya ada pada pemain sayap mereka, Candido Valdo, atau playmaker Rai Oliveira. Hal ini terbukti ketika mereka memukul Barcelona di perempatfinal. Saat dipecundangi Milan di putaran pertama laga semifinal, Valdo absen dan perannya dialihkan ke Rai. Namun pemain ini belum bisa menggantikan kiprah Valdo. Akibatnya, serangan agak timpang.
Penyebab utamanya, Rai kalah cepat dan gesit dibanding Valdo yang bermain selalu menggunakan insting. Sedang Rai dengan imajinasi. “Jika Valdo menjadi playmaker, permainan saya lebih hidup dan saya tak perlu lagi memikirkan lini tengah,” tambah Ginola, yang pernah difoto bugil untuk majalah pria di Prancis itu. Nah ketahuan, Ginola lebih butuh gerakan instingtif daripada imajinatif.
(foto: pinterest)