Hasil yang sangat menyesakkan buat Rossoneri dan Fabio Capello. Sejarah sepuluh tahun lalu terulang kembali, kali ini di Stadion Olimpico Roma, Minggu 19 Februari 1995. Tanpa diduga-duga, tuan rumah Lazio menghabisi AC Milan 4-0! Buat mereka, kekalahan telak ini merupakan yang pertama sejak 1983/84. Ketika itu Milan dipermalukan tuan rumah Avellino (kini Serie C1) di Stadion Partento dengan skor serupa.
Hanya ada satu-satunya pemain, sebagai man of the match, yang paling berjasa besar meluluh-lantakan AC Milan, yang dalam sekejap dijuluki The Bad Dream Team. Dia adalah Giuseppe Signori, kapten Biancocelesti bernomor punggung 11. Dia mutlak menjadi bintang pekan ini. Laga yang tadinya seimbang, tiba-tiba jadi senjang begitu masuk di babak kedua.
Dalam kurun waktu 12 menit, Beppe Signori – pria dengan tinggi ‘hanya’ 171 cm menciptakan dopietta alias dua gol tambahan di menit 52 dan 64. Signori, yang didikan asli akademi FC Internazionale Milano, menjadi momok Milan hari itu sejak tertinggal di menit 18 tertinggal 0-1 lewat gol bomber Biancocelesti, Pierluigi Casiraghi.
Baik masyarakat atau sebagian media massa terpecah pendapatnya atas gol keempat Lazio ke gawang Sebastiano Rossi. Umpan Aron Winter di wilayah kanan pertahanan Milan yang disambar kaki kiri oleh Signori. Bola melesak ke atas membentur tiang gawang sebelah dalam yang melewati garis. Ada anggapan itu sebagai gol bunuh diri yang dilakukan Franco Baresi.
Ada yang berpendapat itu gol murni dari Signori karena benturan kaki Baresi tak berpengaruh apa-apa pada laju bola. Jika ini disahkan, artinya Signori tidak lagi menghasilkan doppietta, akan tetapi tripletta alias mencetak hattrick. Belum jelasnya aturan di Serie A untuk menghadapi kasus seperti itu membuat hasil pertandingan yang dibuat media banyak yang berbeda.
Namun lupakan persoalan seperti itu, sebab dua gol atau tiga gol, semua mata yang menyaksikan laga seru itu pasti setuju dengan kiprah Signori yang luar biasa. Sebuah koran terbitan Roma misalnya, langsung menulis Signori sebagai ‘Dewa Kaki Kiri’.
Milan bermain dengan 10 pemain sejak menit 62 seusai Paolo Maldini di-espulso wasit Graziano Cesari akibat membabat Casiraghi di kotak penalti. Mereka sebenarnya tampil lumayan namun akibat kehebatan Luca Marchegiani mengawal gawang Lazio, upaya hanyalah upaya tanpa hasil. Berbagai serangan dan bombardiran dari Marco Simone dan Daniele Massaro tidak menghasilkan apa-apa kecuali harapan dan harapan.
Sebaliknya, bolong ditinggal Maldini, pertahanan Milan benar-benar dihujani tusukan sana-sini terutama oleh Roberto Rambaudi, Signori dan Casiraghi yang sengaja berposisi acak. Mereka bisa leluasa begitu sebab disokong oleh stabilnya lini tengah Lazio dengan kawalan Winter, Roberto Di Matteo dan Diego Fuser.
Dengan formasi 4-3-3 dan unggul jumlah pemain, pelatih Zdenek Zeman menginstruksikan untuk mendominasi serangan tanpa memberi Milan leluasa bernafas sedikit pun. Tanpa Maldini, trio Baresi-Alessandro Costacurta-Christian Panucci tampak sibuk luar biasa sampai-sampai lebih terlihat main akrobat ketimbang main bola.
Signori harus banyak berterima kasih pada Casiraghi, karena segala gerak-gerik atau sepak terjangnya bikin kalut pertahanan Milan. Dia memang menjadi titik perhatian Baresi cs. Naluri mencetak gol Signori mengingatkan orang akan kehebatan mantan pemain Foggia yang musim lalu menjadi capocannonieri Serie A dengan 23 golnya.
Kelihainnya itu diperlihatkan ketika ia mencetak gol kedua lewat tembakan first time dari umpan Casiraghi. “Setelah Paolo Rossi insting dia di depan gawang adalah yang terbaik,” kata eks pelatih tim nasional Azeglio Vicini, yang memberi debut Signori di Gli Azzurri.
Jangan menyebut Piala Dunia 1994 lalu di depan Signori. Itu akan membuka sakit hatinya pada Arrigo Sacchi karena menomor-dua-kannya dibanding Roberto Baggio atau Gianfranco Zola. Laziale, sebutan tifosi Lazio, ikut-ikutan marah sebab bagi mereka Signori adalah Maradona-nya Lazio.
Sejak dikontrak pada musim 1991/92 dengan nilai Rp 13 miliar untuk empat musim, sosok Signori jauh lebih diharapkan daripada Paul Gascoigne (Inggris) atau Alen Boksic (Kroasia). Pantaskah demikian? “Signori adalah darah buat tim nasional dan nafas buat Lazio,” tutur Sergio Cragnotti, presiden klub Biancocelesti, penuh arti.
(foto: storiedicalcio.altervista.org)
Hanya ada satu-satunya pemain, sebagai man of the match, yang paling berjasa besar meluluh-lantakan AC Milan, yang dalam sekejap dijuluki The Bad Dream Team. Dia adalah Giuseppe Signori, kapten Biancocelesti bernomor punggung 11. Dia mutlak menjadi bintang pekan ini. Laga yang tadinya seimbang, tiba-tiba jadi senjang begitu masuk di babak kedua.
Dalam kurun waktu 12 menit, Beppe Signori – pria dengan tinggi ‘hanya’ 171 cm menciptakan dopietta alias dua gol tambahan di menit 52 dan 64. Signori, yang didikan asli akademi FC Internazionale Milano, menjadi momok Milan hari itu sejak tertinggal di menit 18 tertinggal 0-1 lewat gol bomber Biancocelesti, Pierluigi Casiraghi.
Baik masyarakat atau sebagian media massa terpecah pendapatnya atas gol keempat Lazio ke gawang Sebastiano Rossi. Umpan Aron Winter di wilayah kanan pertahanan Milan yang disambar kaki kiri oleh Signori. Bola melesak ke atas membentur tiang gawang sebelah dalam yang melewati garis. Ada anggapan itu sebagai gol bunuh diri yang dilakukan Franco Baresi.
Ada yang berpendapat itu gol murni dari Signori karena benturan kaki Baresi tak berpengaruh apa-apa pada laju bola. Jika ini disahkan, artinya Signori tidak lagi menghasilkan doppietta, akan tetapi tripletta alias mencetak hattrick. Belum jelasnya aturan di Serie A untuk menghadapi kasus seperti itu membuat hasil pertandingan yang dibuat media banyak yang berbeda.
Namun lupakan persoalan seperti itu, sebab dua gol atau tiga gol, semua mata yang menyaksikan laga seru itu pasti setuju dengan kiprah Signori yang luar biasa. Sebuah koran terbitan Roma misalnya, langsung menulis Signori sebagai ‘Dewa Kaki Kiri’.
Milan bermain dengan 10 pemain sejak menit 62 seusai Paolo Maldini di-espulso wasit Graziano Cesari akibat membabat Casiraghi di kotak penalti. Mereka sebenarnya tampil lumayan namun akibat kehebatan Luca Marchegiani mengawal gawang Lazio, upaya hanyalah upaya tanpa hasil. Berbagai serangan dan bombardiran dari Marco Simone dan Daniele Massaro tidak menghasilkan apa-apa kecuali harapan dan harapan.
Sebaliknya, bolong ditinggal Maldini, pertahanan Milan benar-benar dihujani tusukan sana-sini terutama oleh Roberto Rambaudi, Signori dan Casiraghi yang sengaja berposisi acak. Mereka bisa leluasa begitu sebab disokong oleh stabilnya lini tengah Lazio dengan kawalan Winter, Roberto Di Matteo dan Diego Fuser.
Dengan formasi 4-3-3 dan unggul jumlah pemain, pelatih Zdenek Zeman menginstruksikan untuk mendominasi serangan tanpa memberi Milan leluasa bernafas sedikit pun. Tanpa Maldini, trio Baresi-Alessandro Costacurta-Christian Panucci tampak sibuk luar biasa sampai-sampai lebih terlihat main akrobat ketimbang main bola.
Signori harus banyak berterima kasih pada Casiraghi, karena segala gerak-gerik atau sepak terjangnya bikin kalut pertahanan Milan. Dia memang menjadi titik perhatian Baresi cs. Naluri mencetak gol Signori mengingatkan orang akan kehebatan mantan pemain Foggia yang musim lalu menjadi capocannonieri Serie A dengan 23 golnya.
Kelihainnya itu diperlihatkan ketika ia mencetak gol kedua lewat tembakan first time dari umpan Casiraghi. “Setelah Paolo Rossi insting dia di depan gawang adalah yang terbaik,” kata eks pelatih tim nasional Azeglio Vicini, yang memberi debut Signori di Gli Azzurri.
Jangan menyebut Piala Dunia 1994 lalu di depan Signori. Itu akan membuka sakit hatinya pada Arrigo Sacchi karena menomor-dua-kannya dibanding Roberto Baggio atau Gianfranco Zola. Laziale, sebutan tifosi Lazio, ikut-ikutan marah sebab bagi mereka Signori adalah Maradona-nya Lazio.
Sejak dikontrak pada musim 1991/92 dengan nilai Rp 13 miliar untuk empat musim, sosok Signori jauh lebih diharapkan daripada Paul Gascoigne (Inggris) atau Alen Boksic (Kroasia). Pantaskah demikian? “Signori adalah darah buat tim nasional dan nafas buat Lazio,” tutur Sergio Cragnotti, presiden klub Biancocelesti, penuh arti.