Politik seharusnya mendukung sepak bola. Bukan sepak bola mendukung politik. Keduanya membutuhkan dan saling menguntungkan. Sayangnya banyak penguasa yang tak sanggup mengendalikan simbiosis-mutualisma ini. Salah satunya yang aktual sedang dialami oleh seorang Laurent Gbagbo, presiden Pantai Gading. Rupanya ia tak sanggup mengelola sepak bola dan politik di balik sikap ambisiusnya.
Dampaknya sangat fatal: persatuan bangsa luntur dan keutuhan sepak bola pun hancur! Yang kini lagi berkecamuk di negara subur di tepi Laut Atlantik jadi bukti tak terbantahkan. Si penguasa ogah turun meski kalah pilpres. Kehidupan aman sentosa berubah menjadi amat seram, horor. Cote d'Ivoire terpecah belah sebab dilanda perang saudara. Semoga jangan sampai seperti tragedi Rwanda di 1994. Kalau sudah begini, jangan lagi kehidupan, urusan bola pun terganggu kalau tak bisa dibilang jadi berantakan.
Pantai Gading adalah salah satu negara sepak bola yang terkemuka di Afrika. Bisa dibayangkan bimbangnya Didier Drogba, Emmanuel Eboue, Kolo dan Yaya Toure atau Salomon Kalou - segelintir pemain top Les Elephants yang kini bertebaran di Liga Primer Inggris. Gbagbo sepertinya lupa bahwa di negerinya hampir 3000-an pertandingan sepak bola bergulir setiap hari, entah di jalan-jalan, di tengah pasar, pinggiran gedung, padang sabana, sampai yang resmi di stadion-stadion.
Ironisnya Gbagbo menjadikan sepak bola sebagai alternatif menaikkan martabat politiknya. Di situ gerakan moralnya terbilang oke meski tendensius. Ia gemar bola dan banyak belajar bahwa dibanding politik, kadang dampak sepak bola bisa mengubah segalanya. Tepat atau tidak, Gbagbo sering cuap-cuap soal sepak bola di tengah pertemuan resmi kenegaraan atau di seputaran urusan kabinet, suka ataupun duka. Tak jarang dia mengundang Didier Drogba makan malam ke istananya, nonton langsung ke stadion, bahkan urun rembug sampai akhirnya memutuskan Sven-Goran Eriksson menjadi pelatih nasional di Piala Dunia 2010.
Tragedi di sepak bola pun bisa menjadi peluang emas menguatkan kharismanya. April 2009 di Abidjan, 19 orang tewas dan 130 lainnya luka saat ribuan penonton tanpa tiket menerobos stadion nasional, beberapa jam laga melawan Malawi di Pra Piala Dunia 2010 digelar. Apa yang dilakukan Gbagbo? Saat itu juga, ia langsung menyatakan negara dalam keadaan berkabung serta meliburkan tiga hari kerja mulai besok, yang sebetulnya merugikan dunia bisnis.
Gbagbo juga hadir saat penguburan korban, meski tiada sangkut pautnya, kecuali, lantaran acara itu disiarkan langsung TV nasional ke seluruh negeri. Bukti Gbagbo mengintervensi dan memanfaatkan tragedi itu bisa dilihat dari laga tersebut tetap digelar, sesuai permintaannya! FIFA yang tadinya prihatin, jadi geram. Sedang tim nasional Malawi hanya cuma bisa melongo tak mengerti.
Selang beberapa hari, BBC mewawancarai seorang pemain Malawi. "Tadinya saya pikir wasit meminta kami semua untuk mengheningkan cipta sebentar untuk menyatakan belasungkawa. Ternyata tidak. Saat saya tanyakan, dia menjawab 'tidak, tidak ada, saya cuma mengikuti perintah'," beber Elvis Kafoteka, seorang pemain Malawi.
Gbagbo amat memuja tim Les Elephants, julukan tim nasional Pantai Gading. Di luar dia jadi garda terdepan pendukung sepak bola Afrika. Pada 16 Oktober 2009, ia sengaja melakukan kunjungan kenegaraan ke Mesir agar bisa juga menghadiri final Piala Dunia U-20. Eh, kebetulan Ghana menang, tapi entah bagaimana caranya dia bisa jadi tamu kehormatan pemberi medali.
"Saya senang melihat anak-anak muda ini di kala hari-hari kita makin menjauh. Hari ini adalah peresmian integrasi Afrika. Saya berjuang keras agar kita tidak diinjak-injak. Saya ingin Afrika jadi pemimpin dunia! Itulah makna kemenangan saat ini," kata Gbogba berapi-api. Di satu sisi Pantai Gading merupakan permata-nya Prancis lantaran coklat dan kopinya, dengan balasan menjadikan Abidjan sebagai 'Paris-nya' Afrika.
Setelah Pantai Gading meluncur ke World Cup 2010, Gbagbo bermanuver lagi pada Desember 2009. Kali ini dia mengundang bos-bos sepak bola wakil Afrika yang juga lolos, Ghana, Afsel, Kamerun, dan Nigeria dan Aljazair, ke istananya di Yamoussoukro. Beberapa saat sebelumnya, dia mendukung penggunaan hal-hal superstitions seperti juju, muti, atau marabouts di seluruh negeri untuk mendukung lolosnya Pantai Gading ke Afrika Selatan.
Menjelang laga krusial melawan Kamerun, para dukun suruhan memerahi got dan selokan di pelbagai kota dengan darah ayam, yang menjadi salah satu syarat agar bisa sukses. Laurent Gbagbo adalah presiden ketiga Ivory Coast, setelah Aime Henri Konan Bedie (1993-1999) dan tokoh pejuang kemerdekaan Felix Houphouet-Boigny (1960-1993). Usai meraih kekuasaan pada 26 Oktober 2000 dengan susah payah, perlahan tapi pasti sifat aslinya yang buas mulai keluar.
Menantang Dunia
Kesuksesan yang datang terlambat menjadi masalah di masa depan. Bisa bikin orang jadi kalap tidak keruan dan ketagihan. "Dia itu seperti Simon Cowell-nya diktator," sebut Antony Goldman, bekas konsultan politik Gbagbo. Selama 40 tahun hidupnya habis sebagai figuran pinggiran, cuma sebagai wallpaper politik. Otak dan hati Gbagbo ternyata berkebalikan. Lain ucapan, lain pula perbuatan. Ke kiri saat berjuang, ke kanan pula saat bertahta.
Tatkala berkuasa, Gbagbo bisa sangat kurang ajar, munafik, terutama pada para tetangganya. Gbagbo menjadikan Robert Mugabe terlihat seperti anjing peliharaan Barat. Ia narsis dan gila hormat. Di masa mudanya, dia membuat sendiri nama panggilan Cicero sebab menyukai tokoh Romawi, mencintai budaya Latin, dan membenci otorianisme, kediktatoran. Dulu dia senang dipanggil Little Brother, tapi kini dia minta disapa Big-Man.
Gbagbo pernah dibui lantaran kritiknya menyakitkan tokoh diktator Felix Houphouet-Boigny. Setelah bebas, dia terus berjuang demi demokrasi dan mendirikan FPI (Front Populaire Ivoirien), yang melakukan perlawanan politik dari Paris sejak 1982. Pada 1988 hingga 90-an awal, dia pulang kampung dan mengajar arkeologi di Universitas Abidjan sambil berpolitik. Keberuntungan Gbagbo mulai datang tatkala pada 1993, Houphouet-Boigny wafat dan terjadi vacum of power selama 6 tahun.
Meski Aime Henri Konan Bedie menjadi presiden selama enam tahun, nyatanya di lapangan yang berkuasa adalah tentara, sedang di pentas politik adalah dua tokoh oposisi yang waktu itu masih satu aliansi; Gbagbo dari FPI dan Outtara dari RDR. Gontok-gontokkan itu akhirnya melahirkan kudeta militer yang dilakukan Jendral Robert Guei. Namun tentara yang juga loyalis sejati Houphouet-Boigny itu tak kuasa melawan Gbagbo yang lebih dominan di pentas politik.
Krisis politik di Pantai Gading disebabkan oleh isu etnis, xenofobia, imigran-pribumi. Secara politis, negara ini terbelah oleh wilayah utara yang dikuasai oposan, pemberontak, serta wilayah selatan yang berisi para penjilat dan pro-pemerintah. Utara mayoritas Muslim, selatan mayoritas Kristen. Felix Houphouet-Boigny, pasti tak mengira bahwa kebaikannya justru melahirkan masalah di masa depan.
Pada 1960-an beliau-lah yang pertama kali mengundang warga negara tetangga seperti Mali, Guinea, dan Burkina Faso untuk bekerja dan menggarap perkebunan coklat, kopi, katun, atau kelapa sawit. Yang tak disadari, mereka lambat laun berbaur, menjadi warga asli Ivoirite juga berpartisipasi dalam politik. Adalah profesor Niangoran Porquet yang pertama-tama mengupas tuntas apa dan siapa Ivoirite itu sesungguhnya.
Pada awal 70-an, sambil mengajar di Universitas Cocody, Abdijan, ia juga banyak menulis buku tentang budaya dan ciri khas Pantai Gading. Konsep Ivoirite inilah yang dimanipulasi total oleh politisi, terutama setelah Houphouet-Boigny mangkat pada 1993. Aliansi Outtara-Gbagbo yang terbina sejak lama jadi retak dan akhirnya pecah berantakan juga gara-gara itu.
Prahara di negeri penghasil coklat nomor satu di dunia, dan kopi nomor dua di dunia, itu dimulai ketika profesor sejarah yang puluhan tahun memuja demokrasi tiba-tiba menghancurkan sesembahannya itu sendiri. Laurent Gbagbo, 66 tahun, seharusnya memberikan jabatannya kepada Alassane Outtara, pimpinan partai RDR (Rassemblement des Republicains), setelah kalah dalam putaran kedua pilpres, 2 Desember 2010 dengan hasil 45,9% berbanding 54,1%.
Namun karena merasa dicurangi, melalui partai FPI, Gbagbo menolak mengakui kemenangan seterunya. Padahal proses voting dilakukan oleh sebuah komisi netral IEC (the Independent Electoral Commission) dan diawasi oleh PBB. Dibujuk susah, ditekan juga malah marah, Gbagbo berniat mengacak-acak Pantai Gading. Walhasil, negara di sisi barat Afrika itu jadi tegang sebab kedua kubu pasang kuda-kuda mengantisipasi keadaan.
Angkatan bersenjata terpecah belah, tapi kebanyakan memihak Gbagbo lantaran alasan politik dan ekonomi. Kondisi mencekam juga melanda rakyat. Meski ditekan sana-sini, kiri-kanan dan atas-bawah, Gbagbo pokoknya tetap ndablek. Keadaan ekonomi semakin runyam lantaran mulai Bank Dunia, Uni-Eropa, AS, serta Prancis - eks penjajahnya - mengembargo ekonomi Cote d'Ivoire dan membekukan semua asetnya. PBB turun tangan dan mengirim pasukan ke sana.
Gbagbo malahan merespon dengan menantangnya. Sekarang para tentara sering melakukan sweeping, atau menandai rumah-rumah penduduk - mana yang dari utara (wilayah kekuasaan Outtara), mana yang dari selatan (wilayah kekuasaan Gbagbo). Lazimnya di benua hitam, hasil konkrit semua kekhaosan politik seperti itu biasanya adalah pembantaian etnis.
Bisa dibayangkan resahnya para pemain tim Les Elephants dari wilayah utara, yang jumlahnya lebih banyak, melihat kondisi demikian. Misalnya Habib Kolo Toure dan Yaya Gnegneri Toure, Bakary Kone, Kouamatien Kone, Abdoulaye Meite, Sekou Cisse, atau Aboubacar Sanogo. Lalu juga Kader Keita, Aruna Dindane dan Bary Copa.
Keharmonisan mereka dengan rekan-rekan dari selatan seperti Didier Drogba, Salomon Kalou, dan Emmanuel Eboue jadi terancam akibat dampak dari ulah Gbagbo. Selama ini di timnas Pantai Gading tak ada jurang pemisah atau perbedaan sedikitpun yang terjadi. Menurut Dr. Mangoua, para politisi dan pimpinan negara belajar dari tim Les Elephants bagaimana mengusung persatuan.
Konflik Istri
"Tim nasional sengaja dibentuk dari latar belakang etnis berbeda untuk mengurangi rasa tidak aman, dan pembentukan identitas baru agar dapat diterima semua pihak. Bukan dari prestasi semata," kata psikolog tim tersebut. Jika kondisi destruktif terus berjalan, maka sebentar lagi tim Les Elephants juga akan dilanda perpecahan. Hal inilah yang merisaukan CAF dan FIFA. Organisasi netral seperti Uni Afrika dan Amnesti Internasional juga telah merayu Gbagbo untuk berkorban demi ketenangan semuanya.
Tapi tetap saja, tidak mempan! Malah Gbagbo menantang mereka dengan mengatakan: "Ada saatnya di setiap negara muncul semangat yang meluap-luap dan kekonyolan. Kepala negara seharusnya memiliki kekuasaan mengendalikan itu. Apakah pemimpin Prancis mampu mengontrol kerusuhan Mei 1968? Apakah pemilik mahkota di Inggris bisa mengatasi revolusi pimpinan Oliver Cromwell?"
Prancis pernah memburu Louis XVI untuk dipotong kepalanya. Adakah keadilan buat beliau untuk sekedar menanyakan 'apakah Yang Mulia mampu mengatasi kerusuhan di seluruh negeri?' Setelah 10 tahun bertahta, doktor sejarah lulusan Universitas Sorbonne, Paris, ini jelas pede menjungkir-balikkan negara. Apakah orang ini berotak sarjana tapi berhati durjana? Waktu jua yang akan membuktikannya.
Sepanjang Gbagbo berkuasa, di wilayah utara, golongan muslim yang mendirikan peradaban awal Pantai Gading, justru ditindas. Pemimpin harapan mereka, Alassane Outtara, secara sistematis dihambat masuk ke kancah politik. Ketika tensi dan suasana semakin mengepul bak lobang kepundan di seantero negeri, dengan kekuasaannya Gbagbo sudah mengatur taktik berikutnya berupa opini publik melalui media massa. Dia mencap golongan muslim sebagai pemberontak, berniat mengkudeta, dan ini yang mengejutkan: pendukung xenophobia.
Pada September 2002, Pantai Gading terpecah dua. Utara dikuasai Islam, selatan oleh Kristen. Ribuan korban tewas, dan suasana kian mencekam. Orang-orang Barat, yang begitu memuja demokrasi justru memperlihatkan kehilangan akal sehat mereka. Bukannya mendesak Gbagbo mundur, karena menunda pilpres selama enam tahun, malah mencari motif lain. Tentara Prancis mau saja diundang Gbagbo untuk membantu tentara selatan atas gempuran pasukan utara. Gbagbo juga merekrut preman-preman bayaran, tergabung dalam milisi The Young Patriots, untuk melindungi kekuasaan dan dirinya.
Organisasi internasional, termasuk PBB, meminta Gbagbo turun untuk meredam keadaan. "Ini tipikal kekuasaan di Afrika, buah pengaruh Robert Mugabe dan Mwai Kibakis. Jika kalah di pemilu, dengan kekuasaan yang masih menempel di dirinya, mereka akan membentuk mediator, memotong kesepakatan, dan lebih baik meledakkan negaranya," kata Greg Mills, si pengarang buku Why Africa is Poor yang kini mengepalai Yayasan Brenthurst.
Tren di Pantai Gading, tak pelak, juga seperti itu. Ironisnya, masih kata Mills, warisan kolonial Barat sekarang dilanjutkan oleh putra-putra Afrika sendiri. "Kita harus memahami Afrika di mana multietnis dan multirasial sering melahirkan berbagai kesalahan mereka. Kondisi diperparah dengan stigma jika tidak bisa berkuasa di rumah sendiri, maka Anda akan membayar lebih banyak untuk mendapatkannya."”
Uniknya bagi Pantai Gading, ternyata Gbagbo mengalaminya dalam kehidupan nyata. Dia punya dua bini. Simone Ehivet, dinikahi 1989, beragama kristiani. Satu lagi Nady Bamba, seorang muslimah. Merasa sebagai First-Lady resmi tentu saja Simone berhak menguasai istana, yang berarti juga mengusai negara. Namun kiprah Nady Bamba jauh lebih memukau. Dia seorang enterprener murni yang punya surat kabar dan bisnis komunikasi. Konon kabarnya wanita ini lebih luwes dalam pergaulan karena bertahun-tahun menjadi seorang eksekutif dan profesional.
Sebaliknya Simone bertipe garis keras, jenis istri yang menguasai suami. Richard Dowden, direktur Riyal African Society berkisah terus terang. "Karakter Gbagbo keras, menggertak, dan sedikit pandai berbicara. Namun Simone benar-benar menakutkan. Ketika perang saudara mulai meletus, dia bilang kepada suaminya: Kita tidak bisa menerima pemerintahan Pantai Gading dikuasai oleh para pendatang. Obrolan di dalam rumah seperti itu tak lepas dari isu rasisme dan ketakutan normal yang berubah menjadi aksi-aksi yang abnormal."
Banyak yang bingung Gbagbo jadi linglung. Pria besar yang mulai memimpin Pantai Gading pada 26 Oktober 2000 itu adalah lulusan Sorbonne (salah satu universitas tertua di dunia) dan punya aura menarik di pentas internasional. "Saya tidak tahu bagaimana cara mereka (Gbagbo dan Simone) akan melalui semuanya. Ini seperti lompatan seorang sersan mayor atau kolonel yang tidak pernah keluar dari negaranya. Saya coba mengimajinasikan skenario kemenangan mereka, tapi tidak bisa. Kecuali akan berakhir di pengadilan di Den Haag," ucap Dowden.
Di dalam negeri, Gbagbo terkenal senang pesta, doyan makan sebab dia pencinta kuliner serta pendengar musik yang baik. Semua acara di istana tak lepas dari dua hobinya itu. Sebagai alumni pendidikan Barat, dia begitu mempesona dengan jabatan tangan yang kuat, canda dan tawa yang memukau meski gampang marah, terutama pada wartawan-wartawan yang arogan. Gbagbo adalah profesor sejarah lulusan Prancis. Dia seorang bayi normal yang lahir dari buah perkawinan Zepe Paul Koudou dan Gadi Marguerite Koudou Paul pada 31 Mei 1945 di Gagnoa.
Dunia politik Afrika memasuki zaman baru. Fenomena Gbagbo, yang pada 1982 menceraikan istri pertamanya, Jacqueline Chanoos, sejak dinikahi pada 1967, berbarengan dengan isu kekuasaan dan referendum yang terjadi di Republik Demokratik Kongo, Mesir, Madagaskar, Nigeria, Uganda, Zambia, dan kemungkinan Zimbabwe di mana Mugabe sudah menunggu-nunggu apa yang terjadi pada Gbagbo untuk strategi politiknya ke depan.
Dalam sisi lain, dunia juga menunggu apakah Gbagbo menerusi kiprah Idi Amin, Jean-Bedel Bokassa dan Mobutu Sese Seko sebagai putra-putra Afrika yang kekuasaannya berakhir dengan tragis. Namun di awal milenium baru itu, gejala sindrom itu makin melingkupi Gbagbo. "Saya tidak akan berubah. Terkadang Anda hanya harus mengganti kaca mata," begitu prinsipnya menghadapi krisis politik dan perang saudara di Pantai Gading.
Gbagbo banyak melihat dan mendengar sehingga sering mendapatkan momentum. Ketika Les Elephants melakukan laga persahabatan melawan Afrika Selatan, 8 September 2002, dia hadir di stadion. Gbagbo meminta pada Didier Drogba, kapten Les Elephants yang akrab dengannya, agar memandunya turun ke lapangan untuk menyalami para pemain nasional Pantai Gading.
Gbagbo percaya sepak bola bisa mengubah kekuasaannya bahkan melanggengkan. Mungkin benar. Tapi sayangnya Gbagbo juga lupa, dia bukan pesepak bola atau bekas pahlawan bangsa di lapangan hijau. Dia adalah politisi. Beda dengan George Weah atau Didir Drogba kelak.
(foto: www.civox.net/sport.yahoo/ladepechedabidjan)
Dampaknya sangat fatal: persatuan bangsa luntur dan keutuhan sepak bola pun hancur! Yang kini lagi berkecamuk di negara subur di tepi Laut Atlantik jadi bukti tak terbantahkan. Si penguasa ogah turun meski kalah pilpres. Kehidupan aman sentosa berubah menjadi amat seram, horor. Cote d'Ivoire terpecah belah sebab dilanda perang saudara. Semoga jangan sampai seperti tragedi Rwanda di 1994. Kalau sudah begini, jangan lagi kehidupan, urusan bola pun terganggu kalau tak bisa dibilang jadi berantakan.
Pantai Gading adalah salah satu negara sepak bola yang terkemuka di Afrika. Bisa dibayangkan bimbangnya Didier Drogba, Emmanuel Eboue, Kolo dan Yaya Toure atau Salomon Kalou - segelintir pemain top Les Elephants yang kini bertebaran di Liga Primer Inggris. Gbagbo sepertinya lupa bahwa di negerinya hampir 3000-an pertandingan sepak bola bergulir setiap hari, entah di jalan-jalan, di tengah pasar, pinggiran gedung, padang sabana, sampai yang resmi di stadion-stadion.
Ironisnya Gbagbo menjadikan sepak bola sebagai alternatif menaikkan martabat politiknya. Di situ gerakan moralnya terbilang oke meski tendensius. Ia gemar bola dan banyak belajar bahwa dibanding politik, kadang dampak sepak bola bisa mengubah segalanya. Tepat atau tidak, Gbagbo sering cuap-cuap soal sepak bola di tengah pertemuan resmi kenegaraan atau di seputaran urusan kabinet, suka ataupun duka. Tak jarang dia mengundang Didier Drogba makan malam ke istananya, nonton langsung ke stadion, bahkan urun rembug sampai akhirnya memutuskan Sven-Goran Eriksson menjadi pelatih nasional di Piala Dunia 2010.
Tragedi di sepak bola pun bisa menjadi peluang emas menguatkan kharismanya. April 2009 di Abidjan, 19 orang tewas dan 130 lainnya luka saat ribuan penonton tanpa tiket menerobos stadion nasional, beberapa jam laga melawan Malawi di Pra Piala Dunia 2010 digelar. Apa yang dilakukan Gbagbo? Saat itu juga, ia langsung menyatakan negara dalam keadaan berkabung serta meliburkan tiga hari kerja mulai besok, yang sebetulnya merugikan dunia bisnis.
Gbagbo juga hadir saat penguburan korban, meski tiada sangkut pautnya, kecuali, lantaran acara itu disiarkan langsung TV nasional ke seluruh negeri. Bukti Gbagbo mengintervensi dan memanfaatkan tragedi itu bisa dilihat dari laga tersebut tetap digelar, sesuai permintaannya! FIFA yang tadinya prihatin, jadi geram. Sedang tim nasional Malawi hanya cuma bisa melongo tak mengerti.
Selang beberapa hari, BBC mewawancarai seorang pemain Malawi. "Tadinya saya pikir wasit meminta kami semua untuk mengheningkan cipta sebentar untuk menyatakan belasungkawa. Ternyata tidak. Saat saya tanyakan, dia menjawab 'tidak, tidak ada, saya cuma mengikuti perintah'," beber Elvis Kafoteka, seorang pemain Malawi.
Kolo Toure (Muslim), Laurent Gbagbo, dan Didier Drogba (Kristen). |
"Saya senang melihat anak-anak muda ini di kala hari-hari kita makin menjauh. Hari ini adalah peresmian integrasi Afrika. Saya berjuang keras agar kita tidak diinjak-injak. Saya ingin Afrika jadi pemimpin dunia! Itulah makna kemenangan saat ini," kata Gbogba berapi-api. Di satu sisi Pantai Gading merupakan permata-nya Prancis lantaran coklat dan kopinya, dengan balasan menjadikan Abidjan sebagai 'Paris-nya' Afrika.
Setelah Pantai Gading meluncur ke World Cup 2010, Gbagbo bermanuver lagi pada Desember 2009. Kali ini dia mengundang bos-bos sepak bola wakil Afrika yang juga lolos, Ghana, Afsel, Kamerun, dan Nigeria dan Aljazair, ke istananya di Yamoussoukro. Beberapa saat sebelumnya, dia mendukung penggunaan hal-hal superstitions seperti juju, muti, atau marabouts di seluruh negeri untuk mendukung lolosnya Pantai Gading ke Afrika Selatan.
Menjelang laga krusial melawan Kamerun, para dukun suruhan memerahi got dan selokan di pelbagai kota dengan darah ayam, yang menjadi salah satu syarat agar bisa sukses. Laurent Gbagbo adalah presiden ketiga Ivory Coast, setelah Aime Henri Konan Bedie (1993-1999) dan tokoh pejuang kemerdekaan Felix Houphouet-Boigny (1960-1993). Usai meraih kekuasaan pada 26 Oktober 2000 dengan susah payah, perlahan tapi pasti sifat aslinya yang buas mulai keluar.
Menantang Dunia
Kesuksesan yang datang terlambat menjadi masalah di masa depan. Bisa bikin orang jadi kalap tidak keruan dan ketagihan. "Dia itu seperti Simon Cowell-nya diktator," sebut Antony Goldman, bekas konsultan politik Gbagbo. Selama 40 tahun hidupnya habis sebagai figuran pinggiran, cuma sebagai wallpaper politik. Otak dan hati Gbagbo ternyata berkebalikan. Lain ucapan, lain pula perbuatan. Ke kiri saat berjuang, ke kanan pula saat bertahta.
Tatkala berkuasa, Gbagbo bisa sangat kurang ajar, munafik, terutama pada para tetangganya. Gbagbo menjadikan Robert Mugabe terlihat seperti anjing peliharaan Barat. Ia narsis dan gila hormat. Di masa mudanya, dia membuat sendiri nama panggilan Cicero sebab menyukai tokoh Romawi, mencintai budaya Latin, dan membenci otorianisme, kediktatoran. Dulu dia senang dipanggil Little Brother, tapi kini dia minta disapa Big-Man.
Gbagbo pernah dibui lantaran kritiknya menyakitkan tokoh diktator Felix Houphouet-Boigny. Setelah bebas, dia terus berjuang demi demokrasi dan mendirikan FPI (Front Populaire Ivoirien), yang melakukan perlawanan politik dari Paris sejak 1982. Pada 1988 hingga 90-an awal, dia pulang kampung dan mengajar arkeologi di Universitas Abidjan sambil berpolitik. Keberuntungan Gbagbo mulai datang tatkala pada 1993, Houphouet-Boigny wafat dan terjadi vacum of power selama 6 tahun.
Laurent Gbagbo, politisi ulung berbasis sejarah Romawi. |
Krisis politik di Pantai Gading disebabkan oleh isu etnis, xenofobia, imigran-pribumi. Secara politis, negara ini terbelah oleh wilayah utara yang dikuasai oposan, pemberontak, serta wilayah selatan yang berisi para penjilat dan pro-pemerintah. Utara mayoritas Muslim, selatan mayoritas Kristen. Felix Houphouet-Boigny, pasti tak mengira bahwa kebaikannya justru melahirkan masalah di masa depan.
Pada 1960-an beliau-lah yang pertama kali mengundang warga negara tetangga seperti Mali, Guinea, dan Burkina Faso untuk bekerja dan menggarap perkebunan coklat, kopi, katun, atau kelapa sawit. Yang tak disadari, mereka lambat laun berbaur, menjadi warga asli Ivoirite juga berpartisipasi dalam politik. Adalah profesor Niangoran Porquet yang pertama-tama mengupas tuntas apa dan siapa Ivoirite itu sesungguhnya.
Pada awal 70-an, sambil mengajar di Universitas Cocody, Abdijan, ia juga banyak menulis buku tentang budaya dan ciri khas Pantai Gading. Konsep Ivoirite inilah yang dimanipulasi total oleh politisi, terutama setelah Houphouet-Boigny mangkat pada 1993. Aliansi Outtara-Gbagbo yang terbina sejak lama jadi retak dan akhirnya pecah berantakan juga gara-gara itu.
Prahara di negeri penghasil coklat nomor satu di dunia, dan kopi nomor dua di dunia, itu dimulai ketika profesor sejarah yang puluhan tahun memuja demokrasi tiba-tiba menghancurkan sesembahannya itu sendiri. Laurent Gbagbo, 66 tahun, seharusnya memberikan jabatannya kepada Alassane Outtara, pimpinan partai RDR (Rassemblement des Republicains), setelah kalah dalam putaran kedua pilpres, 2 Desember 2010 dengan hasil 45,9% berbanding 54,1%.
Namun karena merasa dicurangi, melalui partai FPI, Gbagbo menolak mengakui kemenangan seterunya. Padahal proses voting dilakukan oleh sebuah komisi netral IEC (the Independent Electoral Commission) dan diawasi oleh PBB. Dibujuk susah, ditekan juga malah marah, Gbagbo berniat mengacak-acak Pantai Gading. Walhasil, negara di sisi barat Afrika itu jadi tegang sebab kedua kubu pasang kuda-kuda mengantisipasi keadaan.
Angkatan bersenjata terpecah belah, tapi kebanyakan memihak Gbagbo lantaran alasan politik dan ekonomi. Kondisi mencekam juga melanda rakyat. Meski ditekan sana-sini, kiri-kanan dan atas-bawah, Gbagbo pokoknya tetap ndablek. Keadaan ekonomi semakin runyam lantaran mulai Bank Dunia, Uni-Eropa, AS, serta Prancis - eks penjajahnya - mengembargo ekonomi Cote d'Ivoire dan membekukan semua asetnya. PBB turun tangan dan mengirim pasukan ke sana.
Gbagbo malahan merespon dengan menantangnya. Sekarang para tentara sering melakukan sweeping, atau menandai rumah-rumah penduduk - mana yang dari utara (wilayah kekuasaan Outtara), mana yang dari selatan (wilayah kekuasaan Gbagbo). Lazimnya di benua hitam, hasil konkrit semua kekhaosan politik seperti itu biasanya adalah pembantaian etnis.
Bisa dibayangkan resahnya para pemain tim Les Elephants dari wilayah utara, yang jumlahnya lebih banyak, melihat kondisi demikian. Misalnya Habib Kolo Toure dan Yaya Gnegneri Toure, Bakary Kone, Kouamatien Kone, Abdoulaye Meite, Sekou Cisse, atau Aboubacar Sanogo. Lalu juga Kader Keita, Aruna Dindane dan Bary Copa.
Keharmonisan mereka dengan rekan-rekan dari selatan seperti Didier Drogba, Salomon Kalou, dan Emmanuel Eboue jadi terancam akibat dampak dari ulah Gbagbo. Selama ini di timnas Pantai Gading tak ada jurang pemisah atau perbedaan sedikitpun yang terjadi. Menurut Dr. Mangoua, para politisi dan pimpinan negara belajar dari tim Les Elephants bagaimana mengusung persatuan.
Konflik Istri
"Tim nasional sengaja dibentuk dari latar belakang etnis berbeda untuk mengurangi rasa tidak aman, dan pembentukan identitas baru agar dapat diterima semua pihak. Bukan dari prestasi semata," kata psikolog tim tersebut. Jika kondisi destruktif terus berjalan, maka sebentar lagi tim Les Elephants juga akan dilanda perpecahan. Hal inilah yang merisaukan CAF dan FIFA. Organisasi netral seperti Uni Afrika dan Amnesti Internasional juga telah merayu Gbagbo untuk berkorban demi ketenangan semuanya.
Manuver politik ke wilayah muslim bersama Yaya Toure. |
Prancis pernah memburu Louis XVI untuk dipotong kepalanya. Adakah keadilan buat beliau untuk sekedar menanyakan 'apakah Yang Mulia mampu mengatasi kerusuhan di seluruh negeri?' Setelah 10 tahun bertahta, doktor sejarah lulusan Universitas Sorbonne, Paris, ini jelas pede menjungkir-balikkan negara. Apakah orang ini berotak sarjana tapi berhati durjana? Waktu jua yang akan membuktikannya.
Sepanjang Gbagbo berkuasa, di wilayah utara, golongan muslim yang mendirikan peradaban awal Pantai Gading, justru ditindas. Pemimpin harapan mereka, Alassane Outtara, secara sistematis dihambat masuk ke kancah politik. Ketika tensi dan suasana semakin mengepul bak lobang kepundan di seantero negeri, dengan kekuasaannya Gbagbo sudah mengatur taktik berikutnya berupa opini publik melalui media massa. Dia mencap golongan muslim sebagai pemberontak, berniat mengkudeta, dan ini yang mengejutkan: pendukung xenophobia.
Pada September 2002, Pantai Gading terpecah dua. Utara dikuasai Islam, selatan oleh Kristen. Ribuan korban tewas, dan suasana kian mencekam. Orang-orang Barat, yang begitu memuja demokrasi justru memperlihatkan kehilangan akal sehat mereka. Bukannya mendesak Gbagbo mundur, karena menunda pilpres selama enam tahun, malah mencari motif lain. Tentara Prancis mau saja diundang Gbagbo untuk membantu tentara selatan atas gempuran pasukan utara. Gbagbo juga merekrut preman-preman bayaran, tergabung dalam milisi The Young Patriots, untuk melindungi kekuasaan dan dirinya.
Organisasi internasional, termasuk PBB, meminta Gbagbo turun untuk meredam keadaan. "Ini tipikal kekuasaan di Afrika, buah pengaruh Robert Mugabe dan Mwai Kibakis. Jika kalah di pemilu, dengan kekuasaan yang masih menempel di dirinya, mereka akan membentuk mediator, memotong kesepakatan, dan lebih baik meledakkan negaranya," kata Greg Mills, si pengarang buku Why Africa is Poor yang kini mengepalai Yayasan Brenthurst.
Tren di Pantai Gading, tak pelak, juga seperti itu. Ironisnya, masih kata Mills, warisan kolonial Barat sekarang dilanjutkan oleh putra-putra Afrika sendiri. "Kita harus memahami Afrika di mana multietnis dan multirasial sering melahirkan berbagai kesalahan mereka. Kondisi diperparah dengan stigma jika tidak bisa berkuasa di rumah sendiri, maka Anda akan membayar lebih banyak untuk mendapatkannya."”
Uniknya bagi Pantai Gading, ternyata Gbagbo mengalaminya dalam kehidupan nyata. Dia punya dua bini. Simone Ehivet, dinikahi 1989, beragama kristiani. Satu lagi Nady Bamba, seorang muslimah. Merasa sebagai First-Lady resmi tentu saja Simone berhak menguasai istana, yang berarti juga mengusai negara. Namun kiprah Nady Bamba jauh lebih memukau. Dia seorang enterprener murni yang punya surat kabar dan bisnis komunikasi. Konon kabarnya wanita ini lebih luwes dalam pergaulan karena bertahun-tahun menjadi seorang eksekutif dan profesional.
Presiden Gbagbo bersama bini tua Simone Ehivet. |
Di dalam negeri, Gbagbo terkenal senang pesta, doyan makan sebab dia pencinta kuliner serta pendengar musik yang baik. Semua acara di istana tak lepas dari dua hobinya itu. Sebagai alumni pendidikan Barat, dia begitu mempesona dengan jabatan tangan yang kuat, canda dan tawa yang memukau meski gampang marah, terutama pada wartawan-wartawan yang arogan. Gbagbo adalah profesor sejarah lulusan Prancis. Dia seorang bayi normal yang lahir dari buah perkawinan Zepe Paul Koudou dan Gadi Marguerite Koudou Paul pada 31 Mei 1945 di Gagnoa.
Dunia politik Afrika memasuki zaman baru. Fenomena Gbagbo, yang pada 1982 menceraikan istri pertamanya, Jacqueline Chanoos, sejak dinikahi pada 1967, berbarengan dengan isu kekuasaan dan referendum yang terjadi di Republik Demokratik Kongo, Mesir, Madagaskar, Nigeria, Uganda, Zambia, dan kemungkinan Zimbabwe di mana Mugabe sudah menunggu-nunggu apa yang terjadi pada Gbagbo untuk strategi politiknya ke depan.
Dalam sisi lain, dunia juga menunggu apakah Gbagbo menerusi kiprah Idi Amin, Jean-Bedel Bokassa dan Mobutu Sese Seko sebagai putra-putra Afrika yang kekuasaannya berakhir dengan tragis. Namun di awal milenium baru itu, gejala sindrom itu makin melingkupi Gbagbo. "Saya tidak akan berubah. Terkadang Anda hanya harus mengganti kaca mata," begitu prinsipnya menghadapi krisis politik dan perang saudara di Pantai Gading.
Gbagbo banyak melihat dan mendengar sehingga sering mendapatkan momentum. Ketika Les Elephants melakukan laga persahabatan melawan Afrika Selatan, 8 September 2002, dia hadir di stadion. Gbagbo meminta pada Didier Drogba, kapten Les Elephants yang akrab dengannya, agar memandunya turun ke lapangan untuk menyalami para pemain nasional Pantai Gading.
Gbagbo percaya sepak bola bisa mengubah kekuasaannya bahkan melanggengkan. Mungkin benar. Tapi sayangnya Gbagbo juga lupa, dia bukan pesepak bola atau bekas pahlawan bangsa di lapangan hijau. Dia adalah politisi. Beda dengan George Weah atau Didir Drogba kelak.
(foto: www.civox.net/sport.yahoo/ladepechedabidjan)