Apakah akan terjadi keajaiban malam ini di Stadion Utama Senayan? Mungkinkah Jayakarta melalap Indonesia Muda lebih dari 10 gol dan dengan demikian tampil sebagai juara Galatama karena unggul selisih gol dari Warna Agung?
Iswadi Idris, kapten kesebelasan Jayakarta, sudah menjawabnya seusai akhir pertandingan dramatis melawan Warna Agung, Rabu malam lalu. Ditemui di kamar ganti, Iswadi hanya menggeleng. “Rasanya mustahil,” ujarnya.
Tetapi ketika berbicara di hadapan para pemainnya, pemain merangkap pelatih Jayakarta itu berpendapat lain. “Lupakanlah kekalahan melawan Warna Agung. Kita, semua kita, siapkan diri sebaik mungkin melawan Indonesia Muda nanti. Siapa tahu ada keajaiban,” katanya bersemangat.
“Keajaiban” memang bisa terjadi di gelanggang olah raga menjadi bertambah semarak. Tetapi bagi kita, penonton, kalau toh keajaiban itu terjadi, masih ada yang sama menarik ditunggu.
Tekad Jayakarta untuk mencetak gol kemenangan sebanyak mungkin, berarti mereka harus menyerang all out. Dengan demikian kita bisa harapkan untuk tidak lagi Jayakarta dengan daya serang yang begitu memukau ketika mereka menggulingkan Warna Agung 2-0 dalam putaran pertama kompetisi Maret tahun lalu.
Hanya pernah dua kali kalah, meski gagal menjadi juara, Jayakarta pantas untuk bertepuk dada sebagai kesebelasan dengan reputasi tersendiri. Kedudukan sementara dari clash-nya dengan Warna Agung selama musim 1979/80 pun masih 2:2, dua kali kalah dan dua kali menang. Karena itu dari Jayakarta masih dituntut oleh para penggemarnya untuk membuktikan “kelasnya” malam nanti. Jayakarta boleh gagal menjuarai Galatama, tetapi be a good loser.
Start Lambat
Lalu apa kabar dengan Indonesia Muda? Dibintangi pemain-pemain tenar seperti Hadi Ismanto, Dede Sulaiman, Junaedi Abdillah, dan kalau boleh ditambah, Suaeb Rizal, Wahyu Hidayat, dan Syamsul Suryono, klub asuhan pelatih Suwardi Arland ini – meski sering disebut-sebut sebagai salah satu favorit juara – justru amat sering memprihatinkan selama kompetisi.
Dimulai dengan ditahan 1-1 oleh Tidar Sakti di Magelang, IM kemudian dihadang draw lagi oleh Buana Putra dan Arseto, Bahkan lebih tragis lagi, dikalahkan Pardedetex cukup telak di akhir putaran pertama kompetisi. Dan setelah mengalami “debacle” dikalahkan Jaka Utama di Tanjungkarang, Januari 1980, peluang IM menjadi amat samar. Peluang itu kemudian benar-benar sirna ketika minggu lalu Jayakarta dikalahkan Warna Agung.
Tetapi malam ini, tetap ada sesuatu yang pantas untuk diraih IM. Kemenangan atas Jayakarta, berarti akan mengangkat posisi IM ke urutan kedua di bawah sang juara. Ini masih lebih terhormat dari urutan ketiga, sambil menghibur diri bahwa IM adalah satu dari tiga kesebelasan yang pernah mematahkan dominasi Warna Agung.
Dalam putaran pertama kompetisi, IM mengungguli Warna Agung 3-1. Kemenangan terbesar yang pernah dicatat suatu kesebelasan atas Warna Agung. Bahkan lebih kecil dari kekalahan 1-2 yang diderita IM dari Warna Agung di putaran kedua.
Hanya yang menjadi soal, apakah IM akan cukup “lancar” sejak menit pertama pertandingan untuk bisa mencetak kemenangan. Masalah inilah yang nyaris selalu mencemaskan setiap kali IM turun ke lapangan. Rekan saya, Sumohadi Marsis, secara tepat menamakan IM sebagai slow-starter. Entah karena diperkuat oleh begitu banyak pemain veteran, IM sangat sering terlambat hidup kerjasama regunya.
Cukup sering IM harus lebih dulu diungguli sebelum balik memaksa kemenangan. Melawan Tunas Inti dan Perkesa 78, gol kemenangan itu bahkan baru bisa dicetak di menit-menit terakhir. Andaikata malam ini, IM lagi-lagi begitu terlambat bangkit, sulit mereka harapkan kejadian itu berulang lagi. Pertahanan Jayakarta sama sekali tidak sama dengan Tunas Inti dan Perkesa.
IM sebenarnya pernah membuktikan sebaliknya, menjadi sebuah tim yang agreif sejak awal babak pertama, sebagaimana penampilan mereka melawan Warna Agung, 12 Januari lalu. Atau juga ketika IM menggulung Perkesa 2-0 di putaran pertama kompetisi. IM yang demikianlah yang membuat pertandingan mereka melawan Warna Agung, Januari lalu, akan terus tercatat sebagai salah satu pertandingan paling menarik selama kompetisi. IM yang demikianlah yang juga kita harapkan malam ini.
Lini Belakang
Ketua IM, Dimas Wahab, pernah mengeluh. “Pertahanan kami sebenarnya tidak sejelek diperkirakan orang. Hanya karena pemain lapangan tengah yang kurang taktis membantu pertahanan sehingga kami sering kebobolan,” ujarnya.
Dari jumlah gol, jelas terlihat IM adalah tim yang sebetulnya punya daya dobrak kelas satu. Dalam mencetak gol, IM cukup berpacu dengan Warna Agung dan Niac Mitra. Tetapi karena organisasi pertahanan yang keropos, IM menjadi kesebelasan yang paling banyak kemasukan dari “5 Besar” Galatama.
Sinyalemen Dimas Wahab ada benarnya. Junaedi Abdillah dan Johny Fahamsyah yang sering menjadi pilihan pertama di sektor ini, lemah dalam intersepsi maupun tackling. “Penjelajah” Junius Seba terkadang mempesona tetapi lebih sering tidak konsisten. Dan yang paling mengecewakan adalah Suaeb Rizal dan Wahyu Hidayat.
Pernah bertahun-tahun menjadi “stopper” nasional kelas satu, Suaeb Rizal dikenal tidak saja sebagai perusak yang gigih tetapi juga pembangun serangan yang jeli. Tetapi kini ia nampaknya seperti “terlalu tua” dalam usianya yang ke-31. Serba ragu-ragu, tidak percaya diri, dan lamban.
Wahyu Hidayat ketika memperkuat Persija dan team nasional juga, pernah bermain gemilang sebagai back kiri maupun pemain lapangan tengah bertahan. Namun selama memperkuat IM, Wahyu begitu sering tampil seakan-akan pemain pemula. Makmun dari Angkasa masuk memperkuat IM media tahun lalu dan nampaknya memberi perbaikan di sektor back kanan.Tetapi duetnya bersama Wahyu, sering dibalik-balik oleh IM secara tidak beralasan.
Di jantung pertahanan, Matui yang “all-out” yang ideal. Edy Sabenan yang pernah dikagumi Wiel Coerver, sangat kegemukan. Sedangkan pemain muda Nus Lengkoan, meski berbakat, terlalu banyak yang masih harus dipoles. Saya pernah punya pilihan kwartet belakang IM: Makmun back kanan, Matui “stopper”, Wahyu Hidayat “free-back”, Johannes Auri back kiri. Pemain terakhir ini, terlepas dari segala kekurangannya dalam kelenturan (flexibility), masih yang terbaik dalam pengambilan posisi. Lini empat belakang ini, bila perlu, dibantu Suaeb Rizal sebagai ekstra-stopper.
Hadi Ismanto
Dimas Wahab juga pernah selangit memuji ujung tombak Hadi Ismanto. “Saya heran pemain seperti dia tidak dipilih Coerver dalam SEA Games,” tukasnya. Hadi Ismanto dalam form terbaiknya memang begitu mobil dan eksplosif. Ia juga cerdik dalam membentuk ruangan di kotak penalti atau menyerbu ke kotak penalti. Tetapi juga cukup sering Hadi Ismanto bergerak tak menentu, salah mengantisipasi manuver rekan yang lain.
Di daerah sayap, IM memiliki Dede Sulaiman dan Syamsul Suryono yang pernah menunjukkan diri sebagai yang terbaik di negeri ini. Tetapi sejak dikontrak IM, Mei tahun lalu, anehnya Dede Sulaiman amat jarang mempertontonkan dribbling dan akselerasinya yang mengesankan. Sedangkan Syamsul Suryono yang di awal debutnya sangat gigih dan taktis dalam melakukan “switch”, kini serba ragu-ragu mengambil putusan.
Tetapi saya masih ingin melihat lagi IM dalam kondisi puncaknya, 12 Januari lalu, di mana hanya karena kurang beruntung mereka dikalahkan Warna Agung 2-1. Ketika Wahyu Hidayat dan Junaedi Abdillah, bahkan juga Matui, begitu rajin mendukung serangan yang dibangun di kedua sayap.
Saya masih ingin melihat Junius Seba sebagai penjelajah yang tak mengenal menyerah. Saya masih ingin melihat Hadi Ismanto yang penuh inisiatif. Saya maish ingin melihat Dede Sulaiman dan Syamsul yang lincah serta tajam. Saya masih ingin melihat lagi Junaedi, bahkan juga Johny Fahamsyah, sebagai “pemukul” di mulut gawang lawan. Mengapa bukan malam ini? (Valens Doy, Kompas Sabtu 19 Januari 1980)